Angkatan Darat dalam Sejarah Kemelut Politik
Peristiwa G30S yang terjadi pada tahun 1965 masih merupakan peristiwa yang paling gelap dan kontroversial dalam sejarah Indonesia modern. Memang jika orang hanya berbicara soal kronologi peristiwa atau hanya melihat peristiwa G30S sebagai sebuah event, maka hampir semuanya sudah cukup jelas. Tetapi ketika berbicara soal siapa “aktor intelektual” atau dalang di balik peristiwa itu dan apa motif-motif mereka melakukan tindakan itu, maka persoalannya menjadi sangat rumit, dan oleh karena itu sangat mengundang perdebatan.1
Tulisan ini mencoba untuk menelusuri peran Angkatan Darat (AD) dalam berbagai kemelut politik dalam sejarah Indonesia modern sejak 1945 hingga 1965. Hal itu akan dapat digunakan untuk memahami karakter internal dari tentara yang akan menentukan peranannya dalam politik.2
Polarisasi ideologi di Indonesia menjadi tiga pilar yaitu Nasionalisme, Agama, dan Komunisme, telah muncul sejak zaman kolonial, namun konflik di antara pendukung-pendukungnya baru meletus secara terbuka, dan bahkan bersifat fisik, pada saat revolusi kemerdekaan.3
Dalam suasana seperti itulah AD, khususnya, dan militer Indonesia, pada umumnya, dilahirkan. Dengan demikian, militer Indonesia dari awal kemunculannya dalam panggung sejarah, telah secara langsung bersentuhan, atau bahkan menjadi bagian integral dari polarisasi dan konflik ideologi antara ketiga pilar utama itu.4
Selain dari mereka yang secara terang-terangan memperjuangkan ideologinya dengan kekerasan (seperti yang terlihat pada peristiwa DI/TII, Peristiwa Madiun, PRRI/Permesta, dan sebagainya), ada juga kekuatan-kekuatan ideologis lain, yang ingin memperjuangkan ideologinya dalam batas-batas sistem yang ada. Hal itu bisa dilihat dari perilaku politik partai-partai Islam seperti Masyumi dan PSII dari golongan Islam, dan partai-partai kiri seperti Murba dan PSI. Sementara itu wakil dari golongan Nasionalis direpresentasikan oleh PNI dan beberapa partai lain yang berhaluan serupa. Pada periode revolusi, partai-partai yang berpengaruh memiliki laskar bersenjata sendiri, seperti Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) yang dekat dengan PKI, Nasional Pelopor Indonesia (Napindo) yang merupakan organ PNI, dan Hisbullah/Sabilillah, yang merupakan onderbouw dari Masyumi. Bahkan sayap militer Masyumi sudah dibentuk sebelum kemerdekaan, yaitu di masa pendudukan Jepang sebagai manifestasi “kebaikan hati saudara tua” kepada golongan Islam.
Keberadaan laskar-laskar bersenjata itu ikut memberi kontribusi kepada intensitas konflik internal di kalangan bangsa Indonesia sendiri, mulai dari sekedar gesekan-gesekan berskala kecil, sampai kepada konflik-konflik hebat.5
Dalam tingkat yang berbeda-beda, peristiwa tersebut juga melibatkan laskar-laskar onderbouw partai-partai yang terlibat, dan dengan sendirinya juga mencerminkan dinamika pergulatan ideologis antara berbagai kekuatan yang riil saat itu. Seriusnya pertentangan ideologis juga bisa dilihat dari kenyataan bahwa revolusi melawan kolonialisme Belanda tidak membuat pertentangan internal secara ideologis mereda. Bahkan pergulatan ideologis itu seolah-olah mendapat momentumnya di masa Revolusi. Ini bertentangan dengan cara berpikir menurut logika yang sederhana, di mana seharusnya revolusi itu menjadi wahana untuk mempersatukan bangsa Indonesia untuk bersama-sama berjuang melawan kolonialisme, kenyataannya justru sebaliknya, revolusi Indonesia justru menjadi ajang perebutan pengaruh dari berbagai kekuatan politik yang ada.6
Selain menghasilkan situasi konflik yang semakin menajam di antara kekuatan-kekuatan yang muncul sejak sebelum perang, revolusi juga menjadi momen bagi kelahiran suatu golongan baru pada peta kekuatan politik dan ideologi dalam kancah sejarah bangsa Indonesia, yaitu munculnya golongan militer. Golongan ini segera menjadi kekuatan yang berpengaruh dan signifikan dalam panggung politik Indonesia. Secara formal militer Indonesia lahir pada bulan Agustus 1945 ketika pemerintah membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) dengan fungsi-fungsi militer yang masih kabur, karena yang ditekankan ialah fungsinya sebagai “pemelihara” keamanan saja.7
Tampaknya hal ini juga merupakan suatu strategi agar negara yang baru merdeka ini tidak dilihat sebagai negara ‘expansionis’ atau “militeris”, serta untuk mengurangi tuduhan “boneka Jepang” yang berkembang saat itu.8
Dalam kenyataannya, BKR kemudian berkembang menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan akhirnya menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) dengan fungsi yang lebih jelas sebagai alat pertahanan dan keamanan negara. Meskipun secara formal militer Indonesia baru lahir pada tahun 1945, tetapi tradisi kemiliteran Indonesia itu sudah ada sebelum masa revolusi, yaitu masa-masa penjajahan Belanda dan Jepang. Pada periode itu sudah lahir generasi perwira yang berkebangsaan Indonesia dalam jajaran militer kolonial Belanda dan Jepang, yaitu perwira-perwira yang berlatar belakang KNIL dan PETA. Satu hal yang mencolok dari fenomena militer Indonesia sejak awal kelahirannya ialah kecenderungannya untuk tidak tunduk kepada kekuatan-kekuatan lain di luar dirinya. Jadi ada kecenderungan yang besar untuk tidak begitu saja mengakui dan tunduk kepada supremasi sipil. Pada bulan November 1945, para perwira TKR secara mandiri telah memilih sendiri Menteri Pertahanan dan Panglima Besar, tanpa berkonsultasi dengan pemerintah.9
Hal ini merupakan satu contoh dari sejumlah kasus di mana militer terus menunjukkan sikapnya yang cenderung mandiri dan tidak sepenuhnya bersedia tunduk kepada otoritas sipil. Ada dugaan bahwa hal itu disebabkan oleh dominasi mantan perwira PETA dalam jajaran militer Indonesia, di mana mereka mengadopsi pola hubungan sipil-militer seperti yang diterapkan di Jepang pada masa rezim fasis berkuasa di sana.10
Seperti diketahui, pada masa Perang Dunia II, kekuasaan negara di Jepang sepenuhnya ada di tangan militer, tanpa adanya partisipasi sipil sama sekali.11
Teori lain mencoba menjelaskan kecenderungan itu dengan menengok ke masa-masa awal perang kemerdekaan melawan Belanda. Ketika itu, batasan antara fungsi militer dan fungsi politik cenderung kabur karena sifat perjuangan kemerdekaan Indonesia itu sendiri yang di dalamnya terdapat sifat militer dan politik sekaligus. Bukan karir militer semata yang mendorong para anggota TNI ini berjuang, tetapi juga semangat patriotik dan pembelaan terhadap Republik. Ketika tahap perang kemerdekaan ini masuk ke fase gerilya, di mana militer berbaur dengan penduduk sipil dalam kesehariannya, batasan antara fungsi-fungsi politik dan militer yang ada pada golongan militer itu menjadi makin kabur.12
Selain sikap ragu kepada apa yang disebut dengan supremasi sipil, militer juga ragu, kalau bukan antipati, terhadap fenomena keanekaragaman ideologi yang tercermin dalam banyaknya partai dan organisasi politik setelah kemerdekaan. Meskipun tidak memiliki suatu ideologi yang baku dan terumuskan dengan jelas, kecuali ideologi negara (Pancasila) yang secara formal diakui, militer mempunyai kecenderungan untuk meletakkan dirinya secara ideologis dalam posisi “tengah”, antara Komunis di kiri dan apa yang disebut sebagai ekstrimisme Islam di sebelah kanan. Walaupun tidak bebas sama sekali dari anasir-anasir politis dalam tubuhnya, tetapi militer (terutama AD) relatif mampu mensterilkan diri dari kelompok-kelompok semacam itu. Berbagai pemberontakan yang terjadi, dan yang sebagian kalau bukan semuanya, melibatkan unsur militer juga, menjadi berkah terselubung bagi militer, karena otomatis hal itu akan membersihkan dirinya dari golongan-golongan yang berpandangan berbeda. Hal itu (pemberontakan-pemberontakan) bukannya memperlemah, malahan sebaliknya memperkuat posisi militer dan memperkuat legitimasi bahwa mereka adalah “pengawal” atau “abdi negara” yang misi utamanya adalah berbakti dan berjuang demi negara dan bukan demi kepentingan dan ideologis semata sebagaimana yang sering dituduhkan oleh para politisi sipil.13
----------
1. Lihat Taufik Abdullah, “Perdebatan Sejarah dan Tragedi 1965”, Sejarah (9), hlm. 1-4.
2. Lihat misalnya Harold Crouch, “The Military and Politics in Southeast Asia”, dalam: Zakaria Haji Ahmad & Harold Crouch (eds), Military Civilian Relation in South-East Asia; Singapore, Oxford, New York: Oxford University Press, 1985, hlm. 287-317.
3. Lihat misalnya, Sartono Kartodirdjo, “Wajah Revolusi Indonesia Dipandang dari Perspektivisme Struktural”, Prisma(8) (1981), hlm. 3.
4. Pola persekutuan konflik antara militer dengan unsur-unsur di atas ini tidak pernah stabil dan permanen, melainkan berubah-ubah sesuai dengan tingkat kepentingan serta situasi dan kondisi politik yang ada. Militer seringkali bersekutu dengan unsur-unsur Islam dalam konfliknya dengan kaum Komunis dan Nasionalis Kiri, seperti yang terjadi di tahun 1948 dan 1965/66. Sementara di waktu yang lain, militer justru berhadapan dengan unsur-unsur Islam ini seperti yang terjadi sepanjang tahun ‘70-an dan ‘80-an, ketika hubungan antara militer dan kelompok Islam memburuk oleh sejumlah persoalan yang terkait dengan isu-isu seputar Negara Islam dan Asas Tunggal Pancasila, dan nantinya akan memuncak dalam apa yang dinamakan Peristiwa Tanjung Priok yang terjadi di tahun 1984. Ironis bahwa sejumlah tokoh Islam yang menjadi korban dari represi militer pada era tersebut, seperti (alm) Amir Biki dan Abdul Qadir Djaelani adalah kawan dan sekutu militer di tahun-tahun 1965-66, saat “pengganyangan PKI” sedang mencapai puncaknya. Kepentingan oportunistik yang luar biasa dari militer ini mebuatnya untuk tidak menafikan kerjasama dengan “musuh nomor satunya” sekalipun, yaitu dengan golongan komunis, seperti yang terjadi saat pemberontakan PRRI-Permesta meletus di tahun 1958.
Saat itu, militer, khususnya di kawasan-kawasan yang merupakan basis PRRI-Permesta,
bekerja sama dan memanfaatkan unsur-unsur PKI setempat dalam melawan pemberontakan tersebut. Lihat Benedict RO’G Anderson dan Ruth T. Mc Vey, Kudeta I Oktober 1965: Sebuah Analisis Awal; Jakarta: LKPSM-SYARIKAT, 2001, hlm. 41 dan catatan kaki No. 50 hlm. 125.
5. Beberapa peristiwa yang mencerminkan adanya konflik internal antara lain Peristiwa Tiga Daerah, revolusi sosial di Sumatra Timur, Peristiwa Madiun, dan sebagainya. Tentang Peristiwa Tiga Daerah lihat Anthon Lucas,The Bamboo Spear Pierces the Payung: The Revolution against the Bureaucratic Alite in North Central Java in 1945; Ann Arbor, Mitch: University Microfilm International, 1980. Tentang Peristiwa Aceh-Sumatra Utara atau yang lebih dikenal dengan nama “Revolusi Sosial Aceh Sumatra Timur” yang meletus di tahun 1945-1946 lihat Suprayitno,Mencoba (lagi) Menjadi Indonesia; Yogyakarta: Terawang Press, 2001. Tentang Peristiwa Madiun, lihat misalnya Ruud Kreutzer, The
Madiun Affair of 1948: Internal Struggle in Indonesian’s Nationalist Movement; Amsterdam: University of Amsterdam, 1984.
6. Tentang dinamika revolusi Indonesia lihat misalnya George McT. Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia; Ithaca: Cornell University Press, 1952.
7. Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967; Jakarta: LP3ES, 1998, hlm.11.
8. Tuduhan bahwa Republik Indonesia yang baru diproklamirkan itu tidak lain hanyalah sebagai “boneka” dari fasisme Jepang, tidak hanya muncul dari Belanda dan sekutu-sekutunya saja, melainkan, secara implisit, juga datang dari unsur-unsur internal Indonesia sendiri. Termasuk, atau terutama, dari tokoh Sosialis dan pendiri PSI Sutan Sjahrir. Dalam brosurnya yang diterbitkan pada tahun 1945 yang berjudul Perdjoangan Kita, Sjahrir menegaskan perlunya bangsa Indonesia yang baru merdeka ini untuk, antara lain, membebaskan dirinya dari noda-noda fasisme Jepang. Ini berarti secara tersirat Sjahrir beranggapan bahwa tuduhan sebagai “boneka” Jepang itu tidak sepenuhnya salah. Lihat pernyataan Sjahrir dalam brosur tersebut sebagaimana dikutip dalam Rosihan Anwar (ed). Mengenang Sjahrir; Jakarta: PT Gramedia, 1980, hlm. xxxi (pengantar)
9. Ibid., hlm. 32
10. Tentang Sejarah tentara PETA lihat misalnya Nugroho Notosusanto, Tentara Peta pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia; Jakarta: Gramedia, 1973.
11. Sundhaussen, Politik Militer, hlm. 34.
12. Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia; Jakarta: Sinar Harapan, 1986, hlm. 22.
13. Lihat Asvi Warman Adam “Kontrol Sejarah Semasa Pemerintahan Soeharto” makalah disampaikan pada Seminar Pra KIPNAS: Memandang Tragedi Nasional 1965 Secara Jernih (Serpong: 8 September 1999), hlm. 11.
Militer pada Masa Demokrasi Liberal
Pada tahun 1950, Indonesia dengan resmi melaksanakan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS). UUDS ini banyak dipengaruhi oleh Deklarasi HAM (Hak Asasi Manusia) PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). UUDS menegaskan soal pentingnya HAM dan supremasi hukum, serta parlemen yang kuat dan lembaga kepresidenan yang lemah. UUDS menegaskan perlunya dibentuk lembaga parlemen yang dikenal dengan Konstituante yang bertugas menyusun UUD yang baru dan definitif. Para anggotanya dipilih melalui pemilihan umum (Pemilu) tahap kedua yang akan diselenggarakan setelah pemilu nasional pertama.14
Dalam format politik yang sedikit banyak bercorak Liberal ini, Presiden hanya sebagai kepala negara konstitusional yang tidak memiliki kekuasaan eksekutif sama sekali. Kekuasaan eksekutif lebih banyak pada kabinet, yang setiap saat bisa berdiri atau dijatuhkan oleh parlemen. Situasi semacam inilah yang berkembang pada saat Indonesia berada di era Demokrasi Liberal. Partai politik yang banyak jumlahnya saling berlomba untuk menarik pendukung dan saling bersaing untuk mendapat kursi di kabinet. Sementara itu militer masih disibukkan oleh berbagai aktivitas pemberontakan yang harus mereka atasi, seperti DI/TII, Republik Maluku Selatan (RMS), Andi Azis, Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Isu pokok yang mendominasi wacana politik pada tahun-tahun tersebut adalah tentang ramalan dan harapan hasil Pemilu yang sudah ditunggu-tunggu banyak kalangan, terutama dari kelompok partai-partai Islam, menganggap sudah sewajarnya bahwa partai mereka akan memperoleh suara mayoritas dalam Pemilu ini. Jumlah umat Islam yang mayoritas, serta rusaknya citra partai-partai kiri seperti PKI, karena keterkaitannya dalam Peristiwa Madiun, tampaknya mendasari pertimbangan tersebut. Pemilu itu akhirnya berlangsung pada bulan September tahun 1955 dengan hasil yang cukup mencengangkan. Bukan saja partai-partai Islam (NU sejak tahun 1952 telah keluar dari Masyumi) tidak berhasil memperoleh suara mayoritas, yang juga mencengangkan ialah berhasilnya PKI masuk dalam “4 besar” partai-partai dengan perolehan suara terbanyak partai yang bercorak sekuler, PNI keluar dengan suara terbanyak, disusul oleh Masyumi di urutan kedua, NU di urutan berikutnya, dan terakhir PKI di urutan keempat. Proporsi perolehan suara Pemilu ini jelas menunjukkan komposisi yang seimbang antara golongan “Islamis” dan golongan “sekularis”. Pemilu tahap kedua, untuk memilih anggota-anggota Konstituante yang berlangsung di bulan Desember 1955, menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda.15
Selain polarisasi antara kedua golongan di atas, Pemilu ini juga memperteguh polarisasi antara kaum Muslim Modernis, yang direpresentasikan oleh Masyumi, dan kaum Muslim Tradisionalis yang representasinya adalah NU. Sebenarnya sudah sejak lama terjadi kekurangharmonisan hubungan antara kedua golongan itu. Hal ini bisa dibuktikan saat masih dalam era kolonialisme, kaum Muslim Modernis mendirikan wadah organisasinya sendiri, yaitu Muhammadiyah pada tahun 1912, yang kemudian dijawab kaum Muslim Tradisionalis dengan mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. Kedua golongan ini memang sempat berhimpun dalam satu wadah untuk waktu yang pendek saja yaitu sampai pada tahun 1952, saat NU memutuskan untuk keluar dari Masyumi.16
Kalau semula banyak yang berharap bahwa Pemilu 1955 ini akan menjadi momen yang menentukan dan bersejarah serta menjadi solusi yang paling mungkin dalam menyelesaikan semua persoalan-persoalan kebangsaan, termasuk pula di dalamnya persoalan-persoalan ideologis, ternyata hal itu tidak menjadi kenyataan. Apa yang terjadi justru sebaliknya. Pemilu itu bahkan menunjukkan dan mempertegas polarisasi yang terjadi dalam masyarakat atas dasar afiliasi politik, terutama antara golongan “sekularis” dan golongan “Islam”. Pemilu ini juga semakin mempertegas perbedaan yang ada antara partai-partai “Jawa”, yaitu PNI, PKI dan NU, dan partai “luar Jawa”, yaitu Masyumi. Pembedaan yang kedua ini menjadi penting untuk membuat pemetaan politik pada akhir periode Demokrasi Liberal dan awal Demokrasi Terpimpin. Setelah pelaksanaan Pemilu 1955, berbagai ketidakpuasan berkembang dengan luas, tidak hanya di kalangan sipil saja tetapi juga militer. Sejumlah perwira di Luar Jawa, khususnya Sumatra dan Sulawesi mulai membuat perhitungan dengan “Pusat”. Tampaknya mereka mempunyai reaksi keterkejutan yang sama dengan para politisi Masyumi dan PSI atas hasil-hasil yang diperoleh PKI dalam Pemilu tersebut. Secara ideologis, para perwira itu sangat anti komunis dan mempunyai kepentingan dalam membela kepentingan daerah-daerah di Luar Jawa yang merupakan basis-basis Masyumi. Ketidakpuasan ini akhirnya meletus dalam apa yang dinamakan pemberontakan PRRI/Permesta pada tahun 1958. Meskipun tidak secara resmi menyatakan mendukung, beberapa pucuk pimpinan Masyumi terlibat secara aktif dalam petualangan tersebut.17
Pemberontakan ini juga merefleksikan suatu pertarungan ideologis, baik pada tingkat nasional maupun internasional antara kekuatan “kanan” dan “kiri”. Sumatra dan Sulawesi merupakan daerah-daerah yang kuat keislamannya dibandingkan dengan Jawa, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bukan suatu hal yang kebetulan bahwa Masyumi memperoleh pengaruh yang besar di Sumatra dan sebagian Sulawesi. Gerakan ini mendapat dukungan diam-diam dari Amerika Serikat dan sejumlah negara Asia Tenggara yang anti komunis. Hal ini justru berdampak buruk bagi PRRI/Permesta, karena cap sebagai “kaki tangan asing” segera melekat kepada mereka. Ketika pemerintah pusat berhasil menumpasnya,nasib Masyumi (dan PSI) sudah terbayang. Oleh suatu Penetapan Presiden, kedua partai tersebut dibubarkan. Kalau pembubaran PSI secara politis tidak terlalu besar dampaknya, lain halnya dengan Masyumi. Sebagai partai yang menjadi saluran aspirasi politik kaum muslim modernis, pelarangan tersebut praktis menyebabkan para politisi modernis tersingkir dari panggung politik. Ini berarti bahwa salah satu lawan ideologis yang potensial dari Sukarno dan kelompok-kelompok kiri, seperti PKI dan sayap kiri PNI, sudah tamat riwayatnya. Namun demikian tidak hanya mereka saja yang mengambil keuntungan dari pemberontakan tersebut. Pemberlakuan Undang-undang Keadaan Bahaya (SOB) di seluruh negeri pada tahun 1958 oleh pemerintah telah sangat menambah kewenangan dan prestise militer. Segera setelah UU tersebut diberlakukan, militer mulai bergerak memasuki birokrasi daerah dan sektor-sektor perekonomian daerah, yang biasanya berada di bawah pengaruh partai.18
----------
14. Robert Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia, terjemahan oleh Ahmad Baso Yogyakarta, Jakarta: ISAI dan The Asia Foundation, 2001, hlm. 86.
15. Uraian tentang Pemilihan Umum 1955 dalam tulisan ini sebagian besar diambil dari Herbert Feith, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, Jakarta: KPG, 1999.
16. Tentang dinamika Islam Indonesia dalam persoalan politik kenegaraan lihat Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965; Jakarta: Grafiti Pers, 1987. Hasil Pemilu ini juga cukup mengejutkan sejauh menyangkut apa yang bernama Partai Sosialis Indonesia (PSI). Pada awalnya PSI diramalkan akan memperoleh suara cukup signifikan dalam Pemilu 1955. Alasannya terutama diletakkan kepada figur tokoh-tokohnya, seperti Sutan Sjahrir, Subadio Sastrosatomo, dan Sumitro Joyohadikusumo yang mempunyai reputasi sebagai tokoh-tokoh nasional sebelum perang, serta pengaruh partai tersebut dalam kepemimpinan nasional pada era Revolusi. Ternyata PSI hanya mendapatkan 753.191 suara pada tahap pertama Pemilu, atau sekitar 2% dari total suara. Lihat dalam Feith, Pemilihan Umum, hlm. 85.
17. S.T.A. Prasetyo & Toriq Hadad, Jenderal tanpa Pasukan Politisi tanpa Partai: Perjalanan Hidup A.H. Nasution; Jakarta: Grafiti Pers, 1998, hlm. 107-108.
18. J. Eliseo Rocamora, Nasionalisme Mencari Ideologi: Bangkit dan Runtuhnya PNI 1945-1965; Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991, hlm. 291. Tentang PRRI-Permesta sendiri lihat misalnya R.Z. Leirriza, PRRI-Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis; Jakarta: Grafiti Pers, 1991. Lihat juga Barbara S. Harvey,Permesta: Half A Rebellon; Ithaca: Cornell University Press, 1977.
Peristiwa 17 Oktober 1952: Polarisasi dan Konsolidasi Militer
Dalam kaitannya dengan keterlibatan militer, khususnya AD, dalam kemelut politik dan kekuasaan pada masa Demokrasi Liberal adalah terjadi perubahan-perubahan yang memprekondisikan saling mencurigai antara pusat dan daerah. Perubahan pertama mungkin bersumber dari hasil keputusan KMB yang mengharuskan pemerintah Indonesia untuk mengamankan semua perusahaan asing. Keputusan ini berimplikasi bahwa sebagian dari penyelundupan yang selama revolusi berasal dari pencurian terhadap perkebunan asing harus dihentikan. Hal ini berarti mengancam pendapatan lokal, baik dari kalangan sipil maupun militer. Perubahan kedua berhubungan dengan proses sentralisasi dalam struktur militer. Meskipun pada masa perang kemerdekaan struktur militer bersifat sentralistik, namun kesetiaan pasukan terhadap komandan di tingkat lokal sangat besar mengalahkan kesetiaan mereka terhadap pucuk pimpinan tentara di Jakarta.19
Seperti diketahui bahwa setelah perang usai, pucuk pimpinan pusat (khususnya Markas Besar Angkatan Darat/ MBAD) berusaha untuk melakukan campur tangan terhadap kesatuan-kesatuan, terutama yang terkait dengan wacana soal demobilisasi dan reorganisasi di daerah-daerah. Ada niat yang cukup besar dari pihak MBAD dan Kementerian Pertahanan untuk melakukan langkah-langkah demobilisasi dan reorganisasi terhadap personel AD, dengan alasan efisiensi dan peningkatan mutu serta keahlian dari para prajurit AD.20
Upaya ini menghadapi persoalan yang serius ketika terjadi klik-klik dalam tubuh AD yang menempatkan sejumlah komandan-komandan daerah berseberangan dengan para pimpinan AD di Jakarta.21
Hanya dalam waktu dua tahun setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda, konflik politik berskala besar yang melibatkan unsur-unsur AD sebagai pelaku utamanya, meledak tanpa bisa ditahan lagi. Dalam “Peristiwa 17 Oktober 1952” inilah, polarisasi dan konflik yang terjadi dalam tubuh AD ini mencapai akumulasinya. Peristiwa yang bermula dari mosi seorang anggota Parlemen yang juga seorang tokoh terkemuka PNI, Manai Sophiaan, agar dibentuk sebuah komisi yang bertugas untuk menyelidiki sejumlah hal yang terkait dengan masalah-masalah internal Kementerian Pertahanan dan Staf Angkatan Perang atau MBAD ini kemudian bergulir dengan cepat menjadi sebuah krisis politik yang besar. Peristiwa 17 Oktober 1952 ini semakin mempertajam polarisasi yang nyata antara kelompok militer yang lebih mementingkan profesionalisme dan aspek teknis-kemiliteran dan kelompok militer yang menempatkan patriotisme dan nasionalisme-populis sebagai doktrin utamanya.22
Kelompok pertama terutama terdiri dari Simatupang (Kepala Staf Angkatan Perang RI), Nasution (Kepala Staf Angkatan Darat), Kemal Idris, serta S. Parman (Kepala Markas Polisi Militer), dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX (seorang sipil yang menjabat sebagai Menteri Pertahanan RI), berhadapan dengan perwira-perwira seperti Bambang Supeno, Bambang Utoyo, dan sejumlah perwira yang menjabat sebagai komandan di daerah.23
Sebagian besar perwira daerah berada dalam posisi yang berseberangan dengan pimpinan pusat AD yang terlibat dalam peristiwa itu. Bahkan di daerah-daerah para perwira yang lebih yunior merebut pimpinan dari komandan yang pro Nasution. Di Teritorium VII Makassar, Kepala Staf Letkol. Warrouw mengambil-alih jabatan panglima dari tangan Kolonel Gatot Subroto. Di Teritorium II Sumatra Selatan, Letnan Kolonel Kosasih didaulat turun oleh bawahannya dan digantikan Letnan Kolonel Kretarto. Panglima Teritorium V Brawijaya, Kolonel Dr. Suwondho, digeser dari jabatannya oleh para perwira bawahannya dan digantikan oleh Kolonel Soedirman. Hal ini membuat legitimasi dari kubu “pro Peristiwa 17 Oktober” menjadi makin lama makin lemah dan akhirnya mengarah kepada terjadinya krisis legitimasi hebat yang menimpa para perwira kubu “Pro 17 Oktober” atau kubu “Nasution” yang ada di pucuk pimpinan AD sendiri. Dukungan tidak resmi Presiden Sukarno terhadap para perwira eks Peta ini ikut memperlemah posisi Nasution dan kawan-kawannya yang ada di MBAD dan Kementerian Pertahanan.24
Pada bulan November tahun itu juga, akhirnya Nasution digeser dari jabatannya sebagai KSAD dan digantikan oleh Kolonel Bambang Sugeng, seorang perwira eks PETA dari Jawa Timur yang didukung oleh mayoritas perwira dari kelompok perwira daerah dan eks PETA. Dengan demikian, untuk sementara waktu, posisi militer dari kelompok Nasution atau kelompok profesional terdesak ke pinggir, sehingga selama masa-masa antara tahun 1952-1955 ini, profil militer atau AD khususnya, berada dalam kondisi yang terpuruk, karena perpecahan atau polarisasi. Dengan “keberhasilan” kelompok sipil dari kubu anti Markas Besar ini untuk menyingkirkan lawan-lawan mereka dari posisi yang strategis di MBAD dan Kementerian Pertahanan, gejala ke arah kecenderungan yang “militeristik” dari Angkatan Darat Indonesia, sementara dapat diredam. Situasi ini tidak bertahan lama, karena dalam tahun-tahun pasca meletusnya Peristiwa 17 Oktober 1952, proses rekonsiliasi antara militer dari kubu Nasution dan kubu anti Nasution atau antara kubu “KNIL” dan “PETA” ini perlahan mulai terjadi. Telah timbul suatu kesadaran bersama dari kedua kubu, tentang pentingnya langkah-langkah menuju terjadinya rekonsiliasi antara pihak-pihak yang berbeda. Tidak begitu jelas, kenapa semangat rekonsiliasi ini begitu cepat muncul dari para perwira yang sebelumnya secara tajam berada dalam posisi yang sangat antagonistik ini. Salah satu alasan yang mungkin dapat dikemukakan ialah para perwira dari kubu anti Nasution atau anti Peristiwa 17 Oktober ini menyadari betapa integritas, legitimasi, dan kredibilitas mereka sebagai “pemenang” dari pergulatan kekuasaan di lingkup AD ini ternyata tetap tidak signifikan dengan status formal mereka sebagai faksi yang berkuasa dan dominan di MBAD. Para perwira AD yang berturut-turut menduduki jabatan KASAD setelah Nasution, yaitu masing-masing Kolonel Bambang Sugeng (1952-1955) dan Kolonel Bambang Utoyo (1955-1955), pada kenyataannya bukanlah figur-figur yang dapat dengan mudah mempersatukan seluruh korps AD dalam satu komando yang solid. Latar belakang senioritas mereka yang relatif kurang dibandingkan dengan perwira-perwira dari kubu lawannya, membuat mereka tidak cukup mempunyai peluang untuk tetap dapat mempertahankan posisi yang mereka peroleh dengan bantuan dan dukungan aktif dari unsur-unsur eksternal militer.25
Ketika para perwira anti Nasution ini mulai menyadari akan lemahnya dukungan dari internal militer terhadap kepemimpinan mereka, maka sebagian dari mereka yang pada awalnya berseberangan dengan kubu Nasution ini kemudian mulai berpikir untuk mereposisi kembali keberadaan mereka dalam konteks polarisasi dalam tubuh militer ini.26
Pemikiran-pemikiran yang pada dasarnya berangkat dari naluri untuk mementingkan persatuan dan kesatuan korps militer, dan akhirnya semata-mata kepentingan militer, membuat sebagian perwira yang sebelumnya berada di kubu anti Peristiwa 17 Oktober perlahan mulai mengubah sikapnya. Pada tahun 1955, proses ke arah rekonsiliasi ini semakin mendapat momentumnya, saat para perwira dari kedua kubu ini bertemu dalam sebuah konferensi yang diselenggarakan oleh MBAD di kota Yogyakarta. Konferensi yang dihadiri oleh 270 perwira tinggi dan menengah ini berhasil melahirkan sebuah kesepakatan bersama di antara kedua kubu yang kemudian terkenal dengan nama “Piagam Yogya”. Secara garis besar, “Piagam Yogya” berisi pokok-pokok pikiran yang mencerminkan pendapat dari kubu Nasution atau kubu “Pro Peristiwa 17 Oktober”. Semangat superioritas militer yang cenderung tidak mau tunduk kepada otoritas sipil, meskipun itu pemerintah yang berkuasa sekalipun, tersirat dengan jelas di situ.27
Dokumen itu juga menyinggung suatu sikap ketidaksetujuan atas penempatan personalia militer yang didasarkan atas pertimbangan politik kepartaian. Oleh karena dokumen itu dikeluarkan pada tahun 1955, pada saat jabatan-jabatan penting dalam tubuh Angkatan Darat seperti jabatan KSAD sendiri masih dipegang oleh orang-orang yang yang berasal dari kubu “anti peristiwa 17 Oktober” seperti Bambang Sugeng dan kemudian Bambang Utoyo, maka jelas tudingan tentang campur tangan partai dalam soal-soal personalia internal AD ini diarahkan kepada mereka.28
Sementara kubu Nasution sendiri tidak menganggap bahwa afiliasinya dengan para politisi sipil berlatar belakang PSI, seperti yang terjadi di tahun 1952, sebagai bentuk-bentuk pengingkaran terhadap komitmen kemiliterannya, mereka menentang praktek-praktek serupa yang dilakukan oleh lawan-lawan mereka yang berada di kubu anti Peristiwa 17 Oktober ini.29
Situasi setelah lahirnya “Piagam Yogya” kemudian bergulir dengan cepatnya menuju ke arah, bukan saja rekonsiliasi formal antara kedua kubu, tetapi lebih tepatnya menuju ke arah konsolidasi yang menentukan bagi kubu Nasution untuk dapat mendominasi seluruh jajaran AD ke dalam pengaruhnya. Posisi kelompok anti Nasution semakin termarjinalkan ketika Kolonel Bambang Utojo, oleh pemerintah ditunjuk menjadi KSAD menggantikan Bambang Sugeng. Bukan kebetulan bahwa pemerintah saat itu dipegang oleh Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo dari PNI, seorang yang memiliki pandangan-pandangan politik yang serupa dengan Presiden Sukarno dan sayap kiri PNI pada umumnya. Sementara itu Bambang Sugeng adalah seorang perwira yang mempunyai kecenderungan politik yang serupa dengan kelompok politik yang dominan di pemerintah saat itu. Ternyata rencana pemerintah itu sama sekali tidak berhasil. Mayoritas perwira sudah bersatu dalam kubu “kanan” Angkatan Darat, sehingga upacara pelantikan Bambang Utoyo berlangsung tanpa dihadiri oleh para para perwira senior dan tanpa serah terima secara resmi dari pendahulunya.30
Memegang jabatan sebagai orang nomor satu di jajaran AD tanpa memiliki adanya dukungan yang signifikan dari korps yang dipimpinnya. Pada tahun itu juga, ia harus merelakan jabatannya diambil kembali oleh Nasution. Di bulan November 1955, A.H. Nasution dilantik sebagai KSAD oleh Perdana Menteri Burhanudin Harahap, jabatan yang pernah ia pegang 3 tahun sebelumnya, saat Peristiwa 17 Oktober meletus.31
Kecenderungan internal di lingkup AD di tahun 1955 itu ternyata sudah jauh berbeda dengan gambaran di tahun 1952, saat Peristiwa 17 Oktober meletus. Pada pasca “Piagam Yogya” ini, pengaruh pemikiran-pemikiran yang melihat bahwa militer atau AD bukan sekedar sebagai alat negara atau institusi yang mempunyai fungsi-fungsi di bidang militer-keamanan saja, semakin lama semakin dominan. Wacana ini pada gilirannya semakin mendesak satu kubu yang berpendapat bahwa loyalitas politik AD sebagai sebuah institusi seharusnya diberikan kepada otoritas politik yang ada di luar militer itu sendiri yaitu pemerintah. “Piagam Yogya” menurut Sundhaussen, merupakan ‘starting point’ bagi seluruh strategi militer untuk memfokuskan diri bagi rencana-rencana politik yang lebih ambisius lagi. Setelah kubu Nasution berhasil memenangkan pergulatan sengit selama 3 tahun, langkah-langkah militer dalam memantapkan dirinya di tengah-tengah dinamika politik Indonesia yang semakin memanas makin menemukan bentuknya.
----------
19. Kesetiaan berlebihan dari pasukan terhadap komandannya pada masa itu disebut “bapakisme”. Istilah ini menunjuk kepada seorang pemimpin atau “bapak” yang pada masa revolusi sangat menentukan dalam menciptakan dan mempertahankan moral kelompok. Dia sangat berperan sekali dalam menggembleng solidaritas kelompok dan mengikat hubungan informal untuk tujuan politik. Lihat Sartono Kartodirjo, “Wajah Revolusi Indonesia Dipandang dari Perspektif Struktural”,Prisma (8) (1981), hlm. 3-5. Seringkali pilihan politik suatu kelompok gerilyawan atau tentara ini tidak ditentukan oleh orang-perorang anggota kelompok, namun banyak ditentukan oleh keingingan dan orientasi ideologi politik dari komandannya. Mengenai perspektif ekonomi dari persoalan hubungan pusat-daerah lihat misalnya Singgih Tri Sulistiyono, “Perdagangan antar Daerah dan Integrasi Ekonomi di Indonesia: Persoalan Pusat-Daerah pada Akhir Tahun 1950-an”, makalah disampaikan pada Workshop Rethinking Regionalism: Changing Horizon in Indonesia 1950s; Jakarta: 29-30 Agustus 2003.
20. Sundhaussen, op.cit., hlm. 115.
21. Fakta lain bahwa sebagian besar dari korps Perwira MBAD berasal dari Divisi Siliwangi, seperti Nasution, Kemal Idris, dll, mungkin bisa menjelaskan mengapa hubungan antara para perwira dari kelompok Markas Besar ini dengan para perwira “anti” Markas Besar yang kebanyakan berasal dari Divisi Brawijaya, sukar untuk bisa berlangsung dengan baik. Lebih detail bisa dilihat dalam Sundhaussen, op.cit, hlm. 111.
22. Crouch juga berpendapat bahwa latar belakang kedua kelompok ini berbeda secara tajam. Kelompok Nasution didominasi oleh perwira yang berlatar belakang KNIL/Belanda, sedangkan kelompok Bambang Supeno didominasi oleh perwira yang berlatarbelakang PETA/Jepang, dan sebagiannya lagi berlatarbelakang laskar-laskar non-reguler dari era revolusi. Lihat Crouch, op.cit, hlm. 27-28. Tentang polarisasi itu dan peran penting Kolonel Bambang Supeno, sebagai perwira eks PETA yang dekat dengan Sukarno dan para elite politik “anti pemerintah” (maksudnya kabinet Wilopo yang “pro PSI” ini) pada saat-saat tersebut lihat Sundhaussen, op.cit., hlm. 128-130. Selain itu perbedaan antara kedua kelompok ini juga disebabkan oleh orientasi politik yang berbeda. Kelompok Nasution dianggap dekat dengan PSI dan sayap kanan PNI yang waktu itu memang memegang tampuk pemerintahan, dengan Wilopo, seorang PNI “kanan” sebagai Perdana Menterinya. Sementara itu kelompok Bambang Supeno didukung, selain oleh perwira-perwira yang sekubu, juga oleh Presiden Sukarno dan para politisi “sayap kiri” dari unsur PNI kiri dan elemen-elemen kiri yang lain. Lihat Rocamora, op.cit, hlm. 73-76. Peristiwa 17 Oktober selain memperlihatkan polarisasi yang makin tajam dalam tubuh militer juga menunjukkan polarisasi yang nyata dalam tubuh PNI, antara faksi “kanan” yang dipimpin oleh Wilopo dengan faksi “kiri” yang dipimpin oleh Sidik Joyosukarto dan Manai Sophiaan. Lihat ibid, hlm. 73-76. Lihat juga Slamet Sutrisno, Kontroversi dan Rekonstruksi Sejarah; Yogyakarta: Media Pressindo, 2003, hlm. 13-22.
23. Ulasan tentang dampak lebih lanjut dari Peristiwa 17 Oktober 1952 ini sebagian besar bahannya diambil dari Sundhaussen, op.cit., hlm. 125-140.
24.Tentang adanya simpati dan dukungan Presiden Sukarno kepada para perwira “anti Peristiwa 17 Oktober” ini dibenarkan oleh sejumlah sumber yang banyak mengkaji tentang profil militer Indonesia selama era-era tersebut. Lihat misalnya Crouch,op.cit,hlm. 27-28.
25. Terutama di sini adalah Presiden Sukarno dan sayap kiri PNI. Mereka melihat dengan rasa curiga terhadap kecenderungan militer Indonesia yang semakin dekat dengan kepentingan dan garis politik dari Partai Sosialis Indonesia (PSI) sebuah partai kecil “Pro Barat” yang didominasi oleh para cendekiawan yang berpaham liberal. Sri Sultan Hamengkubuwono IX, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan, dan Mayjen T.B. Simatupang, Kepala Staf Angkatan Bersenjata, meskipun secara formal keduanya “non-partai”, tetapi dianggap “dekat” dengan PSI. Lihat Soebagijo IN, Wilopo 70 Tahun; Jakarta: PT Gunung Agung, 1979, hlm. 291.
26. Pembagian kedua kubu atas dasar afiliasi ideologis antara golongan “kanan” yaitu kubu Nasution cs dengan golongan “kiri” yaitu kubu Bambang Supeno, Bambang Sugeng dan Bambang Oetojo cs, memang bisa dilihat sebagai terlalu menyederhanakan persoalan. Sementara ada di antara mereka, seperti Bambang Soepeno yang memang benar-benar punya kecenderungan kiri, ada juga perwira dari kubu tersebut yang tidak bisa dikategorikan kiri apalagi komunis. Sudirman dan Soemitro misalnya, dua perwira Brawijaya dari kubu tersebut, secara politis bukanlah orang yang dapat diidentifikasi sebagai simpatisan kiri. Sudirman (bukan Panglima Besar) adalah seorang militer dengan kecenderungan Islam yang kuat, dan di kemudian hari termasuk perwira tinggi AD yang tidak disukai oleh Sukarno karena alasan tersebut. Lihat Dr. A.H. Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas ; Jakarta: Gunung Agung, 1985, hlm. 357. Sementara itu Soemitro adalah perwira anti komunis yang menonjol selama periode 1960-an sampai awal 1970-an, dan dikenal sebagai salah seorang “arsitek” pembangunan kamp penahanan untuk para bekas anggota dan simpatisan PKI di di Pulau Buru. Lihat dalam Ramadhan K.H., Soemitro
(Mantan Pangkopkamtib) Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib; Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994, hlm. 290.
27. Rangkaian pokok-pokok pikiran yang lebih lengkap yang terdapat dalam Piagam Yogya ini dapat dilihat Sundhaussen, Op.cit, hlm. 142-143.
28. KSAD periode 1952-1955, Bambang Sugeng, dan seorang perwira lain yang anti Peristiwa 17 Oktober, Bambang Supeno, adalah figur-figur perwira yang sangat loyal kepada Presiden Sukarno dan mempunyai hubungan informal dengan PNI. Di kemudian hari, di tahun-tahun 1966-1967, ketika kepemimpinan Presiden Sukarno mengalami krisis legitimasi yang hebat, Bambang Sugeng dan Bambang Supeno aktif menggalang dukungan bagi Sukarno dengan mengandalkan para perwira Divisi Brawijaya, tempat mereka berasal. Lihat Crouch, op.cit,hlm. 239.
29. Meskipun sama-sama mempunyai sekutu dari kalangan politisi sipil, yaitu unsur-unsur PSI untuk kubu Nasution, dan unsur-unsur PNI/Sukarno bagi kubu lawannya, ada sifat jelas yang membedakan pola hubungan dari masing-masing kubu tersebut. Kolaborasi antara kubu Nasution dengan kelompok PSI ini lebih mencerminkan suatu hubungan yang berangkat dari perspektif supremasi militer sebagai satu entitas politik yang tidak saja sederajat, bahkan memposisikan diri sebagai satu entitas yang mempunyai derajat yang lebih tinggi dibandingkan entitas politik sipil. Dengan demikian kedekatan kubu
Nasution ini dengan unsur-unsur PSI dan sayap kanan PNI seperti Wilopo ini bukan merupakan satu gambaran dari subordinasi sipil terhadap militer, karena hubungan antara keduanya bukan merupakan hubungan yang subordinatif, dalam arti bukannya militer yang tunduk kepada rekan-rekan sipilnya, melainkan militer (faksi Nasution) yang mempunyai pandangan dan kepentingan politik yang sama dengan unsur-unsur PSI dan sayap kanan PNI ini. Secara samar-samar, pandangan-pandangan politik PSI dan sayap kanan PNI ini terutama tentang supremasi militer dan hak-hak politiknya, sama dan sebangun dengan kubu Nasution. Secara kasar, dapat disimpulkan bahwa kelompok sipil PSI dan sayap kanan PNI ini sepakat dengan pandangan rekan-rekan militer mereka itu, yang berpendapat “bahwa tentara selamanya harus menjadi suatu kekuatan yang dominan”. Kalimat dalam tanda petik tersebut adalah kutipan dari seorang politisi anti Peristiwa 17 Oktober, Manai Sophiaan, seperti yang dapat dilihat dalam Soebagijo I.N., op.cit, hlm. 299. Sementara itu kasus yang menyangkut kedekatan antara kubu militer anti Peristiwa 17 Oktober atau anti Nasution dengan Presiden Sukarno atau para politisi sayap kiri PNI mempunyai gambaran yang berbeda karena para perwira dari kubu anti Nasution ini justru berangkat dari keyakinan dan afiliasi ideologis dan politis kepada suatu otoritas yang ada di luar mereka (militer), dalam hal ini misalnya Sukarno dan sayap kiri PNI. Mereka menomorsatukan keyakinan ideologisnya, dalam hal ini merupakan campuran antara nasionalisme populis dan sosialisme, yang di wilayah politik sipil semangat tersebut dapat dijumpai di kalangan sayap kiri PNI dan pada sosok Presiden Sukarno.
30. Upacara ini berlangsung bahkan tanpa dihadiri oleh korps musik resmi AD, yang ikut memboikot upacara tersebut, sehingga panitia terpaksa mendatangkan korps musik dari satuan Pemadam Kebakaran. Lihat Sundhaussen,op.cit, hlm. 148. Hal ini memperlihatkan betapa sedikitnya pengaruh yang dimiliki oleh para perwira “kiri” ini dalam konstelasi politik di lingkup internal militer dan hal itu akan menjadi preseden serta akan menjadi variabel yang sangat menentukan dalam pergulatan politik di era 1965/1966.
PRRI/Permesta: Ujian bagi Konsolidasi Angkatan Darat
Upaya-upaya sistematis dari AD untuk memantapkan posisi politiknya menuju ke puncak supremasinya dalam percaturan politik Indonesia pada pertengahan kedua tahun 1950-an telah terhambat oleh peristiwa PRRI/Permesta, ketika sejumlah komandan lokal militer menyatakan pembangkangannya terhadap pemerintah pusat, termasuk kepada pucuk pimpinan AD sendiri. Pencetus dari peristiwa ini sendiri memang cukup beragam, mulai dari ketidakpuasan daerah-daerah di luar Jawa terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah yang dianggap menganaktirikan daerah, polarisasi antara “Jawa” dan “luar Jawa” dalam spektrum politik nasional saat itu, pertentangan yang semakin menajam antara Masyumi/PSI berhadapan dengan PNI dan PKI dalam konteks politik nasional, serta isu-isu tentang konsep federalisme yang semakin mendapat tempat di daerah-daerah luar Jawa, khususnya di Pulau Sumatra dan Sulawesi. Peran militer dalam peristiwa pemberontakan ini dimulai ketika sejumlah Panglima Daerah Militer di Sumatra dan Sulawesi secara bertahap mulai menunjukkan ketidak loyalan mereka terhadap pemerintah pusat. Mayoritas dari perwira pembangkang sebetulnya berasal dari kubu yang sama dengan kubu yang saat itu mendominasi MBAD. Kolonel Simbolon misalnya, salah seorang tokoh pembangkang yang saat itu menjabat sebagai Komandan Militer Sumatrea Utara, adalah seorang perwira yang dekat dengan Nasution saat Peristiwa 17 Oktober meletus. Demikian pula dengan kebanyakan perwira pro PRRI/Permesta yang lain. Dalam perkembangannya, perwira-perwira yang membangkang terhadap pimpinan AD kemudian memperoleh dukungan dari para politisi sipil setempat ketika menggelindingkan isu pembangunan daerah. Pemunculan isu kedaerahan ini menimbulkan konsekuensi munculnya kesadaran di antara politisi lokal yang sentralistik dalam pemerintahan yang sebetulnya sudah berlangsung sejak masa kolonial. Berbeda dengan proses sentralisasi dalam struktur militer, pemerintahan sipil sebetulnya sudah memulai desentralisasi secara bertahap, misalnya dengan munculnya UU No. 1 tahun 1957 tentang pembentukan dewan perwakilan di daerah. Namun demikian isu yang dilontarkan oleh orang-orang militer meluap lebih cepat. Konsekuensi selanjutnya adalah bahwa para komandan daerah semakin kuat di daerah, sehingga mereka bisa terus melanggengkan kontrol ekonomi daerah (termasuk perdagangan barter). Demikian kuatnya posisi mereka sehingga oleh pucuk pimpinan militer di pusat, profil mereka terlihat sebagai warlord.32
Tindakan para perwira daerah yang mendalangi penyelundupan ini merupakan tantangan bagi Nasution. Terbongkarnya berbagai penyelundupan pada pertengahan tahun 1950-an membuka mata pemerintah pusat bagaimana sesungguhnya sepak-terjang para komandan militer di daerah dalam menguasai dan memperoleh sumber-sumber ekonomi dengan mengabaikan pemerintah pusat. Dalam menghadapi mereka, Nasution memiliki strategi yang halus yaitu dengan cara memutasi mereka dan dengan demikian akan mencabut akar-akar warlordism komandan-komandan lokal yang sudah mapan. Namun demikian, rencana mutasi jabatan ini tercium oleh para komandan lokal ini. Mereka menilai bahwa politik mutasi Nasution ini sebagai upaya menyingkirkan mereka dari akar dukungan pasukan dan politik lokal.33
Para perwira yang tidak puas terus melakukan berbagai cara untuk mencari dukungan antara lain dengan mengadakan pertemuan-pertemuan perwira, membentuk dewan-dewan yang memperjuangkan pembangunan daerah seperti Dewan Gajah, Dewan Banteng, Dewan Manguni, dan sebagainya. Gerakan-gerakan mereka mendapatkan simpati dari beberapa politisi pusat yang tersingkir dalam pertarungan antar elite politik di Jakarta (PSI dan Masyumi) yang kecewa dengan semakin menguatnya PKI. Jadi ada semacam persekutuan antara para militer daerah dan elite politik pusat yang kemudian berhijrah ke daerah untuk tujuan mereka masing-masing. Sebelum mutasi berjalan dengan baik, mereka sudah terlebih dahulu mengajukan sejumlah tuntutan kepada pemerintah pusat:
Pertama, Dwitunggal Sukarno-Hatta harus dikembalikan pada kedudukannya semula, dengan Hatta sebagai Perdana Menteri. Kedua, KSAD Nasution dan stafnya harus diganti. Ketiga, kaum komunis dibatasi dengan undang-undang.Keempat, dibentuk satu komando Sumatra dengan Padang sebagai pusatnya; dankelima, menjalin hubungan politik dan ekonomi yang erat dengan Permesta. Nasution sendiri menilai bahwa gerakan yang mengatasnamakan kepentingan daerah itu sesungguhnya lebih bertendensi kepada ‘persoalan intern Angkatan Darat’. Tuntutan pertama lebih diarahkan untuk mencari dukungan seluruh lapisan masyarakat, tuntutan kedua lebih merupakan manifestasi rivalitas para perwira, tuntutan ketiga lebih menunjukkan adanya ‘pengaruh politisi sipil pusat dari Masyumi dan PSI (Muhammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, dan Sumitro Djojohadikusumo) dan CIA. Tuntutan lainnya merupakan manifestasi ketidakpuasan perwira daerah terhadap anggaran operasional dari pusat.34
Untuk menyelesaikan ketegangan dengan para perwira pembangkang daerah ini, sebetulnya Nasution ingin mengambil jalan yang persuasif, namun perkembangan politik di Jakarta berjalan dengan cepat sehubungan dengan upaya pembunuhan terhadap Sukarno dalam Peristiwa Cikini yang melibatkan kelompok-kelompok tertentu dalam militer yang memiliki hubungan dengan pergolakan daerah, akhirnya pemerintah mengambil tindakan tegas untuk menghancurkan pemberontakan dengan kekerasan senjata. Keberhasilan operasi militer untuk menumpas PRRI dan Permesta melahirkan situasi baru dalam dunia militer dan politik di Indonesia. Dalam dunia militer, keberhasilan penumpasan pemberontakan berarti juga penyingkiran perwira-perwira yang tidak loyal kepada atasan, dan itu berarti tentara semakin solid dan memiliki tawar-menawar politik yang lebih tinggi kepada pemerintah. Selain itu cengkeraman militer (yang loyal kepada pusat) di daerah-daerah di luar Jawa semakin kuat, apalagi dengan adanya penerapan Undang-undang Darurat Militer pada tahun 1957. Dengan demikian, tentara masih memegang kontrol ekonomi atas daerah Luar Jawa, apalagi setelah adanya nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Jadi, meskipun satu faksi militer lokal telah berhasil dicabut dari akar warlordism yang menguasai sumber-sumber ekonomi lokal, namun sesungguhnya sumber ekonomi yang ditinggalkan itu dipegang kembali oleh ‘new warlords’ dari faksi militer lain yang merupakan kepanjangan tangan dari MBAD. Bahkan kedudukan mereka semakin kuat setelah perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisasi ‘diamankan’ oleh kelompok tentara yang menjadi sumber korupsi dan kehancuran perusahaan-perusahaan yang berjaya pada zaman Belanda. Jadi dalam soal ini, tidak ada keberhasilan apa pun yang diraih oleh pemerintah sipil pusat.
Dampak yang lain lagi, pemberontakan ini mendorong Presiden Sukarno untuk mempercepat apa yang sudah lama diinginkannya, yaitu diakhirinya sistem demokrasi parlementer yang tidak disukainya, karena dianggap kebarat-baratan. Secara ideologis, Sukarno memang sejak muda tidak pernah bersimpati kepada demokrasi liberal. Ia menganggap sistem itu terlalu menekankan kepada hak-hak politik rakyat, sementara yang lebih penting menurutnya, yaitu hak-hak ekonomi, diabaikan. Sebetulnya sejak tahun 1956, Sukarno mulai sering berpidato dengan nada mengkritik parlementarisme dan keseluruhan sistim politik yang berlaku saat itu. Salah satu yang terkenal di antaranya diucapkan pada kesempatan memperingati Hari Sumpah Pemuda, tanggal 28 Oktober 1956. Di depan para utusan organisasi-organisasi massa dan pemuda, Sukarno mengkritik habis-habisan, apa yang ia namakan “penyakit partai-partai”:35
“Kita telah telah melakukan kesalahan yang sangat besar dalam tahun 1945 ketika kita menyerukan pembentukan partai-partai, partai-partai, partai-partai... Mimpi saya adalah bahwa para pemimpin partai-partai itu akan bertemu, akan berkonsultasi satu sama lain, lalu bersama-sama sampai pada keputusan” mari kita sekarang bersatu untuk mengubur semua partai”. Pada tahun 1957, Sukarno melontarkan apa yang kemudian dikenal dengan nama “Konsepsi Presiden”. Konsepsi itu berisi pokok-pokok pikiran Sukarno, yang secara eksplisit dianggapnya sebagai alternatif dari sistem politik liberal yang sedang menurun legitimasinya, yang disebabkan oleh berbagai pemberontakan daerah. Konsepsi tersebut menjadi semacam pedoman strategis bagi langkah-langkah Sukarno untuk sesegera mungkin mengakhiri sistem demokrasi liberal yang berlaku saat itu. Konsepsi itu secara jelas menekankan apa yang dinamakan dengan “semangat musyawarah”, di mana semua kekuatan politik, termasuk PKI yang selama itu selalu terkucil, harus terwakili dalam pemerintahan. Implementasinya akan dibentuk Kabinet Gotong-royong, Parlemen Gotong-royong dan lain-lain yang semacam itu. Semua itu harus dengan jiwa dan semangat musyawarah, sesuai dengan “semangat Indonesia yang sejati”. Konsep ini memang jelas bertolak belakang dengan semangat demokrasi liberal, yang filosofinya ada pada perdebatan dan dialog-dialog yang argumentatif. Pihak yang mempunyai suara terbanyak nantinya akan menjadi pemenang. Inilah yang tidak disukai oleh Sukarno, karena dianggapnya sebagai pemicu dari perpecahan-perpecahan yang terjadi, serta selalu mengabaikan “musyawarah” dan “gotong-royong”. Lagi pula menurut Sukarno secara ekonomi, sistem liberal tidak akan membawa kemakmuran dan keadilan sosial seperti yang dinyatakan dalam undang-undang dasar.
Tidak ada reaksi penolakan yang cukup signifikan terhadap konsepsi ini, kecuali dari Masyumi dan PSI yang memang kondisinya sudah “sekarat” saat itu, dan tidak beberapa lama kemudian dibubarkan oleh pemerintah. Sementara itu kekuatan-kekuatan politik yang lain secara umum mendukungnya, meskipun dengan kadar yang berbeda-beda. Konsepsi ini mendapat dukungan penuh dari militer, karena adanya harapan posisi yang lebih baik bagi militer, termasuk posisi politiknya, dalam sistem yang baru itu. Dengan konstelasi politik yang demikian, jelas tidak ada halangan apapun, ketika pada 5 Juli 1959 Sukarno membubarkan parlemen dan memberlakukan kembali UUD 45. Sejak itu pula, era Demokrasi Liberal benar-benar berakhir riwayatnya, dan era Demokrasi Terpimpin secara resmi dimulai.
----------
31. Mayoritas perwira AD memilih Nasution sebagai calon ideal mereka dibanding dengan nama-nama lain yang disodorkan sebagai calon seperti Simbolon dan Gatot Subroto. Bahkan sejumlah perwira dari kelompok anti Peristiwa 17 Oktober, seperti Sudirman dari Brawijaya termasuk di antara yang mendukung Nasution. ibid, hlm.166. Hal ini membuktikan bahwa tidak seperti lawannya, kubu militer anti Peristiwa 17 Oktober ini bukanlah merupakan sebuah kelompok yang solid.
32. Ibid., hlm. 175.
33. Ibid., hlm. 174-175.
34. Lihat Prasetyo & Hadad, Jenderal tanpa Pasukan, hlm. 108-109. Lima hari sebelum diproklamirkannnya PRRI pada tanggal 15 Februari 1958, para pemberontak telah mengeluarkan ultimatum yang isinya sama-sekali tidak menyinggung tentang isu-isu kedaerahan:
1) Dalam waktu 5 x 24 jam Kabinet Djuanda harus menyerahkan madnatnya Presiden; 2) Presiden menugaskan Drs. Mohammad Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX untuk membentuk Zaken Kabinet. Lebih jelasnya lihat dalam S. Marzoeki, “Dukungan Negara-negara Asing Terhadap PRRI/Permesta (1958-1961)”,makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Mahasiswa Sejarah V (Pekanbaru: 25-26 Juli 1995).
35. Ulf Sundhaussen, op.cit, hlm. 221-222.
Peran Politik Militer pada Masa Demokrasi Terpimpin
Sebagai suatu sistem, Demokrasi Terpimpin memang tidak bisa dibandingkan dengan era sebelumnya, baik dalam “kedemokratisan” maupun “keliberalannya”. Meskipun demikian, pola otoriterianismenya juga tidak sama persis dengan pola-pola yang dianut rezim-rezim otoriter yang lain, seperti Jerman di bawah Hitler atau Uni Soviet di bawah Stalin. Sukarno memang berkuasa hampir mutlak, tetapi dalam batas-batas tertentu, ia juga tergantung kepada kerja sama dengan militer mengingat dukungan mereka terhadap sistem Demokrasi Terpimpin dan kesamaan sikap keduanya dalam penentangannya terhadap sistem Demokrasi Liberal. Peristiwa 17 Oktober 1952 telah membuktikan sikap oposisional dari sebagian unsur militer terhadap tatanan liberal ini. Jadi ada kesamaan dalam oposisi kedua figur tersebut terhadap sistem parlementer yang liberalistik, meskipun dasar-dasar filosofisnya berbeda sekali. Untuk beberapa lama bisa tercipta koalisi terbatas antara militer dengan Sukarno, sehingga terkesan ada dukungan kuat dari militer terhadap sistem demokrasi baru versi Sukarno ini. Hanya saja, dukungan mereka ini sama sekali tidak gratis, karena begitu banyak konsesi yang didapat oleh militer dalam masa itu. Pengaruh mereka di sektor perekonomian, yang dimulai ketika perusahaan-perusahaan Belanda diambil alih tahun 50-an, tidak diganggu-gugat oleh Presiden. Pengaruh politik militer juga bertambah di era tersebut. Dalam susunan kabinet yang dibentuk dalam bulan Juli 1959, hampir sepertiga menteri diangkat dari kalangan militer. Militer juga mempunyai wakil di DPRGR dan MPRS, lembaga legislatif baru yang dibentuk di era Demokrasi Terpimpin. Ini menambah bobot dan legitimasi politik dari golongan militer, dan semakin memantapkan mereka untuk terjun secara penuh dalam arena politik. Sejak berakhirnya pemberontakan-pemberontakan daerah pada akhir tahun 1950-an, militer mempunyai legitimasi yang lebih kuat bagi keterlibatannya dalam masalah-masalah sosial dan politik, ketika Undang-undang Keadaan Bahaya (SOB) diberlakukan oleh pemerintah. Peristiwa-peristiwa selanjutnya, seperti kampanye pembebasan Irian Barat (Trikora) juga menambah lagi bobot politik militer, karena kewenangan-kewenangannya semakin diperluas. Meskipun begitu secara ideologis dan politis, Angkatan Bersenjata itu sama sekali tidak homogen. Angkatan Darat, di bawah Nasution memiliki loyalitas yang terbatas kepada Presiden Sukarno. Namun demikian berbeda dengan Sukarno, kalangan militer miliki sikap anti komunis yang kuat. Sikap itu cukup dominan di kalangan korps perwira AD, meskipun dengan tingkatan yang berbeda-beda dan dengan beberapa pengecualian serta adanya beberapa klik di antara para perwira senior. Ada kecenderungan “Sukarnois” di jajaran Divisi Diponegoro dan Brawijaya, sementara hal itu tidak terlihat di jajaran Divisi Siliwangi di Jawa Barat. Situasi itu juga diketahui oleh Sukarno yang berusaha agar kecenderungan itu tidak terus berlanjut. Sukarno juga tahu selama AD di bawah Nasution, ia tidak bisa berbuat terlalu banyak. Oleh karena itu ia menunggu-nunggu saat yang tepat untuk dapat menyingkirkan Nasution. Kesempatan itu datang pada tahun 1962, ketika akhirnya seorang perwira tinggi AD yang menjabat sebagai Deputi II KSAD, Mayjen Ahmad Yani dilantik sebagai KSAD yang baru, menggantikan Nasution. Nasution sendiri dipromosikan ke dalam jabatan yang lebih tinggi tetapi kurang strategis, yaitu Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata. Berbeda dengan Nasution, Yani tidak begitu kritis terhadap Sukarno, bahkan cenderung loyal kepadanya. Fakta bahwa ia orang Jawa dan bekas perwira Diponegoro mungkin bisa menjelaskan hal tersebut. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa ia akan bersikap lunak kepada PKI. Dalam isu-isu strategis yang dilontarkan PKI, seperti isu Angkatan Kelima dan Nasakomisasi Angkatan Bersenjata, Yani secara keras menentangnya. Melihat pertentangan antara AD dan PKI, justru di situlah letak kekuatan Sukarno terlihat dengan jelas sebagai penyeimbang dengan konsekuensi jika betul-betul terjadi perbenturan di antara keduanya maka keseimbangan itu akan hancur dan tentu kekuatan Sukarno akan sulit dipertahankan.
Di lain pihak Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian, mempunyai sikap yang berkebalikan. Terutama untuk AURI di bawah komando Suryadarma dan kemudian Omar Dhani, mempunyai sikap politik yang lebih bersesuaian dengan golongan kiri termasuk menanggapi positif ide-ide mereka. Sementara AD menentang keras wacana pembentukan Angkatan Kelima, AURI justru mendukungnya. AURI, Angkatan Laut, serta Kepolisian secara penuh juga mendukung kampanye Dwikora, baik dalam retorika maupun aksi. Ini berbeda dengan AD, yang hanya mendukung secara verbal saja, tanpa suatu aksi yang nyata. Polarisasi antara ketiga angkatan tersebut berhadapan dengan AD direstui kalau bukannya didorong oleh Presiden, yang mengetahui betul betapa besar potensi destruktif yang ada dalam AD, terhadap kepemimpinan dan gagasan-gagasan politiknya. Sukarno memilih taktik “adu domba”, karena sadar tidak bisa menekan AD terlalu mencolok. Sikap menahan diri ini dilakukan mengingat militer belum mempunyai bayangan yang jelas akan prospek kemenangan yang dapat mereka raih apabila mereka memilih berkonfrontasi langsung dengan Presiden.
Berbeda dengan saat menghadapi Presiden, militer lebih bersikap keras dalam masalah rivalitasnya dengan PKI. Peristiwa Jengkol, Peristiwa Bandar Betsy, membuktikan hal itu. Di tingkat wacana, militer juga memilih sikap yang konfrontatif dalam menanggapi isu dan wacana yang dilontarkan oleh PKI, seperti dalam isu tentang Angkatan Kelima dan Nasakominasi Angkatan Bersenjata. “Perang Dingin” antara PKI dan Angkatan Darat ini berlangsung terus sepanjang bulan-bulan terakhir menjelang meletusnya Peristiwa G30S, ketika situasinya kemudian berkembang menjadi konflik yang terbuka.
Gerakan 30 September dan Peran Tentara
Sejak awal, tragedi nasional yang sering disebut sebagai Peristiwa G30S, sudah diliputi misteri yang sulit dipecahkan hingga saat ini. Kesimpangsiuran peristiwa ini justru telah menimbulkan berbagai pendapat, interpretasi, bahkan spekulasi mengenai kejadian sebenarnya yang ada di balik peristiwa itu, terutama ketika berbicara soal dalang yang ada di balik peristiwa itu dan bagaimana serta mengapa terjadi. Secara garis besar paling tidak ada lima versi mengenai siapa dalang di balik G30S, yaitu: 1. PKI dan Biro Khususnya (versi Oder Baru), 2. Sebuah Klik Angkatan Darat (Cornell Paper, Wertheim), 3. CIA/ Pemerintah AS (Peter Dale Schott, G. Robinson), 4. Presiden Sukarno (John Hughes, Antonie Dake), 5. Tidak ada pelaku tunggal (Nawaksara, Manai Sophiaan).36
Segera setelah peristiwa naas itu terjadi, pihak AD yang dikuasai oleh kelompok Soeharto yang melahirkan Orde Baru, menyimpulkan bahwa dalang G30S adalah PKI, yang mematangkan rencana gerakan itu pada saat Presiden Sukarno sakit keras pada awal Agustus 1965.37
Bahkan menurut Pauker, rencana PKI untuk melakukan kudeta itu sudah dibuat sebelum isu Dewan Jenderal muncul pada bulan Mei 1965.38
Pemerintah Orde Baru telah beberapa kali menerbitkan ‘buku putih’ tentang tragedi itu.39
Menurut banyak “buku putih” itu penggerak utama G30S adalah Biro Chusus PKI. Biro Chusus ini juga disebut sebagai Biro Penghubung atau Biro Tentara. Biro ini dibentuk oleh Ketua CC PKI, DN Aidit, pada tahun 1964 yang bertugas untuk melakukan penyusupan ke tubuh ABRI. Biro ini bersifat rahasia. Bahkan di kalangan PKI sendiri tidak mengetahui secara terbuka keberadaan biro ini. Struktur organisasi biro berada langsung di bawah koordinasi Aidit sebagai Ketua CC PKI. Di tingkat pusat dibentuk Biro Chusus Central (BCC) yang bertugas mengkoordinasi Biro Chusus Daerah (BCD). BCC dipimpin oleh Sjam yang bertanggung jawab langsung kepada Aidit. Jadi, melalui Sjam inilah PKI secara organisatoris dipandang terlibat bahkan sebagai dalang peristiwa G30S.
Versi kedua yang mengatakan bahwa dalang G30S adalah sebuah klik AD dikemukakan oleh para peneliti dari Cornell University (Ben Anderson, Ruth McVey, dan Frederick Brunell). Hasil penelitian mereka diberi judul “A Preliminary Analysis of the October 1, 1965: Coup in Indonesia” menjadi bahan diskusi yang di berbagai seminar informal di Cornell, sehingga hasil penelitian yang diseminarkan itu sering disebut sebagai Cornell Paper. Pada intinya mereka berkesimpulan bahwa peristiwa G30S merupakan puncak konflik intern di kalangan AD yang sejak awal pembentukannya sudah memiliki kesadaran bahkan ambisi politik. Kesimpulan ini didasarkan atas fakta bahwa seluruh pelaksana operasi adalah tentara, terutama Angkatan Darat dan Angkatan Udara. Sementara itu kekuatan yang menghancurkan gerakan itu juga dari kalangan tentara sendiri.40
Dalam hubungan itu Wertheim mengatakan bahwa peranan PKI hanyalah peranan samping. Peranan itu dimainkan oleh Aidit dalam hubungannya dengan Sjam yang sudah lama dikenalnya dan baru menyatakan diri masuk PKI awal tahun 1960-an. Sjam kemudian menjadi tokoh kunci dalam jaringan hubungan PKI dengan sekelompok perwira AD yang bersifat rahasia. Bahkan jaringan itu tidak banyak diketahui oleh para pucuk pimpinan PKI, apalagi para anggotanya. Menurut Wertheim, Sjam sebetulnya merupakan agen ganda yang bekerja baik untuk Aidit maupun untuk AD.41
Namun demikian, ada kemungkinan Sjam merupakan agen AD yang disusupkan ke PKI untuk memancing agar terlibat dalam suatu gerakan yang pada akhirnya bisa menjadi dalih bagi AD untuk menghabisinya.42
Pendapat yang menekankan peranan AD sebagai dalang G30S juga dikemukakan oleh Harold Crouch, menjelang peristiwa naas itu Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) pecah menjadi dua faksi. Kedua faksi
ini sebetulnya sama-sama bersikap anti PKI, meskipun berbeda sikap ketika berhadapan dengan Presiden Sukarno. Faksi yang pertama merupakan “faksi tengah” yang loyal kepada Sukarno. Faksi yang dipimpin oleh Menpangad Mayjen Ahmad Yani yang menentang kebijakan Sukarno tentang persatuan nasional di mana PKI berada di dalamnya. Faksi kedua adalah “faksi kanan” yang menentang Sukarno dan menentang kebijakan Yani yang bernapaskan Sukarnoisme. Jenderal Nasution dan Mayjen Soeharto termasuk dalam faksi ini. Peristiwa 30 September yang berdalih ingin menyelamatkan Sukarno, sesungguhnya ditujukan untuk menyingkirkan “faksi tengah” untuk melapangkan jalan bagi “faksi kanan” untuk berkuasa.43
Sementara itu versi ketiga yang berpendapat bahwa dalang G30S adalah CIA dikemukakan antara lain oleh Peter Dale Scott dan Geofrey Robinson. CIA (Amerika Serikat) memandang kecenderungan haluan politik Sukarno yang mengarah “ke kiri” sangat merisaukan Amerika Serikat. Jika Indonesia jatuh ke tangan pemerintahan komunis, maka posisi Amerika di Asia Tenggara menjadi sangat teancam karena Vietnam sudah terlebih dahulu dikuasai oleh rezim komunis (teori Domino). Di mana-mana agen asing tidak bisa bekerja tanpa bantuan unsur kekuatan dalam negeri. Oleh karena itu CIA menjalin hubungan yang mesra dengan sebuah klik AD untuk memprovokasi PKI agar melakukan tindakan, untuk kemudian dihabisi. Menjelang meletusnya drama berdarah itu Amerika telah berbaik hati untuk mendidik para perwira AD dengan kemasan program Military Asitance Program (MAP). Pada tahun 1963 ada sekitar 30 perwira AD dikirim ke AS, 29 perwira pada tahun 1964, dan 47 perwira pada tahun 1965. Hubungan baik CIA juga ditujukan kepada SESKOAD.44 Versi lain tentang dalang G30S dibahas pada bab-bab lain di buku ini juga.
Banyaknya pendapat dan interpretasi di seputar peristiwa G30S menunjukkan bahwa peristiwa itu sangat complicated, dan diselimuti kabut yang kemungkinan besar merupakan pekerjaan yang direncanakan oleh operasi intelijen yang canggih. Oleh karena itu topik ini masih menjadi wilayah perdebatan yang tidak ada habisnya. Kalau pertanyaan yang diajukan oleh masyarakat terhadap tragedi ini masih terbatas pada pertanyaan yang bersifat kronikel yaitu “apa”, “kapan”, “di mana” dan “siapa”, mungkin telah banyak dijawab dan tidak banyak menimbulkan perdebatan, karena sebagian pelakunya masih hidup dan peristiwanya sendiri masih diingat (remembered event), meskipun mungkin sudah mengalami distorsi. Namun ketika diajukan pertanyaan yang lebih kritis, maka mulailah perdebatan itu lebih seru, misalnya pertanyaan tentang “siapa” yang berada di balik siapa yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu? Kapan rencana pembunuhan itu disusun dan siapa yang terlibat? Arena perdebatan menjadi semakin luas ketika pertanyaan-pertanyaan historis mulai diajukan yaitu “bagaimana” dan “mengapa”. Oleh karena itu bisa dipahami jika klaim kebenaran sejarah (historical truth) sangat beragam, dan oleh karena itu pula kebenaran sejarah yang tunggal sulit diterima. Dalam konteks itu, apapun versinya keterlibatan personel-personel Angkatan Darat (AD) dalam peristiwa G30S tidak bisa dibantah lagi. Indikator keterlibatan AD dapat dilihat dari berbagai segi, misalnya para pimpinan, pelaku, korban, aksi-aksi pasca G30S dan sebagainya yang semuanya melibatkan para personal dan bahkan organisasi AD. Namun demikian, kenyataan itu belum memberikan bukti yang pasti bahwa AD menjadi dalang G- 30-S. Oleh sebab itu bagian berikut ini akan dideskripsikan mengenai keterlibatan anasir-anasir AD dalam rangkaian peristiwa G30S dengan menggunakan berbagai sumber sekunder. Dalam hal ini keterlibatan militer dalam peristiwa G30S akan dilihat dari siapa pemimpinnya, siapa pelaksananya, dan siapa korbannya, serta siapa yang menumpasnya. Dengan demikian peranan tentara dalam peristiwa ini bisa dilihat secara lebih jelas.
---------
36. Lihat Asvi Warman Adam, ‘Kontrol Sejarah Semasa Pemerintahan Soeharto’, makalah disampaikan pada Seminar Pra-Kipnas: Memandang Tragedi Nasional 1965 Secara Jernih (Serpong: 8 September 1999), hlm. 6-9. Lihat juga Asvi Warman Adam, “Keterlibatan Tentara dalam Percobaan Kudeta”, dalam Asvi Warman Adam, Pelurusan Sejarah Indonesia; Yogyakarta: Tride, 2004, hlm. 141-144. Lihat juga Tim ISAI, Bayang-bayang PKI; Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 1995, hlm. 37-38.
37. Lihat misalnya Seksi Penerangan Komando Operasi Tertinggi, Tjatatan Kronologis di Sekitar Peristiwa G30S/PKI (Djakarta: KOTI, 1965.
38. G.J. Pauker, The Rise and Fall of the Communist Party of Indonesia; Santa Monica: Rand Corporation, 1969.
39. Ada beberapa ‘buku putih’ peristiwa G30S yang diterbitkan oleh pemerintah ORBA antara lain Nugroho Notosusanto & Ismail Saleh, The Coup Attempt o the ’30 September Movement’ in Indonesia;
Djakarta: Pembimbing Mas, 1968; Dinas Sejarah Angkatan Darat, Pemberontakan PKI dan Penumpasannya; Jakarta: 1974; Kantor Sekretariat Negara, Gerakan 30 September: Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya; Jakarta: 1994, dan sebagainya.
40. Naskah Cornell Paper telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia, lihat B.R.O’G Anderson & R.T.McVey, Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Analisis Awal; Yogyakarta: LKPSM-Syarikat, 2001.
41. Tim ISAI, Bayang-bayang PKI, 22.
42. Ben Anderson mencatat bahwa Sjam merupakan tokoh misterius yang penuh petualangan. Ia pernah menjadi Ketua Ranting PSI Rangkasbitung tahun 1951. Bahkan pada masa revolusi ia pernah menjadi intel Recomba Jawa Barat (buatan Belanda). Pada akhir tahun 1950-an ia menjadi informan dari komandan KMK (Komando Militer Kota) Jakarta. Lihat ‘Ben Anderson tentang Pembunuhan Massal 1965’, dalam: www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1996/09/28/0063.html
43. Tim ISAI, op.cit, hlm. 18.
44. ibid, hlm. 27.
Para Pemimpin Gerakan
Sebetulnya Gerakan 30 September mulai dipersiapkan sejak paro kedua bulan Agustus 1965 oleh Kolonel A. Latief (Komandan Brigif I Teritorium V Jaya), Letkol Untung (Komandan Yon I Cakrabirawa), Mayor Udara Sujono (Komandan Pengawal Pangkalan Udara Halim), dan Brigjen M.S. Supardjo (Komandan Kopur IV Kalimantan Barat), ketika desas-desus mengenai rencana Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta tanggal 5 Oktober 1965. Untung melakukan persiapan itu karena mendapatkan tugas dari Sukarno untuk membereskan Dewan Jenderal.45
Selama bulan Agustus dan September mereka telah melakukan pertemuan sebanyak sepuluh kali. Dalam berbagai pertemuan itu dibicarakan berbagai persoalan yang menyangkut sakitnya Presiden Sukarno dan adanya isu tentang Dewan Jenderal yang akan merebut kekuasaan, tindakan yang harus dilakukan terhadap rencana Dewan Jenderal. Selain itu juga dibicarakan mengenai pembentukan Central Komando (CENKO). Dalam hal ini Untung disepakati sebagai Ketua, sedangkan Latief diberi tanggung jawab untuk mempersiapkan pasukan dan penguasaan teritorial. Sementara itu Sujono diberi tugas untuk mengurusi logistik, di samping harus mengamankan situasi Lubang Buaya (di kawasan pangkalan udara Halim).46
Dalam berbagai rapat persiapan juga dibicarakan rencana pembentukan Dewan Revolusi. Rencananya Untung disepakati sebagai ketua Dewan Revolusi, sedangkan wakil-wakilnya adalah Brigjen Supardjo, Letkol. Heru Atmodjo (AU), Kolonel Sunardi (AL) dan Wakil Komisaris Besar Polisi Anwas (Polisi). Tampaknya pencantuman anggota Dewan Revolusi tidak didasari atas pertimbangan yang matang dan terkesan tergesa-gesa. Hal yang fatal nama Presiden Sukarno tidak dicantumkan dan ada beberapa nama jenderal yang sama sekali berada di kubu lain seperti Mayjen Basuki Rachmat dan Brigjen Amir Machmud.Jika dokumen mengenai pengumuman Untung tentang anggota Dewan Revolusi yang dibacakannya lewat radio pada pukul 11.00 tanggal 1 Oktober 1965 benar, maka akan terlihat dengan jelas peranan angkatan bersenjata dalam kemelut ini. Dari 45 anggota Dewan Revolusi, empat orang komunis (satu disebutkan secara eksplisit, yaitu Tjugito, sedangkan yang lain tanpa keterangan bahwa ia komunis).47
Sementara itu jumlah personel AD yang dicantumkan berjumlah 11 orang, Angkatan Laut 3 orang, Kepolisian 4 orang, Angkatan Udara 4 orang.48 Memang betul bahwa beberapa tokoh penting berada di Halim pada saat pembunuhan para jenderal terjadi, namun itu bukan berarti bahwa mereka adalah pimpinan G30S. Kehadiran Aidit di Halim misalnya, terjadi atas pengaturan Brigjen Suparjo dan Sjam yang menugaskan Mayor Udara Sujono untuk menjemput Aidit. Dari berbagai sumber mengesankan bahwa Aidit tidak tahu pasti mengapa ia di bawa ke Halim.49
Di berbagai daerah G30S juga dipimpin oleh anasir-anasir AD. Di KODAM Diponegoro, kepemimpinan G30S dipegang oleh Kolonel Saherman, Kolonel Marjono, dan Letkol Usman Sastrodibroto yang selama beberapa waktu berhasil mengambil alih komando Divisi Diponegoro dari tangan Brigjen Soerjosoempeno. Di Salatiga, pengambilalihan terhadap komando militer setempat juga dilakukan oleh personel tentara, yaitu Letnan Kolonel Idris. Sementara itu pimpinan G30S di Yogyakarta adalah Mayor Mulyono.50
---------
45. ibid, hlm. 32.
46. M.R. Siregar, Naiknya Para Jenderal; Medan: SHRWN, 2000, hlm. 71.
47. Anderson & McVey, Kudeta 1 Oktober 1965, hlm. 222-224.
48. Soegiarso Soerojo, Siapa Menabur Angin akan Menuai Badai: G 30 S-PKI dan Peran Bung Karno;
Jakarta: Antar Kota, 1989, hlm. 208-209.
49. Siregar, Naiknya Para, hlm. 27-29.
50. Anderson & McVey, Kudeta 1 Oktober 1965, hlm. 84-87. Nugroho Notosusanto, Tragedi nasional Percobaan Kup G 30 S/PKI di Indonesia (Jakarta: Intermasa, 1989), hlm. 30-44.
Pelaksana G30S
Dalam berbagai pertemuan telah diputuskan bahwa pasukan yang bergerak di bawah SENKO dibagi dalam tiga grup:
1. Grup Pasopati yang berada di bawah pimpinan Letnan Satu Dul Arif dan Letnan Dua Siman. Mereka membawahi satu kompi, masing-masing dari Batalion Kawal Kehormatan 1 Resimen Tjakrabirawa, Batalion Para 454, Batalion Para 530, dan dua peleton masing-masing dari Brigade Infanteri 1, Kesatuan Pasukan Para Angkatan Udara, serta Kesatuan Kavaleri. Mereka bertugas menculik anggota utama Dewan Jenderal dan dibawa ke Lubang Buaya. Dalam daftar nama siapa-siapa yang akan diculik terdapat: Nasution, Yani, Suprapto, Harjono M.T., S. Parman, D.I. Panjaitan, Sutojo Siswomihardjo, dan A. Sukendro. Akan tetapi khusus untuk Sukendro, beberapa saat menjelang aksi Gerakan namanya dicoret dari daftar, karena dia sedang berada di luar negeri.
2. Kesatuan Bimasakti yang berada di bawah komando Kapten Suradi diberi tugas menguasai Jakarta dan menguasai tempat-tempat penting. Kota dibagi menjadi enam sektor. Tempat-tempat penting di sektor pertama yaitu Lapangan Merdeka dan sekitarnya, di mana terdapat Istana Presiden di Merdeka Utara, stasiun radio di Merdeka Barat dan gedung telekomunikasi di Merdeka Selatan. Pasukan ini terdiri dari tiga kompi yang masih tersisa dari Batalion Para 454, empat kompi yang tersisa dari Batalion 530. Kesatuan ini juga mendapat tugas untuk membantu kesatuan Pasopati.
3. Kesatuan Pringgodani dipimpin Mayor Udara Sujono terdiri dari satu Batalion Pasukan Para Angkatan Udara dan pasukan cadangan serta kekuatan massa yang dipersenjatai. Mereka bertugas mengamankan Lubang Buaya, menguasai logistik dan menerima para jenderal yang ditangkap oleh pasukan Pasopati.51 Tentang keberadaan dua Batalion Para dalam gerakan ini, masing-masing Batalion 454 Diponegoro dan Batalion 530 Brawijaya, dapat dijelaskan bahwa dalam rangka perayaan 5 Oktober (Hari Angkatan Perang) keduanya hadir Jakarta, berdasar panggilan dari Pangkostrad dengan radiogram tertanggal 21 September 1965. Selain kedua batalion tersebut, telah datang juga memenuhi radiogram Pangkostrad yaitu Batalion 328 Para/Siliwangi, Kesatuan (Tank/Panser) Kostrad dari Bandung (Batalion 2 Kavaleri) dan kesatuan artileri dari Cimahi, untuk datang ke Jakarta pada tanggal 28 September 1965 dengan perlengkapan tempur “Siaga Satu”. Kesatuan Pasopati yang bertugas menculik para jenderal dikumpulkan di Lubang Buaya pada pukul 02.30 dini hari, dan mendapat briefing tentang tugasnya, untuk menyelamatkan Presiden dan bangsa. Seluruh operasi dipimpin oleh Lettu Dul Arief, bawahan Untung dalam Cakrabirawa. Pasukan dibagi dalam tujuh unit yang tidak sama besar, dan setiap unit bertugas membawa seorang jenderal. Kesatuan-kesatuan itu diatur sebagai berikut:52
1. Sub-kesatuan Pembantu Letnan Dua Djahurub dari Resimen Cakrabirawa yang terdiri dari satu regu Batalion I Resimen Cakrabirawa, satu peleton masing-masing dari Pasukan Para 454 dan 530, Kesatuan Pasukan Para Angkatan Udara, dan satu peleton sukarelawan dan Pemuda Rakyat yang bertugas untuk menahan dan menyerahkan Jenderal A.H. Nasution.53
2. Sub-kesatuan yang berada di bawah komando Letnan Satu Mukidjan dari Brigade 1 yang terdiri dari masing-masing satu peleton Brigade Infanteri 1, Batalion Pasukan Para 454 dan 530, satu regu dari Cakrabirawa, serta dua regu dari Pemuda Rakyat bertugas untuk mengambil Letjen Ahmad Yani.
3. Sub-kesatuan yang dipimpin oleh Sersan Kepala Sulaiman yang membawa dua regu dari Resimen Cakrabirawa bertugas untuk mengambil Mayjen Suprapto.
4. Sub-kesatuan yang berada di bawah komando Sersan Mayor Satar yang terdiri dari satu regu Cakrabirawa dan satu peleton dari Batalion 530 bertugas menahan Mayjen S. Parman.
5. Sub-kesatuan yang bertugas untuk mengambil Brigjen Sutoyo Siswomiharjo berada di bawah komando Sersan Mayor Surono dari Cakrabirawayang terdiri dari tiga regu resimen Cakrabirawa.
6. Sub-kesatuan yang berada di bawah komando Sersan Kepala Bungkus dari Cakrabirawa yang membawa tiga regu tentara bertugas untuk mengambil Mayjen M.T. Haryono.
7. Sub-kesatuan yang berada di bawah pimpinan Sersan Mayor Sukardjo dari Batalion 454 yang terdiri dari masing-masing satu regu Brigade Infanteri 454 dan Brigade Infanteri 1 bertugas untuk mengambil Brigjen D.I. Pandjaitan.Gerakan itu berhasil menculik (istilah mereka sendiri menangkap) enam orang perwira tinggi, dan karena suatu kekeliruan, seorang perwira pertama AD dari rumah masing-masing. Mereka masing-masing adalah Letjen Ahmad Yani, Menteri Panglima Angkatan Darat; Mayjen Soeprapto, Deputy Administrasi Menpangad; Mayjen M.T. Harjono, Deputy III Menpangad; Mayjen S. Parman, Asisten I Menpangad; Brigjen Donald Izaacus Panjaitan, Asisten IV Menpangad; dan Mayjen Soetojo Siswomihardjo, Kepala Odituriat Militer AD. Sementara itu satu target mereka, Jenderal Abdul Harris Nasution, Menteri Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata berhasil meloloskan diri. Akan tetapi ajudannya, seorang perwira pertama berpangkat Letnan Satu, ikut diculik dan dibawa ke Lubang Buaya. “Tumbal” yang lain dari lolosnya Nasution ini ialah putrinya sendiri, seorang gadis kecil berusia 4 tahun yang terluka akibat peluru nyasar dan meninggal beberapa hari kemudian. Dari enam orang jenderal sisanya, tiga orang ditembak mati di rumahnya karena melawan, sedangkan tiga lainnya dieksekusi di Lubang Buaya, termasuk Letnan Satu Pierre Tendean, ajudan Nasution. Mayat ketujuh orang itu dimasukkan ke dalam sebuah sumur tua di kawasan yang sama. Pada saat yang hampir bersamaan unit-unit militer yang pro kudeta juga bergerak ke pusat kota, menduduki lapangan Merdeka, Stasiun Pusat RRI dan kawasan sekitar Istana Presiden. Di Lubang Buaya sendiri sejumlah tokoh inti kudeta telah berada di sana pada saat kudeta dimulai. Bahkan ada yang telah berhari-hari mempersiapkan segala sesuatunya di Lubang Buaya, di antaranya Letnan Kolonel Untung Sutopo, Komandan Batalion I Kawal Kehormatan (KK); Brigadir Jenderal Supardjo, Panglima Komando Tempur II Kolaga; Kolonel Abdul Latief, Komandan Brigade Infantri I/Jaya; Mayor Udara Soejono, komandan Pasukan Pertahanan Pangkalan Halim (P3AU); Mayor Udara Gatot Sukrisno, dan Letnan Kolonel Udara Heru Atmojo, seorang perwira intel di Mabes AU. Sementara itu di Pangkalan Halim, Menteri Panglima Angkatan Udara, Laksamana Madya Udara Omar Dhani telah hadir di sana. Malam sebelumnya ia telah membahas tentang adanya gerakan tersebut bersama sejumlah perwira tinggi dan menengah AURI. Di Halim juga hadir Ketua CC PKI D.N. Aidit, tepatnya di rumah Sersan Udara Suwardi, seorang bintara P3AU yang menempati rumah di kompleks pangkalan udara Halim. Menurut beberapa sumber, Aidit selalu ditemani oleh Kamaruzaman alias Sjam, seorang sipil misterius, yang diduga mempunyai peran besar dalam peristiwa-peristiwa penting di hari-hari tersebut. 54
Dengan demikian sebagian besar para pelaksana G30S juga berasal dari kelompok militer, terutama AD. Hal ini terjadi karena memang G30S merupakan sebuah gerakan militer. Keterlibatan orang sipil
dalam pelaksanaan gerakan itu, seperti sukarelawan Dwikora, merupakan supplement belaka yang tentu saja masih diteliti lebih lanjut.
----------
51. Basuki Gunawan, Kudeta staatsgreep in Djakarta: De achter gronden van de 30 September-beweging in Indonesie; MeppeL: J.A. Boom en Zoon, 1968. Lihat juga Notosusanto dan Shaleh, op.cit, hlm. 12.
52. Sebagian besar keterangan mengenai persoalan ini diambil dari Notosusanto & Shaleh, op.cit, hlm. 14-15.
53. Keterlibatan sukarelawan Dwikora dan Pemuda Rakyat dalam mengambil para jenderal ini diragukan apakah mereka benar-benar Pemuda Rakyat dan sukarelawan yang sedang dilatih di Lubang Buaya dalam rangka Dwikora atau pelaku lain, dan apakah mereka hanya bertugas di Lubang Buaya saja setelah para jenderal dibawa oleh para kesatuan yang sudah diatur tugasnya. Lihat Siregar, op.cit, hlm. 33-42.
54. Versi standar Orde Baru menyebut Sjam sebagai Ketua Biro Khusus PKI, yang tugas pokoknya adalah merekrut pengikut dari kalangan militer. Versi tersebut juga menyebutnya sebagai orang yang berperan sentral dalam kudeta, karena ia yang menjadi penghubung antara para pelaku gerakan dengan pimpinan PKI. Akan tetapi tidak semua pengamat setuju dengan kesimpulan itu. Secara ekstrem bahkan ada yang berteori bahwa justru militerlah yang menyusupkan Sjam ke dalam PKI.
Serangan Balik
Sebagaimana disinggung di depan bahwa pada awalnya G30S dimaksudkan untuk menjadi gerakan kontra kudeta untuk mencegah kudeta yang dilakukan oleh Dewan Jenderal. Oleh karena itu target dari G30S adalah para jenderal yang diduga menjadi anggota Dewan Jenderal. Masyarakat umum mendengar adanya G30S dari siaran berita RRI Jakarta pada pukul 07.00 pagi hari, tanggal 1 Oktober 1965. Siaran itu menyebutkan telah terjadinya “gerakan militer dalam Angkatan Darat” yang dinamakan “Gerakan 30 September” yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalion Cakrabirawa, Pasukan Pengawal Pribadi Presiden. Gerakan ditujukan kepada jenderal-jenderal anggota Dewan Jenderal yang telah merencanakan sebuah kup menjelang Hari Angkatan Perang. Siaran itu juga menyebutkan bahwa sejumlah jenderal telah ditangkap, alat-alat komunikasi yang penting-penting serta objek-objek vital lainnya telah dikuasai oleh gerakan tersebut, Sementara itu Presiden Sukarno dalam keadaan aman di bawah perlindungan mereka. Diterangkan juga bahwa akan dibentuk “Dewan Revolusi Indonesia” mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat desa.55
Selanjutnya pada pukul 11.00 disiarkan sebuah dekret yang intinya menyatakan bahwa seluruh kekuasaan negara Indonesia telah dialihkan kepada suatu Dewan Revolusi Indonesia yang akan memegang pemerintahan sampai pemilihan umum dapat diselenggarakan. Dalam siaran ini juga diumumkan susunan komando Gerakan 30 September yang dikomandani oleh Letkol Untung, dengan wakil-wakilnya adalah Brigjen Soepardjo dari Angkatan Darat, Kolonel Laut Sunardi dari Angkatan Laut, Letkol Udara Heru dari Angkatan Udara, dan Ajun Komisaris Besar Polisi Anwas dari Angkatan Kepolisian.Aneh sekali, bahwa di satu pihak G30S ingin menyelamatkan Presiden, tetapi di pihak lain siaran itu tidak menyebut peran dan posisi Presiden Sukarno dalam rencana penyusunan struktur kekuasaan Indonesia yang baru, bahkan kabinet RI yang di dalamnya termasuk juga Presiden Sukarno, dinyatakan dalam keadaan demisioner. Siaran-siaran itu berkontradiksi satu dengan yang lainnya. Dengan demikian mengesankan bahwa gerakan itu sama sekali bukan sekedar persoalan intern Angkatan Darat atau sekedar persoalan penyelamatan Presiden dari aspek teknis pengamanan saja. Hal ini di kemudian hari menjadi senjata yang sangat ampuh bagi lawan-lawannya untuk menghancurkan seluruh gerakan itu dengan pembenaran bahwa suatu “pemberontakan” sedang “ditumpas”. Kesan ini seolah diperkuat dengan keluarnya pernyataan Komandan Resimen Cakrabirawa, Brigjen Sabur, yang notabene merupakan atasan Untung, melalui stasiun radio yang sama, bahwa Presiden Sukarno dalam ”keadaan yang sehat” dan “tetap memimpin negara”. Sejauh diketahui, Brigjen Sabur tidak mempunyai peran sama sekali dalam gerakan tersebut, dan isi pengumuman itu berlawanan dengan pernyataan Untung sebelumnya yang menyatakan bahwa gerakan yang dipimpinnya itu merupakan satu-satunya sumber kekuasaan di Indonesia.
Meskipun terdapat kabar yang simpang-siur, ada juga sejumlah dukungan terhadap G30S pada tanggal 1 Oktober itu juga. Atas nama korpsnya, Panglima AURI Omar Dhani, yang sudah tahu akan adanya gerakan tersebut, menyatakan dukungan penuhnya terhadap G30S. Di Semarang, Solo, dan Yogyakarta, sejumlah perwira menengah di jajaran Divisi Diponegoro, yang merupakan kawan-kawan lama Untung, merebut komando militer setempat dan menyatakan dukungannya terhadap gerakan Untung. Tidak hanya dari unsur militer saja, dukungan juga datang dari Walikota Solo, Utomo Ramelan, seorang anggota PKI dan saudara ipar mantan Panglima AURI, Suryadi Suryadarma.
Namun demikian, hanya itu yang diperoleh oleh para pelaku kudeta, sebab para penguasa militer dan sipil, serta berbagai tokoh politik dan ormas di seluruh pelosok negeri, bersikap menunggu dengan hati-hati perkembangan yang terjadi.56
Reaksi yang paling menentukan datang dari arah yang mungkin tidak diduga sebelumnya, yaitu dari Pangkostrad Mayjen Soeharto, seorang perwira AD yang selama ini dikenal pendiam, apolitis, dan yang paling penting, dia dikenal secara pribadi oleh para pemimpin kudeta. Pada sore hari itu juga Soeharto berhasil menguasai pusat kota, menarik sebagian pasukan pro kudeta dan mengusir sisanya, serta merebut semua objek vital dari tangan mereka. Ia juga mengambil-alih kepemimpinan AD ke dalam genggamannya. Pukulan yang paling mematikan dari Soeharto ialah saat di depan corong RRI menyatakan G30S sebagai kontrarevolusioner, dan mengajak seluruh rakyat untuk menumpasnya. Ini merupakan pukulan moril dan psikologis yang sangat dahsyat bagi kelompok kudeta, karena seruan Pangkostrad itu berarti aba-aba bagi siapa saja yang tidak sepakat dengan kudeta itu untuk segera melawannya. Meskipun lewat siarannya pada malam hari tanggal 1 Oktober itu, Soeharto belum memberi identifikasi politik sama sekali kepada G30S, tetapi di sebagian kalangan militer dan masyarakat sipil, sudah ada anggapan bahwa PKI pasti berada “di belakang” kelompok kudeta. Sebagian besar komandan militer daerah di luar kelompok pendukung kup, rata-rata memang bersikap ‘
wait and see’, menunggu kejelasan situasi. Akan tetapi ada yang bertindak lebih jauh dari sekedar menunggu kejelasan. Kolonel Tharmat Wijaya, komandan sebuah Brigade Infantri di Palopo, Sulawesi Selatan, mulai melakukan penangkapan-penangkapan terhadap pengurus-pengurus PKI setempat, saat ia mendengar siaran Untung yang pertama.57
Dari kalangan sipil, khususnya kelompok-kelompok yang nyata anti komunis, juga diperoleh cerita-cerita serupa. Seorang tokoh pimpinan organisasi mahasiswa muslim terkemuka, HMI, segera menyimpulkan bahwa PKI di belakang kudeta tersebut, ketika mendengar siaran Untung pada pagi hari 1 Oktober itu.58
Bagaikan bola salju, reaksi balas yang dipimpin oleh Soeharto ini menggelinding dengan hebat dan melindas tanpa ampun siapa pun yang dianggap pendukung atau sekedar memiliki hubungan dengan G30S, baik dari kalangan militer sendiri maupun dari sipil. Sejak saat itu pengejaran dan rentetan pembunuhan yang panjang yang dilakukan oleh militer bersama sekutu sipilnya dialami oleh anggota dan simpatisan atau yang diduga anggota dan simpatisan PKI baik dari kalangan militer maupun sipil.
----------
55. Tentang siaran itu lihat Sugiyarso Soerojo, Siapa Menabur Angin akan Menuai Badai: G 30 S-PKI dan Peran Bung Karno; Jakarta: Antar Kota, 1989, hlm. 207-208.
56. Anderson & McVey, op.cit, hlm. 113.
57. Ulf Sundhaussen, op.cit, hlm. 370.
58. Sulastomo; Hari-Hari Yang Panjang 1965-1966; Jakarta: CV Haji Masagung, 1990, hlm. 29.
Simpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa garis penting bahwa keterlibatan militer khususnya Angkatan Darat dalam politik sudah memiliki akar yang panjang dalam sejarah Indonesia modern bahkan hal itu sudah dimulai sejak masa akhir kolonial Belanda. Situasi sosial dan politik sejak kemerdekaan lebih memberikan pembelajaran kepada kelompok militer mengenai keterlibatannya dalam dunia politik. Perkembangan politik pada masa perang kemerdekaan, masa Demokrasi Liberal, dan Demokrasi Terpimpin semuanya memberikan kesempatan bahkan mendorong militer untuk melangkah lebih jauh dan mendalam untuk ikut ambil bagian dalam memperebutkan kekuasaan. Sudah barang tentu di dalam tubuh militer sendiri tidak terdapat keseragaman dalam cara pandang mereka terhadap peran politik yang harus mereka mainkan. Demikian juga perbedaan itu juga muncul dari basis kultural dan ideologi yang berbeda di antara kelompok-kelompok dalam tentara. Basis ini memberikan penghayatan dan praktik yang berbeda dalam permainan politik. Tidak bisa dipungkiri juga bahwa faksi-faksi yang ada dalam tubuh militer juga dipengaruhi mekanisme situasi sosial politik bangsa Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan. Keterkaitan antara militer dengan dinamika sosial politik nasional dapat dilihat dari kenyataan bahwa hampir dalam setiap pergolakan politik berskala nasional selalu melibatkan militer atau anasir-anasir militer. Dalam konteks inilah keterlibatan militer, khususnya AD, dalam G30S 1965 bisa dipahami. Meskipun telah mencuat berbagai teori tentang gerakan ini, namun satu hal yang sangat menonjol adalah apapun teori yang dikemukakan selalu tetap memperlihatkan keterlibatan tentara dalam petualangan itu baik dilihat dari sisi para pelaku, pelaksana, target, dan operasi penumpasan, serta epilognya semuanya memperlihatkan peran yang menonjol dari tentara, khususnya AD. Namun demikian untuk menentukan dalang di balik G30S hingga sekarang masih penuh dengan perdebatan.
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik. “Perdebatan Sejarah dan Tragedi 1965”, Sejarah No.9
Adam, Asvi Warman. 2004. Pelurusan Sejarah Indonesia; Yogyakarta: Tride.
Adam, Asvi Warman. “Kontrol Sejarah Semasa Pemerintahan Soeharto”, makalah disampaikan pada Seminar Pra KIPNAS: Memandang Tragedi Nasional 1965 Secara Jernih;Serpong: 8 September 1999.
Ahmad, Zakaria Haji & Harold Crouch (eds). 1985. Military Civilian Relation in South-East Asia; Singapore, Oxford, New York: Oxford University Press.
Anderson, B. R. O’G & R.T.McVey. 2001. Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Analisis Awal; Yogyakarta: LKPSM-Syarikat.
Anwar, Rosihan. (ed). 1980. Mengenang Sjahrir,Jakarta: PT Gramedia.
‘Ben Anderson tentang Pembunuhan Massal 1965’, dalam: www.hamline.edu/apakabar /basisdata/1996/09/28/0063.html
Crouch, Harold.1986.Militer dan Politik di Indonesia; Jakarta: Sinar Harapan.
Dinas Sejarah Angkatan Darat. 1974. Pemberontakan PKI dan Penumpasannya, Jakarta.
Feith, Herbert. 1999. Pemilihan Umum 1955 di Indonesia; Jakarta: KPG.
Gunawan, Basuki. 1968. Kudeta staatsgreep in Djakarta: De achter gronden van de 30 September-beweging in Indonesie; MeppeL:J.A. Boom en Zoon.
Heffner, Robert. 2001. Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia, terjemahan oleh Ahmad Baso Yogyakarta, Jakarta: ISAI dan The Asia Foundation.
Kantor Sekretariat Negara. 1994. Gerakan 30 September: Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya; Jakarta.
Kahin, George McT. 1952. Nationalism and Revolution in Indonesia; Ithaca: Cornell University Press.
Kartodirdjo, Sartono. 1981. “Wajah Revolusi Indonesia Dipandang dari Perspektivisme Struktural”, Prisma (8).
Kartodirdjo, Sartono. 1981. “Wajah Revolusi Indonesia Dipandang dari Perspektifme Struktural”,Prisma (8).
Kreutzer, Ruud. 1984. The Madiun Affair of 1948: Internal Struggle in Indonesian’s Nationalist Movement; Amsterdam: University of Amsterdam.
Leirriza, R. Z. 1991. PRRI -Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis; Jakarta: Grafiti Pers. Barbara S. Harvey,Permesta: Half A Rebellon; Ithaca: Cornell University Press.
Lucas, Anthon. 1980.The Bamboo Spear Pierces the Payung: The Revolution against the Bureaucratic Alite in North Central Java in 1945; Ann Arbor, Mitch: University Microfilm International.
Marzoeki, S.“Dukungan Negara-negara Asing Terhadap PRRI/Permesta (1958-1961)”,makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Mahasiswa Sejarah V (Pekanbaru: 25-26 Juli 1995).
Nasution, A. H. 1985. Memenuhi Panggilan Tugas,Jakarta: Gunung Agung.
Noer, Deliar. 1987. Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965,Jakarta: Grafiti Pers.
Notosusanto, Nugroho & Ismail Saleh. 1968. The Coup Attempt o the ’30 September Movement’ in Indonesia Djakarta: Pembimbing Mas.
Notosusanto, Nugroho. 1973. Tentara Peta pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia; Jakarta: Gramedia.
Notosusanto, Nugroho. 1989. Tragedi Nasional Percobaan Kup G 30 S/PKI di Indonesia; Jakarta: Intermasa.
Pauker, G. J. 1969. The Rise and Fall of the Communist Party of Indonesia; Santa Monica: Rand Corporation.
Prasetyo, S. T. A. & Toriq Hadad. 1998.Jenderal tanpa Pasukan Politisi tanpa Partai: Perjalanan Hidup A.H. Nasution; Jakarta: Grafiti Pers.
Ramadhan K.H. 1994.Soemitro (Mantan Pangkopkamtib) DariPangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib; Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Rocamora, J. Eliseo.1991. Nasionalisme Mencari Ideologi: Bangkit dan
Runtuhnya PNI 1945-1965,Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Seksi Penerangan Komando Operasi Tertinggi. 1965. Tjatatan Kronologis di Sekitar Peristiwa G30S/PKI, Djakarta: KOTI.
Siregar, M. R. 2000. Naiknya Para Jenderal; Medan: SHRWN.
Soebagijo, I. N. 1979. Wilopo 70 Tahun,Jakarta: PT Gunung Agung.
Soerojo, Soegiarso. 1989. Siapa Menabur Angin akan Menuai Badai: G 30 S-PKI dan Peran Bung Karno; Jakarta: Antar Kota.
Sundhaussen, Ulf. 1998. Politik Militer Indonesia 1945-1967,Jakarta: LP3ES.
Sulastomo.1990. Hari-Hari Yang Panjang 1965-1966,Jakarta: CV Haji Masagung.
Sulistyono, Singgih Tri. 2003. “Perdagangan antar Daerah dan Integrasi Ekonomi di Indonesia: Persoalan Pusat-Daerah pada Akhir Tahun 1950-an”, makalah disampaikan pada Workshop Rethinking Regionalism: Changing Horizon in Indonesia 1950s; Jakarta: 29-30 Agustus.
Suprayitno. 2001.Mencoba (lagi) Menjadi Indonesia;Yogyakarta: Terawang Press.
Sutrisno, Slamet. 2003. Kontroversi dan Rekonstruksi Sejarah; Yogyakarta: Media Pressindo.
Tim ISAI. 1995. Bayang-bayang PKI, Jakarta: Institut Studi Arus Informasi.
______
Singgih Tri Sulistiyono
Komentar
Posting Komentar