Perang kemerdekaan
Awal kehidupan Republik Indonesia ditandai dengan suasana mencekam yang disebabkan oleh keganasan tentara NICA (Belanda). Pada bulan Oktober, November, dan Desember 1945, Jakarta menjadi ajang kekerasan dan teror, yang menyebabkan penduduk menutup pintu sejak senja hari. Tentara NICA memang memancing insiden di mana-mana dan kapan saja sehingga ribuan orang menjadi korban. Menurut penuturan Presiden Sukarno dalam buku otobiografinya yang ditulis oleh Cindy Adams, selama tiga bulan itu telah jatuh korban orang Indonesia yang tak berdosa, tak kurang dari 8.000 orang, NICA juga mendapat perintah dari atasannya untuk membunuh para pemimpin Republik sehingga bahkan Sukarno dan Hatta terpaksa tidur berpindah-pindah rumah, sementara keluarga mereka selalu diliputi kecemasan yang amat sangat.
Akhirnya keadaan terasa begitu gawat sehingga dalam sidang Kabinet pada 3 Januari 1946 diambil keputusan untuk memindahkan kedudukan pemerintah pusat Republik Indonesia ke Yogyakarta. Esok harinya, waktu senja, sederetan gerbong kereta api yang kosong perlahan-lahan, tanpa menimbulkan banyak suara ribut, ditarik oleh sebuah lokomotif dari stasiun Manggarai dan berhenti di rel Pegangsaan Timur, tepat di belakang rumah Presiden Sukarno di Jalan Pegangsaan Timur 56. Jalan itu kini sudah berubah nama menjadi Jalan Proklamasi, dan di bekas rumah proklamator itu sekarang berdiri Gedung Pola.
Sebuah gerbong sengaja terpisah, memberi kesan seolah-olah sebuah gerbong paling belakang yang tak penting dalam rangkaian gerbong-gerbong yang lain. Padahal justru di gerbong inilah Presiden dan keluarga, Wakil Presiden dan keluarga, dan pemimpin-pemimpin lain dari Republik pada malam itu bersembunyi, masuk dari halaman belakang kediaman Presiden. Mereka semua tak membawa barang apa pun. Dalam malam gelap tak berbintang pada 4 Januari 1946 itu berpindahlah Republik Indonesia dari pusat pemerintahannya ke daerah pedalaman di Yogyakarta. Dan pada akhir perjalanan ini di stasiun Tugu, pimpinan Republik ini disambut hangat oleh Sultan Hamengku Buwono IX.
Mulai waktu itulah Yogyakarta menjadi ibu kota revolusi dan ternyata sanggup bertahan mengatasi gelombang pasang-surutnya perjuangan pada tahun-tahun berikutnya. Sultan Hamengku Buwono IX sendiri untuk pertama kali menjadi anggota kabinet pada Kabinet Sjahrir III sebagai Menteri Negara pada tahun 1946, permulaan dari satu karier yang akan berlanjut sampai puluhan tahun sesudahnya.
Pada masa awal kehidupan Republik Indonesia itu juga, di banyak daerah didirikan laskar rakyat untuk membantu TNI dalam menanggulangi serangan musuh. Tak terkecuali di Yogya. Di kota ini, laskar rakyat berhasil dibentuk tanpa didominasi oleh satu golongan, melainkan merupakan gabungan semua unsur dari berbagai haluan. Panglimanya adalah Sultan Hamengku Buwono IX sendiri dengan kepala stafnya Selo Soemardjan.
Untuk kesiap-siagaan laskar tersebut, secara teratur diadakan latihan dan boleh dikatakan seluruh masyarakat ikut serta. Suatu waktu di rencanakan latihan umum perang-perangan yang ditetapkan akan berlangsung pada 19 Desember 1948. Perhatian umum sedang tercurah kepada latihan ini, yang akan diikuti oleh semua unsur kelaskaran, termasuk dapur umum, unit palang merah, dan lain-lain. Tak seorang pun di pihak Indonesia yang mengira bahwa pada hari itu akan terjadi serangan sesungguhnya dari pihak Belanda, yang dinamakan ”aksi polisional” yang kedua.
Sejak pagi hari semua orang yang merasa tergabung dalam kelaskaran rakyat telah siap untuk mengadakan latihan. Mendadak terdengar rentetan letusan senjata, sementara pesawat udara meraung-raung di atas Yogya. Mula-mula rakyat masih mengira bahwa itulah tanda latihan mereka dimulai. Ternyata sejumlah pesawat udara bertanda asing menyerang lapangan terbang Maguwo (kemudian dinamakan lapangan terbang Adisucipto), sementara serdadu para diturunkan dalam jumlah yang besar. Rakyat mulai sadar bahwa yang mereka hadapi sekarang adalah ”musuh beneran” dan bukan sekadar latihan.
Keadaan pada waktu itu sangat tidak seimbang. Di satu pihak Belanda dengan persenjataan yang cukup lengkap, di pihak lain penjagaan keamanan Maguwo dengan persenjataan minim dalam keadaan tidak siap. Dengan cepat pasukan Belanda menguasai lapangan terbang, terus menyebar ke arah Yogya, dan mengepung kota. Tentara Indonesia yang jumlahnya di dalam kota tinggal sedikit tak dapat berbuat banyak, kecuali mengadakan penghambatan sebatas kemampuannya.
Pada waktu itu Presiden Sukarno dengan beberapa orang menteri, seperti Ir. Djuanda, Mr. Ali Sastroamidjojo, dan Kusnan, berada di kediaman Presiden di Gedung Negara. Sementara itu, Sultan Hamengku Buwono IX dalam keadaan agak sakit juga terlihat memasuki gedung tersebut. Keadaan terasa mendesak dan direncanakan untuk mengadakan sidang darurat pada waktu itu juga. Namun, Perdana Menteri Mohammad Hatta tak kelihatan, rupanya sedang pergi ke Kaliurang untuk menemui Komisi Tiga Negara.
Tiba-tiba terdengar suara ledakan bom dan mitraliur. Ternyata benteng Vredesburg yang letaknya berhadapan dengan Gedung Negara diserang Belanda.
Ketika Sultan Hamengku Buwono IX memasuki Gedung Negara, pertama-tama ia melihat Suryadarma (kemudian menjadi komodor udara) yang telah siap untuk bergabung dengan para pejuang di luar kota. Hamengku Buwono IX masuk ke Gedung Negara, menemui Bung Karno dan bertanya: ”Bung, bagaimana, apa jadi ke luar kota juga?” Dijawab oleh Bung Karno: ”Ya, jadi. Saya akan ke luar kota.” Sultan Hamengku Buwono IX lalu menyarankan agar Bung Karno menuju ke arah timur saja karena perjalanan ke arah sana masih mungkin. Sebaliknya ia memberitahu bahwa ke arah barat sudah sulit karena jalan telah tertutup walaupun tadinya persiapan tempat untuk Bung Karno telah diadakan di daerah Baturaden.
Setelah terjadi serangan atas benteng Vredesburg, Bung Karno minta kepada Hamengku Buwono IX untuk menjemput Bung Hatta di Kaliurang karena sebagai Perdana Menteri, Bung Hatta harus memimpin sidang Kabinet. Hamengku Buwono IX menyanggupi dan langsung menuju ke mobil. Di bagian depan gedung ia bertemu dengan Sutan Sjahrir, yang menyatakan keinginannya untuk ikut ke Kaliurang. Lalu mereka berdua menuju ke Kaliurang, setelah mampir sebentar di kantor Hamengku Buwono IX di Kepatihan untuk memberikan instruksi guna mempersiapkan para pamong praja di daerah Gunung Kidul.
Belum jauh Hamengku Buwono IX dan Sjahrir menempuh jalan ke Kaliurang, mereka telah melihat Bung Hatta yang sedang menuju kembali ke dalam kota, tentunya ke arah Gedung Negara. Pada saat Hamengku Buwono IX memutar mobil untuk kembali ke kota, ia melihat pesawat Belanda ”bercocor merah” menjatuhkan granat di sekitar tempat itu sehingga ia terpaksa menempuh jalan di dalam desa-desa dan di kampung-kampung untuk dapat kembali ke Gedung Negara.
Karena perjalanan yang berputar-putar itulah Hamengku Buwono IX baru sampai di gedung tersebut pada pukul 12.30, ketika sidang Kabinet darurat yang dipimpin Bung Hatta telah bubar. Dengan demikian, sebagai Menteri Negara Koordinator Keamanan, ia tidak ikut dalam sidang yang amat penting itu.
Ketika memasuki Gedung Negara, Hamengku Buwono IX bertemu dengan Panglima Besar Sudirman1 yang menceritakan kepadanya bahwa Presiden dan Wakil Presiden tidak jadi ke luar kota. Sidang kabinet pada pokoknya telah memutuskan dua hal:
1. Pemerintah RI tetap di dalam kota Yogya.
2. Kekuasaan pemerintahan RI akan dialihkan kepada Pemerintah Darurat RI (PDRI) yang akan dipimpin oleh Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan berkedudukan di Sumatra.
Keputusan tentang PDRI ini diberitahukan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang sedang ada di Sumatra melalui siaran radio, tetapi ternyata yang bersangkutan tidak menerima siaran tersebut. Akan tetapi, anehnya, di Sumatra Mr. Sjafruddin telah memiliki gagasan serupa sehingga tanpa konsultasi satu sama lain, atas inisiatif sendiri ia membentuk pemerintahan darurat RI yang berpusat di Kototinggi. Pada zaman itu dapat dicatat adanya perjuangan rakyat di daerah-daerah di Sumatra yang tak kalah gigihnya daripada di Jawa.
Setelah mendengar adanya keputusan sidang Kabinet tersebut, Sultan Hamengku Buwono IX meninggalkan Gedung Negara dengan mengendarai mobil. Pada saat itu pula datang seseorang dari Keraton yang mengatakan bahwa sejumlah rakyat yang kebingungan mendatangi Keraton dan perlu ditenteramkan.
Siang harinya—hari telah menunjukkan lebih kurang pukul 14.00—Hamengku Buwono IX ingin kembali ke Gedung Negara setelah berhasil menenteramkan rakyat yang tadinya kebingungan menghadapi serangan Belanda. Kali ini Hamengku Buwono IX berjalan kaki melintasi Alun-Alun Utara ke arah Gedung Negara, tetapi di tempat ini ia bertemu dengan pemuda-pemuda KRIS2 yang meminta kepadanya agar mengurungkan maksud untuk pergi ke Gedung Negara karena pasukan Belanda telah sampai di kantor pos. Mendengar informasi tersebut Hamengku Buwono IX berjalan kaki kembali masuk ke Keraton dan memerintahkan untuk menutup pintu gerbang Keraton.
Sore harinya, kira-kira pukul 17.00 datanglah di Keraton, Kolonel Van Langen, Komandan Tijgerbrigade Belanda yang berfungsi sebagai penguasa militer untuk daerah Yogya. Kedatangannya disertai pejabat Belanda bernama Westerhof. Keduanya memperlihatkan kepada Hamengku Buwono IX sebuah peta kota Yogya yang telah diberi tanda-tanda oleh mereka. Kepada Hamengku Buwono IX dikatakan bahwa dia boleh bergerak leluasa, tetapi dalam batas-batas yang telah diberi warna merah oleh Belanda. Setelah diteliti, ternyata ruang gerak Hamengku Buwono IX sangat terbatas, yaitu di daerah Keraton saja. Dengan kata lain, sebenarnya ia telah dikonsinyir atau harus menjalani tahanan rumah. Dikabarkan bahwa hal yang sama juga dialami oleh Sri Paku Alam.
Beberapa hari setelah permulaan pendudukan atas kota Yogya, para pemimpin Indonesia diberangkatkan ke tempat pengasingan. Presiden Sukarno, Sutan Sjahrir, dan Haji Agus Salim ke Brastagi, sementara Wakil Presiden Mohammad Hatta, Mr. Mohamad Roem, Mr. Ali Sastroamidjojo, dan Mr. Assaat ke Bangka. Kemudian hari mereka semua disatukan di Bangka.
Para pemimpin negara yang lain, yang tidak tertangkap, meloloskan diri ke luar kota. Sedangkan sejumlah di antara mereka dapat tinggal secara terselubung di dalam kota dan menjadi ”manusia siluman” yang aktif di bawah tanah. Sementara itu, Panglima Besar Sudirman setelah meninggalkan keluarganya di rumah Mangkubumen, berangkat ke luar kota untuk memimpin perang gerilya menggerakkan perlawanan terhadap musuh.
Kota Yogya kini menurut pandangan Belanda telah menjadi vakum, tokoh-tokoh penting Republik yang dianggap sebagai ”pentolan ekstremis” telah disingkirkan, sehingga tentulah kekuatan rakyat telah patah dan Republik yang masih baru sudah tamat riwayatnya. Namun, segera Belanda merasa bahwa dugaannya meleset. Sejak mereka tak lagi berhadapan dengan alat negara yang resmi, ternyata seluruh kota malah berubah menjadi kota siluman. ”Hantu-hantu” yang pada siang hari tak kelihatan, pada malam hari gentayangan di bagian-bagian kota, menyerang patroli Belanda yang sedang berkeliling dan menyerbu ganas ke pos-pos penjagaan tentara pendudukan. Setelah itu, dalam waktu sekejap saja ’’hantu-hantu” tersebut dapat menghilang di kegelapan malam, di keremangan kompleks Keraton, di daerah Pakualaman, di Taman Siswa, dan di rumah-rumah pangeran yang luas pekarangannya.
Dalam sejarah pendudukan kota Yogya tercatat serangan-serangan gerilya yang paling dahsyat pada Januari 1949, suatu keadaan yang sungguh mengerikan bagi tentara pendudukan. Tak mengherankan bahwa selama periode itu para opsir Belanda tak ada yang berani bertugas di dalam kota, terutama pada malam hari mereka bermalam di kompleks Maguwo yang dijaga ketat. Dan hanya serdadu NICA yang bukan Belanda murni yang diwajibkan bertugas malam di kota Yogya.
Gerak Langkah Hamengku Buwono IX
Bagaimana sekarang gerak langkah Sultan Hamengku Buwono IX setelah ruang geraknya dibatasi oleh tentara pendudukan? Pertama-tama perlu disebutkan bahwa segala langkahnya ini selalu kompak dan dilakukan bersamaan dengan Sri Paku Alam. Dari Belanda mereka mendengar bahwa daerah Keraton, Puro Paku Alam, dan Kepatihan Danurejan dinyatakan sebagai ”daerah imun”, artinya daerah itu tak akan diganggu-ganggu.
Dari dalam Keraton mulailah Hamengku Buwono IX sekarang menjalankan siasatnya. Pertama-tama ia sengaja menyebarkan berita bahwa dia ”meletakkan jabatan” sebagai Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, kemudian diikuti oleh Sri Paku Alam. Cara untuk menyebarluaskan berita itu adalah dengan penyampaian dari mulut ke mulut, atau waktu itu lazim disebut sebagai fluistercampagne, sehingga seluruh rakyat sampai ke pelosok kabupaten mendengarnya. Tujuan penyebaran berita ini, dalam keadaan Hamengku Buwono IX dibatasi ruang geraknya, adalah agar soal keamanan daerah Yogya menjadi tanggung jawab tentara pendudukan. Lagi pula, dengan demikian, Hamengku Buwono IX atau Paku Alam tak akan dapat diperalat atau disuruh melakukan tindakan-tindakan yang membantu musuh.
Melalui fluistercampagne seperti itu pula komunikasi antara raja dan rakyat dilakukan sehingga berbagai instruksi bisa sampai kepada rakyat. Misalnya, instruksi agar rakyat tetap setia dan hanya patuh kepada Ngarsa Dalem, yang ternyata sangat dipatuhi oleh seluruh rakyat. Pada waktu itu Belanda sangat terkesan betapa besar wibawa Sultan Yogya atas rakyatnya dan betapa kompak Kesultanan dan Pakualaman dalam semua tindakan mereka.
Mungkin Belanda melihat suasana di Yogya seperti itu sebagai satu kemungkinan untuk merebut Jawa kembali, mungkin juga mereka memang bermaksud membuat pemerin tahan boneka sebagaimana telah mereka lakukan di daerah-daerah lain dengan hasil yang baik. Kini mereka pun ingin merangkul Sultan Yogya agar mau bekerja sama dengan Belanda dan memihak kepada mereka. Mereka juga ingin meyakinkan raja yang penuh wibawa terhadap rakyatnya ini bahwa tak ada gunanya mengandalkan nasibnya kepada suatu Republik yang masih demikian lemah.
Dalam posisinya yang makin lemah di dunia internasional, Belanda berpikir bahwa harapan terakhirnya terletak pada raja ini dan mustahil bahwa ia tak akan menginginkan daerah, kekuasaan, dan kekayaan yang lebih luas, lebih besar. Dan mulailah selama masa pendudukan Yogya itu dikirimkan seorang demi seorang utusan kepercayaan Belanda untuk mendekati Hamengku Buwono IX. Orang-orang yang pernah dikirimkan sebagai utusan Belanda adalah Residen E.M. Stok, Dr. Berkhuis, dan Kolonel Van Langen, penguasa militer di Yogya, dan juga dua orang Indonesia yang menduduki jabatan tinggi di pihak Belanda, yaitu Prof. Husein Djajadiningrat dan Sultan Hamid II.
Setelah usaha-usaha orang-orang tersebut tampaknya kurang berhasil, sekali lagi dikirimkan utusan, kali ini seorang direktur sebuah bank Belanda yang mengeluarkan janji dana berapa pun untuk Keraton Yogya asalkan Sultan mau bekerja sama dan berdiri di pihak Belanda.
Sementara itu, wilayah yang dikemukakan untuk imbalan bagi Hamengku Buwono IX adalah daerah Kedu dan Banyumas, kemudian di tambah dengan beberapa daerah di Jawa Timur. Akhirnya ditawarkan seluruh Jawa dan Madura dengan kekuasaan besar sebagai ”super wali negara”. Tidaklah terbayangkan andai kata Hamengku Buwono IX sampai tergiur oleh bujukan manis ini, bagaimana jadinya dengan RI sebagai Republik muda? Utusan-utusan itu tak pernah ada yang dapat bertemu muka dengan Sultan Hamengku Buwono IX sendiri. Selalu hanya ia yang meminta salah seorang saudaranya, seperti Pangeran Prabuningrat, Pangeran Murda ningrat, atau Pangeran Bintoro, untuk menemui mereka dengan alasan bahwa Sultan sedang sakit. Kemudian saudara-saudaranya melaporkan kepadanya tentang tawaran-tawaran yang sangat menarik itu. Konon kabarnya reaksi Hamengku Buwono IX hanya senyum sinis. Pada waktu itu Hamengku Buwono IX tampaknya benar-benar sedang gandrung kemerdekaan, dan keinginannya hanya satu: agar Belanda segera enyah dari bumi Indonesia!
Peranan Para Kurir
Apabila tadi dikatakan bahwa ruang gerak Hamengku Buwono IX dibatasi, atau dikonsinyir di Keraton, memang demikianlah keadaannya. Akan tetapi, tidak berarti ia tak mempunyai hubungan dengan mereka yang ada di luar, terutama para pejuang dan gerilyawan. Di sini peran para kurir sungguh vital. Melalui merekalah komunikasi ke dan dari luar kota berlangsung, juga dari pos yang satu ke pos yang lain. Melalui merekalah Hamengku Buwono IX dapat dihubungi dan menghubungi menteri-menteri lain seperti Ir. Djuanda, Kusnan, dr. Halim (waktu itu anggota Komite Nasional Indonesia), dan juga para pimpinan militer sampai ke Panglima Besar Sudirman.
Marilah kita membayangkan keadaan kota Yogya pada waktu pendudukan Belanda. Pada siang hari keadaan seakan-akan tenteram, dan tentara Belanda berani berada di pos-pos mereka. Namun, begitu malam tiba, mereka tak dapat berbuat apa-apa terhadap serangan gerilya. Dalam keadaan demikian, mereka tak dapat berbuat lain daripada membalas dendam pagi harinya dengan pembersihan di kampung-kampung yang membawa korban jiwa rakyat. Kepada dunia internasional, Belanda berusaha menimbulkan kesan bahwa RI tak ada lagi, para pemimpinnya sudah diasingkan dan ditahan, dan keadaan telah mereka kendalikan. Akan tetapi, kenyataannya jauh berlainan, mereka bahkan selalu dicekam oleh rasa takut menghadapi siasat para gerilyawan.
Membagi-bagi Uang
Sepintas lalu pengaruh RI atas kota Yogya waktu itu seakan-akan sudah tak ada lagi. Karena Hamengku Buwono IX telah ”meletakkan jabatan” sebagai Kepala Daerah Istimewa, maka suasana mencekam dan semua kekacauan yang timbul adalah tanggung jawab tentara pendudukan Belanda. Namun, semua orang tahu bahwa secara terselubung ”tokoh sentral” yang ditaati secara menyeluruh, baik oleh aparat pemerintahan maupun rakyat biasa, tak lain dan tak bukan hanya Sultan Hamengku Buwono IX atau Ngarsa Dalem seorang. Seolah-olah, dengan demikian, tinggallah adu kekuatan belaka. Pengaruh siapakah yang akan memenangkan keadaan, Sultan Hamengku Buwono IX ataukah pemerintahan pendudukan Belanda? Bahwa Sultan Hamengku Buwono IX benar-benar merupakan tokoh sentral bagi pejuang RI terbukti juga dari segi lain. Sejak pemerintah pusat pindah ke Yogya, kantor-kantor pemerintah ikut ”hijrah” ke kota tersebut. Semua pejabat dari tingkat tinggi sampai pegawai rendah, boleh dikatakan sejak Presiden sendiri, semuanya menderita. Uang gaji tak ada, sedangkan keluarga harus makan. Dalam keadaan demikian tak jarang pilihannya bagi seseorang adalah: tetap setia kepada RI, tetapi menderita sekeluarga, atau pindah bekerja pada Belanda dan dapat hidup berkecukupan.
Sultan Hamengku Buwono IX yang melihat penderitaan banyak orang di sekelilingnya tak tinggal diam. Ia membukti kan sikap konsekuen terhadap anjurannya sendiri dalam pidato radio agar setiap orang bersedia mengorbankan apa saja bagi keselamatan Republik. Apa yang ia perbuat? Tanpa ragu-ragu sang Raja ini lalu merogoh kantongnya sendiri, membuka peti harta Keratonnya dan membagi-bagikannya kepada yang memerlukan. Uang perak gulden Belanda disumbangkan kepada yang berpangkat tinggi sampai yang berpangkat sedang dan rendah di kementerian-kementerian. Menteri Sosial Kusnan dan sekretaris Sultan adalah yang membagikannya sebagai gaji, dan ini benar-benar telah membantu para pegawai yang setia pada perjuangan Republik untuk menyambung hidup sehari-hari bersama keluarga. Pemberian bantuan ini berlangsung sampai beberapa bulan.
Tidak hanya terbatas pada bantuan kepada perseorangan yang diberikan oleh Hamengku Buwono IX, tetapi juga keperluan pasukan gerilya untuk melawan Belanda dan unit PMI sebagian dibiayai dengan uang perak persediaan Keraton Yogya. Bantuan ini konon kabarnya meliputi suatu jumlah yang tak pernah dihitung secara tepat. Bung Hatta pernah mengatakan bahwa jumlah yang disumbangkan oleh Sultan Hamengku Buwono IX waktu itu jika dihitung mungkin tak kurang dari lima juta gulden. Kabarnya Bung Hatta pernah juga bertanya kepada Sultan, apakah uang itu tak perlu dihitung dan dibayar kembali oleh RI. Pertanyaan ini tak pernah dijawab oleh Hamengku Buwono IX, dan menurut kenyataannya tak pernah diganti hingga sekarang.
Khusus mengenai hal ini, Sultan Hamengku Buwono IX menjelaskan berikut ini:
Penulis: Apakah Bapak ingat, berapa uang yang telah Bapak bagi-bagikan itu?
Hamengku Buwono IX: Ah, nggak mungkin ingat, ngambilnya saja begini (sambil menirukan gerakan orang yang mengambil dengan dua telapak tangan, seperti menyendok pasir dengan tangan).
Penulis: Kalau begitu, uangnya memang berupa uang perak Belanda dulu, berupa ringgit, gulden, setengah gulden?
Hamengku Buwono IX: Ya, memang demikian. Lalu oleh Pak Kusnan sebagai Menteri Sosial dan Perburuhan dibagi-bagikan kepada pegawai-pegawai yang membutuhkan. Sejumlah uang juga dibagikan melalui sekretaris saya.
Penulis: Dapatkah uang lama Belanda dibelanjakan langsung waktu itu? Bukankah waktu itu telah berlaku ORI, atau Oeang Republik Indonesia, sendiri? Kalau tak salah mulai 1 Januari 1947?
Hamengku Buwono IX: Di wilayah RI memang beredar uang ORI. Tapi, apabila Belanda menduduki suatu daerah, di sana akan keluar uang NICA. Kalau nggak salah, uang lama Belanda ini harus di tukarkan dulu dengan uang NICA dengan perbandingan 1 : 1.
Penulis: Berapa lama Bapak ”bagi-bagi duit” seperti itu? Dan tujuan utamanya, membantu meringankan penderitaankah atau mencegah agar orang tak menyeberang ke pihak Belanda?
Hamengku Buwono IX: Saya tak ingat persis berapa lama, mungkin tiga atau empat bulan, pada waktu masa pendudukan oleh Belanda atas Yogya hampir berakhir. Soal tujuan utamanya, ya kedua-dua nya. Saya lihat banyak orang kita yang perlu dibantu untuk menyambung hidup, termasuk keluarga pemimpin-pemimpin kita.
---------
1. Pada waktu itu Panglima Besar Jenderal Sudirman meminta tempat dan perlindungan bagi keluarganya karena ia akan ke luar kota untuk memimpin perang gerilya. Oleh Hamengku Buwono IX diberikan tempat di rumah Pangeran Mangkubumi atau Mangkubumen.
2. Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi, organisasi pemuda asal Sulawesi.
Judul asli : *Perang kemerdekaan/Bab. Sultan dari masa ke masa.

Tahta Untuk Rakyat
Penghimpun: Mohamad Roem, Mochtar Lubis, Lustiniyati Mochtar, S. Maimoen
Penyunting: Atmakusumah
Penyunting: Atmakusumah
Komentar
Posting Komentar