Dekrit No. 1 TENTANG PEMBENTUKAN DEWAN REVOLUSI INDONESIA
I. Demi kelantjaran Negara Republik Indonesia, demi pengamanan pelaksanaan Pantjasila dan Pantja Azimat Revolusi Indonesia seluruhnja, demi keselamatan Angkatan Darat dan Angkatan Bersendjata pada umumnja, pada waktu tengah malam Kamis tanggal 30 September 1965 diibukota Republik Indonesia, Djakarta, telah dilangsungkan pembersihan terhadap anggota-anggota apa jang menamakan dirinya Dewan Jenderal yang telah merencanakan coup mendjelang Hari Angkatan Bersendjata 5 Oktober 1965. Djenderal-djenderal telah ditangkap, alat-alat komunikasi dan objek-objek vital lainnja telah djatuh ke dalam kekuasaan Gerakan 30 September. Gerakan 30 September adalah gerakan semata-mata dalam tubuh Angkatan Darat untuk mengakhiri perbuatan sewenang-wenang djenderal-djenderal anggota Dewan Djenderal serta perwira-perwira lainnja yjang menjadi kaki tangan dan simpatisan anggota Dewan Djenderal. Gerakan ini dibantu oleh pasukan-pasukan bersendjata di luar Angkatan Darat.
II. Untuk melantjarkan tindak landjut dari tindakan Gerakan 30 September 1965, maka oleh Pimpinan Gerakan 30 September akan dibentuk Dewan Revolusi Indonensia jang anggota-anggotanja terdiri dari orang-orang sipil dan orang-orang militer jang mendukung Gerakan 30 September tanpa reserve. Untuk sementara waktu mendjelang pemilihan umum Madjlis Permusjawaratan Rakjat, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, Dewan Revolusi Indonesia mendjadi sumber dari pada segala sumber kekuasaan dalam Negara Republik Indonesia untuk mewudjudkan Pantjasila dan Pantja Azimat Revolusi seluruhnja. Dewan Revolusi Indonesia dalam kegiatannja sehari-hari akan diwakili oleh Presidium Dewan jang terdiri dari Komandan dan Wakil-Wakil Komandan Gerakan 30 September.
III. Dengan djatuhnja segenap kekuasaan Negara ke Dewan Revolusi Indonesia, maka Kabinet Dwikora dengan sendirinja berstatus demisioner. Sampai pembentukan Dewan Menteri Baru oleh Dewan Revolusi Inndonesia, Para bekas menteri diwadjibkan melakukan pekerdjaan rutin, mendjaga ketertiban dalam Departemen masing-masing, dilarang melakukan pengangkatan pegawai baru dan dilarang mengambil tindakan-tindakan jang berakibat luas. Semua bekas Menteri berkewadjiban memberikan pertanggung djawaban kepada Dewan Revolusi Indonesia c.q. Menteri-Menteri baru jang akan ditetapkan oleh Dewan Revolusi Indonesia.
IV. Sebagai alat dari pada Dewan Revolusi Indonesia didaerah dibentuk Dewan Revolusi Provinsi (paling banjak 25 orang), Dewan revolusi Kabupaten (paling banjak 10 orang), dewan Revolusi Ketjamatan (paling banjak 10 orang), Dewan Revolusi Desa (paling banjak 7 orang), terdiri dari orang-orang sipil dan militer jang mendukung Gerakan 30 September tanpa reserve. Dewan Revolusi Daerah ini adalah kekuasaan tertinggi untuk daerah jang bersangkutan, dan jang di Provinsi dan Kabupaten pekerdjaannja dibantu oleh Badan Pememrintah Harian (BPH) masing-masing, sedangkan di Ketjamatan dan Desa dibantu oleh Pimpinan front Nasional setempat terdiri dari orang-orang jang mendkung Gerakan 30 September tanpa reserve.
V. Presidium Dewan Revolusi terdiri dari Komandan dan Wakil-Wakil Komandan Gerakan 30 September. Komandan Gerakan 30 September adalah Ketua dan Wakil-Wakil Ketua Dewan Revolusi Indonesia.
VI. Segera setelah pembentukan Dewan Revolusi Daerah, Ketua Dewan Revolusi jang bersangkutan harus melaporkan kepada Dewan Revolusi setingkat di atasnja, tentang susunan lengkap anggota Dewan.
Dewan Revolusi Provinsi harus mendapat pensjahan tertulis Presiidium Dewan Revolusi Indonesia. Dewan Revolusi Kabupaten harus mendapat pensjahan tertulis dari Dewan Revolusi Provinsi, dan Dewan Revolusi Ketjamatan dan Desa harus mendapat pensjahan tertulis dari Dewan Revolusi Ketjamatan.
Djakarta, 1 Okotober 1965
Komandan Gerakan 30 September
Komandan: Letnan Kol. Untung
Wakil Komandan; Brig. Jend. Supardjo
Wakil Komandan: Letnan Kol. U. Heroe
Wakil Komandan: Kolonel L. Soenardi
Wakil Komandan: Ajun Kom. Bes. Pol. Anwas
Diumumkan oleh Bagian Penerangan Gerakan 30 September pada tanggal 1 Oktober 1965.
I. Memenuhi isi Dekrit No. 1 tentang pembentukan Dewan Revolusi Indonesia, maka dengan ini diumumkan anggota-anggota lengkap dari dewan Revolusi Indonesia.
1.Letnan Kolonel Untung (Ketua Dewan)
2.Brigadir Djenderal Supardjo (Wk. Ketua Dewan)
3.Letnan Kolonel Udara Heru (Wk. Ketua Dewan)
4. Kolonel Laut Sunardi (Wk. Ketua Dewan)
5.Ajun Komisaris Besar Pol. Anwas (Wk.Ketua )
6. Marsekal Madya Omar Dhani
7. Inspektur Djeneral Pol. Sutjipto Judodihardjo
8. Laksamana Madya Laut E. Martadinata
9. Dr. Subandrio
10. Dr. J. Leimena
11. Ir. Surachman (Gol. Nasionalis)
12. Fatah Jasin (Gol. Agama)
13. K.H. Siradjuddin (Gol. Agama)
14. Tjugito (Gol. Koumnis)
15. Arudji Kartawinata
16. Siauw Giok Tjhan
17. Sumarno, SH.
18. Major Djenderal KKO Hartono
19. Brigadir Djenderal Pol. Sutarto
20. Zaini Mansur (Front Pemuda Pusat)
21. Jahaja SH (Fornt Pemuda Pusat)
22. Sukatno m(Front Pemuda Pusat)
23.Bambang Kusnohadi (PPMI)
24. Rahman (Wa Sekjen Front Nasional)
25.Hardojo (Mahasiswa)
26. Major Djenderal Basuki Rachmat
27. Brigadir Djenderal Riacudu
28. Brigadir Djenderal Solihin
29. Brigadir Djenderal Amir Machmud
30. Brigadir Djenderal Andi Rivai
31. Major Udara Sujono
32. Komodor Udara Leo Wattimena
33. Dr. Utami Surjadarma
34. Kolonel A. Latief
35. Major Djenderal Umar Wirahadikusuma
36. Nj. Supeni
37. Nj. Mahmudah Muwardi
38. Nj. Suharti Suwarno
39. Kolonel Fatah
40. Kolonel Suherman
41. Kolonel Laut Samsu Sutjipto
42. Suhardi (Wartawan)
43. Komisaris Besar Pol. Drs. Sumartono
44. Djunata Suwardi
45. Karim D.P. (PWI)
II. Ketua Dewan dan Wakil Ketua Dewan Revolusi Indonesia merupakan Presidium Dewan Revolusi Indonesia jang diantara dua sidang lengkap Dewan bertindak atas nama Dewan.
III. Semua Dewan Revolusi Indonensia dari kalangan sipil diberi hak memakai tanda pangkat Letnan Kolonel jang setingkat. Anggota Dewan Revolusi dari kalangan Angkatan Bersendjata tetap memakai pangkat jang lama, ketjuali jang lebih tinggi dari
Letnan Kolonel diharuskan memakai jang sama dengan pangkat Komandan Gerakan 30 September, jaitu Letnan Kolonel, atau jang sederadjat.
KOMANDO GERAKAN 30 SEPTEMBER
Ketua Dewan Revolusi Indonesia
ttd.
(Letnan Kolonel Untung)
Pada 2 Oktober Harian Rakjat, surat kabar resmi PKI, dalam editorialnya memberikan dukungan kepada Gerakan 30 September 1965 sebagai berikut.
... Tepat tanggal 30 September telah dilakukan tindakan penjelamatan terhadap Presiden Sukarno dan RI dari kup apa jang menamakan Dewan Djenderal. Menurut apa jang diumumkan oleh Gerakan 30 September jang dikepalai oleh Letkol Untung dari bataljon Tjakrabirawa penjelamatan diri Presiden Sukarno dan RI dari kup Dewan Djenderal adalah tindakan jang patriotic dan revolusioner. Betapapun dalih jang digunakan oleh Dewan Djenderal dalam makarnya yang melakukan kup adalah tindakan jang terkutuk dan kontra revolusioner. Kita rakjat memahami betul apa jang dikemukakan oleh Letkol Untung dalam melakukan gerakannya yang patriotik itu. Tetapi bagaimanapun juga persoalan tsb. Adalah persoalan intern AD. Tetapi kita rakjat jang sadar akan politik dan tugas-tugas revolusi mejakini benarnja tindakan jang dilakukan oleh Gerakan 30 September untuk menjelamatkan revolusi dan Rakjat. Dukungan dan hati Rakjat sudah pasti dipihak Gerakan 30 September. Kita serukan kepada seluruh Rakjat untuk mempertadjam kewaspadaan dan siap menghadapi segala kemungkinan ...”122
----------
122. Harian Rakjat, Sabtu 2 Oktober 1965.
Aksi Tandingan Angkatan Darat (Kostrad)
Pangdam V Jaya, Mayjen Umar Wirahadikusuma menerima laporan Mayor CPM Sudarto, ajudan Jenderal A. Yani, tentang penculikan para jenderal. Mayjen Umar merintahkan Sudarto lapor kepada Kolonel Sarwo Edhie Wibowo. Sarwo Edhie selanjutnya memerintahkan Mayor CI Santosa menarik pasukan RPKAD dari latihan Upacara HUT ABRI di Parkir Timur Senayan. Pada pagi 1 Oktober 1965, kondisi ibu kota tegang dan tidak menentu. Hanya sedikit orang yang tahu perkembangan keadaan dan tahu siapa yang telah menculik para jenderal. Beberapa penculik dapat dikenali dari pakaian seragamnya, yaitu pasukan pengawal kepresidenan. Pada umumnya orang-orang tidak tahu keberadaan para jenderal itu setelah diculik, bagaimana nasib mereka, dan apa latar belakangnya. Pengumuman Untung hanya memberi isyarat atas apa yang telah terjadi. Akibat kejutan (surprise), kebingungan meluas, khususnya di lingkungan TNI AD, karena personel yang terlibat berasal dari TNI AD, setidak-tidaknya dari seragamnya. Kecurigaan dan kebingungan juga melanda anggota ABRI lainnya, karena sedang di Jakarta untuk mempersiapkan perayaan HUT ABRI yang akan dilaksanakan secara besar-besaran pada 5 Oktober 1965. Mayjen Soeharto, Panglima Kostrad (Pangkostrad), pagi 1 Oktober 1965 mendapat informasi telah terjadi gerakan militer yang mencurigakan di rumah beberapa orang jenderal. Informasi itu menyatakan beberapa orang dari mereka telah ditembak mati oleh gerombolan bersenjata yang mengaku dari Yon Cakrabirawa. Setelah mendapat informasi, Mayjen Soeharto segera pergi ke kantornya, di Medan Merdeka Timur. Dalam perjalanannya, Soeharto menyaksikan kegiatan militer di sekeliling Monumen Nasional (Monas). Pada waktu itu memang ada dua batalion Kostrad, yaitu Yon 454/Para dari Jawa Tengah dan Yon 530/Para dari Jawa Timur yang didatangkan ke Ibukota untuk ikut merayakan HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1965. Kedua batalion tersebut kemudian disalahgunakan oleh Gerakan 30 September 1965. Yon 454 menempati bagian utara lapangan Medan Merdeka, berhadapan dengan Istana Merdeka, dan Yon/Para dari Jawa Timur menempati depan Museum ke selatan sampai Bundaran Air Mancur, membelok ke timur, gedung Postel dan Telekomunikasi, sampai bagian selatan Stasiun Gambir. Setibanya di kantor, Mayjen Soeharto menerima laporan mengenai peristiwa yang terjadi dan menganalisis situasi yang berkembang. Berdasarkan pengumuman Untung pukul 07.15, pernyataan Pangau pukul 09.00, pembentukan Dewan Revolusi, dan Dekret pada pukul 14.00, disimpulkan bahwa telah terjadi pengkhianatan terhadap TNI AD dan usaha perebutan kekuasaan. Soeharto bertekad melawan pengkhianatan dan pemberontakan tersebut. Langkah pertama yang diambil oleh Soeharto ialah mengambil alih pimpinan Angkatan Darat berdasarkan order tetap Menpangad tentang pejabat yang mewakili pimpinan TNI AD apabila Menpangad berhalangan. Langkah ini juga disetujui oleh para perwira tinggi yang ada di Kostrad.
Mayjen Soeharto selanjutnya memanggil Pandam V/Jaya, Mayjen Umar Wirahadikusuma, yang sebelumnya bersama dengan Kastaf Garnisun Ibukota Brigjen G.A. Mantik telah mengunjungi rumah para jenderal yang telah dibunuh dan diculik, kemudian melanjutkan perjalanan ke Istana untuk mengecek keselamatan Presiden. Namun yang ia temukan adalah catatan kunjungan rombongan Brigjen Soepardjo yang ingin bertemu Presiden Sukarno dan tidak berhasil ditemuinya. Di samping itu, laporan Mayjen Umar Wirahadikusumah, yaitu Supardjo di istana pagi-pagi tersebut untuk melaporkan peristiwa G30S, mengejutkan Pangkostrad Mayjen Soeharto tentang keberadaan Pangkopur IV Kalimantan di Istana tersebut, yang seharusnya berada di posnya.123
Bersamaan dengan itu pada pukul 06.30, tanggal 1 Oktober 1965, Nasution keluar dari persembunyiannya, menemui Letkol CPM Hidayat Wiryasonjaya Danmen Markas Staf AB yang tengah mencarinya. Letkol Hidayat bersama Mayor Sumargono, dan Bob Sunario (ipar Nasution) membawa Nasution keluar dari kediamannya pindah ke tempat yang lebih aman, tidak jauh dari Markas Kostrad. Pada pukul 09.00 setelah mendengar pengumuman Untung, lewat Letkol Hidayat ia menyampaikan pesan kepada Pangkostrad agar melokalisir pasukan lawan, menutup kota, meminta bantuan ke Kodam V/Siliwangi, membantah isu adanya Dewan Jenderal, memperoleh kepastian kondisi Presiden, dan menghubungi Menpangal, Menpangak, dan Panglima KKO, Jenderal Hartono.
Sementara itu, Soeharto dan Wirahadikusuma yang telah berada di Markas Kostrad, selain menutup perbatasan Ibukota, menetralisir pasukan di Medan Merdeka, kemudian menghubungi Menpangal, dan Menpangak. Kedua panglima berjanji akan mengkonsinyir pasukan masing-masing sebelum jelas siapa kawan dan siapa lawan.
Siang hari 1 Oktober 1965 Jenderal Nasution bergabung ke Kostrad. Di Markas Kostrad, Jl. Merdeka Timur, Jakarta, Pangkostrad, Mayjen Soeharto, Pangdam V/Jaya Mayjen Umar Wirahadikusuma, dan Jenderal Nasution yang lolos dari pembantaian Gerakan 30 September beserta staf Kostrad pada Jumat 1 Oktober 1965 mengadakan penilaian terhadap situasi. Akhirnya diputuskan: mengadakan pembelaan dan pengejaran terhadap pasukan penculik jenderal-jenderal. Disinyalir bahwa pasukan penculik berada di sekitar PAU Halim Perdanakusuma.
Tetapi waktu itu di Kostrad tidak ada pasukan, hingga masih harus dicari terlebih dahulu. Pada pukul 14.00 Kapten Soekarbi, Wadanyon 530 Brawijaya, setelah dihubungi Brigjen Sabirin Mochtar dan Letkol Ali Moertopo, datang menghadap Pangkostrad. Kapten Soekarbi berjanji akan memenuhi perintah membawa Batalion 530 masuk Kostrad pada 16.30, namun minus Mayor Bambang Supeno, Danyon, dan kurang satu kompi karena terlanjur masuk kompleks Halim, sedangkan yang tidak memenuhi perintah Pangkostrad ialah Yon 454 Diponegoro, dipimpin Wadanyon-nya Kapten Kuntjoro menuju ke Halim. Namun pada pukul 20.00 dua kompi pasukan Yon 454 berhasil memisahkan diri, dan melapor kepada Kolonel Inf. Wahono, As. II/Operasi Kostrad.
Pada pukul 20.30 Kapten Inf. Koentjoro, Wadanyon 454, menghadap Kolonel Wisnoe, yang didampingi Mayor Udara Soebarjono, dan Kapten Udara Hanafie, meminta izin penempatan pasukannya di Halim. Berdasarkan pengarahan Komodor Leo Watimena, permintaan itu ditolak masuk ke pangkalan, dan disarankan agar Kapten Koentjoro menempatkan pasukan di sepanjang jalan Pondok Gede. Beberapa saat kemudian Mayor Udara Gathot Soekrisno, perwira, diperbantukan Irjen-Poleksos merangkap Pengurus Besar Front Nasional, juga menghadap Kolonel Wisnu minta izin meminjam 2.000 pucuk senjata milik pangkalan, permohonan ini juga ditolak124. Pasukan Yon 454 ini kemudian menempati sepanjang jalan Pondok Gede, kemudian pada 2 Oktober 1965 melakukan kontak senjata dengan pasukan RPKAD dan Yon 328 Kujang.
Aksi pembalasan dan pengejaran dilaksanakan dengan mengerahkan RPKAD di Cijantung, yang dipimpin oleh Kolonel Sarwo Edhie Wibowo dan Yon Para 328 Kujang yang berada di Jakarta dalam rangka persiapan HUT ABRI. Dengan kekuatan dua batalion terus menuju ke Kostrad. Sebelumnya, yaitu pada pukul 16.00, Pangkostrad Mayjen Soeharto menerima surat dari Presiden Sukarno, selaku Pangti ABRI yang dibawa Kolonel Bambang Widjonarko. Surat tersebut dibuat di Halim, isinya menyatakan bahwa Presiden dalam keadaan selamat dan tetap memegang pimpinan Negara. Presiden menerangkan bahwa ia telah mengangkat Mayjen Pranoto Reksosamodro, sebagai Pejabat Harian (caretaker) Men/Pangad. Pangti ABRI memerintahkan agar pasukan-pasukan ditarik dari posnya masing-masing, dan boleh bergerak hanya atas perintah.125
Para perwira tinggi yang berkumpul di Markas Kostrad, termasuk Jenderal A.H. Nasution, melakukan musyawarah sehubungan surat perintah di atas. Keputusannya: menunda keputusan pelaksanaan perintah Presiden Sukarno dengan alasan:
a. Operasi penumpasan dam pengejaran terhadap pasukan penculik sedang dilaksanakan.
b. Para jenderal yang diculik belum diketahui identitas dan bagaimana nasibnya.
c. Melaporkan kepada Presiden, bahwa biasanya bila Men/Pangad Jenderal A. Yani tidak di tempat, yang mewakili adalah Pangkostrad Mayjen Soeharto sebagai perwira yang paling senior.
Selanjutnya Pangdam V/Jaya dalam menghadapi situasi yang membingungkan masyarakat itu, pada sore hari 1 Oktober 1965 bertindak tegas dengan menyatakan Daerah Khusus Jakarta dalam keadaan perang, dan pemberlakuan jam malam, mulai pukul 18.00 hingga 06.00 pagi. Pada pukul 18.30, tanggal 1 Oktober 1965, Pangkostrad Mayjen Soeharto memerintahkan pasukan RPKAD dan Yon 328 Kujang untuk merebut kembali RRI Pusat dan Gedung Telekomunikasi dengan menghindari timbulnya pertumpahan darah. Ternyata studio RRI Jakarta hanya dipertahankan oleh Pemuda Rakyat, dan berhasil dikuasai kembali pada pukul 19.00 tanpa perlawanan. Pemuda Rakyat itu setelah dilucuti senjatanya oleh RPKAD selanjutnya diserahkan kepada Direktorat Polisi Militer di Jl. Medan Merdeka Timur untuk ditahan. Mereka adalah tahanan PKI pertama sejak meletusnya G30S/1965.126
Berkat penguasaan kembali RRI Pusat, maka Jawatan Penerangan Angkatan Darat mengumandangkan pengumuman Pangkostrad sebagai pimpinan sementara Angkatan Darat RI, menyatakan bahwa mereka yang menamakan diri “Gerakan 30 September” adalah kontra revolusi. Dengan tercantumnya jenderal-jenderal dalam daftar Dewan Revolusi seperti: Basuki Rachmat, Amir Machmud, Umar Wirahadikusumah, Solihin, Ryacudu, dan Andi Rivai, dinyatakan bahwa yang bersangkutan tidak tahu-menahu. Teks pengumuman Pangkostrad sebagai berikut.
Departemen Angkatan Darat
PENGUMUMAN
No. 002/Peng/Pus/1965
Dengan ini diumumkan bahwa:
1.Telah ada pengertian kerdja sama dan kenulatan penuh antara Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Kepolisian untuk menumpas gerakan kontra-revolusioner dari apa jang menamakan dirinja”Gerakan 30 September”.
2.Dengan telah diumumkannja apa jang mereka sebut “Dewan Revolusi Indonesia” dan menganggap bahwa kabinet Dwikora sudah demisioner, maka djelas orang-orang Gerakan 30 September” adalah orang-orang kontra revolusioner jang telah melakukan pengambil-alihan kekuasaan Negara Republik Indonesia dari tangan P.J.M. Presdien/Panaglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi, Bung Karno, disamping mereka telah melakukan pentjulikan terhadap beberapa Perwira Tinggi Angkatan Darat.
3.Masjarakat diharap tenang dan tetap waspada serta siap siaga.
Djakarta, 1 Oktober 1965
Pimpinan Sementara Angkatan
Republik Indonesia
ttd.
SOEHARTO
Major Djenderal –TNI
Salinan sesuai dengan aslinja
Oleh Sie PEN KOTI
Dengan adanya pengumuman tersebut persoalan yang terjadi di Ibukota menjadi jelas bagi masyarakat luas. Selanjutnya Pangdam V/Jaya menginstruksikan Garnizun Ibukota melakukan konsinyering berat. Gerakan pasukan hanya dibenarkan dengan perintah Komandan Garnizun Ibukota. Sebagai tanda pengenalnya pita putih di atas pundak.
Tindakan Pangkostrad Mayjen Soeharto memerintahkan pengepungan PAU Halim Perdanakusuma pada malam itu juga. Menghadapi perintah Soeharto, Men Pangau Omar Dhani mengirim pesan radio agar Soeharto mengurungkan niatnya, karena berada di bawah kekuasaan AU. Jika Soeharto nekad, ia akan berhadapan dengan AU.127
Pesan radiogram tersebut setelah diterima di Markas Kostrad ternyata berasal dari pesawat Hercules Omar Dhani yang melakukan holding di atas Jawa Barat dan Jawa Tengah, hingga ada kekhawatiran akan dibom oleh pihak AURI, kemudian Markas Kostrad dipindahkan dari Jl. Medan Merdeka Timur ke sebuah tempat di Kompleks Senayan.128
-----------
123. John Hughes, op.cit., hlm. 69
124. Aristides Katoppo, op.cit., hlm. 130-131.
125. Sugiarso Suroyo, Siapa menabur angin, akan menuai badai, Jakarta: 1988
126. Aristides Katoppo, op.cit., hlm. 132.
127. Hermawan Sulistyo, Palu Arit ..., hlm. 8, lihat catatan kaki no. 18. Lihat juga Putusan No. PTS.017/MLB-XIV/O.D/1966 tanggal 23-12-1966 hlm. 447.
128. Keluarga Pahlawan Revolusi, op.cit., hlm. 141.
Aksi-aksi di Daerah-daerah Jawa Barat
Di Bandung, Ketua CDB Jawa Barat tidak sempat menjalankan instruksi untuk membentuk Dewan Revolusi, tetapi di Banten pihak CDB khusus daerah itu dapat melakukannya. Pada 1 Oktober 1965, Letkol Pratomo, Komandan Kodim Pandeglang sempat mendirikan Dewan Revolusi Kabupaten yang dipimpinnya sendiri, atas instruksi Soedisman yang disampaikan kepadanya oleh Dahlan Rivai. Akan tetapi setelah situasi tidak menguntungkan PKI, Pratomo kemudian menghilang. Ketua Biro Khusus Jawa Barat, Haryana, setelah mendengar berita pada 1 Oktober 1965, segera bergerak hingga sejumlah anggota Pusat Kavaleri yang telah dibina bergerak ke Cimahi, dan seorang perwira lain telah bergerak ke Siliwangi. Gerakan tersebut dicegah oleh Ismail Bakri, Ketua CDB Jawa Barat yang belum menerima instruksi dari Jakarta. Kebingungan dan kesimpang-siuran komando menyebabkan Dewan Revolusi Jawa Barat tidak sempat dibentuk.
Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta
Berbeda dengan daerah lainnya, di Semarang Pangdam VII/Diponegoro, Brigjen Soerjosoempeno, mengadakan rapat staf, namun para asisten, seperti Asisten I/Intel, Kolonel Sahirman tidak hadir. Di tengah-tengah situasi yang tidak jelas dan menentu itu diputuskan agar seluruh jajaran Kodam harus dapat menenangkan masyarakat, dan tidak bertindak sendiri-sendiri. Pada siang harinya, ketika Pangdam dalam perjalanan menuju Magelang dan Salatiga, Kolonel Sahirman, melalui RRI Semarang mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi Provinsi Jawa Tengah, serta dukungan terhadap gerakan 30 September di Jakarta. Selanjutnya juga diumumkan, Letkol (Inf) Usman Sastrodibroto (Asisten V Teritorial Kodam Diponegoro) sebagai pimpinan Kodam yang baru.
Ketika Pangdam kembali ke Semarang, sejumlah perwira dan pasukan pendukung PKI berusaha menangkapnya, hingga Brigjen Soerjosoempeno terpaksa meninggalkan Semarang ke Magelang pada 2 Oktober, dini hari. Di Magelang, Pangdam memerintahkan Batalion Kavaleri II dan sejumlah pasukan yang setia untuk merebut kembali komando. Saat itu di RRI Semarang Kolonel Sahirman kembali mengumumkan dukungan terhadap apa yang dilakukan di Jakarta. Tatkala Pangdam tiba di Semarang dengan pasukan tank, para tokoh PKI dan sejumlah perwira pro-PKI melarikan diri. Bila di Semarang pada 2 Oktober 1965 telah dapat dikendalikan oleh Pangdam, berbeda dengan wilayah Surakarta dan Yogyakarta. Di kedua wilayah dan kota itu kondisi PKI relatif lebih kuat serta mempunyai banyak pendukung di kalangan ABRI. Skenario Sjam dapat diwujudkan. Dalam hal ini pengumuman Letkol Untung di Jakarta lewat RRI segera diikuti dengan pembentukan Dewan Revolusi, pengambilalihan kekuasaan dan tempat-tempat vital, serta unjuk rasa mendukung tindakan Gerakan 30 September.
Di Surakarta, Joseph Rabidi, Ketua Biro Khusus Daerah Solo, menemui Kolonel (Inf) Kaderi sebagai Danyon K Brigif-6 Solo agar mengerahkan pasukannya menuju Semarang. Para tokoh PKI lainnya meminta kepada sejumlah perwira untuk mendukung Gerakan 30 September dengan menandatangani dokumen yang menyatakan dukungan itu, namun dari mereka tidak ada satu pun yang berani. Akan tetapi, bagaimanapun juga pernyataan tersebut akhirnya disiarkan melalui RRI Solo pada 1 Oktober itu juga. Wali Kota Solo, Oetomo Ramlan, yang juga tokoh PKI, memberikan dukungan terhadap Gerakan 30 September. Pada malam harinya dibentuk susunan Dewan Revolusi yang diketuai oleh Mayor (Inf) Soeroso dan Bupati Wonogiri, Brotopranoto sebagai wakil ketua.129
Di kota Yogyakarta, setelah mendengar pengumuman RRI Jakarta, Danrem 072/Pamungkas, Kolonel (Inf) Katamso, mengumpulkan stafnya dan menyatakan bahwa ia tidak percaya kepada gerakan di Jakarta. Setelah pengumuman kedua RRI Jakarta, Danrem Yogyakarta kembali mengumpulkan stafnya, dan menjelaskan perkembangan terakhir, juga tentang kondisi di Semarang. Melihat sikap Danrem itu, Ketua Biro Khusus Yogyakarta, Wirjomartono mendesak agar Mayor (Inf) Moeljono sebagai yang dibinanya segera mengumumkan susunan Dewan Revolusi DIY. Agar rencana itu terlaksana diputuskan untuk menyingkirkan Danrem Kol. Inf Katamso. Pada sore hari, 2 Oktober 1965, Mayor (Inf) Wisnoeadji, Danyon L Brigif-6 memerintahkan Peltu Soemardi untuk menculik Danrem dari kediamannya dan sekaligus juga Kepala Staf Korem Letkol (Inf) Soegijono, yang waktu itu masih berada di kantor.Kedua pejabat militer tertinggi di wilayah DIY tersebut dibawa ke markas Batalion di Kentungan, dekat Kaliurang. Pada dini hari 2 Oktober 1965 kedua perwirira itu dibunuh dan dikuburkan dalam satu lubang makam. Sementara para penculik menahan kedua perwira itu, Mayor Moeljono dan Mayor Wisnoeadji membentuk susunan Dewan Revolusi. Hasilnya disiarkan pada tanggal 2 Oktober siang hari itu juga, didukung oleh PKI Yogyakarta melakukan unjuk rasa memberi dukungan pada gerakan dan pembentukan Dewan Revolusi. Unsur-unsur yang ikut dalam demonstrasi dari PKI, SOBSI, Pemuda Rakyat, CGMI, dan IPPI. Praktis untuk Solo dan Yogya baru benar-benar dikuasai kembali pada pertengahan Oktober, ketika pasukan RPKAD dari Jakarta tiba di kedua kota itu, untuk memimpin gerakan pembersihan terhadap PKI.
----------
129. Pernyataan Oetomo Ramelan, Walikota Surakarta, anggota PKI, dalam pertemuan Pimpinan PKI di Solo 2 Oktober 1965 menjadikan D.N. Aidit marah karena dukungan itu membuka peranan PKI di belakang kup.Hal ini bertentangan dengan kebijakan Aidit untuk menyembunyikan peranan PKI dan menyatakan Gerakan 30 September 1965 adalah urusan intern TNI AD yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan PKI. Lihat Nugroho Noto Susanto-Ismail Saleh, Tragedi Nasional ..., op.cit., hlm.
Jawa Timur
D.N. Aidit ke Jawa Timur telah mengirimkan dua orang anggota CC PKI: Roeslan Widajasastra dan Moenir, untuk membantu CDB Jawa Timur. Rencana-rencana PKI tidak dapat dilaksanakan. Ketua Biro Khusus Jawa Timur, Roestomo mengirimkan perintah kepada jajaran Biro Khusus di Malang, Jember dan Madiun agar mereka segera melaksanakan gerakan bersenjata di tempatnya masing-masing. Bahkan mereka melalui siaran RRI Surabaya yang dibawa beberapa anggota ABRI, sempat mendukung gerakan. Namun, pembentukan Dewan Revolusi Jawa Timur tidak dapat dilakukan, karena malam harinya sudah diketahui bahwa situasi di Jakarta telah berubah. Bahkan Roestomo kemudian berusaha menyelamatkan diri, dari kejaran aparat keamanan.
Sumatra Utara
Di Medan, PKI tidak mampu melaksanakan rencana-rencana yang telah disiapkan dengan saksama. Antara lain disebabkan tidak adanya kekuatan militer yang memberikan dukungan, serta pengerahan massa Pemuda Rakyat dan PKI ke lokasi-lokasi penting. Karena usia G30S hanya sampai sore hari, maka tidak satu pun aksi yang mampu dilakukan oleh PKI di Sumatra Utara.
Sumatra Barat
Kondisi Sumatra Barat juga hampir sama dengan kondisi di Sumatra Utara. Di Sumatra Barat, Baharudin Hanafi, setelah mendengar pengumuman melalui RRI Jakarta, mengadakan rapat dengan unsur-unsur PKI setempat yang memutuskan akan mengadakan gerakan pada esok harinya, 2 Oktober 1965. Dari militer, Kolonel Inf Sumed, Danrem 031/Riau akan mengumumkan dukungannya terhadap susunan Dewan revolusi Sumatra Barat, dan bila tidak ada, namanya akan dicantumkan. Menurut Baharudin Hanafi, pasukan Yon 132 dan Ki Reiders dari Batusangkar akan menunggu di Lubuk Alung. Sayang, ketika petangnya, mereka mendengar pengumuman Pangkostrad melalui RRI Jakarta, para pemimpin pasukan tidak ada yang berani menggerakkan pasukannya. Akibatnya, pimpinan PKI setempat, masing-masing berusaha menyelamatkan diri.
Bali
Ketika mendengar pengumuman pertama, pihak CDB PKI Bali menyelenggarakan rapat dengan sejumlah perwira Angkatan Darat yang sudah dibina. Hasilnya, akan dibentuk Dewan Revolusi Provinsi Bali, menduduki tempat-tempat strategis di Denpasar dan sekitarnya. Akan tetapi, pengumuman dan gerakan seperti yang direncanakan tidak dapat dilaksanakan keesokan harinya, karena mereka mendengar pengumuman dari Pangkostrad malamnya.
Kalimantan Selatan
Di Kalimantan Selatan Pangdam XI/Lambung Mangkurat, Brigjen Amir Machmud, setelah mendengar pengumuman pagi hari, 1 Oktober 1965, kemudian mengumpulkan seluruh staf dan menyimpulkan bahwa Gerakan 30 September bukan masalah internal Angkatan Darat, melainkan sudah merupakan bentuk kudeta. Sikap Panglima Kodam XI menyatakan agar tetap taat kepada perintah Presiden Sukarno, melenyapkan kesempatan PKI setempat untuk memasukkan nama Amir Machmud dalam susunan Dewan Revolusi Provinsi, lebih-lebih setelah Gubernur Kalimantan Selatan mengumumkan hal serupa.
Daerah Khusus Jakarta
Di Jakarta, Sjam tidak secara langsung menguasai organisasi militer, tetapi orang-orang binaannya seperti Kolonel Inf. Latief dan Brigjen Soepardjo yang mengendalikan pasukan-pasukan yang ada. Strategi yang ditentukan oleh partai merupakan yang paling tepat, karena tidak menunjukkan keterlibatan langsung dari PKI. Sebaliknya, dari sisi kebijaksanaan, hal itu menyebabkan kesenjangan antara keinginan Sjam dengan pelaksana dan pekerja di lapangan. Akibatnya unsur “kecepatan maksimum” hanya dikuasai sampai pukul 07.00 pagi tanggal 1 Oktober 1965, kemudian terjadi vakum hingga pukul 13.30, kecuali adanya pengumuman Men/Pangau hingga timbul kesan membela gerakan itu, yaitu ketika RRI kembali menyiarkan pengumuman kedua yang menjelaskan mengenai pembentukan Dewan Revolusi dan lain-lainnya.130
Kekosongan waktu lebih dari lima jam berakibat fatal bagi Gerakan 30 September, hingga Pangkostrad mempunyai kesempatan mengonsolidasikan kekuatannya, menanggapi perintah Presiden, berhubungan dengan Kodam V/Jaya dan kekuatan-kekuatan di luar Angkatan Darat yang mendukungnya, seperti ALRI dan AKRI, RPKAD dan Yon 328 Kujang, seperti telah dikemukakan.
Sjam juga gagal mempercepat pengumuman kedua dari Dewan Revolusi, karena dukungan politik dari ormas-ormas yang diharapkan juga tidak segera muncul, sedangkan Angkatan Darat hanya dibingungkan sesaat, ketika pucuk pimpinan teratas dibunuh atau tidak diketahui nasibnya. Ternyata PKI tidak tahu adanya klausul dalam SOP (Standard Operation Procedure) di Angkatan Darat bila Jenderal Yani tidak ada, yang menggantikan fungsi adalah Pangkostrad. Dukungan dari daerah atau gerakan massa di daerah-daerah juga tidak timbul, karena tidak jelasnya instruksi dari CC PKI di Jakarta. Karena kekhawatiran bocor perintah yang diberikan hanya:”Ikuti terus pengumuman di radio Jakarta.” Tatkala RRI Jakarta pada 1 Oktober 1965 menyiarkan pengumumanbahwa “Letkol Untung dari Cakrabirawa selamatkan Presiden dan RI” banyak dari pimpinan PKI yang tidak tahu harus bertindak apa, lebih-lebih kemudian ada kekosongan waktu selama lima jam. Akhirnya secara perlahan Angkatan Darat bangun dari kebingungan dan kelumpuhan sementara, telah berjalan, ketika Panglima Kostrad mampu mengambil langkah-langkah yang telah dikemukakan. Ada dua faktor lainnya hingga menyebabkan Gerakan 30 September tidak berhasil. Pertama gagalnya penangkapan Jenderal A.H. Nasution, hidup atau mati. Pimpinan gerakan kemudian menyadari bahwa tidak mungkin menyiapkan untuk kedua kalinya pasukan untuk mencari Nasution, karena unsur surprise-nya telah hilang. Kedua, gagalnya Brigjen Soepardjo menemui dan memberikan laporan kepada Presiden sebelum Bung Karno menerima informasi dari pihak lain. Perhitungannya, berdasarkan laporan intelijen memang Presiden Sukarno pada 30 September 1965 tidur di Istana Merdeka, namun pada dini harinya, Presiden secara pribadi menyusul Dewi dan tidur di kediamannya. Dalam pada itu sekitar pukul 05.15 laporan pertama perihal adanya penembakan di sekitar rumah Jenderal Nasoetion dan Dr. Leimena sampai kepada Presiden. Informasi itu berkembang terus hingga siang, termasuk adanya pasukan tak dikenal berada di sekitar Lapangan Merdeka, dan juga keterangan penculikan perwira tinggi lainnya. Presiden Sukarno sempat marah karena para pengawalnya tidak bisa memberikan keterangan lebih lengkap lagi.131
----------
130. Dekrit Nomor 1 tentang Dewan Revolusi Indonesia, Keputusan Nomor 1 tentang Susunan Dewan revolusi Indonesia, dan Keputusan Nomor 2 tentang Penurunan dan Penaikan Pangkat di lingkungan militer.
131. Hasil Proses Verbal Tim Pemeriksa Pusat (Teperpu), 19 Januari 1967.
Perkembangan Setelah 1 Oktober 1965 Bung Karno Meninggalkan Halim
Pada pukul Bambang Widjanarko, memberikan laporan kepada Dr. Leimena bahwa panggilan terhadap Mayjen Pranoto tidak dapat dipenuhi oleh yang bersangkutan, dan Mayjen Soeharto mengisyaratkan PAU Halim akan diserang. Untuk itu Mayjen Soeharto mengatakan kepada Kolonel Widjanarko, agar Bung Karno meninggalkan Halim sebelum tengah malam. Menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan, Dr. Leimena menyarankan kepada Presiden Sukarno agar segera meninggalkan PAU Halim. Pada pukul 10.00 Brigjen Saboer yang ada di kediaman Kolonel Udara Soesanto mendapat telepon dari Kostrad, memberitahu bahwa Bung Karno harus dibawa ke luar Halim, karena dianggap berada di tempat yang salah. Kemudian Presiden Sukarno bertanya kepada Men/Pangau Omar Dhani, ia akan dibawa ke mana. Ada yang menyarankan agar Presiden ke Yogyakarta atau ke Bali. Leimena menyatakan bahwa Presiden Sukarno akan dibawa ke Bogor melalui jalan darat. Pertimbangannya, di Bogor tersedia helikopter, dan seandainya ada bahaya dapat memerintahkan Pangdam VI/Siliwangi, Mayjen Ibrahim Adjie untuk menyelamatkannya.
D.N. Aidit Menuju ke Yogyakarta
Saat mobil Presiden meninggalkan Halim, tiba-tiba muncul Brigjen Soepardjo, dan menyampaikan bahwa Aidit akan ke Yogyakarta. Omar Dhani mengatakan akan memanggilkan Kolonel Wisnoe Djajengwinardo. Menjelang tengah malam 1 Oktober 1965, Kolonel Wisnoe Komandan Wing Operasional 001 PAU Halim mendapatkan perintah Men/Pangau untuk menerbangkan Menko Aidit ke Yogyakarta. Selanjutnya, Letnan Udara Aries, penerbang Dakota dari Bagian Perminyakan PAU Halim, diperintahkan melakukan penerbangan VIP ke Yogyakarta. Kolonel Wisnoe memerintahkan Letnan Udara Aries, agar selama penerbangannya setiap 30 menit melapor ke PAU Halim. Waktu itu jarak Yogyakarta-Halim ditempuh dalam waktu 2 jam penerbangan dengan pesawat berbaling-baling. Pada pukul 4.00 pesawat Dakota T-443 telah siap di Base Op. Selanjutnya Sjam, dari Cenko II di rumah Sersan Udara Soejatno, dan Brigjen Soepardjo, mengantar D.N. Aidit, menuju ke pesawat. Men/Pangau yang akan terbang ke Madiun, hanya melihat sepintas lalu dari Makoops, ketika Dakota mulai memutar baling-baling. Sebelum berangkat ke Yogyakarta, Aidit menyerahkan pimpinan CC PKI kepada Soedisman, Wakil Ketua III, karena Loekman, Wakil Ketua I ada di Sumatra, dan Nyoto, Wakil Ketua II ada di Jawa Tengah. Dengan demikian Sjam sebagai Ketua Biro Khusus yang menjabat sebagai Ketua Pelaksana G30S sesudah itu tidak lagi melapor kepada Aidit, melainkan kepada Soedisman. Soedisman yang memegang pimpinan tertinggi G30S, seterusnya memberi komando dari kantor CC PKI yang menempati markas rahasia Biro Khusus di Kayu Awet, Salemba.132
Dalam penerbangan menuju ke Yogyakarta, ternyata Letnan Satu Aries, tidak berhasil melakukan hubungan radio dengan PAU Adi Sucipto, karena lampu landasan tidak menyala. Letnan Udara Aries selama sekitar setengah jam, berputar-putar di sebelah timur laut pangkalan. Tatkala pesawat menggeser holding di sebelah timur pangkalan, tiba-tiba lampu landasan menyala. Ternyata sandi intelijennya, apabila pesawat pesawat holding di sebelah timur pangkalan, berarti pesawat kawan, dan Aries tidak mengetahuinya. Aries kemudian mendaratkan pesawatnya di run away 09. Beberapa perwira kemudian datang di terminal, setelah mengetahui di tengah malam itu sebuah pesawat Dakota mendarat di PAU Adi Sucipto. Mereka adalah Mayor Udara Sugiantoro, Dan Skadik (Komandan Skadron Pendidikan) Udara-B; Mayor Udara Soedardjo, (Intelijen) Mayor Udara Soenarjo (Logistik); Mayor Udara Anwar (Instruktur Penerbang AAU), Mayor Udara Sarwata, SH (Perwira Hukum AAU); dan Komodor Udara Dono Indarto (Gubernur AAU) datang terakhir. Para perwira itu pada umumnya telah mendengar pidato Pangkostrad melalui siaran RRI Pusat, 1 Oktober 1965, pada pukul 19.00.
Ketika Aidit turun dari pesawat, ia bertanya kepada Letnan Aris, “Pesawat ini mau ke mana?” Aris menjawab, “Pesawat ini mau ke Jakarta”. Aidit bertanya lagi, apa tidak bisa mengunggu. Aris menjawab, bahwa ia harus segera membawa pesawat kembali ke Halim.
Selanjutnya Aidit oleh para perwira diantar ke ruang VIP di terminal, karena ia saat itu menjabat sebagai Menko. Tatkala Aidit ditanya oleh Komodor Dono Indarto tentang tujuannya ke Yogyakarta, dijawabnya bahwa ia diperintahkan oleh Presiden Sukarno untuk melakukan persiapan, karena kemungkinan Bung Karno akan ke Yogyakarta. Dengan pengakuan Aidit melaksanakan tugas Presiden Sukarno, para perwira AURI menawarkan untuk mengantarkannya menemui Sri Paku Alam. Akan tetapi Aidit minta diantar ke rumah Soetrisno, Ketua CDB PKI Yogyakarta. Komodor Dono Indarto menolak saran salah seorang perwira, agar Aidit diantar dengan mobil dinas Gubernur AAU. Akhirnya ia menumpang mobil Morris, sedangkan para perwira mengikuti dari belakang dengan mengendarai gaz. Karena di antara mereka tidak ada yang mengetahui rumah Ketua CDB PKI, hingga mereka nyasar dua kali. Mula-mula ke rumah Ketua Partai NU, kemudian nyasar ke rumah Ketua PNI. Setelah rumah Soetrisno ditemukan, D.N. Aidit ditinggalkan. Para perwira menengah AURI itu saling bertanya, mengapa kedatangan seorang Menko tidak menemui Gubernur, melainkan malah menemui Ketua CDB PKI yang terletak di kampung.133
Pada tanggal 2 Oktober 1965 pagi, Aidit membuat pengumuman No. 3/10/1965 yang menyatakan bahwa pelaksanaan G30S di Jakarta, seolah-olah direstui oleh Presiden Sukarno. Pengumuman itu disusunnya sendiri, kemudian diserahkan kepada Wirjomartono, Ketua Biro Khusus Yogyakarta, dan seterusnya diberikan kepada Mayor Moeljono, untuk disiarkan melalui radio.134
----------
132. Aristides Katoppo dkk, op.cit., hlm. 133-136.
133. Ibid., hlm. 144-145.
134. Ibid.
Perintah Pangkostrad Menyerbu Halim
Pukul 01.00 tanggal 2 Oktober 1965 setelah bermusyawarah dengan perwira tinggi yang ada di Kostrad antara lain Jenderal A. H. Nasution, Brigjen Sobirin Moechtar, Brigjen Soegandhi dan Mayjen Soeharto sendiri yang telah mengambil alih pimpinan Angkatan Darat, memerintahkan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo menguasai PAU Halim dengan pesan, sedapat mungkin menghindari terjadinya pertumpahan darah dan kerusakan materiel. Mayor C. I. Santosa, Danyon-1/RPKAD, yang mendapatkan perintah penyerbuan dengan persetujuan Komandan RPKAD dan para perwira tinggi yang ada telah meminta satu kompi Para Kujang II dan satu kompi Kostrad melakukan manuver di Jakarta Bypass untuk memancing pertahanan PAU tertuju ke arah Jakarta Bypass, dan pasukan RPKAD akan memasuki Halim dari arah Klender. Adapun pasukan RPKAD yang disiapkan Kompi Urip atau Kompi Benhur, Kompi Heru Sisnodo, Kompi Feisal Tanjung, dan Kompi Kajat sebagai kompi cadangan. Sebelum berangkat pasukan mendapat briefing tentang strategi penyerbuan, posisi perhentian tiap-tiap kompi, sasaran bagi masing-masing kompi, serta pesan untuk menghindari terjadinya kerusakan di daerah sasaran.
Menjelang pukul 05.30, setiap komandan kompi melaporkan kesiapannya masing-masing untuk bergerak masuk PAU Halim, tetapi kompi cadangan tetap pada posisi yang telah ditetapkan, kecuali mendapat perintah lain. Keberadaan pasukan RPKAD di sekitar PAU telah diketahui oleh staf PGT sejak pukul 05.30, karena penjagaan PGT sudah berhadapan dengan RPKAD pada jarak 150 meter. Laksda Sri Muljono Herlambang sebagai perwira tinggi paling senior menyatakan bahwa RPKAD bukan pasukan musuh, dan memerintahkan seluruh anggota AURI yang bertugas dan konsinyir di PAU Halim, tetap menyandang senjata dan menghindari terjadinya pertumpahan darah. Posisi pasukan RPKAD di Halim juga diinformasikan kepada Menpangau yang sedang holding.
Di pesawat Hercules, Komodor Udara Leo Wattimena diperintahkan untuk membuat radiogram ke PAU Halim guna diteruskan kepada Mayjen Soeharto. Isinya ialah agar pasukan Angkatan Darat tidak masuk ke PAU Halim, karena Brigjen Soepardjo tidak ada di pangkalan, dan untuk menghindari terjadinya bentrok senjata antara pasukan AD dan AURI. Teks radiogram yang disusun oleh Leo Wattimena ternyata selain kurang jelas, susunan redaksinya kurang tepat, hingga menimbulkan kesan sebagai ultimatum kepada Pangkostrad. Bahkan berita yang tersebar di luar negeri bahwa AU akan berperang dengan AD. Teks radiogram itu antara lain berbunyi “Angkatan Darat jangan masuk ke Halim. Kalau masuk Halim akan dihadapi”135
Tepat pukul 06.00, melalui arah utara dan timur pasukan RPKAD dengan cepat menduduki sasaran masing-masing yang telah ditentukan dalam briefing. Para anggota pasukan RPKAD merasa heran, karena ternyata para petugas PAU Halim melaksanakan pekerjaan sebagaimana biasa, tidak seperti yang dibayangkan oleh anggota RPKAD, berhadapan dengan pasukan AURI yang siap tempur. Menanggapi
kondisi yang sangat berbahaya itu, Kolonel Wisnu memerintahkan agar para petugas pengamanan pangkalan tidak melakukan perlawanan dan sedapat mungkin menghindari terjadinya kontak senjata di wilayah Halim yang luasnya sekitar 17.000 hektar dengan kekuatan pertahanan hanya satu Kompi Yon-2/ PGT. Gerak masuk pasukan RPKAD ke Halim dapat dikatakan tidak melepaskan tembakan, kecuali di depo perminyakan, karena penjaganya. Sersan Udara I Supardi dan Prajurit Udara I Tugimin yang melihat kedatangan pasukan RPKAD, berupaya mengambil senjata yang tidak disandangnya. Namun pihak RPKAD tidak mau mengambil risiko, hingga mereka langsung melepaskan tembakan. Kedua prajurit AURI tersebut gugur kena peluru. Dalam peristiwa penyerbuan RPKAD ke Halim, beberapa pesawat yang tidak diizinkan mendarat, kemudian diarahkan ke PAU Husein Sastranegara Bandung, maupun ke PAU Atang Sanjaya, Semplak Bogor. Terhadap pesawat yang mendarat, oleh pasukan RPKAD awaknya dilucuti dan ban pesawat digembosi.
Pada pagi hari, 2 Oktober 1965 Sersan Mayor Sudiono, dari Kompi Benhur Yon-1/RPKAD, menahan dua truk yang membawa makanan. Makanan yang disita tersebut selanjutnya dibagikan kepada anggota Kompi Benhur Yon-1/RPKAD. Di lain pihak Yon-454/Raiders yang tinggal berkekuatan sekitar 1 kompi sudah dalam keadaan lemah, bergerak tanpa dukungan logistik maupun amunisi, dan tanpa peta. Sore sebelumnya, pimpinan Yon 454/Reiders, Kapten Kuntjoro menghadap Kolonel Wisnu, perwira Intel PAU Halim, selain pasukannya tidak diizinkan memasuki Halim, ia juga tidak dipinjami peta topografi kawasan pangkalan. Kapten Kuntjoro ternyata juga lepas kontak dengan Mayor Sukirno, atasannya langsung, dan G30S yang menjadi induknya seolah-olah telah bubar.
Sebenarnya, waktu itu para pimpinan G30S di Lubang Buaya tengah berdiskusi untuk menentukan langkah selanjutnya. Hadir di antaranya, Mayor Sukirno Danyon 454/Raiders dengan sebagian pasukannya, Mayor Inf. Bambang Supeno, Danyon 530/Raiders tanpa pasukan, Letkol Inf. Untung, Brigjen Soepardjo, Sjam, dan tokoh G30S lainnya. Diskusi berlangsung lama tanpa keputusan. Dalam diskusi, Brigjen Soepardjo menyarankan supaya komando gerakan militer diberikan kepadanya. Wewenang itu akan dikembalikan kepada Letkol Untung, setelah situasi dapat diatasi. Saran itu ditolak oleh Letkol Untung, alasannya bahwa bertempur terus tidak memiliki dasar politik. Soepardjo menyatakan tidak mengerti maksud Untung, sedang Sjam sebagai pimpinan pelaksana G30S sama sekali tidak memberikan reaksi terhadap usul Soepardjo. Akhirnya rapat memutuskan menghentikan perlawanan. Mereka kembali ke rumah masing-masing, sambil menunggu perkembangan situasi. Mengetahui situasi sangat gawat itu, sekitar 1.500 orang sukwan yang pernah dilatih di Lubang Buaya, tidak memilih bertempur mati-matian melainkan kabur menyelamatkan diri.136
Menjelang pukul 10.00 Kolonel Sarwo Edhie, komandan RPKAD, memasuki wilayah Halim lewat Klender ke Pondok Gede, bermaksud menemui Bung Karno. Akan tetapi karena jalur Pondok Gede Halim oleh RPKAD belum diamankan, Mayor C.I. Santosa memerintahkan Kompi Kajat dan Kompi-B Yonkav-1/Panser Kostrad RPKAD untuk melakukan pengawalan. Kontak senjata benar-benar terjadi antara RPKAD dan pasukan Yon 454/Reiders Diponegoro pimpinan Kapten Kuntjoro, Wadanyon. Peristiwa itu terjadi ketika rombongan Sarwo Edhie melewati dropping zone Lubang Buaya. Dalam pertempuran tersebut gugur seorang anggota Kompi cadangan Yon-1/RPKAD yang bertugas mengawal Kolonel Sarwo Edhie.
Mayor C.I. Santosa, di bagian utara PAU Halim, setelah mendapat keterangan bahwa Sarwo Edhie akan ke Halim lewat Podok Gede, kemudian meluncur dari arah Jatiwaringin menuju ke Pondok Gede. Sebelum tiba di lokasi pertempuran, di kebun karet Desa Lubang Buaya, Mayor C.I. Santosa menyaksikan kegiatan pasukan berseragam hijau dan massa rakyat sedang membongkar tenda-tenda mereka. Setelah melihat kedatangan pasukan RPKAD, mereka melarikan diri. Hal tersebut menimbulkan kecurigaan.137
Komodor Udara Dewanto selaku Deputi Operasi Menpangau bersama Kapten Udara William Oscar Kundimang dari hanggar Skuadron Teknik (Skatek), dengan jelas mendengar suara tembakan yang terjadi. Setelah mendapat penjelasan Bintara RPKAD yang ada di Skatek bahwa induk pasukan RPKAD dihadang oleh pasukan Raiders 454/Diponegoro, Dewanto menemui Bintara RPKAD paling senior dan menyatakan ia mencoba menghentikan pertempuran yang berlangsung. Pihak RPKAD menyatakan tidak berkeberatan. Dewanto diiringi Kundimang dengan mobil Nissan Patrol meluncur ke lokasi pertempuran di arah selatan melalui jalan tanah dan kebun karet, kemudian sampai di jalan ke arah Pondok Gede. Di lokasi itu Dewanto melihat gerakan pasukan Yon 454/Raiders. Ia menduga pasukan itu adalah pasukan bantuan menuju lokasi pertempuran, yang terdengar tembakan-tembakan gencar. Komodor Udara Dewanto berusaha keras menghentikan pertempuran, kemudian bertemu dengan Kapten Kuntjoro, Wadanyon 454/Raiders yang memimpin pasukan, hingga terjadilah komunikasi dengan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, yang memimpin pasukan RPKAD memasuki PAU Halim. Akhirnya dicapai kesepakatan sebagai berikut.
1. Wilayah Halim dalam wewenang AURI, karena itu Komodor Dewanto sebagai perwira tinggi pimpinan AURI bertanggung jawab atas pihak-pihak yang masuk dan keluar di PAU Halim Perdanakusuma.
2. Pasukan RPKAD akan memasuki PAU Halim.
3. Pasukan Yon 454/Raiders Diponegoro akan mundur, dengan mengambil jalan agar tidak bertemu dengan pasukan RPKAD, selanjutnya akan menuju Bekasi.138
Di tempat lain, yaitu pada 1 Oktober 1965, Jum’at malam, sekitar pukul 21.00, Kitman dibawa keluar dari Lubang Buaya untuk membantu membagi-bagikan nasi bungkus kepada pasukan tentara di Gedung Penas. Kitman kemudian digiring kembali ke tempat ia di tawan semula di Halim. Menurut kesaksian Kitman lokasinya terletak di
sebuah lapangan bola dekat Kali Malang yang pada pintu masuknya terdapat tulisan “Pos Penjagaan PGT”. Pada Sabtu siang, 2 Oktober 1965 seluruh pasukan yang ia ikut berlarian dan kabur.139
Kitman tidak ikut meninggalkan tempat ia ditawan karena tubuhnya lemah lunglai, dan hanya mampu berbaring di kolong sebuah truk. Kemudian ia ditemukan oleh rombongan pasukan Cakrabirawa yang berasal dari 4 Angkatan (Laut, Udara, Darat, dan Kepolisian) dengan pita pengenal berwarna putih, kemudian membawanya ke markas Cakrabirawa. Gedung itu kemudian menjadi Gedung Binagraha, di lingkungan Istana Merdeka.
Di markas Cakrabirawa Kitman diperiksa dengan ketat dan saksama. Dalam kesempatan itu Kitman menceriterakan semua kejadian yang dilihat dan dialaminya. Tatkala ia menyebut-nyebut adanya korban berseragam bintang dua, tentara Cakra yang menginterogasinya menggebrak meja, marah luar biasa, dan dengan ketus mengatakan bahwa itu adalah atasannya, yaitu Jenderal S. Parman.
Sementara itu keluarga Jenderal Yani yang belum tahu bagaimana keadaan dan di mana ia berada, menghujani berbagai pertanyaan kepada ajudannya, Mayor Subardi. Untuk menenteramkan keluarga Yani dan keluarga jenderal lainnya yang terbunuh. Meskipun ia sendiri belum tahu persisnya, Mayor Bardi mengatakan bahwa Jenderal Yani masih berada di Istana. Selanjutnya Kitman diserahkan kepada Jenderal Umar Wirahadikusuma di Kodam Jaya.
Dari kalangan massa pada 2 Oktober 1965 tokoh-tokoh mahasiswa seperti Syarifudin Harahap, Sulastomo (HMI), Harry Tjan Silalahi (PMKRI) telah mulai mengetahui bahwa kekuatan politik yang berdiri di belakang G30S adalah PKI. Pada sore hari 2 Okktober 1965, mereka berusaha mengantisipasi keadaan dengan melakukan konsultasi dengan kekuatan-kekuatan anti komunis, khususnya dengan pihak Kostrad. Di kalangan ABRI sendiri juga tidak solid, ada dua kubu, yaitu kubu loyalis Bung Karno seperti Mayjen Pranoto dan yang turut dalam G30S, Brigjen Supardjo dan kubu Kostrad di bawah Mayjen Soeharto. Pertemuan antara tokoh-tokoh generasi muda dengan Kostrad dilakukan pada tengah malam, 2 Oktober 1965. Subchan Z.E., memimpin rombongan dari HMI, PMKRI, Pemuda Muhammadiyah, Pelajar Islam Indonesia (PII), Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia (Gasbiindo). Dengan cepat tokoh-tokoh mahasiswa kemudian membentuk Kesatuan Aksi Pengganyangan (KAP) G30S, dan apel-apel besar 4, 5, 6, dan 7 Oktober 1965 dengan tuntutan tunggal pembubaran PKI sebagai dalang G30S.140
---------
135. Ibid., hlm. 152-153. Lihat catatan kaki
136. Ibid., hlm. 173-173
137. Ibid., hlm. 161.
138. Ibid., hlm. 164-176.
139. Keluarga Pahlawan Revolusi,
140. J.B. Soedarmanto, op.cit., hlm. 113-115. Lihat Sulastomo, op.cit. hlm. 51.
Penemuan Sumur Tua di Daerah Lubang Buaya
Pada dini hari Minggu, 3 Oktober 1965, pukul 04.00, Mayor Subardi menerima telepon dari Letkol Ali Murtopo, staf dan orang dekat Pangkostrad yang menyatakan bahwa “bapaknya”, yaitu atasannya telah gugur. Ali Murtopo juga berpesan agar Mayor Subardi segera menghadap Pangkostrad yang kantornya telah dipindahkan dari Jl. Merdeka ke suatu tempat di Kompleks Senayan. Pada pukul 05.30 Mayor Subardi menemui Mayjen Soeharto di Senayan. Saat itu yang hadir dalam pertemuan tersebut ialah Panggabean. Mayjen Soeharto menegaskan informasi Ali Murtopo bahwa para jenderal yang diculik telah tewas semua adalah benar. Dikatakan pula karena situasi telah berkembang sedemikian rupa, maka missi utama AD sekarang adalah segera menemukan tempat Jenderal Yani dan pembantu-pembantunya dikuburkan. Untuk itu Mayor Bardi diperintahkan membawa surat perintah Pangkostrad kepada Kolonel Sarwo Edhie Wibowo di Cijantung untuk secepatnya mencari dan menemukan lokasi penguburan jasad para jenderal. Karena Mayjen Soeharto bertekad untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri, apabila lokasi tersebut telah ditemukan Mayor Bardi harus segera memberikan laporan, dan jasad-jasad itu tidak boleh diangkat sebelum Pangkostrad tiba di lokasi.141
Sementara itu pasukan Yon 454/Raiders pimpinan Kapten Kuntjoro yang mengundurkan diri dari Pondok Gede, ternyata tidak jadi ke Bekasi melainkan menuju Lubang Buaya. Pada pukul 06.30 tanggal 3 Oktober 1965, Kapten Kuntjoro menelepon Perwira Intelijen PAU Halim, bahwa ia dan pasukannya akan bergerak dari Lubang Buaya untuk mengikuti persiapan HUT ABRI di Senayan. Setibanya di Senayan mereka ditahan di stadion utama. Dua puluh anggota Yon-454/Reiders yang berusaha melarikan diri ke Jawa Tengah ditangkap oleh Kompi Ramelan Yon-1/RPKAD, sedang 97 lainnya dan 140 anggota Yon-530/Raiders ditangkap oleh Kompi Yon-203/Kodam Jaya dan Kompi Yonkav-7/Panser Kostrad.142
Setelah bertemu Kolonel Sarwo Edhie dan menyampaikan surat perintah Pangkostrad, sehubungan adanya instruksi Presiden agar kesatuan militer ABRI berada pada posisi masing-masing, Mayor Subardi, Danyon RPKAD, mengerahkan sekitar satu kompi pasukan untuk mencari dan menemukan jenazah para jenderal dengan pakaian preman. Dengan ditemani Pasi I RPKAD Mayor Bardi kemudian mengambil agen polisi Sukitman di Kodam Jaya. Setelah bertemu Pangdam Jaya Mayjen Umar Wirahadikusuma dan melaporkan hal-hal yang penting dan perintah Pangkostrad untuk mencari jenazah para jenderal yang diculik, serta mengambil seorang agen polisi sebagai saksi kunci penculikan. Setelah menghubungi Pangkostrad, Pangdam Jaya mempercayai keterangan Mayor Bardi dan menyerahkan agen polisi Sukitman kepadanya. Kemudian Mayor Bardi setelah berbagi tugas dengan rekan RPKAD-nya, bersama Kitman menuju kediaman keluaraga Jenderal Yani. Dari sana bersama-sama satu regu Yon Pomad, 2 pilot Jenderal Yani menuju ke Cijantung dan setelah mendapat briefing Mayor C.I. Santosa, sekitar pukul 10.40 berangkatlah tim pencari jenazah ke Lubang Buaya. Sesampainya di Lubang Buaya muncul masalah tidak terduga, karena telah ada sekitar satu peleton PGT yang membongkar berbagai macam alat perkemahan. Pembongkaran juga sudah dilakukan pada 2 Oktober oleh pasukan berseragam hijau dan massa rakyat. Akan tetapi karena datangnya pasukan RPKAD yang tengah bertempur dengan pasukan Yon-454, pasukan berseragam hijau dan massa rakyat itupun melarikan diri.143 Dari dialog antara Mayor Bardi dan Danton PGT, mereka menyatakan bahwa keberadaannya di Lubang Buaya itu karena secara de fakto adalah milik AURI.144
Dengan bantuan Kitman akhirnya sumur tua untuk mengubur jenazah enam jenderal dan seorang perwira pertama yang menjadi korban G30S berhasil diketemukan. Dalam pencarian tersebut tim pencari jenazah bertemu pula dengan rombongan Dokter Slamet Cokro dari AU dan Kolonel Saelan. Karena proses pencarian telah ditangani oleh AD dengan bantuan Kompi Penyelam (Kipam-KKO), Mayor Bardi menolak campur tangan Dokter Slamet Cokro maupun Kolonel Saelan, meskipun ia mendapat perintah dari Presiden Sukarno.
Sumur tua yang digunakan menanam jenazah enam jenderal dan seorang perwira pertama AD, lubang bagian atasnya berdiameter 0,75 centimeter, dengan kedalaman sekitar 12 meter, berada di Lubang Buaya. Sebelumnya lokasi itu digunakan sebagai tempat pelatihan sukwan-sukwati Pemuda Rakyat dan Gerwani. Pada 3 Oktober 1965 rombongan Mayor Subardi dari tim pencari jenazah para jenderal, menjumpai pembongkaran tenda di Lubang Buaya dilakukan oleh sepeleton PGT. Semula Bardi curiga dengan truk-truk yang digunakan PGT untuk mengangkut jenazah para jenderal.145
Lokasi tempat penanaman jenazah para jenderal yang diculik ditemukan pada sebuah sumur tua yang telah diurug rapi, di dekat rumah seorang guru, aktivis PKI.146
Berkat bantuan Kompi Penyelam (Kipam) KKO akhirnya, sekitar pukul 17.15, tanggal 3 Okktober 1965, sumur tua itu dapat dibuka, dan di kedalaman 7 meter dapat ditemukan mayat-mayat yang ditanam. Lubang sumur itu baunya sangat menyengat, hingga para petugas yang memasuki sumur pingsan. Karena waktu telah menunjukkan pukul 00.30, pengangkatan jenazah ditangguhkan, sambil menunggu kehadiran Pangkostrad pada 4 Oktober 1965.
Keesokan harinya, Senin 4 Oktober 1965, penggalian jenazah dilakukan dengan intensif. Batang pisang, daun singkong, dan tanah, yang secara berselang-seling menutup lubang, disingkirkan. Berkat bantuan KIPAM dengan peralatan khususnya, jenazah-jenazah itu diangkat. Pengangkatan jenazah tersebut disaksikan langsung oleh Pangkostrad Mayjen Soeharto yang didampingi oleh Direktur Peralatan AD, Direktur Polisi Militer AD, Direktur Zeni, Kepala Penerangan AB dan sejumlah wartawan. Maksudnya agar publik mengetahui secara terbuka. Di kemudian hari tindakan Soeharto dengan rombongannya diituduh sebagai usahanya untuk merekayasa agar ia dapat mengambil keuntungan dari opini yang terbentuk.147
Pada pukul 12.15, menurut kesaksian Mispan dari KIPAM KKO, pengangkatan semua jenazah telah selesai.148
Setelah semuanya selesai dan semua jenazah masuk peti, Pangkostrad pun berpidato, dan Mispan berada di samping Soeharto karena ia diminta mendampingi.149
Pidato Mayjen Soeharto pada penemuan dan penggalian kembali 6 jenderal dan seorang perwira pertama AD di Lubang Buaya 4 Oktober 1965 sebagai berikut:
“Pada hari ini tanggal 4 Oktober 1965, kita bersama-sama dengan mata kepala masing-masing telah menyaksikan suatu pembongkaran dari pada penanaman jenazah para jenderal kita, ialah 6 jendral dengan satu perwira pertama dalam satu lubang sumur lama. Sebagaimana saudara-saudara maklum, bahwa jenderal-jenderal kita dan perwira pertama kita kita ini, telah menjadi korban dari tindakan-tindakan yang biadab dari petualang-petualang jang dinamakan gerakan 30
September.
Kalau kita melihat tempat ini, adalah di Lubang Buaja. Daerah Lubang Buaja adalah termasuk dari daerah lapangan Halim. Dan kalau saudara-saudara melihat pula fakta, bahwa dekat sumur ini, telah menjadi pusat dari pada latihan sukwan dan sukwati, yang dilakukan atau dilaksanakan oleh Angkatan Udara. Mereka melatih para anggota-anggota dari Pemuda Rakjat dan Gerwani. Satu fakta, mungkin mereka itu latihan dalam rangka pertahanan pangkalan, akan tetapi nyata, menurut anggota Gerwani yang tertangkap di Cirebon, adalah orang dari Jawa Tengah, jauh dari pada daerah tersebut. Jadi kalau menurut fakta-fakta ini, mungkin apa yang diamanatkan oleh Bapak Presiden, Panglima Besar, Pemimpin Besar Revolusi yang sangat kita cintai bersama ini, bahwa Angkatan Udara tidak terlibat di dalam persoalan ini, mungkin ada benarnya. Akan tetapi tidak mungkin, tidak ada hubungan dengan peristiwa ini dari pada oknum-oknum dari pada anggota Angkatan Udara.
Oleh sebab itu saya sebagai warga dari pada anggota Angkatan Darat, mengetok jiwa, perasaan dari para patriot anggota Angkatan Udara. Bilamana benar ada oknum-oknum yang terlibat dengan pembunuhan yang kejam dari pada para jendral kita yang tidak berdosa ini, saya mengharapkan, agar supaya para patriot anggota Angkatan Udara membersihkan juga dari pada anggota-anggota Angkatan Udara yang terlibat di dalam petualangan ini. Saya sangat berterima kasih, bahwa akhirnja Tuhan memberikan petunjuk yang terang dan jelas pada kita sekalian. Bahwa setiap tindakan yang tidak jujur, setiap tindakan yang tidak baik, pasti akan terbongkar. Dan saya berterima kasih pada satuan-satuan, khususnya dari Resimen Para Ko dan juga anggota-anggota dari KKO dan satuan-satuan lainnya, serta rakyat jang membantu menemukan bukti ini dan turut serta mengangkat jenazah ini, sehingga jumlah dari pada korban dapat kita temukan.
Sekian yang perlu kami jelaskan kepada saudara-saudara sekalian.
Terima kasih.150
---------
141. Keluarga Pahlawan Revolusi, op.cit., hlm. 138-144.
142. Aristides Katoppo, op.cit., hlm. 176-177.
143. Ibid., hlm. 161
144. Keluarga Pahlawan Revolusi, op.cit., hlm. 143-144.
145. Ibid.,hlm. 144. Staf Angkatan Bersenjata Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata, 40 Hari Kegagalan G.30S, 1 Oktober-10 November 1965, Djakarta, SAB-Pusjarah AB, 1965, hlm. 51.
146. Keluarga Pahlawan Revolusi, ibid., hlm. 144-146. Staf Angkatan Bersenjata, ibid.
147. Center for Information Analysis, Gerakan 30 september Antara Fakta dan Rekayasa berdasarkan Kesaksian Para pelaku Sejarah,. Yogyakarta: Media Pressindo, 1999, hlm. 87-113.
148. Menurut Buku Bahaya Laten Komunisme di Indonesia Jilid IV A, hlm. 242, terbitan
Pusjarah dan Tardisi ABRI, 1994 disebutkan pengangkatan jenazah berlangsung dari pukul 12.05-13.40.
149. Keluarga Pahlawan Revolusi, op.cit., hlm. 157.
150. Alex Dinuth, Salinan Dokumen Terpilih sekitar Pemberontakan G.30S/PKI, Jakarta,
Lembaga pertahanan Nasional, 1993, hlm. 65-66.
Penutup
Gerakan 30 September adalah sebuah pemberontakan yang melibatkan kesadaran penuh seluruh unsur Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan menggunakan sejumlah unsur di TNI AD melalui jalur rahasia Biro Khusus. Hal ini terlihat dari aktivitas pengiriman sejumlah anggota Politbiro serta CC-PKI ke berbagai daerah untuk membantu CDB setempat. Di samping itu markas atau kantor pusat PKI, sehari sebelum gerakan dipindahkan dari kantor Jl. Kramat Raya ke lokasi yang dirahasiakan serta diikuti kepindahan D.N. Aidit ke suatu tempat di dalam kompleks pangkalan udara Halim Perdanakusuma.
Sebagai designer semua perencanaan dan sekaligus pelaksanaannya adalah Sjam Kamarusaman, Kepala Biro Khusus PKI yang bertanggung jawab langsung kepada Ketua Umum yaitu D.N. Aidit. Sjam sebelumnya juga memberikan instruksi kepada CDB-CDB dan perwakilan Biro Khusus untuk terus mengikuti siaran RRI Jakarta yang bisa ditafsirkan bahwa siaran RRI itu dijadikan wahana untuk menyalurkan instruksi untuk bertindak.
Ketua CC-PKI, D.N. Aidit dalam strategi tahap awal gerakan memang tidak melibatkan secara langsung unsur-unsur resmi PKI, sehingga bila sesuatu hal menyebabkan gerakan gagal, maka PKI masih bisa memberikan pernyataan bahwa tidak ada satu unsur PKI yang resmi yang terlibat dalam penculikan dan penguasaan tempat-tempat strategis. Keterlibatan PKI, bila ada, hanya marginal dan bukan sebagai alat partai. Gerakan itu, sejak awal hendak dikesankan sebagai gerakan murni yang dilakukan oleh orang-orang TNI AD dan bersifat internal semata. Dalam skenario itu dinyatakan, bila gerakan itu berhasil, dukungan dari masyarakat dilakukan dengan berbagai demonstrasi dan kemudian disusul dengan pembentukan Dewan Revolusi di tingkat pusat maupun daerah, dukungan yang “datang dari masyarakat” itu akan menunjukkan bahwa rakyat Indonesia menyetujui terhadap apa yang dilakukan TNI AD. Dengan taktik tersebut partai kemudian ‘hanya’ mendukung apa yang diinginkan rakyat tersebut.
Selain itu dengan keluarnya salah satu dekret, tujuan “Gerakan 30 September” menjadi jelas. Sifat sebenarnya dari “Gerakan” bukanlah semata-mata militer, politik. Batas lingkup “gerakan” ternyata jauh lebih luas dari Angkatan Darat atau Angkatan Bersenjata sekalipun, melainkan skalanya sudah bersifat nasional. Kenyataan bahwa PKI adalah dalang gerakan itu, menunjuk pada keberadaan Sam dan Pono selaku anggota PKI, yang juga duduk dalam Central Komando. Dalam pengakuannya, Njono mengatakan bahwa pemimpin-pemimpin dari kader-kader PKI menentukan arah politik gerakan ini. Seandainya benar, bahwa “gerakan” hanya ditujukan terhadap jenderal-jenderal Angkatan Darat, dan dengan demikian merupakan suatu “urusan intern Angkatan Darat”, mengapa perlu untuk membentuk sebuah “Dewan Revolusi” dan mendemisionerkan kabinet Dwikora, setelah membunuh para jenderal. Dalam hal “Gerakan 30 September”, pembunuhan dan penculikan para jenderal, cerita tentang “Dewan Jenderal” yang merencanakan suatu kup pada tanggal 5 Oktober 1965, yang dikatakan disponsori oleh CIA, merupakan taktik belaka. Sedangkan main goalnyaadalah kekuasaan politik baru yang disebut “Dewan Revolusi”.
DAfTAR PUSTAKA
Dokumen
> Aidit, D.N. “Kobarkan Semangat Banteng Maju Terus Pantang Mundur” Laporan pada Sidang Pleno CC PKI tanggal 23-26 Desember 1964, di Jakarta.
> Aidit, D.N. “Berani, Sekali Berani” (Laporan Politik Ketua CC PKI pada Sidang Pleno 19 Februari 1963), Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1961, Dekon (Deklarasi Ekonomi), 1963; Tavip (Tahun Viveri Veri Coloso), Pidato Presiden 17 Agustus 1964.
> Berita Acara Pemeriksaan Makmillub Kamarusaman bin Ahmad Mubaidah (Kepala Biro Chusus Central PKI) Dalam G-30S, September 1967.
> Berita Acara Pemeriksaan Mahmillub Untung bin Sjamsuri. Putusan No.: PTS-03/MB II/U/1966
> Berita Acara Persidangan Mahmillub Njono bin Sastroredjo alias Tugimin alias Rukma dalam peristiwa G30S 1965. bulan Februari 1966.
> Berita Acara Persidangan Mahmillub Sudisman (Kepala Sekretariat CC PKI dan anggota Dewan Harian Polit Biro CC PKI) Dalam Peristiwa G.30S 1965. Pada bulan Juli 1967.
>Hasil Proses Verbal Tim Pemeriksa Pusat (Teperpu), 19 Januari 1967.
> Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 370 Tahun 1965 tentang penunjukkan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub) untuk memeriksa dan mengadili tokoh-tokoh yang terlibat petualangan kontra-revolusi “Gerakan 30 September”.
> Pengakuan Nyono di Mahmillub 15 Februari 1966, dan kesaksian Pardede 16 Februari 1965, keduanya dari Polit Biro PKI.
Surat Kabar
- Berita Yudha, 25 Mei 1965.
- Berita Yudha dan Harian Rakjat, 29 Mei 1965.
- Harian Rakjat, November 1964
- Harian Rakjat, Djanuari 1965
- Harian Rakjat, Februari 1965
- Harian Rakjat, Mei 1965
- Harian Rakjat, agustus 1965
- Harian Rakjat, September 1965
- Harian Rakjat, Oktober 1965
- Indonesian Herald (Koran resmi Deplu), 28 Mei 1965.
- Jawa Pos, 9 Maret 2004
- Pikiran Rakyat, 26 Juni 1965.
-Sinar Harapan, 6 Oktober 1965 dan 27 Nopember 1965
- Suluh Indonesia, 6 Juni 1964.
-Trompet Masjarakat, Mei dan Juli 1964.
- Trompet Masyarakat Mei s/d November 1964,Mei, Djuni, Djuli, Oktober, Agustus, November, 7, 13, 15,17, 31 Desember 1964; 17,18,19 Februari 1964; Suratkabar DjalanRakjat, 6 November, 6 Februari; 1 Maret.
Buku
> Abiyoso, Anis. 1999. “Peristiwa Kanigoro Kediri”, dalam Membuka Lipatan Sejarah, Menguak Fakta Gerakan PKI. Jakarta, Pustaka Cidesindo.
> Latief, Abdul, Kolonel. 2000. Pledoi Kol. A. Latief, Soeharto Terlibat G 30 S, Cetakan III, Jakarta, Institut Studi Informasi.
> Durmawel, Ahmad. 1997. ”Sangkur Adil, Pengupas Fitnah Khianat”, dalam Sri Murni Ali Said, Ali Said di antara Sahabat,. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
> Anwar, Rosihan. 1999. “G-30S/PKI, Gilchrist, dan CIA”, dalam Menguak Lipatan Sejarah, Jakarta, Cidesindo.
> Aidit, D.N. 1964. Revolusi Indonesia dan Tugas-tugas Mendesak PKI,Peking: Pustaka Bahasa Asing.
--------------. 1953 Djalan ke Demokrasi Rakjat bagi Indonesia, Pidato diutjapkan dalam Sidang Pleno CC PKI, Oktober,Djakarta, Jajasan Pembaruan.
--------------. 1967. Kaum TaniMengganjang Setan-setan Desa (Laporan singkat tentang hasil-hasil riset mengenai keadaan kaum tani dan gerakan tani di Djawa Barat),Djakarta, Jajasan Pembaruan.
> Burger, D. H., Prajudi. 1960. Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia. Djakarta, Pradjaparamita d/h. J.B. Wolters.
> Center for Information Analysis. 1999. Gerakan 30 September Antara Fakta dan Rekayasa berdasarkan Kesaksian Para pelaku Sejarah, Yogyakarta, Media Pressindo.
>Cribb, Robert. 2003. The Indonesian Killings Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966. Yogyakarta: Penerbit Mata Bangsa.
> Departemen Agitasi dan Propaganda CC PKI. 1952. ABC Revolusi Indonesia. Djakarta: Depagitprop.
> Dhani, Omar. 2001. Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran dan Tanganku: Pledoi Omar Dhani,Jakarta: PT. Media Lintas Inti Nusantara.
> Hatta, Mohammad. 1976. Mendayung antara Dua Karang, jakarta: Bulan Bintang.
> Jassin, M. 1998. Saya Tidak Pernah Minta Ampun Kepada Soeharto.Jakarta: Sinar Harapan.
> Kasdi, Aminuddin. 2001. Kaum Merah Menjarah Aksi Sepihak PKI/BTI di Jawa Timur 1960-1965,Yogyakarta: Jendela.
> Keluarga Revolusi. 2002. Kunang-kunang Kebenaran di Langit Malam. Jakarta.
> Katopo, Aristides dkk. 2000. Menyingkap Kabut Halim 1965. Jakarta, Pustaka Sinar Harapan.
> Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK). 1988. Rangkaian Peristiwa
Pemberontakan Komunis di Indonesia,Jakarta.
> Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya I, II, III, Jakarta: Gramedia.
>Lukman, H. M. 1974. Apa Sebab Revolusi Agustus 1945 Belum Selesai? Djakarta: Jajasan Universitas Rakjat.
> Lukman, H. M. 1962. Tentang Front Persatuan Nasional.Djakarta: Jajasan Pembaruan.
> Maksum, dkk. (Tim Jawa Pos). 1988. Lubang-lubang Pembantaian Petualangan PKI di Madiun. Jakarta: Grafiti.
> Marsudi, Djamal. 1965. Menjingkap Pemberontakan PKI dalam Peristiwa Madiun. Djakarta, Merdeka Press.
> Martowidjojo, H. Mangil. Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967,Jakarta: Grasindo, 1999. BAP Mahmillub Untung bin Sjamsuri; Putusan No: PTS-03/MB/II/U/1966.
> Nasution, A. H. 1967. Menegakkan Kebenaran II, Djakarta: Seruling Masa.
> Notosusanto, Nugroho. 1968. Tragedi Nasional, Percobaan Kup G 30 S/PKI di Indonesia, Jakarta: Intermasa.
> Oei Tjoe Tat. 1995. Memoar Oei Tjoe Tat, Pembantu Presiden Sukarno,Jakarta: Hasta Mitra.
> Pusat Penelitian Studi dan Studi Kawasan. 1982. Keresahan Pedesaan pada Tahun 1960-an, Jakarta: Yayasan Pancasila Sakti.
> Polomka, P. 1973. The Role of the Military in Indonesian Fopreign Policy. Melbourne, Ph. D. Thesis Melbourne University.
> Pusjarah dan Tradisi ABRI. 1994. Bahaya Laten Komunis di Indonesia,Jilid IV A, Jakarta: Pusjarah dan Tradisi ABRI.
> Proletariyati, Ribka Tjiptaning. 2000. Aku Bangga Jadi Anak PKI.Jakarta: Cipta Lestari.
> Saelan, H. Maulwi. 2001. Dari Revolusi ’45 sampai Kudeta ’66; Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa,Jakarta: Yayasan Hak Bangsa.
> Subandrio, H. 2001. Kesaksian tentang G30S. Jakarta: Forum Pendukung Reformasi Total.
> Sumarkidjo, Atmadji. 2000. Mendung di atas Istana Merdeka, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
> Sulistyo, Haermawan. 2001. Kesaksianku tentang G30S, Jakarta: Forum Pendukung Reformasi Total.
> Soedarmanto, J. B. 2004. Tengara Orde baru Kisah Harry Tjan Silalahi,Jakarta: PT. Toko Gunung Agung.
> Sulami. 1999. Perempuan-perempuan Dalam Penjara, Jakarta: Cipta Lestari.
> Sudisman. 2000. Pledoi Sudisman: Kritik Oto Kritik Seorang Polit Biro CC PKI, Jakarta, Teplok Press.
> Sundhaussen, Ulf. 1988. Politik Militer Indonesia 1945-1967, Menuju Dwi Fungsi ABRI,Djakarta: LP3ES.
> Suroyo, Sugiarso. 1988. Siapa Menabur Angin, Akan Menuai Badai,Jakarta.
> Tjondronegoro. 1984. Dua abad Penguasaan Tanah, Pola-pola Penguasaan Tanah di Jawa dari Masa ke Masa, Jakarta: Gramedia.
> Yahaya, Ismail. 1972. Pertumbuhan, perkembangan dan Kejatuhan Lekra di Indonesia (suatu tinjauan dari aspek sosio-budaya). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia.
> Yani, Amelia. 1988. Profile Seorang Prajurit TNI.Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
> Zamachsari, Dhofier. 1982. Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES.
kesaksian nyata dan kabar baik !!!
BalasHapusNama saya mohammad, saya baru saja menerima pinjaman saya dan telah dipindahkan ke rekening bank saya, beberapa hari yang lalu saya melamar ke Perusahaan Pinjaman Dangote melalui Lady Jane (Ladyjanealice@gmail.com), saya bertanya kepada Lady jane tentang persyaratan Dangote Loan Perusahaan dan wanita jane mengatakan kepada saya bahwa jika saya memiliki semua persyarataan bahwa pinjaman saya akan ditransfer kepada saya tanpa penundaan
Dan percayalah sekarang karena pinjaman rp11milyar saya dengan tingkat bunga 2% untuk bisnis Tambang Batubara saya baru saja disetujui dan dipindahkan ke akun saya, ini adalah mimpi yang akan datang, saya berjanji kepada Lady jane bahwa saya akan mengatakan kepada dunia apakah ini benar? dan saya akan memberitahu dunia sekarang karena ini benar
Anda tidak perlu membayar biayaa pendaftaran, biaya lisensi, mematuhi Perusahaan Pinjaman Dangote dan Anda akan mendapatkan pinjaman Anda
untuk lebih jelasnya hubungi saya via email: mahammadismali234@gmail.com
dan hubungi Dangote Loan Company untuk pinjaman Anda sekarang melalui email Dangotegrouploandepartment@gmail.com
sangat menarik
BalasHapus