Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2018

Kecewa adinda di Perang Gerilya

Tim buku Tempo.  Hubungan Soedirman dan Sukarno tidak mulus. Sempat berniat mengundurkan diri dari militer. DENGAN mengenakan mantel hitam dan piyama, Soedirman pergi meninggalkan rumah dinas di Jalan Bintaran Wetan, Yogyakarta. Tujuannya: Gedung Agung, Istana Presiden Yogyakarta, yang berjarak satu kilometer dari Bintaran. Ditemani dokter Soewondo dan Kapten Tjokropranolo, Soedirman berikhtiar menemui Presiden Sukarno. Kesabaran Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia itu habis setelah Kapten Soepardjo Roestam, yang diutus menemui Sukarno, tak kunjung kembali. Situasi sedang genting. Pagi itu, 19 Desember 1948, pasukan Belanda menyerang Lapangan Terbang Maguwo. Inilah pertama kalinya Soedirman meninggalkan rumah setelah tiga bulan beristirahat karena sakit yang diderita.  “Pak Dirman seakan-akan memperoleh kekuatan setelah mendengar Belanda melancarkan serangan,” tulis Soepardjo Roestam dalam catatan hariannya, seperti dikutip pengamat militer Salim Said dalam...

Tentang Tiga Jenderal Besar

P ada waktu Jenderal (TNI) Wiranto menerima pimpinan   Angkatan Darat dari tangan Jenderal (TNI) Hartono lewat suatu upacara timbang terima di halaman Markas Besar Angkatan Darat, saya duduk di barisan kedua para tamu VIP. Di depan saya duduk Jenderal TNI (Purn.) A.H. Nasution, sementara di samping saya ada Mayor Jenderal TNI Fachrul Razi, waktu itu Gubernur Akademi Militer di Magelang. Selesai upacara resmi, Wiranto dan istrinya mendatangi Nasution untuk memberi salam. Ketika Wiranto membungkukkan badan mencium tangan Nasution, saya tiba - tiba melihat suatu kesinambungan yang menarik. Menurut catatan, Wiranto lahir pada 1948, tahun ketika Nasution sebagai Panglima Komando Jawa sedang memimpin perang gerilya di Pulau Jawa. Sebagai seorang peneliti politik militer, kenyataan yang menarik itu merangsang perasaan dan pergolakan pemikiran dalam diri saya. Dari pergolakan itu gagasan yang lahir adalah pantasnya Nasution menjadi Jenderal bintang lima [Jenderal Besar]. Memang aneh, dan t...

Peran Bung Sultan di masa Perang Kemerdekaan*

Perang kemerdekaan Awal kehidupan Republik Indonesia ditandai dengan suasana mencekam yang disebabkan oleh keganasan tentara NICA (Belanda). Pada bulan Oktober, November, dan Desember 1945, Jakarta menjadi ajang kekerasan dan teror, yang menyebabkan penduduk menutup pintu sejak senja hari. Tentara NICA memang memancing insiden di mana-mana dan kapan saja sehingga ribuan orang menjadi korban. Menurut penuturan Presiden Sukarno dalam buku otobiografinya yang ditulis oleh Cindy Adams, selama tiga bulan itu telah jatuh korban orang Indonesia yang tak berdosa, tak kurang dari 8.000 orang, NICA juga mendapat perintah dari atasannya untuk membunuh para pemimpin Republik sehingga bahkan Sukarno dan Hatta terpaksa tidur berpindah-pindah rumah, sementara keluarga mereka selalu diliputi kecemasan yang amat sangat. jakarta 21 juni 1949. Bung Sultan dan Bung Sjahrir di lapangan udara kemayoran, saat tengah menyiapkan pengembalian pemerintah RI ke Yogyakarta, pasukan KNIL di tarik kemba...