Silaturrahmi ex-NII

Secara terpisah, pemberontakan atas nama Darul Islam pun muncul di Kalimantan Selatan (1950); Sulawesi Selatan (1952) dibawah Kahar Muzakkar, dan di Aceh (1953) dibawah Daud Beureueh.
Pada tanggal 1 Agustus 1962, setelah tertangkapnya Kartosoewirjo, TNI AD berhasil membujuk 32 orang perwira utama DI untuk mengikrarkan sumpah setia kepada pemerintah dengan imbalan pemberian amnesti. Dalam sebuah Ikrar Bersama, mereka memberi pengakuan bahwa DI/NII merupakan gerakan yang sesat, dan bahwa mereka telah berdosa terhadap rakyat Jawa Barat. Selanjutnya mereka menegaskan kesetiaan mereka kepada republik. Penanda tangan ikrar tersebut termasuk Adah Djaelani Tirtapraja, Ateng Djaelani, Ules Sudjai, Djaja Sujadi Wijaya, Danu Mohammad Hassan, Zaenal Abidin, Toha Mahfud, Dodo Mohamad Darda, serta beberapa orang lainnya, yang banyak diantara mereka selanjutnya ditangkap pada akhir 1970-an atas keterlibatan didalam Komando Jihad.
Kaitan antara beberapa pemimpin DI di Jawa Barat dengan tentara diperkuat pada 1965-1966 ketika mereka ditawarkan senjata dengan imbalan membantu menyerang tersangka anggota PKI di Jawa Barat, Aceh dan Sumatra Utara.1
Danu Mohammad Hassan konon bahkan percaya bahwa seorang perwira, Ali Moertopo, yang kelak namanya menjadi tersohor, berhasil menyelamatkan kepemimpinan DI dari kemusnahan pada tahun 1966 karena melakukan pendekatan dengan Soeharto yang menurut dugaannya bermaksud memanfaatkan pembantaian massal yang terjadi tahun itu untuk menghabiskan semua musuh politiknya, termasuk Darul Islam.2
Pimpinan DI memandang kerjasama taktis bersama TNI untuk menumpas PKI dengan sendirinya merupakan hal yang baik, disamping menghindari penangkapan lebih lanjut. Namun pada saat yang bersamaan pimpinan DI tetap membahas kekosongan kepemimpinan serta perlunya melakukan konsolidasi terhadap gerakan mendirikan negara Islam. Segelintir orang bahkan cukup berani untuk mengupayakan konsolidasi tersebut. Opa Mustopa, seorang mantan komandan resimen DI mencoba walau gagal dalam menghimpun kembali organisasi tersebut pada tahun 1967 di Rajapolah, Tasikmalaya. Ia pun ditangkap dan meringkuk di penjara selama tiga tahun.3
Pada 21 April 1971, berkat Danu Mohammad Hassan, yang ketika itu sudah bekerja untuk BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara) mengadakan reuni beberapa pimpinan DI lama menjelang pemilu tahun 1971, berlangsung bertempat di kediaman Danu di Situaksan, Bandung.4 BAKIN melihat kesempatan menarik ex anggota DI kedalam Golkar, dan selanjutnya panitia diberi uang sebesar Rp.250,000 ($600) – jumlah yang cukup besar pada saat itu.5
Selama tiga hari dan tiga malam, menurut seorang peserta, sekitar 3.000 orang berdatangan kerumah tersebut, berjalan dibawah spanduk dimana tertera kata-kata “Silaturrahmi ex-NII”. Diantara yang memberi sambutan termasuk pejabat BAKIN: Kol.Pitut Soeharto, misalnya, berdiri pada mimbar seraya menjelaskan mengapa anggota NII patut mendukung Golkar.6 Namun dibalik sambutan-sambutan resmi tersebut, konsolidasi internal tengah berlangsung secara diam-diam, ketika pemimpin-pemimpin DI untuk pertama kalinya saling bertemu setelah bertahun-tahun lamanya, untuk membahas masa depan. Salah satu ganjalan yang segera timbul adalah masalah dukungan BAKIN. Djaja Sudjadi dan Kadar Solihat menentangnya dengan keras; banyak lagi lainnya yang tidak keberatan menerima uang yang ditawarkan.
Pertemuan di Bandung tersebut memicu serangkaian rapat “rahasia” dalam rangka menghidupkan kembali Darul Islam, dimana yang menjadi tuan rumah biasanya Danu atau Aceng Kurnia.7 Pertemuan bersifat rahasia dalam arti tidak semua pimpinan DI mengetahuinya – akan tetapi BAKIN sepenuhnya mengetahui, berkat keikut sertaan Danu.
Gagasan menjalin kerjasama dengan pimpinan DI sebagian besar muncul dari Ali Moertopo, yang menjadi penasehat intelijen Presiden Soeharto dan menjabat sebagai kepala Opsus. Moertopo pernah berjuang bersama beberapa orang DI tersebut, termasuk Danu, didalam Hizbullah, yaitu kelompok milisi Muslim nasionalis yang dibentuk di pulau Jawa pada tahun 1944 dimasa pendudukan Jepang. Mereka bukan saja menaruh kepercayaan padanya, bahkan konon meyakini bahwa ia bertekad mendirikan negara Islam.8
Pada tahun 1973 dalam pertemuan di Cibuntu, Danu, Aceng Kurnia dan Adah Djaelani telah menyiapkan struktur baru bagi komando DI, dengan Daud Beureueh sebagai komandan militer tertinggi.
PERTEMUAN MAHONI
Pada 1974, pimpinan tiga wilayah inti DI – Aceh, Jawa, dan Sulawesi Selatan – bertemu di sebuah rumah di Jalan Mahoni di Tanjung Priok, Jakarta. Acara tersebut yang selanjutnya dikenal sebagai Pertemuan Mahoni, merupakan tonggak bersejarah karena mengisyaratkan keberhasilan upaya-upaya yang berlangsung selama lima tahun terakhir untuk menghidupkan kembali dan mempersatukan gerakan tersebut.
Daud Beureueh datang dari Aceh. Ale A.T. datang dari Makassar dengan membawa pernyataan permohonan maaf atas tindakan orang-orang di Sulawesi Selatan yang pada tahun 1962 menampik deklarasi Negara Islam Indonesia tahun 1949 dan memproklamasikan Republik Islam Sulawesi, dan dengan demikian pecah dari rekan-rekan mereka di DI. Hal tersebut dikatakan terjadi karena kurangnya komunikasi saat itu, dan permohonan maaf pun diterima.9
Pertemuan Mahoni berhasil menetapkan struktur sebagai berikut:
> Daud Beureueh sebagai imam dan KPSI;
> Gaos Taufik, asal Sunda namun tinggal di Sumatra Utara, menjadi komandan militer
> Daud Beureueh dan Ale A.T. dari Sulawesi sama-sama memegang portfolio urusan luar negeri;
> Adah Djaelani, dibantu Aceng Kurnia dan Dodo Mohamad Darda alias Abu Darda (putra lain Kartosoewirjo) sebagai menteri dalam negeri; dan
> Danu Mohammad Hassan sebagai komandan militer Jawa Barat.
KOMANDO JIHAD
Pemanfaatan kelompok bekas-bekas DI/TII agaknya memang dianggap menguntungkan. Melalui pola “Pancing dan Jaring” para bekas DI itu dikumpulkan lantas dikorbankan (dikirim ke bui) melalui sebuah peristiwa yang semakin mengesankan bahwa Islam senantiasa berkelahi dengan ABRI, senantiasa memberontak, supaya timbul rasa alergi terhadap Islam. serbasejarah
Di tahun 1976 dimulai tahap baru pada gerakan DI dengan terbentuknya Komando Jihad sebagai “ciptaan Ali Moertopo”. Ali Moertopo dan sejumlah pejabat di BAKIN mendorong dibentuknya Komando Jihad, dan sudah barang tentu memanfaatkannya demi kepentingan mereka sendiri, pimpinan DI bukanlah sekedar korban lugu dari sebuah komplotan buatan Orde Baru. Mereka secara aktif ikut serta dalam penciptaan Komando Jihad, serta memandangnya sebagai peluang pertama sejak kekalahannya di tahun 1960-an, untuk melancarkan perang gerilya melawan pemerintah Indonesia.
Menurut seorang sumber, mantan kepala BAKIN Sutopo Yuwono berulang kali berwanti-wanti kepada Moertopo agar jangan terlalu erat berhubungan dengan pimpinan DI, karena mereka justru dapat memanfaatkan hubungan tersebut untuk kepentingan mereka sendiri. Akan tetapi tampaknya Moertopo bertekad mendorong mereka untuk bertindak, dengan berkilah lebih mudah menumpas kekuatan ekstremis Islam yang sudah tampil secara terbuka.10
Keputusan membentuk Komando Jihad lahir timbul dari pertemuan yang terjadi di tahun 1975 antara Gaos Taufik dan Danu Mohammad Hassan dalam rangka melancarkan revolusi. Tampaknya yang terpikir adalah mengawalinya dari Sumatra, “bagaikan menyulut api” yang kemudian berkobar ke Jawa Barat. Tinggal Gaos Taufik merancang kampanye militer.
Latar belakang Gaos Taufik sendiri ada relevansinya disini. Lahir di Garut tahun 1930, ia bergabung dengan kelompok milisi Muslim Hizbullah pada tahun 1947. Selanjutnya pada tahun itu juga ia bergabung dengan PADI (Pasukan Darul Islam). Ia ditangkap TNI pada tahun 1954 di Sukabumi, Jawa Barat, dan dua tahun kemudian dipindahkan secara paksa ke Rantau Prapat, Sumatra Utara, bersama 1.500 tahanan lainnya.
Disana ia mulai menghimpun para ulama setempat bersama beberapa rekan sesama transmigran dan bahkan beberapa prajurit TNI didalam suatu perlawanan terhadap Sukarno. Hingga tahun 1958 ia telah bergabung dengan pasukan berkekuatan 350 orang bernama Operasi Sabang-Merauke, yang berawal tanpa memiliki senjata namun, menurut dongeng DI, berhasil menguasai kota Medan selama empat hari pada Maret 1958.11
Ketika hampir ditumpas oleh tentara, Gaos bergerak mundur dan mengalihkan pasukannya kepada Daud Beureueh. Namun demikian keberhasilan aksi militernya, kendati hanya untuk sesaat, mengangkat pamornya tinggi-tinggi, selain ia menggondol pengalaman ganda yang langka, di Jawa Barat sekaligus Sumatra.
Langkah pertama yang dilakukan Gaos dalam rangka melancarkan Komando Jihad (Komji) adalah menyelenggarakan rapat strategi di Sukabumi pada awal 1976. Adapun pada pertemuan tersebut ia memutuskan membentuk pasukan khusus dalam rangka kampanye militer tersebut.
Selanjutnya ia mulai merekrut orang-orang yang telah dikenalnya sejak awal 1950an, maupun yang baru masuk kedalam lingkungan DI di Medan pada tahun 1970an.12 Salah seorang yang termasuk dalam kelompok kedua tersebut adalah seorang ustadz berusia 24 tahun berasal dari luar Larantuka, Flores, bernama Abdullah Umar.
Abdullah Umar yang dieksekusi oleh regu tembak di tahun 1989 bukan saja menjadi tokoh penting didalam Komando Jihad maupun Darul Islam – dialah yang mengajak pria yang dikemudian hari menjadi kepala Mantiqi II JI, yakni Abdullah Anshori alias Ibnu Thoyib alias Abu Fatih, masuk kedalam DI.
Operasi-operasi Komando Jihad dimulai secara serentak di propinsi-propinsi Sumatra Utara, Selatan dan Barat, serta Lampung. Di Sumatra Utara, serangan pertama dilancarkan pada Mei 1976, ketika sebuah granat yang gagal meledak dilemparkan ditengah-tengah acara Musabaqoh Tilawatil Quran yang diselenggarakan pemerintah di kota Pematang Siantar, Sumatra Utara. Hal ini diikuti dengan serangan bom pada Oktober 1976 di Rumah Sakit Baptis Immanuel di Bukitinggi, Sumatra Barat, dan di masjid Nurul Iman di Padang.13
Operasi tersebut tidak menimbulkan korban serius dan dilakukan oleh pengikut Timsar Zubil, 26 tahun, yang ketika itu menjadi asisten pertama komandan DI Sumatra Utara, Agus Sulaeman Lubis. Menyusul sejumlah peristiwa bom lainnya di Medan, termasuk yang di Bar Apollo, bioskop Riang, serta gereja Metodis, Timsar dan beberapa orang lain, termasuk Gaos Taufik, berhasil diringkus.14 Pada sidang pengadilan terhadap Timsar di tahun 1978, menurut sejumlah saksi, sebelum melancarkan serangan ia pernah mengikuti pelajaran merakit bom bersama sepuluh orang lainnya, bertempat di sebuah rumah di Jl. Kalibaru di kawasan Tanjung Priok, Jakarta, pada tahun 1976.
Operasi tersebut tidak menimbulkan korban serius dan dilakukan oleh pengikut Timsar Zubil, 26 tahun, yang ketika itu menjadi asisten pertama komandan DI Sumatra Utara, Agus Sulaeman Lubis. Menyusul sejumlah peristiwa bom lainnya di Medan, termasuk yang di Bar Apollo, bioskop Riang, serta gereja Metodis, Timsar dan beberapa orang lain, termasuk Gaos Taufik, berhasil diringkus.14 Pada sidang pengadilan terhadap Timsar di tahun 1978, menurut sejumlah saksi, sebelum melancarkan serangan ia pernah mengikuti pelajaran merakit bom bersama sepuluh orang lainnya, bertempat di sebuah rumah di Jl. Kalibaru di kawasan Tanjung Priok, Jakarta, pada tahun 1976.
Rumah tersebut milik seorang mantan pejuang DI dari Sulawesi Selatan bernama Jabir, yang menikah dengan putri pemimpin DI Aceng Kurnia. Hampir pada waktu yang bersamaan, menurut jaksa penuntut, seorang anggota DI lainnya, Rifai Ahmad, diutus ke Kuala Lumpur untuk minta senjata dari kedutaan Libya.15 Menurut Rifai, pihak Libya menyetujui permohonannya dan senjata tersebut akan diturunkan dari pesawat udara di pantai Sumatra.
Selanjutnya setiap hari, anggota DI menanti di pantai dengan teropong, namun pesawat tak kunjung tiba.16 Timsar diadili dan divonis hukuman mati di tahun 1979 akan tetapi hukuman tersebut diubah menjadi hukuman penjara seumur hidup, dan iapun dibebaskan pada tahun 1999. Dalam wawancara pada tahun 2001, ia bertutur bahwa dirinya dan pengikutnya menggunakan enam buah granat yang tersisa dari pemberontakan PRRI tahun 1958 di Sumatra, berikut beberapa kilogram bahan dinamit dari Lampung. Menurutnya, tujuan yang hendak dicapai adalah melemahkan kekuasaan militer atas pemerintahan Orde Baru dibawah Soeharto, dengan menerapkan “shock therapy”. Menurutnya, setelah dipenjara ia menyadari telah berbuat salah dengan menyerang tempat ibadah, dan apa yang telah dilakukannya telah melanggar kaidah agama.
Pada tahun 1982 (ketika masih secara resmi dalam tahanan) ia mengunjungi masjid Nurul Iman di Padang dan dua gereja di Medan, serta menyampaikan permohonan maaf atas tindakannya.


Di Lampung dan Palembang, tokoh kuncinya adalah Asep Warman alias Musa asal Garut, Jawa Barat, yang pada tahun-tahun awal berjuang bersama DI, kemudian ditangkap, dan pindah ke Lampung setelah dibebaskan.
Disana ia aktif dalam sel DI dibawah pimpinan Pak Ujeng (kadang juga dipanggil Ujo) dan seorang pria lain yang saat ini masih aktif berperan, yaitu Abdul Qadir Baraja.17
Baraja konon memimpin operasi Komando Jihad di Palembang pada tahun 1977, yang dirancang untuk memperoleh senjata bagi DI dengan melakukan serangan terhadap pos polisi. Komandan lapangannya bernama Sukri, yang membawahi sepuluh orang. Pada akhirnya ia ditangkap dan dipenjara di Lampung, dimana ia memimpin pemberontakan yang mengakibatkan lepasnya seluruh tahanan. Sebagian besar dapat ditangkap kembali namun kiprah tersebut menambah pamor kelompok Lampung Warman, yang oleh rekan-rekannya disebut sebagai jagoan strategi, menghimpun kelompok militan lain yang berada di Lampung, serta melancarkan berbagai serangan guna memperoleh dana dan senjata. Menurut sumber-sumber DI, ia pernah menjalankan enambelas serbuan diseluruh Sumatra Selatan, sebelum penangkapan terhadap Gaos Taufik mendorongnya untuk lari ke Jakarta pada tahun 1978 bersama pejuang Lampung lainnya.
Di Jakarta mereka diberi perlindungan di sebuah pesantren bernama Misi Islam di daerah Tanjung Priok. Ketua pesantrennya adalah Abdullah Hanafi – orang DI yang dikenal karena penafsirannya yang menyimpang terhadap Islam. Sedangkan putranya, Hasyim, menjadi salah seorang ajudan kunci Abu Bakar Ba’asyir dan yang mengatur waktu bagi mereka yang hendak mengunjungi Ba’asyir di penjara. Produk lain Misi Islam adalah Abu Dzar, ayah mertua Omar al-Faruk.
Jawa Barat merupakan kancah operasi DI yang berikutnya, namun hal itu gagal terwujud meskipun seorang pemimpin DI setempat, Mang Aslah, telah merekrut dan melatih sekelompok orang. Mereka baru mulai beraksi pada tahun 1979, karena diilhami keberhasilan Warman dalam melakukan serangkaian perampokan fa’i.18 Sementara itu, Warman dan rekan-rekannya yang masih terhenyak akibat tertangkapnya Gaos Taufik, mengambil kesimpulan Ali Moertopolah yang dibalik kejadian itu, dan selanjutnya mereka bertekad membunuhnya. Mereka mengetahui Ali Moertopo akan hadir pada sebuah acara di Semarang, Jawa Tengah pada Desember 1978, dan karenanya pindah dari Misi Islam guna menyiapkan serangan. Rencana tersebut gagal, namun Warman tetap bertahan.
Mulai Januari 1979, Warman bergabung dengan Abdullah Umar, dan bersama pemimpin DI dari Jawa Tengah melancarkan serangkaian serangan yang kemudian dikenal dengan sebutan “Terror Warman”. Pertama-tama mereka membunuh seorang pembantu rektor sebuah universitas yang konon memberi informasi kepada polisi yang akibatnya Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir ditangkap. Kemudian masih di Januari 1979, mereka membunuh orang lain yang diduga telah memberi informasi yang menyebabkan tertangkapnya Abdul Qadir Baraja dan seorang anggota pasukan khusus, Farid Ghozali. Di bulan Maret, mereka melancarkan aksi perampokan fa’i terhadap IAIN di Yogyakarta dan berusaha mengulang hal yang sama beberapa pekan kemudian di Malang, Jawa Timur, dengan menghadang kendaraan yang membawa uang gaji Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP).19
Hasil yang diperoleh dari aksi-aksi perampokan yang dilakukan Warman dan tim Jawa Barat tersebut sedemikian besar sehingga pimpinan DI memutuskan untuk memasukkan pasukan-pasukan khusus tersebut kedalam struktur tetap DI.20Pada bulan Juni 1979, mereka dimasukkan dibawah komando DI Jawa-Madura yang ketika itu dibawah Ules Sudjai, namun kemudian dialihkan lagi ke KW 7 yang mencakup Garut and Banten.
Abdullah Umar dan Warman ditangkap pada bulan April 1979. Warman berhasil kabur dan selama dua tahun reputasinya meningkat dengan menghimpun dana untuk DI melalui serangan fa’i. Ia bahkan melakukan serangan berdasarkan pesanan, untuk mencari barang konsumen untuk pimpinan DI, misalnya saja pesawat televisi berwarna. Akhirnya ia berhasil diburu dan tewas ditangan TNI pada tanggal 23 Juli 1981 di Soreang Kolot, Bandung21
Periode tahun 1979 hingga 1987 merupakan masa yang sangat menentukan bagi DI saat pemerintahan Soeharto tengah meningkatkan penindakan terhadap gerakan tersebut yang berujung dengan tertangkapnya sebagian besar pimpinan DI di Jawa, dan mengakhiri satu babak dari riwayat DI, yaitu Komando Jihad.
Komando Jihad pun menengarai, betapapun intel Indonesia berhasil menembus jauh kedalam sebuah organisasi, masih ada orang-orang didalam kelompok sasaran tersebut yang sama gesit memanfaatkan organisasi intel untuk kepentingan mereka sendiri. karena badan intel menanamkan begitu banyak orangnya didalam organisasi DI, mereka menjadi buta terhadap agenda DI sesungguhnya, karena berasumsi bahwa orang-orang tersebut utamanya bekerja untuk pemerintah, ketimbang untuk diri sendiri serta gerakan DI.
------
------
1. Wawancara Crisis Group, Oktober 2004. Adapun pemberian senjata oleh TNI untuk tugas itulah yang satu dasawarsa kemudian meyakinkan beberapa anggota DI bahwa tawaran kerjasama intel militer untuk mendirikan negara Islam dibuat dengan sungguh-sungguh.
2. Wawancara Crisis Group, Oktober 2004. Moertopo konon bertindak demikian karena ikatan pribadi yang dijalinnya bersama pimpinan DI ketika sama-sama menjadi anggota saat Jepang menduduki Indonesia.
3. http://www.geocities.com/darul1slam/1962_1981.htm, yang diperkuat dengan wawancara Crisis Group. (Catatan: situs tersebut menggunakan angka 1 dan bukan I pada huruf pertama kata Islam.)
4. Dalam sidang peradilan terhadap pimpinan DI Haji Ismail Pranoto (Hispran) di Surabaya tahun 1978, para jaksa menyinggung tentang pertemuan ex pimpinan DI lainnya pada tahun 1971 bertempat di daerah Utan Kayu di Rawamangun, Jakarta Timur. Menurut Hispran, pertemuan tersebut sekedar membicarakan nasib putra-putri mantan pimpinan DI serta mencari dana dari Danu Muhamad Hassan untuk membangun sekolah. Lihat “H. Ismail Bantah Akan Hidupkan NII”, Pikiran Rakyat, 17 April 1978.
5. Seluruh angka yang disebut dalam dolar ($) maksudnya dolar AS.
6. “M. Ridwan (Saksi Sejarah DI/TII): NII Pernah Diminta Dukung Golkar”, Darul Islam, Vol.1 No.10, April-May 2001,p.38 Ketika diadili pada tahun 1978, Hispran mencoba namun gagal mengupayakan agar Pitut Soeharto, yang ketika itu bekerja untuk Opsusnya Ali Moertopo, hadir sebagai saksi. Lihat “Pitut dan Ali Murtopo Ditolak Jadi Saksi”, Pikiran Rakyat, 2 Juni 1978. Pitut tidak ada hubungan keluarga dengan presiden Indonesia saat itu, Soeharto.
7. Aceng Kurnia disekitar Bandung dibawah pimpinan Tahmid membentuk organisasi baru pada 1968 atau 1969, yang diberi nama Penggerakan Rumah Tangga Islam (PRTI).14 Sasarannya untuk melakukan konsolidasi dan mengaktifkan kembali kepemimpinan DI. Daur Ulang Militan di Indonesia : Darul Islam dan Bom Kedutaan Australia Crisis Group Asia Report N°92, 22 Februari 2005
8. Heru Cahyono, Pangkomkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (Jakarta, 1988), hal. 195.
9. Dokumen rahasia DI yang diperoleh Crisis Group, Februari 2000. Republik Persatuan Sulawesi (RPS) dan Republik Persatuaan Islam Indonesia (RPII) keduanya diproklamasikan pada tahun 1962 oleh orang dalam Kahar Muzakkar, selain itu keduanya merupakan pecahan dari Jawa Barat.
10. Cahyono, op.cit, hal. 195. Menurut mendiang Jenderal Soemitro, kepala badan keamanan dalam negeri saat itu, pimpinan DI percaya bahwa Ali Moertopo ingin menjadi wakil presiden. Jika berhasil, mereka bermaksud membantunya “menetralisir” Soeharto, dengan demikian mengangkatnya ke jenjang kepresidenan, dan selanjutnya ia dapat mendukung tujuan mereka.
11. Pada kenyataannya, peristiwa penguasaan kota Medan kisahnya jauh lebih rumit. Peristiwa tersebut terjadi pada masa pemberontakan singkat yang terpusat di Sumatra Barat di tahun 1958, dimana diproklamasikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pimpinan PRRI tidak memiliki latar belakang DI, namun Operasi Sabang-Merauke merupakan salah satu dari beberapa peristiwa kerjasama DI-PRRI melawan musuh bersama.
12. Salah satu anggota senior adalah Imam Baharuddin yang masuk DI di tahun 1951. Menurut jaksa penuntut pada sidang pengadilan terhadap Timsar Zubil, Gaos Taufik menugaskannya untuk mengadakan kontak dengan mantan anggota DI di Sumatra Utara, dan kemudian ia dikirim ke Palembang, Sumatra Selatan untuk memberi tahu mantan anggota DI yang ada disana tentang komando baru tersebut. “Bekas DI/TII Sumatera Bentuk Suatu Komando”, Pikiran Rakyat, 26 Januari 1978.
13. Didalam pandangan mereka, masjid sah-sah saja sebagai sasaran jika dibangun diatas lahan yang bergelimang dosa, atau jika digunakan untuk memecah belah ummat. Masjid-masjid demikian dinamakan masjid dhiror.
14. “Akhirnya Timsar Bebas”, Gatra, Vol.V, No.9, 16 Januari 1999, dan “Penerjun Itu Dihukum Mati,” Tempo, 18 Maret 1978.
15. Sebagian aktivis Komando Jihad mendapat pelatihan dari Institute of Dakwah Islamiyah di Tripoli, Libya.
16. Wawancara Crisis Group, November 2004. Ketika Hispran diadili pada tahun 1978, menurut seorang saksi Hispran memerintahkannya untuk mengamati pantai selatan Jawa Timur guna menanti kiriman senjata dari Lybia yang dibawa dengan kapal. Namun disana pun tidak ada dropping senjata.. “Pecahnya Sesepuh DI”, Tempo, 30 September 1978.
17. Wawancara Crisis Group, November 2003.
18. Diantara yang dilatih oleh Mang Aslah (yang terbunuh saat ada granat meledak), termasuk Amir (Garut), Empon (Tasikmalaya), Dudu (Garut), Iyus (Garut), Itang (Garut), Bana (Ciwidey), dan Emeng Abdurahman (Bandung), yang kini menjadi imam fraksi DI yang pernah dipimpin oleh mendiang Abdul Fatah Wirananggapati. Mereka bertanggung jawab atas perampokan terhadap toko emas “Sinar Jaya” di Tasikmalaya pada 9 April 1979; perampokan terhadap koperasi simpan pinjam di kecamatan Sikijang, Majalengka, pada April 1980; perampokan gaji pegawai dinas P&K setempat di kecamatan Banjarsari, Ciamis, 5 Mei 1980; dan perampokan terhadap toko emas di Subang tanggal 9 Juli 1980.
19. Crisis Group Asia Briefing N°20, Al-Qaeda in South East Asia: The Case of the “Ngruki Network” in Indonesia, 8 Agustus 2002.
20. Seringkali pimpinan puncak baru mengetahui tentang aksi perampokan dari surat kabar. Selanjutnya mereka menghubungi pasukan khusus tersebut dan menuntut bagian dari penghasilan. Wawancara Crisis Group, November 2004.
21. “Akhir Perburuan di Soreang”, Tempo, 1 Agustus 1981.
Di sadur dari: DAUR ULANG MILITAN DI INDONESIA: DARUL ISLAM DAN BOM KEDUTAAN AUSTRALIA Asia Report N°92 – 22 Februari 2005
DI/TII yang dibangkitkan dan dimanfaatkan Ali Murtopo itu kemudian ternyata tidak seluruhnya bisa dijinakkannya kembali. Ini lebih kurang sama ceritanya dengan menggunakan Gali di Jawa Tengah yang akhirnya berada di luar kontrol Murtopo. Para Gali dihabisi oleh anak buah Letkol Mohammad Hasbi lewat operasi yang kemudian dikenal sebagai Petrus [penembak misterius], sementara kegiatan bekas-bekas DI/TII dalam bentuk Negara Islam Indonesia (NII) masih terus menghantui masyarakat hingga awal abad ke-21.
Komando Jihad Diciptakan Kemudian Dihancurkan
oleh. Salim Haji Said
Pada masa awal kekuasaan Soeharto, setelah membereskan PKI, para pengikut Sukarno, dan para tokoh pelopor Orde Baru (Kemal Idris, H.R. Dharsono, dan Sarwo Edhie), kekuatan Islam politik menjadi target Soeharto berikutnya. Yang mula-mula menjadi operator melaksanakan kebijakan anti-Islam Soeharto adalah Ali Murtopo. Waktu itu Moerdani masih menjabat Konsul Jenderal di Kuala Lumpur sebelum kemudian pindah menjadi Kuasa Usaha di KBRI Seoul.
Dalam rangka itulah, kemudian muncul cerita mengenai Komando Jihad yang diciptakan untuk kemudian dihancurkan. Ini adalah salah satu cara Ali Murtopo “meneror” kekuatan Islam politik, terutama menjelang Pemilihan Umum 1971. Waktu itu kubu Soeharto masih belum yakin pada kesanggupan Golkar—kendaraan politik tentara—mengumpulkan suara secara signifikan dalam pemilihan umum pertama Orde Baru.
Kelompok yang dipakai Murtopo untuk operasinya itu, antara lain, adalah para mantan Darul Islam (DI) dan Tentara Islam Indonesia (TII) yang menurut para perwira Kodam Siliwangi sudah lama mereka “jinakkan”. Orang-orang Siliwangi itu amat kesalkepada kegiatan Murtopo “membangkitkan” kembali para mantan DI/TII tersebut. “Komando Jihad” itu menurut Panglima Siliwangi waktu itu, Mayor Jenderal TNI Himawan Sutanto, adalah “jadi-jadian”. Tapi, para perwira di Bandung tidak bisa berbuatapa-apa menghadapi pembantu dekat Presiden tersebut.
Memanfaatkan para mantan DI/TII itu adalah taktik Murtopo yang mula-mula dipraktikkannya ketika menghadapi PKI. Dia, antara lain, menggunakan para mantan DI/TII itu untuk menghadapi orang-orang Komunis setelah Gestapu. Jauh sebelumnya, di Sumatra Barat, sebagai perwira intel dalam pasukan yang beroperasi menumpas PRRI, Ali Murtopo melakukan hal yang sebaliknya. Di Sumatra Barat, Murtopo menggunakan anggota-anggota Pemuda Rakyat (PR), organisasi pemuda Komunis yang tergabung dalam Organisasi Pertahanan Rakyat (OPR), dalam mengejar tokoh-tokoh PRRI. Langkah Ali Murtopo itu mendapat dukungan Kolonel Pranoto Reksosamodra, Panglima Operasi yang memang berkecenderungan kiri.
Memanfaatkan para mantan DI/TII itu adalah taktik Murtopo yang mula-mula dipraktikkannya ketika menghadapi PKI. Dia, antara lain, menggunakan para mantan DI/TII itu untuk menghadapi orang-orang Komunis setelah Gestapu. Jauh sebelumnya, di Sumatra Barat, sebagai perwira intel dalam pasukan yang beroperasi menumpas PRRI, Ali Murtopo melakukan hal yang sebaliknya. Di Sumatra Barat, Murtopo menggunakan anggota-anggota Pemuda Rakyat (PR), organisasi pemuda Komunis yang tergabung dalam Organisasi Pertahanan Rakyat (OPR), dalam mengejar tokoh-tokoh PRRI. Langkah Ali Murtopo itu mendapat dukungan Kolonel Pranoto Reksosamodra, Panglima Operasi yang memang berkecenderungan kiri.
Menurut sebuah sumber di Padang, Kolonel Dahlan Jambek, seorang tokoh PRRI dan mantan pejabat tinggi di Markas Besar Angkatan Darat, tewas di tangan OPR ketika dia dalam perjalanan menyerahkan diri ke pos pasukan TNI. Sumber tersebut menjelaskan adanya kontak antara Kolonel Jambek dan pimpinan militer mengenai rencananya menyerahkan diri. Untuk itu, sebagai mantan petinggi di Markas Besar Angkatan Darat, dia minta agar dijemput oleh Panglima. Tapi, tempat dan waktu penjemputan bocor atau dibocorkan kepada OPR yang lebih dulu datang “menjemput” sang Kolonel.
DI/TII yang dibangkitkan dan dimanfaatkan Ali Murtopo itu kemudian ternyata tidak seluruhnya bisa dijinakkannya kembali. Ini lebih kurang sama ceritanya dengan menggunakan Gali di Jawa Tengah yang akhirnya berada di luar kontrol Murtopo. Para Gali dihabisi oleh anak buah Letkol Mohammad Hasbi lewat operasi yang kemudian dikenal sebagai Petrus [penembak misterius], sementara kegiatan bekas-bekas DI/TII dalam bentuk Negara Islam Indonesia (NII) masih terus menghantui masyarakat hingga awal abad ke-21.
Komentar
Posting Komentar