Menerobos markas Kempetai Tentara Jepang
Berita tentang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia semakin luas diketahui oleh masyarakat. Rakyat menyambut dengan gembira, bahkan bersedia menghadapi segala tantangan. Keberanian dan semangat juang yang semakin bergelora itu tentu ditunjang oleh sikap Kesatuan Polisi Istimewa Surabaya yang tampil patriotik meskipun pihak Jepang telah menyebarkan selebaran ancaman. Sikap pasukan Polisi Istimewa yang telah menyatakan diri sebagai Poelisi Repoeblik Indonesia telah menjadi modal dan motor penggerak semangat pemuda. Oleh karena itu, meskipun golongan tua masih merasa khawatir akan kemarahan pihak Jepang, kegembiraan dan tekad juang golongan muda tidak dapat lagi dibendung. Mereka, khususnya para pemuda bekas PETA, HEIHO, KEIBODAN, SEINENDAN, dan pejuang bawah tanah, membentuk kelompok yang bersenjatakan bambu runcing dan sebagainya. Mahasiswa pun tidak ketinggalan. Sebagai contoh, mahasiswa Kedokteran Gigi di Surabaya mendatangi kantor Gubernur Jawa Timur (masih Jepang) di Surabaya pada 1 September 1945 untuk menurunkan bendera Jepang dan mengibarkan bendera Merah Putih.
Semangat perjuangan dan luapan kegembiraan menyambut kemerdekaan itu tercetus pada rapat raksasa yang diselenggarakan di Surabaya pada 11 September 1945 di Pasar Turi dan 17 September 1945 di Tambaksari. Dalam rapat ini, hampir seluruh penduduk Surabaya dan sekitarnya hadir untuk menyatukan tekad mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam rapat itu pula, dibicarakan berbagai hal untuk menghadapi ancaman musuh. Tampaknya semua punya tekad “Sekali merdeka!” dan “Tetap merdeka!” Saya turut berpidato pada rapat raksasa di Tambaksari itu dengan memekikkan tekad “Rakyat ber-revolusi, Polisi ber-revolusi!”
Di pihak lain, para tentara, pegawai, dan warga Belanda yang ditawan sejak pendudukan Jepang juga meluapkan kegembiraan mereka karena merasa telah ikut meraih kemenangan dengan keberhasilan Sekutu memaksa Jepang menyerah kalah tanpa syarat. Mereka segera meninggalkan kamp-kamp tawanan tanpa menunggu proses pembebasan mereka dan langsung bergabung dengan NICA dengan harapan dapat merayakan kemenangan dan kebebasan mereka kembali. Kegembiraan dua pihak yang berbeda: pihak Indonesia bergembira karena yakin telah bebas dari penjajahan Belanda maupun Jepang, sedangkan bangsa Belanda bergembira karena berpikir dapat kembali melaksanakan tugas sebagai kelompok penguasa atas negeri jajahan mereka. Hal tersebut mengakibatkan bentrokan fisik di antara kedua belah pihak.
Pada 19 September 1945, Ploegman, seorang bekas pejabat Belanda menurunkan bendera Merah Putih yang telah dikibarkan oleh kaum pemuda di Hotel Yamato di Jalan Tunjungan dan menggantikannya dengan bendera Belanda. Perbuatan itu menimbulkan kemarahan pemuda Surabaya yang tak lama kemudian mendatangi hotel tersebut. Peristiwa penurunan bendera merah putih itu akhirnya diketahui oleh Residen Soedirman sehingga dengan ditemani oleh Sidik dan Harijono berangkat ke hotel. Setibanya di sana, Residen Soedirman meminta Ploegman agar menurunkan bendera Belanda, tetapi Ploegman malah marah dan membentak sambil berkata bahwa Belanda sebagai wakil Sekutu telah mengambil alih kekuasaan menggantikan Jepang. la juga mengancam Residen Soedirman. Melihat gelagat buruk ini, Sidik bergerak menyerang Ploegman dan membunuhnya. Akibatnya, beberapa anggota bekas tentara Belanda yang ada di hotel itu membalas serangan Sidik. Perkelahian yang tidak seimbang itu menyebabkan Sidik tewas terkena sabetan pedang. Saya pikir, Sidik merupakan korban pertama dari perjuangan rakyat Surabaya mempertahankan kemerdekaan RI. Kejadian itu mendorong Harijono bergegas membawa Residen Soedirman keluar dari Hotel Yamato.
Setelah mengamankan Residen Soedirman, Harijono membantu Kusno Wibowo naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda dan menggantikannya dengan bendera merah putih. Namun, karena bendera merah putih belum tersedia, ia merobek warna biru pada bendera Belanda dan mengibarkannya sebagai bendera merah putih. Kejadian itu menimbulkan amarah orang-orang Belanda bekas tawanan Jepang sehingga mereka melepaskan tembakan beberapa kali. Tembakan itu mengenai kepala Harijono sehingga ia terjatuh tetapi jiwanya masih dapat tertolong. Ketegangan yang semakin memuncak mendorong pihak Jepang yang dituding bertanggung jawab atas bekas tawanannya mengambil tindakan dengan menembak para pejuang yang menganiaya bangsa Belanda. Tindakan Jepang inilah yang mendasari prasangka di kalangan pejuang di Surabaya bahwa pihak Jepang telah bekerja sama dengan Sekutu dalam memberikan peluang kepada Belanda untuk kembali menjajah Tanah Air Indonesia.
Prasangka itu mendorong rakyat dengan dukungan golongan mudanya melakukan penyerbuan ke gedung Kempetai, benteng pertahanan Jepang yang dianggap sebagai simbol kebengisan dan kesewenang-wenangan. Setiap penyerbuan rakyat dibalas dengan tembakan mitraliur (senapan mesin). Saya yakin, tidak seorang pejuang pun dapat menyelamatkan diri dari berondongan tembakan Kempetai ketika menyerang gedung itu. ltulah sebabnya mayat para pejuang berserakan di depan gedung Kempetai. Walaupun begitu, muncul lagi penyerbuan dari pejuang lain yang mencoba menerobos masuk ke gedung Kempetai meski
akhirnya mengalami nasib yang sama. Kematian rekan-rekan mereka tidak menggoyahkan tekad rakyat untuk terus maju hingga dapat menyerbu masuk ke dalam benteng pertahanan Kempetai. Kenyataan itu mendorong saya untuk segera bertindak agar korban tidak semakin bertambah. Tanpa mempertimbangkan risiko terkena peluru, saya langsung berlari menuju benteng Kempetai dan menerobos masuk ke dalam markas. Ketika itu, saya menyaksikan tentara Jepang tetap siaga dalam posisi duduk tegak (oriski) pada sisi kiri jalan masuk. Mereka siap menerima perintah untuk bertindak. Di antara anggota pasukan Jepang itu, terlihat pula yang tergeletak tewas, sementara lainnya tetap duduk tegak tanpa gentar. Sungguh luar biasa tingkat kedisiplinan mereka. Setelah berhasil menerobos masuk, lewat seorang opsir Kempetai, saya meminta untuk dipertemukan dengan Takahara. Saya mengenal Takahara bersaudara; yang seorang bekerja sebagai penerjemah tentara Jepang dan adiknya bekerja sebagai anggota Kempetai.
Saya tidak menduga bahwa Soeprapto, seorang kolega mengikuti saya berlari menerobos pertahanan Jepang. Ketika hendak memasuki pintu markas, dua orang prajurit pengawal menodongkan senjata mereka yang berlaras bayonet dan menggertak kami. Ketika itu, saya berkata, “Mau bertemu dengan Takahara san.” Dengan tetap menempelkan bayonet mereka ke punggung kami, kedua pengawal itu langsung menggiring kami masuk ke dalam benteng Kempetai di mana kami dipertemukan dengan seorang mayor Kempetai yang dapat berbahasa Inggris. Saat kami bergerak mendekati mayor itu, prajurit pengawal memerintahkan kami untuk berhenti. Mayor yang mampu berbahasa Inggris itu bertanya mengenai maksud kedatangan kami. Saya jawab, “I’d like to meet Takahara san.” la masuk ke dalam dan tak lama kemudian muncul lagi bersama Takahara bersaudara. Takahara yang lebih tua bertanya kepada saya: “Ada apa Jasin san?” Saya jawab, “Lebih baik Kempetai menyerah. Saya akan bertanggung jawab.” Tanpa memberikan jawaban terhadap permintaan itu, ia mengantar kami menghadap komandan Kempetai (Kempetai Tyo). Komandan itu berada di ruangan yang dikelilingi goni berisi pasir sebagai pelindung di belakang tembok. Di ruangan sempit itu, tampak komandan duduk dengan wajah muram. Di hadapannya ada sebuah jendela; konon melalui jendela ini sang komandan memantau kegiatan di luar markas. Takahara tua langsung memperkenalkan diri saya sebagai Tokubetsu Keisatsu Taytyo, komandan pasukan Polisi Istimewa.Sang komandan bertanya dengan nada membentak, “Mau apa?!!” Takahara menjelaskan maksud kedatangan kami. Ia menyatakan bahwa kami meminta Kempetai menyerah saja dan kami akan menjamin keselamatan Kempetai. Komandan Kempetai itu tampak kebingungan dan merasa aneh. Tanpa komentar lebih lanjut, ia memanggil kepala stafnya dan membicarakan permintaan saya. Kesempatan itu saya gunakan untuk mengambil sapu tangan yang kebetulan berwarna putih dari kantong celana saya dan mengikatkannya pada pergelangan tangan komandan Kempetai itu seraya mengangkatnya sehingga tampak melambaikan sapu tangan putih tersebut. Tindakan saya itu tidak mendapat reaksi penolakan dari sang komandan. Ia bahkan mengikuti saya. Saya sendiri merasa heran, mengapa komandan itu menurut saja padahal saya tidak memberikan ancaman. Tindakan spontanitas serta kerelaan sang komandan itu saya terima sebagai suatu pengaturan dari Tuhan.Lambaian sapu tangan putih itu terlihat oleh para pejuang di luar markas yang menganggap misi yang saya lakukan berhasil: “Kempetai menyerah.” Dalam hal ini, para pejuang menduga bahwa saya memaksa pihak Jepang untuk menyerah. Tanda tersebut juga disambut sebagai isyarat waktu yang tepat untuk bergegas masuk dan menyerbu markas untuk merampas senjata Kempetai. Serbuan ini menyebabkan pihak Kempetai kembali melepaskan tembakan untuk memaksa para pejuang mundur. Tembakan itu menyadarkan para pejuang bahwa lambaian sapu tangan putih itu hanya isyarat bahwa penyelesaian sedang berlangsung. Usulan saya tampak menggugah hati para perwira Kempetai sehingga mereka menyuruh kami keluar dari ruangan dengan dikawal ketat oleh para pengawal Kempetai. Kami berlari kembali menuju serambi kantor gubernur. Ketika itu, kami mengetahui bahwa telah terjadi pertempuran singkat. Saya yakin, para pejuang menghentikan perlawanan karena berpikir saya dan Soeprapto masih melakukan pembicaraan dengan pihak Jepang. Oleh karena itu, mereka tetap di tempat sambil terus menatap gedung Kempetai untuk mengetahui apa gerangan yang sedang terjadi dalam perundingan itu.
Tak lama kemudian tampak Takahara tua keluar dan menurunkan bendera Jepang yang berkibar di halaman depan markas itu. Hal itu mengisyaratkan bahwa pihak Jepang bersedia menyerah kepada para pejuang Republik Indonesia. Luapan semangat kegembiraan mereka tidak terbendung lagi sehingga mereka bergegas menuju tiang bendera dan mengibarkan bendera merah putih sambil berteriak “MERDEKA!” sebagai tanda kemenangan. Pihak Jepang kelihatan menerima kenyataan penguasaan markas ini. Tindakan Kempetai itu bahkan mendapat dukungan dari panglima senior Jepang di Surabaya, Laksamana Madya Shibata Yaichiro. Ia termasuk salah seorang yang bersimpati kepada Republik Indonesia. ltulah sebabnya, atas perintahnya, pihak Jepang membuka peluang kepada para pejuang RI untuk mengambil senjata Jepang yang tersimpan di gudang-gudang persenjataan mereka. Meskipun demikian, karena rakyat tidak sabar lagi menunggu, terjadilah sejumlah pertempuran untuk memaksa kesatuan-kesatuan tentara Jepang menyerahkan senjata mereka. Pertempuran itu didukung dan dipelopori oleh pasukan Polisi Republik Indonesia. Hal itu terlihat ketika salah seorang kapten Angkatan Laut Belanda datang ke Surabaya, Shibata Yaichiro menyerahkan diri kepadanya pada 3 Oktober 1945.
Penyerahan senjata Jepang kepada pihak pejuang RI tidak akan dipertanggungjawabkan oleh pihak pejuang Indonesia kepada Sekutu. Penyerahan persenjataan angkatan laut Jepang di Embong Wungu, Gubeng, adalah hasil serbuan rakyat yang didukung oleh Polisi Republik Indonesia. Oleh karena itu, penyerahannya diterima dan ditandatangani oleh saya sendiri selaku Komandan Pasukan Polisi Istimewa yang telah berubah nama menjadi Polisi Republik Indonesia atas nama pemerintah Republik Indonesia. Penyerahan senjata itu kemudian diikuti oleh penyerahan senjata dari kesatuan-kesatuan militer Jepang lainnya.
Pada dasarnya proses penyerahan itu diawali dengan tindakan pemaksaan oleh pihak kita, yang dapat dikategorikan sebagai tindakan perang merebut persenjataan. Setelah itu, berlangsung acara penandatanganan perjanjian penyerahan persenjataan yang dihadiri oleh pihak Indonesia dan Jepang. Dalam perjanjian itu, saya hadir sebagai wakil dari pihak Indonesia. Pada saat penyerahan senjata di Don Bosco-Sawahan, Surabaya, ketika mewakili pihak Indonesia, saya dibantu oleh Soetomo (Bung Tomo). Don Bosco-Sawahan, Surabaya, adalah gudang arsenal tentara Jepang yang terbesar di Asia Tenggara. Karena itulah, gudang ini menjadi perhatian utama perebutan. Pihak tentara Jepang tampak ingin mempertahankannya sehingga meletuslah pertempuran antara pejuang Indonesia dan tentara Jepang selama dua hari dua malam. Dalam peristiwa ini, pasukan Polisi Republik Indonesia tampil sebagai kekuatan militer yang tangguh, dan karenanya pada pihak Jepang akhirnya harus bersedia menyerahkan persenjataan yang tersimpan di gudang tersebut.
Ketika berlangsung acara penandatanganan naskah serah terima persenjataan, pihak Jepang berdiam diri. Sikap ini dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa mereka sesungguhnya menolak agar kelak dapat terhindar dari tuduhan sebagai penjahat perang oleh Sekutu karena telah menyerahkan senjata kepada pihak Indonesia. Dalam keadaan demikian, saya selaku komandan pasukan Polisi Istimewa maju dan memaksa pihak Jepang untuk tidak menunda-nunda penandatanganan naskah serah terima. Tindakan itu dilakukan karena massa di luar gedung meneriakkan kata-kata: “Pateni wae! (Bunuh saja!).” Hal itu menunjukkan bahwa mereka sudah tidak sabar menunggu.
Kami sesungguhnya juga tidak ingin menimbulkan penilaian yang keliru dari massa rakyat pejuang yang menanti di luar. Bila perundingan penandatanganan naskah serah terima persenjataan tertunda lama, kami bisa saja dianggap sedang melakukan kompromi untuk bekerja sama. Hal ini tercermin dari sikap massa rakyat. Misalnya, ketika keluar dari ruangan, salah seorang tentara Jepang langsung diserang oleh seorang pemuda pejuang dengan menggunakan takearidan membabat perut tentara Jepang tersebut hingga tewas. Sebagai reaksi atas kejadian ini, beberapa pemuda pejuang di pukul dengan popor senapan hingga tewas juga.
Massa rakyat bertambah marah. Beberapa di antara mereka berusaha menerobos melalui jendela. Tindakan mereka itu ditanggapi dengan hardikan dan tusukan bayonet oleh tentara Jepang. Korban di pihak kita kembali berjatuhan. Massa rakyat bertambah agresif. Akibatnya, para perunding Jepang menjadi berang dan meragukan keamanan diri mereka. Namun, saya dapat mengendalikan diri untuk tidak terpengaruh. Bahkan sebagai pimpinan Polisi Republik Indonesia, saya berusaha tetap tegar dengan tongkat komando di tangan mendesak pihak pimpinan tentara Jepang untuk segera menandatangani naskah serah terima persenjataan. Desakan saya seakan tidak terjawab, bahkan di antara perunding Jepang terjadi perdebatan. Terpaksa saya menggertak, “Sign now or not!” Saya memaksa pihak Jepang untuk segera menandatangani naskah itu. Akhirnya, muncul seorang perwira Kempetai yang kekar meminta komandan batalyon pengawal arsenal persenjataan tentara Jepang “Don Bosco” untuk menandatanganinya saja. Setelah naskah penyerahan persenjataan ditandatangani oleh pimpinan batalyon dan oleh saya mewakili RI, dengan didampingi Bung Tomo, naskah saya bawa keluar dan saya perlihatkan kepada massa rakyat sebagai bukti bahwa tentara Jepang sudah menyerah dan seluruh gudang berikut isinya sudah menjadi milik RI. Kemenangan ini disambut oleh massa dengan pekik “MERDEKA” yang berkumandang tiada henti.
Selain perebutan persenjataan di Don Bosco-Sawahan, juga dilakukan penyerangan terhadap kesatuan marinir Jepang di Gubeng. Penyerbuan massa rakyat yang didukung dan dipelopori oleh pasukan Polisi Istimewa (PRI) itu memaksa kesatuan marinir Jepang menyerahkan persenjataannya kepada Republik Indonesia.
Setelah penyerangan ini, perundingan dilanjutkan dengan pihak Kaigun di Modderlust Tanjung Perak untuk melalukan penyerahan persenjataan Kaigun. Saya berangkat dari markas Polisi Republik Indo nesia ke Modderlust dengan dikawal oleh satu peleton PRI. Dalam perundingan ini, hadir juga sejumlah pelaut kita, antara lain Soengkono (tokoh yang kemudian menjabat sebagai Panglima Brawijaya), Atmadji, Tamboto, dan Aries. Hasil perundingan adalah bahwa pihak Kaigun bersedia menyerahkan persenjataan mereka. Berdasarkan naskah penyerahan yang saya tanda tangani atas nama pemerintah Indonesia dengan disaksikan oleh tokoh pemuda, bukan saja persenjataan yang saya terima di Modderlust, juga seluruh isi pelabuhan milik Jepang, termasuk kapal dan gudangnya. Selanjutnya, saya katakan kepada massa rakyat bahwa mereka boleh membongkar gudang dan membagi-bagikan senjatanya. Hanya saja, karena saya telah memberikan jaminan keselamatan kepada tentara-tentara Jepang itu, massa saya minta untuk tidak mengganggu atau menyakiti orang-orang Jepang. Saya menyadari bahwa pernyataan semacam ini bisa mengundang risiko besar. Namun, syukurlah, massa rakyat tetap mendukung perjuangan saya sebagai komandan pasukan Polisi Istimewa sehingga pernyataan tersebut berpengaruh positif terhadap tuntutan kerjasama dan risiko itu pun dapat teratasi. Saya mewakili pihak Indonesia atas permintaan dan dukungan para pemuda pejuang yang memandang keberadaan Polisi Republik Indonesia dalam kancah revolusi fisik Indonesia.
Sementara itu, di Surabaya dan sekitarnya, selaku pimpinan Polisi Republik Indonesia, saya memerintahkan para anggota Polisi Republik Indonesia untuk melakukan mobilisasi rakyat dengan memberikan latihan kemiliteran secara terorganisasi dalam wadah perjuangan. Hal itu saya maksudkan untuk membangun kekuatan rakyat yang mendukung perjuangan dalam menghadapi Sekutu yang kelak datang untuk melucuti tentara Jepang. Apalagi telah tersiar berita bahwa pihak pemerintah Belanda telah mencapai kesepakatan dengan pihak Inggris dalam apa yang disebut London Civil Affairs Agreement. Inggris, dalam perjanjian itu, telah menyatakan kesediaannya membantu pihak Belanda untuk kembali berkuasa di Indonesia.
Pendaratan pasukan sekutu di Surabaya
Kota Surabaya, sejak Proklamasi Polisi Republik Indonesia pada awal kemerdekaan, telah menjadi kota pejuang. Jaminan kekuatan bersenjata yang ditunjukkan oleh Kesatuan Polisi Republik Indonesia telah membangkitkan semangat militansi para pemuda pejuang pada satu sisi dan membuka mata pihak Jepang untuk menyelamatkan diri dengan bersedia menyerahkan persenjataan-nya kepada rakyat Indonesia di lain sisi. Hal itu menyebabkan potensi kekuatan bersenjata di Republik Indo nesia yang baru diproklamirkan berpusat di Surabaya. Kota Surabaya sepenuhnya berada dalam pengawasan kekuatan perjuangan Polisi Republik Indonesia yang telah menjadi pendukung dan pelopornya. Kegiatan utama perjuangan rakyat dipusatkan di bekas markas kesatuan Polisi Istimewa yang telah menjadi markas Polisi Republik Indonesia. Pilihan itu didasarkan pada kenyataan bahwa kesatuan itulah yang pertama-tama menyatakan dukungan penuh kepada Republik Indonesia dan anggotanya aktif melakukan mobilisasi rakyat untuk berjuang mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan. Selain itu, dalam berbagai aksi pengambilalihan persenjataan pihak Jepang, saya sebagai Kepala Polisi Republik Indonesia mewakili Republik Indonesia untuk menandatangani akta penyerahan senjata dari pihak Jepang. Berdasarkan keputusan resmi Residen Soedirman, senjata disimpan di gudang persenjataan di markas itu dan sepenuhnya berada di bawah pengawasan pihak Polisi Republik Indonesia.
Gerakan yang dilakukan oleh Polisi Republik Indonesia mendorong para pemimpin Hisbullah ikut giat menggerakkan massa untuk berjuang. Mereka menyatakan bahwa perang mempertahankan tanah air Indonesia adalah Perang Sabil, suatu kewajiban yang melekat pada semua orang muslim. Pernyataan itu merangsang para kyai dan murid-murid mereka di pesantren-pesantren di Jawa Timur untuk membanjiri kota Surabaya dan mengambil bagian dalam perjuangan mempertahankan Tanah Air. Hisbullah juga dipersenjatai oleh pasukan Polisi Istimewa, baik selama mereka berjuang di kota Surabaya maupun setelah kekuatan fisik perjuangan RI “withdraw” dari kota Surabaya demi mencapai kemenangan. Di arena perjuangan, juga tampil seorang wartawan bernama Soetomo (1920-1981) yang lebih dikenal dengan panggilan Bung Tomo. Dengan teman-temannya, ia membentuk satu badan perjuangan yang dinamakan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI). BPRI memiliki satu pemancar radio sehingga Bung Tomo sebagai pemimpin badan perjuangan itu bisa terus berpidato. Gaya orasinya yang bersemangat dan berapi-api dapat membangun dan membakar semangat rakyat dalam perjuangan serta berkumandang baik secara nasional maupun internasional.
Pada 25 Oktober 1945, tentara Sekutu yang diangkut dengan kapal Wavenley, Malika, Assidious, Floristen, dan lain-lain, dengan pengawalan kapal perang, memasuki pelabuhan Surabaya. Jumlah tentara Sekutu yang berlabuh di Surabaya diperkirakan sekitar 6.000 orang yang kebanyakan terdiri dari serdadu India yang lazim disebut tentara Gurka.
Kedatangan armada Sekutu itu mendorong drg. Moestopo, seorang dokter gigi di Surabaya yang menjabat sebagai Ketua Badan Keamanan Rakyat (BKR) Jawa Timur dan dipercaya oleh pemerintah pusat untuk menduduki jabatan Menteri Pertahanan ad-interim, mengirim pesan morse dari pantai Tanjung Perak kepada pihak Sekutu agar tidak mendaratkan pasukan. Larangan itu diulang kembali dengan menambahkan ancaman bahwa jika Sekutu berani mendaratkan pasukan harus menghadapi risiko perang. Ketika disertai ancaman itu, saya yang saat itu menyertai-nya bertanya, “Apakah pasukan kita harus menghadang pasukan Sekutu yang lengkap dengan persenjataan mutakhir?” Pertanyaan itu tidak langsung membuahkan jawaban, melainkan membuat kami berdua tertegun dan haru sambil berjabatan tangan dengan erat. Setelah itu, Moestopo berkata, “Daripada bangsa kita di jajah oleh bangsa asing, lebih baik kita memeranginya... bagaimana pun juga!”
Tak lama setelah itu, kami mendapat jawaban dari pihak Sekutu yang menyatakan, “Kami tidak menerima perintah dari siapa pun selain dari panglima Sekutu.” Selanjutnya, dengan nada mengejek, mereka mengatakan bahwa mereka tidak berada di bawah komando kami, apalagi komando seorang dokter gigi. Jawaban itu menunjukkan bahwa pihak Sekutu tidak percaya bahwa seorang dokter gigi mampu memimpin perang.
Hal itu mendorong saya untuk memerintahkan seluruh pasukan yang berada di bawah pimpinan saya agar bersiap menghadapi tentara Sekutu di garis demarkasi di pesisir pantai. Pasukan-pasukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang berjumlah sekitar 20.000 orang ikut mendukung gerakan ini. Selain itu, dari organisasi perjuangan rakyat, tercatat tidak kurang dari 120.000 orang siap membela tanah air Indo nesia di gerbang Surabaya. Massa tidak ketinggalan ikut merintangi jalur masuk tentara Sekutu ke kota dengan menebang pohon yang tumbuh di pinggir jalan dan merobohkannya ke atas jalan agar tank Sekutu tidak dapat memasuki jantung kota.
Pihak Sekutu berkeras untuk mendaratkan sejumlah pasukan di bawah pimpinan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby. Langkah awal adalah menemui pimpinan pejuang yang ketika itu diwakili oleh drg. Moestopo, Bung Tomo, dan saya sendiri. Sementara kami berunding, sebagian pasukan Sekutu didaratkan dan bergerak memasuki jantung kota. Ketika itu, pihak pemuda pejuang menjadi berang dan ingin menyerang mereka. Namun, Sekutu segera memberitahu bahwa kedatangan mereka hanya untuk membebaskan orang-orang Belanda yang ditawan dan melucuti persenjataan tentara Jepang. Mereka tidak bermaksud untuk berperang melawan pihak Indonesia. Keterangan ini berhasil meredakan amarah pemuda pejuang sehingga tidak timbul pertempuran.
Keesokan harinya, 26 Oktober 1945, datang lagi delegasi Sekutu yang dipimpin oleh Brigjen Mallaby untuk melakukan perundingan dengan pihak Indonesia. Dalam perundingan itu, dicapai kesepakatan atas empat pokok usulan yang diajukan oleh pihak RI kepada pihak Sekutu. Pertama, dalam pasukan Sekutu, tidak boleh terdapat tentara Belanda. Kedua, Sekutu harus bersedia bekerja sama menjamin ketertiban dan keamanan. Ketiga, kerjasama dilakukan melalui biro kontak. Keempat, pihak Sekutu hanya boleh melucuti persenjataan tentara Jepang.
Persetujuan itu ternyata tidak ditaati sepenuhnya oleh pihak Sekutu. Pada 27 Oktober, sehari setelah persetujuan itu, pihak Sekutu mulai melucuti persenjataan pejuang kita. Mereka juga mulai menembakkan mortir ke pos-pos pertahanan kita. Komandan Polisi Musa dari pasukan Polisi Istimewa minta izin untuk pergi memeriksa pos pertahanan Polisi Istimewa di Belauran. Di muka pasar Belauran, ia tewas terkena tembakan mortir musuh. Dari kantong baju seragamnya, ditemukan sepucuk surat berisi pesan: “Jika saya tewas, tolong perhatikan keluarga saya.” Soetrisno, pemimpin BKR Nyamplungan, dilucuti senjatanya oleh pihak Sekutu. Pasukan Sekutu juga turun dengan persenjataan lengkap dan menduduki daerah strategis serta mengatur strategi pertempuran. Sebuah mobil Sekutu meluncur ke kota dan di setiap jalan menyebarkan pamflet yang berisi ultimatum. Sekutu juga mengeluarkan perintah agar semua penduduk menyerahkan senjata yang dimilikinya kepada Sekutu. Bila hal itu tidak dilaksanakan, Sekutu akan mengambil tindakan menembak langsung orang yang bersenjata. Hal ini menunjukkan bahwa pihak Sekutu telah mengingkari persetujuan yang telah dicapai.
Tiga hari setelah pasukan Sekutu yang berada di bawah pimpinan Brigjen. Mallaby berlabuh di Surabaya, terjadi pertempuran karena tentara Sekutu terus saja mendaratkan pasukannya dan bergerak melintasi garis demarkasi yang telah disetujui bersama sembari mengeluarkan ancaman. Perlawanan yang dilakukan oleh pemuda pejuang dilaporkan oleh pihak Sekutu kepada pemerintah pusat di Jakarta. Oleh karena itu, pemerintah mengirim telegram kepada Gubernur Jawa Timur Soerjo. Namun, ketika itu, Gubernur Soerjo sedang tidak berada di tempat. Demikian juga drg. Moestopo (menteri pertahanan ad-interim). Telegram itu diantarkan kepada Residen Surabaya Sudirman. Isi telegram itu meminta pemerintah Jawa Timur tidak melakukan perlawanan terhadap Sekutu. Setelah berita telegram itu dibicarakan oleh Residen Sudirman bersama ketua TKR Karesidenan Surabaya, Jono Suwejo, di capailah kesepakatan untuk menolak permintaan itu. Sikap ini jelas didasarkan pada kenyataan ketika itu: pihak Sekutu terbukti telah melanggar persetujuan yang telah dicapai sebelumnya. Tentara Sekutu terus melancarkan gerakan penguasaan terhadap kota Surabaya serta melucuti persenjataan organisasi perjuangan dan pemuda pejuang setempat. Keputusan itu segera disampaikan kepada semua organisasi perjuangan agar mereka bersiap menentang Sekutu. Sesungguhnya semua organisasi perjuangan dan rakyat telah siap menunggu perintah untuk menyerang. Akibat pelanggaran yang dilakukan oleh Sekutu, kontak senjata antara Sekutu dan badan- badan perjuangan rakyat di Surabaya makin meningkat.
Insiden-insiden bersenjata terus mendorong para komandan BKR untuk mengkoordinasi semua pasukannya dan merencana-kan penyerangan serentak terhadap pertahanan Sekutu. Pada pagi hari 28 Oktober 1945, semua organisasi perjuangan rakyat serentak bergerak menggempur pertahanan Sekutu yang dibangun di tempat-tempat strategis. Serangan itu membuyarkan konsentrasi tentara Sekutu sehingga semua garis pertahanan mereka dapat dilumpuhkan oleh arek-arek Suroboyo. Kesuksesan penyerangan ini sesungguhnya berangkat dari keterampilan komandan BKR, jumlah pasukan yang besar, dan semangat juang arek-arek Suroboyo yang tidak ingin dijajah lagi.
Gerakan penyerangan serentak itu bermula dari kesatuan PRI yang saya pimpin, yang bermarkas di kompleks Koblen. Pasukan saya mendapat tugas untuk menyerang Sekutu yang berada di Hotel Internatio dan pos tentara Sekutu di Jembatan Merah. Pasukan saya yang dilengkapi dengan senjata berat dan didukung oleh mobil lapis baja melancarkan serangan dengan seru. Terdengar pula tembakan balasan dari pihak Sekutu yang tampak tetap berkeras mempertahankan kedudukannya di kota Surabaya, tetapi pada akhirnya tidak berdaya.
Pada waktu melakukan serangan itu, kesatuan PRI yang saya pimpin mendapat bantuan pasukan dari PRI Mojokerto pimpinan Djarkasih, PRI Kediri pimpinan Wakidjo, PRI Malang pimpinan Syamsuri Mertojoso, dan PRI Besuki pimpinan Soetjipto Joedodihardjo. Tambahan pasukan itu semakin memperkuat pasukan saya sehingga setelah melumpuhkan kedudukan Sekutu di dua tempat itu, saya membagi kegiatan pasukan untuk melancarkan serangan selanjutnya. Satu kelompok pasukan saya perintahkan untuk menyerang Sekutu yang menduduki gedung sekolah HBS. Pasukan ini berada di bawah komando Wirato. Sementara menata strategi, saya mendapat berita bahwa pos polisi di Bubutan berhasil diduduki oleh pasukan Sekutu. Semua anggota pasukan berhasil dilucuti. Berita itu mendorong saya memerintahkan Luwito dan Gontah yang diperlengkapi dengan mobil lapis baja untuk memimpin satu pasukan melakukan penyerangan dan merebut kembali pos tersebut. Serangan yang dilakukan oleh pasukan Gontah berhasil memorakporandakan tentara Sekutu yang berjumlah sekitar 350 orang. Tentara Sekutu yang menduduki pos itu kebanyakan adalah tentara Gurka (India) yang sebagian besar beragama Islam. Hal itu diketahui ketika sebagian dari mereka yang tertembak memohon untuk dikasihani karena mereka Muslim.
Dengan berapi-api, Bung Tomo berpidato melalui pemancar radio Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia mendorong massa rakyat untuk menyerang tentara Sekutu meskipun dengan hanya bersenjatakan bambu runcing. Suara Bung Tomo didengung-kan dengan diawali ucapan Allahu Akbar sebanyak tiga kali.
Rakyat menjadi sangat agresif dan fanatik, suatu kondisi yang membingungkan tentara Sekutu. Pada malam hari, rakyat dengan gagah berani menyerang kampung-kampung yang diduduki oleh Sekutu. Serangan rakyat secara massal itu merupakan neraka bagi tentara Sekutu yang berpengalaman perang itu. Suara Bung Tomo dalam menggerakkan massa dirasakan berpengaruh sangat luar biasa. Dalam suatu pertemuan di hadapan mahasiswa di Surabaya (pasca perjuangan fisik), ada seorang mahasiswa yang bertanya kepada Bung Tomo apa kiat beliau sehingga dapat menjadi sedemikian berani di medan perjuangan. Bung Tomo menjawab bahwa ia bersemangat karena peran dari orang yang duduk di sebelah kanannya. Orang yang dimaksud itu adalah saya. Jawaban itu juga memberikan petunjuk bahwa keamanannya terjamin dengan hadirnya pasukan Polisi Republik Indonesia. Maklumlah, ketika itu, praktis setiap anggota masyarakat memiliki senjata api sehingga keamanan orang mudah terganggu.
Sementara berada di medan laga sambil mengkoordinasi penyerangan, datang seorang kurir menyampaikan pesan dari istri saya bahwa ia merasa terancam akan dibunuh oleh seorang pejuang. Berita itu menggetarkan jiwa saya sebagai seorang kepala rumah tangga sehingga dengan segera saya memerintahkan wakil saya untuk sementara mengambil alih kedudukan saya. Setelah itu, saya berangkat ke klinik dengan menggunakan panser yang diperlengkapi dengan mitraliur. Tindakan ini unik, karena kondisi menuntut demikian. Surabaya ketika itu bagaikan lautan api. Suara dentuman mortir dan desingan peluru terdengar seperti irama kematian. Jalur-jalur jalan telah penuh dengan rintangan yang dibangun oleh arek-arek Suroboyo sehingga sulit dilalui dengan kendaraan biasa.
Ketika tiba di klinik, saya menemui istri saya yang sedang memeluk putri pertama kami dengan penuh kasih sayang. Ketika melihat saya, wajahnya tampak gembira karena merasa terhindar dari malapetaka. Setelah merasa tenang, ia menceritakan kejadian yang mencekamnya. Ia mengisahkan bahwa pada siang hari ada seorang pemuda pejuang yang menerobos ke klinik untuk meminta izin memakai telepon. Katanya, pemuda itu ingin menghubungi rumah sakit pusat agar mengirim bantuan mobil ambulans guna mengangkut teman-temannya yang terkena tembakan musuh. Ketika menelepon, pandangannya tertuju pada istri saya yang sedang berbaring bersama anak pertama kami di salah satu ruangan yang pintu kamarnya terbuka. Mungkin karena istri saya memiliki profil muka Indo-Eropa, pemuda pejuang itu merasa seakan melihat musuh. Saat pandangannya beralih, istri saya segera bersembunyi di bawah tempat tidur mendekap putri kami. Dugaan istri saya benar karena setelah menelepon ia menerobos masuk ke kamar dan melihat ke sana ke mari sambil memegang pistolnya. Beruntung ia tidak mencoba melacak ke bawah tempat tidur sehingga keluarga saya terhindar dari ancaman. Pemuda itu terlihat kesal sambil meninggalkan ruangan. Setelah itu, istri dan bayi kami baru keluar dari persembunyian dan langsung meminta bantuan perawat untuk menghubungi saya.
Setelah mendengar ceritanya, saya membawa istri dan bayi kami keluar dari klinik dan mengungsikannya ke rumah ibunya di Jalan Greges. Kami diterima dengan hangat. Karena tidak ada persediaan susu untuk bayi, Gontha, si pengemudi panser, saya tugaskan mencari susu di tempat pemerahan susu. Namun, ia kembali tanpa hasil. Istri saya terpaksa memberikan air tajin yang dicampur dengan kuning telur kepada bayi kami. Usaha ini tidak berhasil mengatasi tangis bayi yang lapar. Bahkan meminum air tajin itu membuatnya sakit diare. Dalam keadaan demikian, saya teringat kepada seorang teman yang berprofesi sebagai dokter, yaitu dr. Nawir. Ia juga memperistri seorang gadis Indo. Saya pikir, ia pasti punya persediaan susu dan bersedia menerima istri serta bayi kami untuk menetap sementara waktu di rumah mereka. Kehadiran kami diterima dengan baik oleh dr. Nawir, tetapi istrinya tampak bersikap sebaliknya. Namun, karena bujukan suaminya, keluarga saya akhirnya diterima dan ditempatkan di ruang praktik. Di ruang itu, tidak ada tempat tidur. Namun, melihat situasi dan kondisi, saya bersedia menerima kebaikan dr. Nawir demi istri dan anak saya.
Saya balik ke markas untuk memimpin kembali pasukan yang sedang berjuang melawan tentara Sekutu. Saya mendapat kabar bahwa pasukan Oemar Said berhasil melumpuhkan dua peleton pasukan Sekutu yang mempertahankan pos mereka di gedung HBS. Dalam penyergapan itu, pasukan polisi mendapat bantuan dari para pemuda pejuang. Malapetaka yang terjadi adalah bahwa komandan Oemar Said mengalami luka pada bagian perut akibat tembakan pihak Sekutu.
Meskipun pihak Sekutu mengalami kekalahan di beberapa tempat, predikat mereka sebagai pemenang Perang Dunia II mendorong mereka untuk tidak menyerah sepenuhnya. Itulah sebabnya pertempuran terus berlangsung. Menurut keterangan yang dihimpun pihak pejuang, Brigjen Mallaby telah meminta tambahan kekuatan dari markas besar di Jakarta. Oleh karena itu, kami mengatur pertahanan dan perjuangan untuk menghadapi serangan dari pihak Sekutu. Berita itu juga mendorong saya untuk mencari tempat yang aman bagi keluarga agar saya dapat lebih tenang dalam menata taktik dan strategi perlawanan serta pertahanan terhadap musuh.
Keesokan harinya saya berangkat menjemput istri dan anak saya yang kemudian saya tempatkan di salah satu rumah yang letaknya berhadapan dengan markas PRI tempat saya bertugas. Pilihan ini sesungguhnya tidak tepat, tetapi tidak ada jalan lain. Saya yakin bahwa markas PRI pasti jadi sasaran penyerangan Sekutu sehingga daerah sekitarnya juga terancam bahaya. Namun, di sisi lain, istri saya pasti merasa lebih tenang karena berada di wilayah perlindungan saya sebagai suaminya walaupun pertempuran masih terus berlangsung. Desingan peluru dimuntahkan senjata api serta dentuman meriam terus membahana baik yang ditembakkan oleh kekuatan perjuangan RI maupun oleh musuh. Dalam upaya mengimbangi kekalahannya pada siang hari, tentara musuh melancarkan serangan udara besar-besaran. Angkatan udara Sekutu melakukan pemboman terhadap pos-pos pertahanan badan-badan perjuangan rakyat. Daerah di dekat markas PRI juga tidak luput dari sasaran pemboman itu. Serangan udara dibalas oleh pasukan pejuang, termasuk Polisi Republik Indonesia, dengan tembakan-tembakan sehingga daerah sekitar markas menjadi daerah yang rawan bahaya.
Menghadapi keadaan yang semakin genting dan pertempuran yang semakin sengit, agar pikiran saya dapat terkonsentrasi penuh pada pengaturan strategi dan taktik perjuangan, saya meminta komandan Polisi Surip untuk menjemput istri dan anak saya untuk diungsikan ke Malang. Saya tidak dapat mengantar mereka sendiri karena bertanggung jawab atas pasukan yang sedang menghadapi pertempuran.
Beberapa jam setelah serangan bom yang dilakukan oleh angkatan udara Sekutu dan serangan balik arek-arek Suroboyo, keadaan menjadi tenang. Keadaan itu terjadi otomatis tanpa ada persetujuan gencatan senjata karena diperoleh berita bahwa pihak Sekutu di Jakarta telah memohon kepada pemerintah Indonesia untuk mengirim pimpinannya ke Surabaya guna menghentikan pertempuran yang berlangsung. Sekutu akhirnya memenuhi tuntutan arek arek Suroboyo untuk mengakui Soekarno dan Hatta sebagai presiden dan wakil presiden. Sebab, jika tuntutan ini tidak dipenuhi, Soekarno dan Hatta tidak perlu datang ke Surabaya, dan rakyat Surabaya akan terus bertempur dengan tekad “Merdeka atau mati”. Akhirnya, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta dan Menteri Penerangan Amir Sjariffudin terbang ke Surabaya dengan menggunakan pesawat terbang milik Sekutu. Kedatangan mereka di Morokrembangan disambut oleh para pimpinan perjuangan.
Para pemimpin bangsa itu diantar ke gubernuran di mana dilangsungkan pembicaraan antara pihak Sekutu dan pihak Indonesia yang dihadiri juga oleh beberapa tokoh pejuang Surabaya. Pembicaraan pendahuluan yang berlangsung pada 29 Oktober 1945 berkisar pada persoalan yang menjadi pemicu pertempuran Surabaya serta langkah-langkah untuk menenangkan kedua belah pihak agar tidak melakukan pertempuran lagi. Dalam pertemuan itu, pihak Indonesia menyatakan dengan tegas bahwa Sekutu-lah yang menjadi pemicu pertempuran. Meski pihak Indonesia telah merumuskan kesepakatan bersama untuk memelihara ketenteraman dan keamanan, pihak Sekutu melanggarnya bahkan mengancam akan melucuti persenjataan kami. Pernyataan ini pun dikonfirmasi oleh drg. Moestopo. Akhirnya, dicapai kesepakatan untuk menenangkan pasukan masing-masing dan tidak melakukan pertempuran sehingga pada malam hari tidak lagi terdengar desingan peluru dan dentuman meriam.
Ketika kembali ke markas, regu yang saya tugaskan mengantar keluarga saya ke Malang telah menunggu untuk melaporkan pelaksanaan misinya. Mereka berhasil menerobos Wonokromo. Dalam perjalanan ke Malang mereka singgah di Gembol untuk melapor ke markas CPM. Komandan jaga CPM mengatakan bahwa sejak saat itu pihak CPM-lah yang bertanggung jawab mengantar keluarga saya ke Malang dan meminta regu pengawal untuk kembali ke kesatuannya di Surabaya. Hal itu menimbul-kan pertengkaran karena komandan Surip merasa bertanggung jawab penuh untuk mengantar keluarga saya sampai tujuan. Pada saat pertengkaran memuncak dan nyaris terjadi bentrokan, komandan Surip mengajukan tawaran bahwa ia sendiri yang mengantar keluarga saya ke Malang, sementara anggota regu lainnya kembali ke kesatuan di Surabaya. Usul ini diterima dan akhirnya keluarga saya sampai di Malang diantar oleh komandan Surip dan diperbolehkan menempati sebuah rumah di Taman Gayam, sebuah pemukiman dekat perbatasan.
Hilangnya Brigadir Jendral Mallaby
Keesokan harinya, 30 Oktober 1945, Panglima Divisi 23 tentara Sekutu, D.C. Hawthorn, yang bertugas di Jakarta, tiba di Surabaya. Ia dijemput dan langsung dikawal ke gubernuran. Kehadirannya dimaksudkan untuk melakukan perundingan gencatan senjata dengan delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Soekarno. Hadir dalam perundingan itu Gubernur Soerjo, Residen Soedirman dan sejumlah tokoh pejuang Surabaya, antara lain Soemarsono (Ketua Pemoeda RI), Soetomo (Ketua BPRI), Roeslan Abdulgani, Sungkono, Atmadji, Mohammad Mangunprodjo, Soejono, dan lain-lain. Saya dan Moestopo tidak ikut. Keputusan tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa kami telah melakukan perundingan dengan pihak Sekutu ketika mereka tiba dan telah mengobarkan perlawanan terhadap Sekutu. Kami tetap siaga di lapangan, sementara semua komandan dari pihak Sekutu dikabarkan hadir dalam pertemuan tersebut.
Perundingan gencatan senjata yang dipimpin oleh Presiden Soekarno berhasil memutuskan sejumlah butir kesepakatan:
1. Ultimatum pihak Sekutu yang disebarkan dalam pamflet menyangkut pelucutan senjata BKR dan pemuda pejuang dinyatakan batal.
2. Tentara Sekutu tidak akan turut campur dalam urusan menjaga keamanan kota.
3. Tentara Sekutu akan ditarik kembali dari pos-pos pertahanannya dan dipusatkan di kamp-kamp tawanan di Darmo dan Tanjung Perak.
4. Hubungan dengan TKR dan polisi bersenjata akan tetap dilakukan melalui petugas penghubung.
5. Daerah pelabuhan akan dijaga oleh TKR dan tentara Sekutu.
6. Akan dibentuk kontak biro yang menjadi badan penghubung yang terdiri dari beberapa anggota TKR dan pejabat kota Surabaya serta tentara Sekutu.
Setelah selesai berunding, Residen Soedirman dan Brigjen Mallaby mengantar delegasi Indonesia dan Sekutu ke bandara untuk kembali ke Jakarta pada hari yang sama. Mereka bermaksud untuk kembali ke Surabaya untuk melanjutkan pembicaraan menyangkut butir-butir kesepakatan yang telah dicapai. Ketika kendaraan yang ditumpangi masing-masing pejabat meluncur menuju Hotel Internatio, mereka terhenti oleh kerumunan massa sehingga perjalanan tidak dapat diteruskan. Ternyata kerumunan massa itu menuntut tentara Belanda yang menyamar sebagai tentara Sekutu dan bermarkas di hotel itu meninggalkan hotel dan menyerah. Tuntutan massa tidak mendapat tanggapan bahkan dibalas dengan tembakan.
Tembakan Sekutu ini menjadi pemicu terjadinya kerusuhan yang mengakibatkan jatuhnya korban dari kalangan pemuda pejuang. Namun, massa tetap melakukan perlawanan. Ketika mereka terlihat berada di dalam mobil di depan hotel, seorang perwira Sekutu menjadi sasaran amukan. Untuk menghindari amukan massa, sopir mobil tersebut berusaha melarikan mobil, tetapi tidak berhasil karena tembakan beruntun terus dimuntahkan oleh para pejuang yang berada di depan hotel. Sejumlah saksi mata mengatakan bahwa perwira Sekutu itu mati bergelimang darah di dalam mobil bersama sopirnya. Tiba tiba sebuah granat meledak di dekat mobil sehingga mobil itu terbakar. Jenazah yang berada di dalam mobil tidak dapat dikenali lagi karena seluruh tubuhnya habis terbakar. Namun, berdasarkan bukti, yaitu arloji yang bertuliskan “Mallaby”, dapat dipastikan bahwa jenazah itu adalah Brigjen Mallaby. Ketika peristiwa itu terjadi, Roeslan Abdulgani bersama sejumlah tim biro kontak juga berada di sana. Mereka ada dalam iring-iringan bersama mobil yang ditumpangi Brigjen Mallaby ketika kembali dari bandara. Mobil yang ditumpangi oleh Brigjen Mallaby adalah sedan Lincoln berwarna abu-abu. Ketika mendekati Hotel Internatio, pasukan yang berada di dalam hotel melepaskan tembakan gencar terhadap kerumunan massa. Iring-iringan mobil terhenti. Pak Roeslan sempat melihat lontaran granat yang datang dari arah hotel, jatuh tepat di dekat mobil yang ditumpangi komandan pasukan Sekutu dan kemudian meledak. Ketika melihat ada lontaran granat, ia dan teman temannya (Soengkono dan Doel Arwono) berusaha menyelamatkan diri dengan meloncat ke dalam Sungai Mas sehingga terhindar dari malapetaka. Sementara itu, Residen Soedirman yang juga ikut dalam iringan mobil itu diselamatkan oleh sejumlah pemuda pejuang dengan melarikan beliau ke tempat yang aman.
Sebenarnya rombongan Mallaby-Soedirman datang ke tempat itu untuk menyelamatkan tentara Sekutu yang bermarkas di hotel yang terancam hancur akibat kepungan massa rakyat. Setelah pertempuran berhenti, tiga orang diutus untuk berunding dengan tentara Sekutu (Inggris) yang berada di dalam hotel itu:
Kapten Shaw, Perwira Intel dari Jenderal Mallaby, Mohammad utusan Indonesia, dan Kundan, orang India yang bersimpati pada Indonesia. Namun, yang diperbolehkan masuk untuk berunding hanya Kapten Shaw, sedangkan lainnya harus menunggu di ruang tunggu. Setelah terjadi pertempuran, Kundan berhasil lolos keluar dari hotel, sedangkan Mohammad dilucuti senjatanya dan ditahan oleh pihak Sekutu.
Peristiwa tragis yang dialami komandan pasukan Sekutu itu menimbulkan goncangan berat pada tentara Sekutu. Kematian itu tetap dirahasiakan dan yang disiarkan dalam berita radio adalah hilangnya Brigjen Mallaby dalam perjalanan pulang dari bandara seusai mengantar delegasi Sekutu dan Indonesia. Berita itu disertai tuduhan bahwa para pejuang Surabaya telah menculik dan membunuh Brigjen Mallaby secara keji. Hal ini jelas menurunkan martabat negara di mata Internasional, karena peristiwa itu terjadi setelah dicapai kesepakatan gencatan senjata. Jadi, Brigjen Mallaby datang untuk melaksanakan suatu “good will mission”.
Panglima Inggris untuk Indonesia, Letnan Jenderal Sir Philip Christison, sangat marah ketika memperoleh berita itu. Karena itu, ia mengeluarkan pernyataan ancaman bahwa ia akan menggunakan seluruh kekuatan pasukan Sekutu yang berada dalam komandonya untuk menghukum mereka yang telah melakukan pelanggaran hukum perang tanpa melakukan penyelidikan terlebih dulu. Ancaman ini ditujukan kepada pimpinan perjuangan Indonesia di Surabaya agar menyerahkan anggotanya yang telah melakukan pengkhianatan itu kepada pihak Sekutu. Hal itu tidak dilakukan karena tidak seorang pun dapat membuktikan siapa sesungguhnya yang telah melakukan pembunuhan itu. Selain itu, bila dilakukan oleh pihak Indonesia, hal itu akan merusak pandangan internasional terhadap Indonesia. Para pejuang yakin bahwa yang harus bertanggung jawab atas kematian komandan Sekutu itu adalah tentara Sekutu sendiri yang berada di dalam Hotel Internatio itu. Namun, pihak pimpinan Sekutu bersikeras mempertahankan keputusannya. Bagi kami, tidak ada alternatif lain kecuali berperang mempertahankan kehormatan negara dan bangsa. Merdeka atau mati! Para komandan pasukan saya perintahkan untuk mengkoordinasi organisasi perjuangan rakyat agar siap menghadapi ancaman dari pihak Sekutu. Mereka giat memberikan latihan dan pendidikan militer kilat demi meningkatkan kesiagaan rakyat. Usaha itu dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk mengimbangi tentara Sekutu yang akhir-akhir itu terus mendatangkan pasukan bantuan dari berbagai tempat. Bila diperhatikan, tampak bahwa pihak Sekutu telah bertekad untuk menggempur arek-arek Suroboyo sebagai balasan atas kematian pimpinan mereka, Brigjen. Mallaby. Hal itu terbukti pada 9 Nopember 1945 ketika Mayjen Mansseargh yang bertugas memimpin pasukan Sekutu di Surabaya mengeluarkan ultimatum kepada semua organisasi perjuangan rakyat dan pasukan Republik Indonesia di Surabaya agar menyerahkan semua persenjataan, baik senjata tradisional maupun senjata modern, kepada pihak Sekutu. Bila ultimatum tidak ditaati, mulai pukul 11.00 pada 10 November 1945, Sekutu akan melakukan tindakan kekerasan militer. Ultimatum yang disebarkan melalui selebaran yang di hamburkan dari pesawat tempur Sekutu ternyata tidak berhasil mematahkan tekad perjuangan rakyat. Rakyat Surabaya semakin giat mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan Sekutu. Kematian Mallaby bagi mereka merupakan suatu aib yang hanya dapat dibersihkan lewat kekuatan senjata. Bagi para pejuang, keinginan Sekutu itu tidak perlu dibahas lagi. Yang menjadi sikap umum saat itu adalah “lebih baik mati daripada dijajah kembali!”
Pada siang hari mulai pukul 11.00 pada 10 November 1945, pihak Sekutu mulai melancarkan serangan besar-besaran terhadap Surabaya. Tembakan meriam dari kapal-kapal perang Sekutu dan bom-bom yang dijatuhkan oleh pesawat perang serta diikuti oleh gerak maju pasukannya membuat kota Surabaya berubah menjadi medan perang yang dahsyat. Gempuran Sekutu ini dibalas oleh kekuatan perjuangan RI dengan tembakan senapan, mitraliur, dan meriam yang lebih hebat dari tembakan meriam Sekutu. Musuh tidak menduga akan mengalami gempuran balik seperti itu dari arek-arek Suroboyo. Pertempuran yang menewaskan banyak rakyat dan tentara musuh ini mengakibatkan penderitaan dan linangan air mata. Mayat- mayat bergelimpangan, darah merah mengalir di sepanjang Kali Brantas. Surabaya menjadi neraka bagi Sekutu dan ribuan pahlawan kita gugur. Namun, di arena perjuangan ini pasukan Polisi Republik Indonesia tetap menunjukkan kepemimpinan dan kepeloporannya. Pantang mundur merupakan konsekuensi dari kedudukannya sebagai pencetus dan pendorong revolusi fisik Indonesia.
Kondisi itu menggerakkan saya mengambil kebijaksanaan untuk mendorong pasukan saya agar terus melancarkan serangan dan melindungi pasukan organisasi perjuangan yang bergerak mundur ke pinggiran kota. Untuk itu, pemuda pejuang yang tangguh dikerahkan menggantikan anggota pasukan yang meninggal. Saya pikir, ketika itu, pasukan saya adalah motivator terpenting bagi para pejuang. Bila pasukan PRI ikut mundur, hal itu pasti akan mempengaruhi semangat juang mereka. Karena itu, dalam menghadapi gerak maju Sekutu, saya mengatur strategi perang gerilya menggantikan strategi perang frontal. Pola ini mengakibatkan pihak Sekutu tidak dapat segera mengakhiri perang. Perang gerilya yang kekuatannya bersandar pada rakyat di kampung-kampung sangat membingungkan musuh. Andaikata persenjataan yang dimiliki Sekutu sama seperti yang dimiliki arek-arek Suroboyo, pihak RI dengan tekad perjuangan “Merdeka atau Mati” pasti mampu mengalahkan musuh dan mencegah musuh menguasai Surabaya. Dalam pertempuran siang-malam selama kurang lebih tiga minggu itu, pihak Indonesia kehilangan lebih dari sepertiga jumlah penduduk Surabaya yang berjumlah enam ribu jiwa. Sedangkan di pihak Sekutu, kurang lebih seribu delapan ratus jiwa melayang, tidak termasuk yang luka-luka.
Tidak bisa dipungkiri, perjuangan rakyat Indonesia di Surabaya itulah yang menentukan kelanjutan kemerdekaan bangsa Indonesia. Pejuang-pejuang Polisi Republik Indonesia di medan perjuangan itu patut menundukkan kepala atas pengorbanan dan penderitaan rakyat. Namun, mereka juga pantas merasa bangga atas peran historisnya bersama rakyat dalam mempersembahkan kebebasan dan kemerdekaan bagi Ibu Pertiwi. Pesan itulah yang terpatri di Monumen Perjuangan POLRI yang kini berdiri megah di tengah kota Pahlawan Surabaya.
_____________
MEMOAR JASIN
SANG POLISI PEJUANG
MELURUSKAN SEJARAH KEPOLISIAN INDONESIA
Komentar
Posting Komentar