Langsung ke konten utama

Tentang Tiga Jenderal Besar

Pada waktu Jenderal (TNI) Wiranto menerima pimpinan Angkatan Darat dari tangan Jenderal (TNI) Hartono lewat suatu upacara timbang terima di halaman Markas Besar Angkatan Darat, saya duduk di barisan kedua para tamu VIP. Di depan saya duduk Jenderal TNI (Purn.) A.H. Nasution, sementara di samping saya ada Mayor Jenderal TNI Fachrul Razi, waktu itu Gubernur Akademi Militer di Magelang. Selesai upacara resmi, Wiranto dan istrinya mendatangi Nasution untuk memberi salam. Ketika Wiranto membungkukkan badan mencium tangan Nasution, saya tiba-tiba melihat suatu kesinambungan yang menarik. Menurut catatan, Wiranto lahir pada 1948, tahun ketika Nasution sebagai Panglima Komando Jawa sedang memimpin perang gerilya di Pulau Jawa. Sebagai seorang peneliti politik militer, kenyataan yang menarik itu merangsang perasaan dan pergolakan pemikiran dalam diri saya. Dari pergolakan itu gagasan yang lahir adalah pantasnya Nasution menjadi Jenderal bintang lima [Jenderal Besar]. Memang aneh, dan tidak bisa saya jelaskan sampai sekarang mengapa lahir pemikiran dan gagasan demikian pada saat itu. Muncul begitu saja. Mungkin tidak terlalu salah untuk mengatakan bahwa waktu itu saya lebih menjadi seorang seniman dan sejarahwan tinimbang seorang ilmuwan politik yang mempelajari peran politik militer Indonesia.
Ketika tiba acara ramah tamah, saya membicarakan gagasan mendadak saya itu dengan dua jenderal, Sayidiman Suryohadiprojo dan Zaini Azhar Maulani. Keduanya bersimpati kepada gagasan tersebut. Sayidiman menyarankan menuliskannya, tapi Maulani meyakinkan saya bahwa kalau dipublikasikan sebelumnya, Soeharto pasti tidak akan setuju. Saya kemudian berpikir, Soeharto jelas akan menolak juga kalau Nasution dihargai lebih tinggi daripada sang Presiden. Akhirnya, saya sampai pada kesimpulan. Gagasan orisinal saya itu hanya bisa terwujud kalau Soeharto juga mendapat bintang lima. Tapi, lalu apa dasar pemberian itu? Setelah ber hari-hari berpikir, saya menemukan jalan keluar. Untuk itu, Panglima Besar Sudirman juga harus dianugerahi bintang lima. Alasan yang dipakai adalah peran mereka bertiga dalam Dwifungsi. Tapi, kepada siapa gagasan itu harus saya jual supaya bisa menjadi kenyataan?
Teman baik saya, Letnan Jenderal TNI Syarwan Hamid, Kepala Staf Sosial Politik ABRI waktu itu, menawarkan bantuan mempertemukan saya dengan Jenderal TNI Feisal Tanjung, Panglima ABRI. “Ya, talk to him,” kata Maulani. Ketika gagasan tersebut saya sampaikan kepada Feisal pada awal Agustus 1997, beliau ternyata tertarik. “Tolong tuliskan dasar pertimbangannya,” kata Jenderal Tanjung. Pada enam Agustus, saya kirimkan dasar pertimbangan untuk gagasan saya itu. Sore harinya saya berangkat ke Nigeria membawa rombongan Dewan Kesenian Jakarta. Kami mampir dan mengadakan pertunjukan di Kairo sebelum melanjutkan perjalanan ke Lagos. Ketika balik ke Jakarta saya kebetulan jumpa Akbar Tanjung, salah seorang tokoh Golkar. “Eh, kabarnya nanti Pak Harto dan beberapa jenderal akan menjadi jenderal bintang lima,” katanya kepada saya. Berita itu tidak saya komentari. Saya kemudian menelepon Nurdin, mantu Jenderal A.H. Nasution. “Kami juga mendengar kabar itu. Tapi, kita lihat saja nanti,” katanya.
Singkat cerita, pada hari Angkatan Bersenjata, 5 Oktober 1997, Soeharto dan Nasution sudah memakai bintang lima di pundak masing-masing. Saya berada di Hanoi waktu itu. Tapi, Jenderal Maulani menceritakan kemudian bagaimana bintang lima itu telah menimbulkan keakraban serta rasa sukacita pada Nasution dan Soeharto. “Seperti tidak pernah terjadi apa-apa di antara keduanya,” kata Maulani.




5 Oktober 1997, di anugrahkan bintang lima kepada tiga jendral besar. Sudirman, Nasution dan Suharto pada peringatan hari angkatan bersenjata. Nasution dan Suharto adalah dua yang tersisa dari tiga  jendral besar saat itu.

Nah, naskah di bawah ini adalah dasar pertimbangan yang saya tulis atas permintaan Pangab, Jenderal TNI Feisal Tanjung waktu itu.

PADA SUATU hari di bulan Agustus tahun 1945, sebuah negara lahir di Kepulauan Nusantara. Tapi, diperlukan waktu hampir dua bulan sebelum pada akhirnya kabinet negara baru itu pada lima Oktober memutuskan untuk membentuk tentara. Dalam masa antara lahirnya negara dan terbentuknya tentara itulah para pemuda di berbagai penjuru Indonesia bangkit merebut senjata dari musuh, mempersenjatai diri, dan membentuk pasukan-pasukan guna mempertahankan negara yang baru lahir itu.
Ketika kumpulan pemuda bersenjata itu memilih sendiri pemimpinnya pada November 1945 di Yogyakarta, yang mereka pilih adalah seorang mantan Daidan Cho (Komandan Batalion) yang sebelumnya adalah salah seorang pimpinan Pemuda Muhammadiyah Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah. Orang itu bernama Sudirman, dan nama kedudukan yang diberikan oleh para pemuda yang memilihnya adalah Panglima Besar Tentara.
Boleh jadi karena komunikasi antara Jakarta—pusat pemerintahan—dan Yogyakarta—tempat kedudukan pimpinan tentara—begitu buruk pada awal masa Revolusi itu, mungkin juga karena para politisi di Jakarta tidak senang dipaksa pemuda menerima Sudirman sebagai pemimpin tentara, maka diperlukan waktu lebih sebulan sebelum akhirnya Kabinet Sutan Syahrir mengakui Sudirman sebagai Panglima Besar Tentara pada Desember 1945.
Sebagai Panglima Besar yang dipilih oleh anak buahnya, dan tahu bahwa pemerintah tidak terlalu bahagia dengan dirinya sebagai pemimpin tentara, mantan Daidan Cho Sudirman ini melihat kepada anak buahnya sebagai constituent bagi peranannya dalam perjuangan mempertahankan Republik Indonesia. Dengan sikap seperti inilah, Sudirman dan pasukannya—yang kemudian dikenal sebagai Tentara Nasional Indonesia (TNI)—mengembangkan sikap politiknya tersendiri. Sikap politik ini menjadi makin mendapatkan bentuk di tengah-tengah pertikaian seru antara partai oposisi melawan partai pemerintah dalam sebuah sistem yang kini sering dikenang dengan pahit sebagai zaman liberal.
Sudirman dan para pemimpin tentara yang lebih mengutamakan keselamatan negara dari ancaman tentara kolonial Belanda, menganggap terlalu mewah pertikaian politik yang melanda kaum sipil ketika musuh sudah berdiri di ambang pintu dan setiap saat siap menyerbu. Sikap pemerintah yang cenderung mencoba jalan damai dengan cara berunding dengan musuh, juga menjadi pokok masalah yang menciptakan jarak antara tentara dan Kabinet.
Namun, Sudirman tidak selalu menarik garis batas pemisah antara tentara dan pemerintah, meski ada masa ketika Panglima Besar ikut bersama pemimpin oposisi, Tan Malaka, dalam rapat yang mengecam pemerintah. Ketika Jenderal Darsono, misalnya, melakukan percobaan perampasan kekuasaan di Istana Yogya pada 3 Juli 1947, Sudirman menolak mendukung anak buahnya itu. Tapi, ketika Komunis berontak pada 1948, Sudirman segera melaksanakan perintah Perdana Menteri Hatta menyerang Madiun.
Sebelum orang-orang Komunis bikin negara sendiri di Madiun, Mohammad Hatta merasionalisasikan tentara sebagai konsekuensi Perjanjian Renville, yang sebelumnya telah ditandatangani oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin. Belajar dari sejarah penipuan dan pengkhianatan Belanda terhadap Pangeran Diponegoro, Sudirman tidak ingin tentaranya diperkecil ketika Belanda makin menjepit wilayah Republik yang terus mengecil hingga tinggal bagaikan selembar “daun kelor”. Sudirman menolak rasionalisasi tentara. Dan Hatta tidak bisa berbuat banyak.
Firasat Panglima Besar ternyata tidak meleset, Belanda kemudian menyerang dan menduduki wilayah Republik pada Desember 1948. Pada jam-jam terakhir sebelum jatuhnya Yogyakarta, Sudirman yang berparu-paru sebelah, menolak tawaran Presiden Sukarno untuk tinggal di Yogyakarta agar bisa dirawat oleh dokter pasukan Belanda. Setelah itu, Panglima Besar meninggalkan ibu kota untuk memimpin perang gerilya.
Kelak ketika perang gerilya berakhir di penghujung 1949, diperlukan usaha khusus membujuk Sudirman untuk masuk kota.
Pasalnya sederhana, Panglima Besar sudah berjanji kepada anak buahnya tidak akan meninggalkan wilayah gerilya sebelum perang berakhir dengan kemenangan. Setelah dengan enggan kembali ke Yogyakarta, muncullah soal yang paling berat bagi Sudirman. Panglima Besar diminta Sukarno menghentikan tembak-menembak dan memerintahkan anak buahnya meninggalkan semua basis gerilya sebelum perundingan dengan Belanda dimulai di Den Haag. Sudirman menolak, bahkan minta berhenti dari ketentaraan. Sukarno mengancam meletakkan jabatan. Ancam-mengancam berakhir ketika Kolonel Abdul Haris Nasution berhasil meyakinkan Sudirman untuk memilih keutuhan bangsa daripada hanya kepentingan TNI.
Sikap Sudirman sebagai Bapak Tentara yang terus-menerus sebisa mungkin menjaga keutuhan dan otonomi tentara dari berbagai usaha sipil—pemerintah maupun oposisi—untuk mengontrol atau memengaruhinya, berhasil membawa TNI melewati masa Revolusi bebas dari kendali kaum oposisi—Tan Malaka maupun Front Demokrasi Rakyat/PKI—ataupun dari kontrol penuh pemerintah. Kepemimpinan Sudirman juga membawa TNI keluar dari masa Revolusi dengan persepsi diri sebagai suatu kekuatan politik yang berjuang bersama dengan kekuatan politik lainnya dalam menjaga kelangsungan dan perkembangan Republik Indonesia.
Bebas dari ancaman kolonial Belanda, hidup dalam masa demokrasi parlementer, Abdul Haris Nasution sebagai pemimpin tentara pada tahun lima puluhan harus bekerja keras menjaga keutuhan dan otonomi tentara. Bukan saja menghadapi tekanan dari kekuatan politik di luar, dari dalam diri tentara sendiri juga muncul ancaman—PRRI/Permesta, DI/TII, Gestapu/PKI—yang bukan saja membahayakan keutuhan tentara, melainkan juga keutuhan Republik. Semua itu secara berangsur-angsur diatasi Nasution.
Sejak penghujung tahun lima puluhan hingga 1965, soal serius yang dihadapi oleh Nasution adalah kekuatan Komunis yang makin marak, dan Sukarno yang makin ingin menentukan. Kalau pada masa Revolusi, Sukarno sering kali bersimpati kepada Sudirman, pada masa kepemimpinan Nasution, TNI sulit mendapatkan simpati Sukarno. Presiden pertama Indonesia waktu itu adalah juga seorang pemain politik yang terus mencoba memperluas dukungan. Karena tidak bisa mengandalkan dukungan tentara untuk tujuan-tujuan politiknya, Sukarno akhirnya memanfaatkan golongan kiri, terutama PKI. Dan makin sulitlah posisi Nasution khususnya, TNI umumnya.
Dalam periode yang sekarang dikenang sebagai zaman Orde Lama itu, posisi TNI pada dasarnya amat defensif menghadapi aksi ofensif PKI dan Sukarno. Pada keadaan seperti itu yang tampaknya mungkin dilakukan Nasution adalah menciptakan teori-teori untuk membela peranan dan partisipasi politik tentara. Dalam rangka inilah kita harus mengerti lahirnya doktrin “Jalan Tengah” yang dicetuskan Nasution pada November 1958 pada sebuah pidato di Akademi Militer Nasional Magelang. Layaknya teori-teori yang lahir pada masa defensif, “Jalan Tengah” adalah sekadar pernyataan posisi tentara yang di satu pihak bukan tanpa peran politik. Tapi, di lain pihak bukan tentara yang berencana berkuasa seperti di negeri-negeri Latin Amerika yang masa itu memang banyak didominasi oleh pemerintahan militer.
Pada suatu hari pada awal Oktober 1965, akibat tindakan makar Gestapu/PKI, pemerintahan Sukarno ikut terperosok ke jurang kehancuran. Sebagai kekuatan terdepan barisan anti-Komunis pada masa itu, Angkatan Darat adalah kekuatan politik yang paling siap mengambil alih kekuasaan. Yang tidak dipunyai Jenderal Soeharto waktu itu adalah teori atau doktrin yang membenarkan peran dominan tentara dalam politik.

Hanya Satu Pilihan

Oleh karena itu, setelah menguasai keadaan, mengonsolidasi kekuatan, langkah penting Jenderal Soeharto berikutnya adalah menciptakan teori untuk landasan peranan tentara sebagai pengelola negara. Teori-teori peranan sosial politik yang dikembangkan Nasution pada zaman Orde Lama belum lagi memperhitungkan kemungkinan datangnya suatu masa ketika TNI berdiri tegak di atas panggung politik Indonesia sebagai kekuatan utama. Kekosongan teori seperti itulah yang diisi Jenderal Soeharto lewat Seminar Angkatan Darat II pada Agustus 1966 di Bandung.
Pada seminar di Bandung itu, Angkatan Darat menyadari dan menyimpulkan bahwa ABRI umumnya, dan TNI Angkatan Darat khususnya, menjadi tumpuan harapan masyarakat. Karena itu yang tersedia bagi TNI hanya satu pilihan, memenuhi harapan rakyat dalam bentuk membangun pemerintahan yang kuat dan progresif. Di atas landasan harapan rakyat yang dipersepsikan Angkatan Darat pada 1966 itulah tegaknya pemerintahan Orde Baru hingga kini. Lewat Orde Baru pimpinan Jenderal Soeharto itulah TNI memelopori pembangunan Indonesia.
Berdiri pada Oktober 1997 sembari memandang ke belakang perjalanan sejarah TNI, terlihat garis menaik keterlibatan politik tentara di Indonesia. Pada masa kepemimpinan Jenderal Sudirman, keterlibatan awal tentara ke dalam politik bermula pada keterlambatan pemerintah membentuk tentara. Adalah suatu keputusan politik ketika para pemuda merebut senjata dari tentara Jepang, mempersenjatai diri, membentuk barisan pertahanan, dan memilih Sudirman sebagai Panglima Besar mereka. Tentara makin terlibat saja dalam politik ketika konflik pemerintah versus oposisi mewarnai politik Indonesia masa Revolusi. Tokoh utama dalam peran politik tentara ini adalah Sudirman sendiri. Mempersepsikan diri dan pasukannya lebih sebagai pejuang daripada tentara pemerintah, dia tidak merasa selalu harus terikat dengan aturan-aturan baku hubungan sipil-militer yang memang dikenalnya.
Tingkah laku politik Sudirman itu tidak sepenuhnya bisa dilanjutkan Nasution. Tapi, peran politik tentara tidak bisa dihindarkan pimpinan tentara pasca-Revolusi. Untuk itulah lahirnya teori yang kemudian dikenal sebagai Dwifungsi. Lewat “Jalan Tengah”, Nasution merumuskan peranan sosial politik tentara.
Tapi, yang akhirnya menggunakan peran politik tentara untuk memerintah dan memelopori pembangunan Indonesia adalah Jenderal Soeharto.
Oleh karena itu, tidak salah untuk menyebut Sudirman sebagai peletak dasar peran politik tentara, Nasution perumus peran tersebut, sementara Soeharto memanfaatkannya untuk memelopori pembangunan Indonesia. Maka dalam konteks ini, jika kita meninjau sejarah ABRI sebagai kekuatan politik, niscaya terlihat adanya tiga jenderal terpenting: Sudirman, Abdul Haris Nasution, dan Soeharto.
Pada negara-negara yang tentaranya tidak memainkan peranan politik, ukuran keberhasilan seorang jenderal terletak pada prestasinya di medan tempur. Eisenhower, Omar Bradley, Marshall, dan MacArthur adalah Jenderal-Jenderal Amerika Serikat dengan bintang lima karena sukses mereka pada Perang Dunia II.
Tapi, bagi Indonesia dengan tentara yang berperan politik, kepiawaian dalam memainkan peranan politik tentara dalam pembangunan bangsa adalah kriteria penting. Kebetulan juga bahwa baik Sudirman, maupun Nasution dan Soeharto, semuanya adalah Jenderal-Jenderal yang punya reputasi di medan tempur.
Sudirman adalah Panglima Besar dengan reputasi gemilang sebagai pemimpin dan komandan tempur di Palagan Ambarawa serta pemimpin perang gerilya yang legendaris. Nasution adalah konseptor perang gerilya, Panglima Komando Jawa pada masa perang gerilya, dan KSAD yang memimpin dengan berhasil penumpasan pemberontakan PRRI/Permesta. Soeharto terkenal sebagai komandan yang memimpin Serangan Umum 2 Maret 1949 ke Kota Yogyakarta, Panglima Mandala pembebasan Irian Barat, dan Panglima Kostrad yang berhasil menyelamatkan negara dari ancaman bahaya Komunis.
Dalam perspektif inilah—terutama perspektif peranan politik tentara—sebaiknya kita semua harus melihat perlunya menghargai jasa-jasa tiga Jenderal terpenting TNI dengan menjadikan ketiganya Jenderal bintang lima.[]

Based on,


Book cover for Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian

Salim Said

Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Panglima di Simpang Kudeta

Kedekatan dengan Tan Malaka dan tokoh anti diplomasi dengan penjajah sempat membuat Soedirman dituduh merancang kudeta. SURAT itu diterima pada siang hari, saat Soedirman bersiap meninggalkan Loji Gandrung, rumahnya di Solo, Jawa Tengah. Dibawa dengan pengawalan khusus dari Yogyakarta ke Solo oleh Brigade 29 pimpinan Kolonel Dahlan, surat itu diteken Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin. Kurir meminta Jenderal Soedirman menjawab segera, satu dari dua pilihan yang ditawarkan Menteri Amir: bersedia datang menghadap ke Istana Yogya sore itu juga, atau “ditangkap” di tempat. Jika pilih yang kedua, detasemen pengirim surat bersedia “menjemput”. Soedirman menahan marah. Ia meminta pasukan Dahlan kembali ke Yogyakarta. Soedirman, seperti ditulis sejarawan Universitas Indonesia S.I. Poeradisastra dalam Hubungan Soedirman dengan Persatuan Perjuangan, bersedia datang dikawal pasukan Divisi Panembahan Senopati pimpinan Mayor Jenderal Soetarto, langsung ke Istana. Perintah itu terkai...

Kecewa adinda di Perang Gerilya

Tim buku Tempo.  Hubungan Soedirman dan Sukarno tidak mulus. Sempat berniat mengundurkan diri dari militer. DENGAN mengenakan mantel hitam dan piyama, Soedirman pergi meninggalkan rumah dinas di Jalan Bintaran Wetan, Yogyakarta. Tujuannya: Gedung Agung, Istana Presiden Yogyakarta, yang berjarak satu kilometer dari Bintaran. Ditemani dokter Soewondo dan Kapten Tjokropranolo, Soedirman berikhtiar menemui Presiden Sukarno. Kesabaran Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia itu habis setelah Kapten Soepardjo Roestam, yang diutus menemui Sukarno, tak kunjung kembali. Situasi sedang genting. Pagi itu, 19 Desember 1948, pasukan Belanda menyerang Lapangan Terbang Maguwo. Inilah pertama kalinya Soedirman meninggalkan rumah setelah tiga bulan beristirahat karena sakit yang diderita.  “Pak Dirman seakan-akan memperoleh kekuatan setelah mendengar Belanda melancarkan serangan,” tulis Soepardjo Roestam dalam catatan hariannya, seperti dikutip pengamat militer Salim Said dalam...