Langsung ke konten utama

Kisah Tragis Tiga “King Maker”

Salim haji said

Kisah Tragis Tiga “King Maker”

Letnan Jenderal TNI (Purn.) Ahmad Kemal Idris wafat Rabu pagi 28 Juli 2010 dalam usia 84 tahun. Dengan kematian itu habislah tiga King Maker yang pernah bekerja keras menaikkan Soeharto ke takhta kepresidenan. Dua lainnya, Hartono Rekso (H.R.) Dharsono dan Sarwo Edhie Wibowo sudah lebih dahulu berangkat ke alam baka. Pada awal pasca-Orde Lama, mereka bertiga secara bersama telah bekerja keras menyingkirkan Sukarno agar terbuka jalan kekuasaan bagi Soeharto.
Kebanyakan orang memang hanya melihat kepergian Ahmad Kemal Idris sebagai pertanda nyaris habisnya generasi Angkatan 45 TNI dalam masyarakat. Kemal, begitu almarhum populer dikenal, memang salah seorang tokoh penting dari angkatannya. Tapi, yang mungkin tidak menjadi perhatian orang banyak adalah peran penting Kemal pada dua peristiwa besar dalam sejarah dan peran politik militer Indonesia. Terbentang jarak yang jauh antara saat Kemal menghadapkan meriam ke Istana Merdeka dan masa beliau memimpin Kostrad sebagai King Maker senior yang berhasil menyingkirkan Sukarno dan menaikkan Soeharto sebagai pengganti presiden pertama tersebut.
Memulai kegiatan militernya sebagai pemuda angkatan pertama yang dilatih oleh Jepang, keterampilan militer itulah yang mendorong Kemal memilih lapangan ketentaraan dalam mengabdikan diri mempertahankan Indonesia yang baru merdeka. Dia bertempur—bertarung istilah yang disukainya—dari Tangerang hingga Madiun untuk akhirnya kembali lagi bergerilya di Jawa Barat menjelang akhir masa Revolusi.
Namun, Kemal untuk waktu yang lama lebih dikenal sebagai seorang komandan tentara di Jakarta dengan pangkat mayor yang—atas perintah KSAD Kolonel A.H. Nasution—memasang dan mengarahkan laras meriamnya ke Istana Merdeka pada 17Oktober 1952. Angkatan Darat hari itu mencoba, tetapi gagal, mendesak Presiden Sukarno membubarkan Parlemen. Sebagai salah satu akibatnya, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Nasution kehilangan posisi. Untuk sekian tahun—sebelum pada 1955 diangkat kembali menjadi KSAD—Nasution menjadi Kolonel tanpa jabatan.
Kemal memang tidak kehilangan jabatan sebagai akibat aksi pasang meriam itu, tapi sejak itu dia “dicatat” Sukarno sebagai musuh. Akibatnya, karier militer Kemal terhambat lama. Pada Juni 1956, Kemal terlibat lagi dalam suatu gerakan militer. Kali ini yang jadi target adalah justru Nasution. Sejumlah perwira—sebagian besar berasal dari Siliwangi—waktu itu bertekad menurunkan Nasution dari kursi KSAD. Tapi, usaha yang melibatkanKolonel Zulkifli Lubis itu juga berakhir dengan gagal. Nasib Kemal pun makin memburuk, sebab selain Sukarno, kini Nasution juga memusuhinya.
Setelah bertahun-tahun tidak punya posisi dan kegiatan sebagai tentara, adalah Letjen Ahmad Yani, pimpinan Angkatan Darat, pengganti Nasution, yang memasukkan kembali Kemal dalam jajaran militer. Bersama Kemal, Suwarto—dimusuhi Nasution karena juga ikut gerakan usaha penyingkiran KASAD bersama Zulkifli Lubis dan Kemal—juga mendapatkan peranan militer aktif kembali. Suwarto kemudian menjadi pimpinan Seskoad yang menyiapkan konsep-konsep Angkatan Darat untuk memainkan peran politik, sementara Kemal—setelah bertugas sebagai pasukan perdamaian PBB di Kongo—menemukan dirinya menjadi perwira yang ditempatkan dalam jajaran Kostrad pimpinan Mayjen TNI Soeharto.
Nama Kemal muncul di publik ketika Panglima Kostrad Soeharto, dalam rangka Konfrontasi dengan Malaysia, menugaskannya sebagai Panglima Komando Tempur (Kopur) Kostrad yang bermarkas di sekitar Medan. Tugas Brigjen TNI Kemal Idrissebenarnya adalah menyiapkan penyerbuan ke Malaysia Barat. Tapi dalam kenyataannya, dia lebih banyak melaksanakan perintah Soeharto mencari jalan damai dengan negara jiran tersebut. Untuk tujuan itulah, Kemal melakukan Operasi Khusus (Opsus) yang lembaganya kemudian, pada masa Orde Baru, digunakan Ali Murtopo melancarkan operasi politik menyingkirkan musuh-musuh politik Soeharto dan musuh-musuh politik Murtopo sendiri.
Nama Kemal lebih muncul ke permukaan setelah almarhum ditarik ke Jakarta mengambil alih pimpinan Kostrad. Kemal yang pemberani, anti-Komunis, dan musuh lama Sukarno, adalah orang yang tepat membantu Soeharto dalam operasi pemberantasankekuatan Komunis dan penyingkiran Sukarno. Pada saat itu, Kemal berhadapan kembali dengan dua musuh lamanya, PKI yang diperanginya di Madiun dulu (1948) dan Sukarno yang selama bertahun-tahun ikut mempersulit karier militernya.
Dengan kerja sama Mayor Jenderal H.R. Dharsono, Panglima Siliwangi, dan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), Kemal yang paling senior di antara mereka dengan cepat mentransformasikan trio itu menjadi King Maker yang merancang, mendukung, bahkan mendesak Soeharto untuk secepatnya menjadi Presiden menggantikan Sukarno. Kemal adalah tokoh yang menggagas beroperasinya pasukan tanpa tanda satuan yang mengepung Istana Kepresidenan pada 11 Maret 1966. Pelaksana operasi adalah Kolonel Sarwo Edhie.
Kalau pada 17 Oktober 1952, Kemal gagal memaksa Sukarno membubarkan Parlemen, pada 11 Maret 1966 Kemal berhasil “memaksa” Sukarno lari terbirit-birit meninggalkan sidang Kabinet di Istana Negara Jakarta untuk pada malam harinya di Istana Bogor menyerahkan kekuasaan, kepada Soeharto. Seperti diketahui, beberapa jam setelah operasi anak buah Sarwo Edhie di seputar Istana itu, Sukarno menyerahkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) kepada Soeharto.
Dengan mandat dari Presiden, Pemimpin Besar Revolusi, dan Panglima Tertinggi ABRI itulah Soeharto segera membubarkan PKI, menangkap sejumlah anggota kabinet, dan melakukan pembersihan dalam tubuh militer. Mula-mula yang disingkirkan adalah mereka yang berhaluan kiri, tapi kemudian para simpatisan Sukarno juga mendapat giliran. Setelah yang kiri dan Sukarnois dibersihkan, barulah tiba giliran teman seiring, para pendukung, disingkirkan.
Sebagai jenderal yang punya insting politik canggih, Soeharto tahu riwayat hidup Kemal, seorang pejuang berwatak pemberang, berpendirian tegas, dan tidak kenal kompromi. Jenderal seperti Kemal Idris itu, bagi Soeharto, keberadaannya di Jakarta hanya akan membahayakan kekuasaan sang Presiden. Setelah memantapkan kontrol selepas menghancurkan PKI dan menyingkirkan para loyalis Sukarno, tibalah giliran Kemal untuk “dibereskan”. Melepaskan jabatan Panglima Kostrad, Kemal dikirim ke Makassar menduduki posisi Panglima Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan), lembaga yang baru saja diciptakan tanpa wewenang yang jelas.
Bersama Kemal, Dharsono dan Sarwo Edhie juga terlempar dari posisi strategis yang secara bersama telah mereka pergunakan menaikkan Soeharto. Sarwo Edhie ditugaskan ke Medan sebagai Panglima Daerah Militer (Pangdam), dan Dharsono ke Bangkok sebagai Duta Besar. Beberapa waktu kemudian Sarwo Edhie dilempar lebih jauh lagi, sebagai Pangdam di Papua. Sebenarnya Sarwo tadinya sudah diwacanakan mendapat pos sebagai Duta Besar di Moskow. Tapi, pada saat terakhir terjadi perubahan, entah apa alasannya. Adapun Dharsono, dia juga kemudian dimutasi ke negara yang jauh lebih kecil dan terpencil, sebagai Dubes di Phnom Penh, Kamboja.
Di markasnya di Makassar, pada September 1972 Kemal tiba-tiba mendapat perintah menyerahkan jabatan Panglima Kowilhan kepada Jenderal Witono. Perintah disampaikan oleh Jenderal TNI Sumitro, Pangkopkamtib. Pada saat yang sama, Kemal diminta bersiap-siap ke Beograd menduduki jabatan Duta Besar untuk Yugoslavia. Terkejut karena tidak pernah membayangkan dirinya dilempar jauh sebagai Duta Besar, Kemal ke Cendana“mengadukan nasib”-nya langsung kepada Soeharto, mantan atasannya selama bertahun-tahun di Kostrad. Bapak Presiden cuma berkata, “Kamu masih militer, nggak? Kalau kamu masih militer, ini perintah.” Kemal tidak punya pilihan lain. Sebagai tentara, Kemal tidak bisa menolak perintah. Dia berangkat ke pos barunya, meski jabatan itu tidak disukainya.
Sebagai Duta Besar di Beograd, almarhum harus tinggal beberapa tahun di Yugoslavia menghabiskan banyak waktunya berburu di hutan-hutan sekitar ibu kota bersama Josip Broz Tito, Presiden Yugoslavia waktu itu. Ketika berkunjung ke Jakarta pada 1974, Kemal kebetulan jumpa Laksamana Sudomo yang waktu itu memimpin Kopkamtib. Dari Sudomo-lah, menurut Kemal, dia tahu bahwa laporan tentang dirinya kepada Soeharto bersumber dari Ali Murtopo.
Bertahun-tahun menjadi atasan Kemal, Soeharto sebenarnya tidak memerlukan laporan Ali Murtopo untuk menyingkirkan mantan anak buahnya itu. Soeharto tahu riwayat hidup serta sepak terjang Kemal. Soeharto pasti tahu bahwa Kemal sebagai Pangkostrad pernah menolak saran Sultan Hamengkubuwono IX dan Mashuri, S.H. untuk mengambil alih kekuasan dari Soeharto yang mereka nilai terlalu lamban menyelesaikan urusan Sukarno. Tetapi, loyalitas Kemal kepada diri sang Presiden itu tetap saja tidak menggoyahkan kecurigaan Soeharto kepada Kemal.
Ketika kemudian balik ke Jakarta sebagai pensiunan Dubes dan Letnan Jenderal TNI Purnawirawan, dengan penuh harga diri Kemal menolak tawaran fasilitas bisnis dari Soeharto. “Pak Harto sudah sibuk mengurusi negeri ini, biarlah saya mengurusi diri saya sendiri,” begitu kira-kira ucapan Kemal menolak tawaran fasilitas dari Soeharto. Setelah itu, Kemal dikenal sebagai “Jenderal Sampah”, sebab perusahaannya memang bergerak dibidang pengolahan sampah.
Pilihan jenis bisnis itu bagi seorang pejuang seperti Kemal, menjelang akhir hayatnya, sangat simbolis tapi sekaligus juga ironis. Pada waktu itu, dia sering mengeluh terhadap perlakuan para pejabat di kantor Gubernur Jakarta (DKI) yang berurusan dengan perusahaan pembersihan sampah miliknya. Tapi, Kemal tidak lagi punya kekuasaan untuk berbuat sesuatu kepada para birokrat yang dinilainya sangat korup. Dia hanya jenderal pensiunan yang tidak pula dekat dengan lingkaran kekuasaan Soeharto.

“Seperti Memakamkan Kucing Saja”

Ketika jumpa Soeharto pada suatu reuni para mantan Tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor, Kemal menyampaikan kepada sang Presiden pengalamannya berurusan dengan DKI. “Apa komentar Pak Harto?” tanya saya. “Dia senyum saja,” kata Kemal. Kisah Kemal tak berakhir pada sampah. Ketika dilihatnya Soeharto sudah menjadikan dirinya penafsir tunggal konstitusi dan Pancasila pada 1980, Kemal secara terbuka menyatakan simpatinya kepada para pemrotes yang secara bersama menandatangani petisi (Petisi 50), meski Kemal sendiri tidak ikut bertanda tangan. Tentu saja sejak itu Soeharto makin kesal kepadanya. Dan seperti biasa, makin sulitlah kegiatan bisnis Kemal.
JIKA DIBANDINGKAN DENGAN DHARSONO, sebenarnya nasib Kemal masih lebih baik. Dharsono malah sempat dipenjara karena dituduh terlibat Peristiwa Tanjung Priok. Padahal, yang dilakukannya bersama A.M. Fatwa—seorang tokoh Muhammadiyah—hanyalah menyatakan protes terhadap pembantaian rakyat di kawasan Tanjung Priok oleh pasukan ABRI. Bersama A.M. Fatwa, Dharsono mendekam sekian tahun di penjara. Sekali lagi nasib Dharsono lebih buruk, bukan cuma menjadi narapidana, melainkan semua tanda jasanya juga dicabut.
Beberapa saat setelah mendengar kabar kematian Dharsono, saya menelepon KSAD, Jenderal Hartono, agar mempertanyakan kepada Presiden Soeharto status Dharsono. Apakah setelah semua tanda jasanya dicabut masih dimungkinkan memakamkan jasad mantan Panglima Siliwangi itu di Taman Makam Pahlawan. Jawaban Bapak Presiden, “Sudah, begitu saja.” Artinya, pemakaman tidak secara militer, juga tidak di Taman Makam Pahlawan. Kemal Idris hadir di pemakaman umum di Bandung melepas kepergian teman seperjuangannya. Gerutu Kemal, “Seperti menguburkan kucing saja.”
Berbeda dengan kedua teman sesama King Maker lainnya, Sarwo Edhie—seorang kolonel di antara dua koleganya yang Jenderal waktu itu—tidak pernah jelas apa kesalahannya yang menjadi alasan bagi Soeharto untuk secara perlahan “menamatkan” karier militernya. Cerita yang beredar waktu itu adalah bahwa dalam penyingkiran Sarwo, Ali Murtopo memainkan peran besar. Ali yang sejak awal kabarnya sudah memproyeksikan dirinya suatu kali akan menggantikan Soeharto, masuk akal kalau sejak dini—dengan menggunakan “tangan Soeharto”—secara perlahan menyingkirkan tokoh-tokoh yang dianggapnya potensial bakal jadi saingannya pada masa mendatang.
Berbagai sumber waktu itu menjelaskan, isu Sarwo Edhie ditakutkan bakal me-Najib-kan (menyingkirkan Soeharto seperti Kolonel Nasser di Mesir menyingkirkan Jenderal Najib, seniornya yang bersamanya menggulingkan Raja Farouk) kabarnya berasal dari kelompok Ali Murtopo. Isu demikian memang sempat beredar di kalangan terbatas di Jakarta. Dalam rangka isu itu, tatkala menjabat sebagai Panglima di Medan, pada suatu hari pagi-pagi sekali Brigjen TNI Sarwo Edhie mampir di rumah pondokan saya di Matraman Raya dalam perjalanan pulang ke rumahnya di Cijantung.
“Dari mana Bapak pagi-pagi sekali?” tanya saya dengan sedikit heran. “Dari Cendana,” jawab beliau. Cendana itu tempat kediaman pribadi Presiden Soeharto. Acara penting pertemuan Sarwo Edhie dengan Soeharto pagi itu adalah membicarakan soal isu “Sarwo akan menggulingkan Soeharto”. Sarwo bertanya: “Pak Harto, apakah soal itu sudah Bapak cek?” Apa jawab Soeharto? “Beliau hanya tersenyum.” Tidak ada komentar Sarwo atas jawaban Soeharto yang jelas mengecewakannya itu.
Mengetahui rekam jejak Sarwo yang wataknya bertolak belakang dari Kemal yang pemberang, dan Dharsono yang suka politik (dekat dengan orang-orang Partai Sosialis Indonesia, PSI, dan berperan penting menggagas konsep Dwi Partai di Bandung),Soeharto hampir bisa dipastikan tidak mudah percaya Komandan RPKAD itu akan menggulingkannya. Ali Murtopo mungkin saja mencoba menghasut Soeharto, tapi kebijakan sang Presiden diputuskan tentu berdasarkan kalkulasi untung rugi bagi kelanggengan kekuasaannya sendiri.
Pengalaman bertahun-tahun bersahabat dengan Sarwo Edhie meyakinkan saya bahwa almarhum bukan orang yang tahu politik, juga bukan seorang yang ambisius. Sarwo cuma tentara, suatu profesi yang dicintainya, tidak lebih dari itu. “Apakah Bapaktidak curiga pada pagi 1 Oktober 1965 itu PKI ada di balik Gestapu?” tanya saya kepada beliau sekian belas tahun kemudian setelah peristiwa berdarah itu. “Tidak menduga sama sekali, sebab PKI itu, kan menerima Pancasila, Manipol, dan selalu menyatakan kesetiaannya kepada Pemimpin Besar Revolusi,” jawab beliau dengan polos. Ini buat saya merupakan indikator yang jelas mengenai rendahnya pengetahuan dan minat Sarwo kepada politik. Padahal, beberapa hari sebelum terbunuh pada subuh 1 Oktober itu, Panglima Angkatan Darat, Ahmad Yani datang berkunjung ke markas RPKAD dan memberi taklimat kepada pasukan pimpinan Sarwo. Hari-hari itu ketegangan politik antara PKI dengan Angkatan Darat sudah sangat mencolok.
Yani dan Sarwo adalah teman lama sejak latihan militer pada zaman Jepang. 

Keduanya berasal dari Purworejo, Jawa Tengah. Satu sumber mengisahkan kepada saya bahwa suatu saat Yani sebenarnya ingin mengambil Sarwo sebagai ipar. Kedekatan kedua perwira TNI asal Purworejo itulah kabarnya yang ikut membakar kemarahan Sarwo kepada PKI setelah Gestapu.
Bahwa Sarwo sebagai Komandan Pasukan Khusus dalam masa tegang antara Angkatan Darat dan PKI sama sekali tidak tahu perkembangan politik, itu berarti Yani tidak mengajaknya bicara politik. Kemungkinan besar Yani tidak merasa perlu bicarapolitik kepada Sarwo yang kesetiaannya jelas tidak dia ragukan. Tapi, juga bukan tidak mungkin karena Yani tahu bahwa Sarwo itu hanya tentara yang ikut perintah komandan dan tidak tertarik politik.
Kemudian, terbukti bahwa memang ada pejabat-pejabat penting Angkatan Darat masa itu yang tidak tahu atau tidak tertarik politik. Panglima Jakarta Raya waktu itu, Mayjen TNI Umar Wirahadikusuma adalah salah satunya. Fahmi Idris, tokoh HMI yang kemudian menjadi menteri pada era pasca-Orde Baru, punya cerita menarik mengenai Panglima Umar dan politik. Syahdan, pagi hari 1 Oktober 1965, Fahmi Idris dan Ekky Syahruddin, juga tokoh HMI, menemui Umar di markasnya yang terletak di depan kantor Pertamina sekarang. “Pak Umar tidak tahu dan tidak curiga kalau kejadian pagi hari itu di belakangnya ada berdiri PKI. Kami mencoba meyakinkannya, tapi sulit,” cerita Fahmi.Dalam perjalanan pulang dari Markas Kodam, Ekky curiga, jangan-jangan Umar terlibat. “Ah, tidak mungkin. Dia tidak tahu saja,” kata Fahmi pula.
Kembali ke kasus Sarwo Edhi, untuk mengerti langkah Soeharto menyingkirkannya harus dicari penjelasan lain. Baik Jusuf Wanandi maupun Julius Pour dalam buku mereka masing-masing ada bercerita bahwa Soeharto mulai tidak percaya bahkan curiga kepada Kolonel Sarwo Edhie pada hari kedua pasca-pembantaian Jenderal oleh Gestapu. Ceritanya bermula ketika dari pangkalan udara Halim Perdana Kusuma, Sarwo yang baru saja menyelesaikan pendudukan lapangan terbang itu berencana melapor ke Soeharto.
Laksamana Muda Udara Herlambang yang secara darurat memimpin Angkatan Udara waktu itu (Panglima AU Omar Dani sudah tidak berfungsi efektif saat itu) meyakinkan Sarwo, Jenderal Soeharto ada di Bogor. Dan kalau Sarwo mau ke Bogor, sang Kolonel dipersilakan ikut terbang bersama dengan menggunakan helikopter yang akan membawa Herlambang ke Istana Bogor. Sarwo dengan pengawalan Mayor Gunawan Wibisono, asisten Operasi RPKAD, ikut terbang bersama perwira tinggi Angkatan Udara itu. Tiba di Istana, Soeharto ternyata masih dalam perjalanan. Sarwo malah sempat jumpa Sukarno yang berpakaian dalam dan tidak pakai kopiah. Komandan RPKAD yang memang tidak pernah melihat Sukarno dari dekat, tidak segera mengenal “orang tua” itu. Kepada saya, Sarwo menceritakan kedongkolannya kepada “orang tua” yang memandang terbunuhnya Yani sebagai hal biasa dalam Revolusi. “Orang dibunuh kok, soal biasa,” kata Sarwo kesal.

Soeharto menganggap Sarwo melapor kepada Sukarno sebelum kepada Pangkostrad. Soeharto marah. Sarwo boleh kesal kepada Sukarno, tapi pertemuannya dengan Pemimpin Besar Revolusi itu mendorong Soeharto menganggap Komandan RPKAD itu punya rencana sendiri yang berbeda dengan kebijakannya sebagai pimpinan sementara Angkatan Darat. Kecurigaan dan kemarahan Soeharto kepada Sarwo itu berakibat fatal. Karier militer mantan Komandan RPKAD dibunuh secara kejam meski perlahan-lahan.
Dari Medan Sarwo dilempar ke Papua. Dari Papua ke Magelang menduduki kursi Gubernur Akabri. Dari Magelang dikirim ke Korea sebagai Dubes. Pulang ke Jakarta didudukkan di Departemen Luar Negeri sebagai Inspektur Jenderal (Irjen). Dari Pejambon rencananya Sarwo akan dilempar lebih jauh lagi, ke Brasil. Entah mengapa, terjadi perubahan. Digeser beberapa puluh meter dari kantor Irjen Deplu, Sarwo menemukan dirinya mengurusi kursus Pancasila di BP7. Tidak bisa menolak keputusanSoeharto mendudukkannya pada kursi Kepala BP7, Sarwo Edhie hanya bisa merasa sedih terhadap perlakuan atasannya.
Kepada kami anak-anaknya, Papi sempat mengutarakan rasa sedihnya. Ya, benar, dia sempat merasa kecewa dengan keputusan itu. Bukan berarti Papi mengecilkan arti BP7, melainkan karena dia merasa langkahnya mendadak dibelokkan ke arah yang tidak pernah dia bayangkan. Papi terlahir sebagai orang yang sangat mencintai dunia militer. Dia masih memiliki hasrat berkobar untuk meneruskan semangat “Sarwo Edhie” seperti yang dia tunjukkan saat peperangan kemerdekaan Agresi Militer Belanda ke-2, masa-masa memimpin RPKAD, dan era pemberantasan PKI.
Begitu cerita Ani Yudhoyono (istri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono), salah seorang putri Sarwo Edhie, dalam bukunya, Kepak Sayap Putri Prajurit. Sarwo sebenarnya sudah merasa disingkirkan ketika dia akan dikirim sebagai Dubes di Korea Selatan. Saya ingat waktu itu dia bertekad menolak dan akan pensiun saja. Di Cijantung di depan Ibu Sarwo, saya berusaha meyakinkan Jenderal itu agar menerima posisi Dubes, sebab kalau dia pensiun, pasti akan selalu diintai intel. Artinya, hidupnya tidak akan tenang. ”Bapak nikmatilah posisi dubes itu,” bujuk saya.
Sarwo yang pernah Sesko di Australia, kemudian bersedia menjadi Dubes asal ditempatkan di Canberra. “Pak, posisi di sana itu baru saja diisi oleh Jenderal Hertasning.” Akhirnya, Pak Sarwo berangkat juga ke Korea Selatan sebagai Dubes Indonesia pertama di Seoul. Posisi pimpinan KBRI di Korsel itu sebelumnya diduduki oleh Kolonel L.B. Moerdani, dengan pangkat diplomatik Kuasa Usaha.
Ketika saya berkunjung ke tempat tugasnya, saya tidak melihat atau mendengar keluhan dari Pak Dubes. Sarwo seorang serdadu yang terbiasa melakukan perintah atasannya sebaik mungkin tanpa mengeluh, apalagi di depan orang lain.
 .....
“...Pak Harto marah kepada Bapak karena ke Bogor itu. Bapak dicurigai sebagai orang ambisius oleh Soeharto,” kata Ibu Sunarti Sarwo Edhie, istri Jenderal Sarwo Edhie, kepada saya pada 29 Desember 2012 di rumah Cijantung, Jakarta Timur.
Masih mengenai hubungan Soeharto dengan Sarwo Edhie, Daud Sinyal, wartawan senior yang bersama saya meliput operasi RPKAD di Jawa Tengah pada November 1965, mempunyai penjelasan tambahan. “Sarwo itu teman Yani, sementara Soeharto tidak suka kepada Yani.” Dan pada hari-hari awal Gestapu, Sarwo melapor langsung kepada Jenderal Nasution, Kepala Staf Angkatan Bersenjata waktu itu. Baru setelah Soeharto menjadi Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), Sarwo melapor langsung kepada Soeharto. Faktor ini tentu berpengaruh juga terhadap sikap Soeharto kepada Sarwo Edhie. Jadi, penyingkiran Sarwo Edhie bisa dilihat jugasebagai bagian dari kebijakan Soeharto membersihkan teman-teman Yani dari pusat kekuasaan militer. Menarik untuk dicermati, ketika dulu Yani menggantikan posisi Jenderal TNI Nasution sebagai pimpinan Angkatan Darat pada 1962, Yani juga “membersihkan” orang-orang Nasution dari Markas Besar Angkatan Darat. 
SAYA BERSAHABAT DENGAN SARWO EDHIE sejak almarhum masih berpangkat kolonel pada masa operasi pembersihan terhadap Gestapu. Persahabatan berlanjut hingga akhir hidupnya pada November 1989. Kami berjumpa di Solo dalam posisi saya sebagai reporter muda yang meliput operasi RPKAD membersihkan Gestapu di kalangan militer Jawa Tengah waktu itu. Persahabatan kami berlangsung hampir 30 tahun lamanya. Nah, selama bergaul dengan almarhum tidak sekali pun saya mendengar almarhum menggerutu mengenai Soeharto. Satu-satunya kritik Sarwo Edhie kepada Soeharto yang diucapkannya pada tahun delapan puluhan adalah: “Kok, Pak Harto itu tak seorang pun anaknya yang jadi tentara.” Anak lelaki serta tiga mantu Sarwo memang semua tentara. Putranya, Jenderal Pramono Edhie Wibowo, bahkan berhasil menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) setelah sebelumnya menjadi Komandan Jenderal Kopassus, Panglima Kodam Siliwangi, dan Panglima Kostrad.
Prinsip Soeharto tampaknya adalah, kalau bisa kaya raya dengan cepat, mengapa harus bersusah-susah jadi bawahan sebelum akhirnya jadi jenderal. Lagi pula jadi jenderal pun belum tentu kaya. Buktinya adalah Sarwo Edhie sendiri. Almarhum adalah seorang Jenderal terkenal yang tetap tidak punya apa-apa—bahkan tidak punya rumah pribadi—hingga akhir hayatnya. Dalam hal ini, Soeharto jelas lebih cerdik, praktis, dan realistis tinimbang Sarwo Edhie. Buktinya, anak-anak Soeharto difasilitasi untuk berdagang saja. Dan memang semua kemudian menjadi kaya raya.[]

Sumber:
Book cover for Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto

Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto

by 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Panglima di Simpang Kudeta

Kedekatan dengan Tan Malaka dan tokoh anti diplomasi dengan penjajah sempat membuat Soedirman dituduh merancang kudeta. SURAT itu diterima pada siang hari, saat Soedirman bersiap meninggalkan Loji Gandrung, rumahnya di Solo, Jawa Tengah. Dibawa dengan pengawalan khusus dari Yogyakarta ke Solo oleh Brigade 29 pimpinan Kolonel Dahlan, surat itu diteken Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin. Kurir meminta Jenderal Soedirman menjawab segera, satu dari dua pilihan yang ditawarkan Menteri Amir: bersedia datang menghadap ke Istana Yogya sore itu juga, atau “ditangkap” di tempat. Jika pilih yang kedua, detasemen pengirim surat bersedia “menjemput”. Soedirman menahan marah. Ia meminta pasukan Dahlan kembali ke Yogyakarta. Soedirman, seperti ditulis sejarawan Universitas Indonesia S.I. Poeradisastra dalam Hubungan Soedirman dengan Persatuan Perjuangan, bersedia datang dikawal pasukan Divisi Panembahan Senopati pimpinan Mayor Jenderal Soetarto, langsung ke Istana. Perintah itu terkai...

Kecewa adinda di Perang Gerilya

Tim buku Tempo.  Hubungan Soedirman dan Sukarno tidak mulus. Sempat berniat mengundurkan diri dari militer. DENGAN mengenakan mantel hitam dan piyama, Soedirman pergi meninggalkan rumah dinas di Jalan Bintaran Wetan, Yogyakarta. Tujuannya: Gedung Agung, Istana Presiden Yogyakarta, yang berjarak satu kilometer dari Bintaran. Ditemani dokter Soewondo dan Kapten Tjokropranolo, Soedirman berikhtiar menemui Presiden Sukarno. Kesabaran Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia itu habis setelah Kapten Soepardjo Roestam, yang diutus menemui Sukarno, tak kunjung kembali. Situasi sedang genting. Pagi itu, 19 Desember 1948, pasukan Belanda menyerang Lapangan Terbang Maguwo. Inilah pertama kalinya Soedirman meninggalkan rumah setelah tiga bulan beristirahat karena sakit yang diderita.  “Pak Dirman seakan-akan memperoleh kekuatan setelah mendengar Belanda melancarkan serangan,” tulis Soepardjo Roestam dalam catatan hariannya, seperti dikutip pengamat militer Salim Said dalam...

Tentang Tiga Jenderal Besar

P ada waktu Jenderal (TNI) Wiranto menerima pimpinan   Angkatan Darat dari tangan Jenderal (TNI) Hartono lewat suatu upacara timbang terima di halaman Markas Besar Angkatan Darat, saya duduk di barisan kedua para tamu VIP. Di depan saya duduk Jenderal TNI (Purn.) A.H. Nasution, sementara di samping saya ada Mayor Jenderal TNI Fachrul Razi, waktu itu Gubernur Akademi Militer di Magelang. Selesai upacara resmi, Wiranto dan istrinya mendatangi Nasution untuk memberi salam. Ketika Wiranto membungkukkan badan mencium tangan Nasution, saya tiba - tiba melihat suatu kesinambungan yang menarik. Menurut catatan, Wiranto lahir pada 1948, tahun ketika Nasution sebagai Panglima Komando Jawa sedang memimpin perang gerilya di Pulau Jawa. Sebagai seorang peneliti politik militer, kenyataan yang menarik itu merangsang perasaan dan pergolakan pemikiran dalam diri saya. Dari pergolakan itu gagasan yang lahir adalah pantasnya Nasution menjadi Jenderal bintang lima [Jenderal Besar]. Memang aneh, dan t...