Langsung ke konten utama

Barisan F

LAHIRNYA GERAKAN FAJAR 

Kebijaksanaan Pimpinan PUSA untuk mempergunakan Perang Asia Timur Raya (Dai Toa Senso) yang dicetuskan Jepang sebagai suatu kesempatan baik untuk menggerakkan perlawanan terhadap kekuasaan pendudukan Belanda di Aceh, dan untuk sementara dalam batas-batas tertentu bekerjasama dengan Jepang, telah menumbuhkan pusat-pusat perlawanan di beberapa daerah dengan caranya masing-masing, tetapi tidak menyimpang dari "sikap dasar" yang telah ditetapkan musyawarah Pimpinan Pusat PUSA.
Pada awal tahun 1942 Teungku Abdul Wahab Seulimeum dan Teungku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri, kedua beliau sepakat menyerahkan kepada Pimpinan Pemuda PUSA Aceh Besar untuk membentuk satu gerakan rahasia (gerakan bawah tanah), yang kemudian dilaksanakan oleh Ahmad Abdullah dan A. Hasjmy (masing-masing Kwartir dan Wakil Kwartir Kasysyafatul Islam Wilayah Aceh Besar dan keduanya guru pada Perguruan Islam Seulimeum).
Setelah Ahmad Abdullah dan A. Hasjmy mengadakan perundingan dengan Pengurus Besar PERAMIINDO (Pergerakan Angkatan Muda Islam Indonesia) yang berpusat di Montasiek, maka dibentuklah sebuah gerakan bawah tanah yang diberi nama GERAKAN FAJAR dan berpusat di Seulimeum. Gerakan Fajar mulai melakukan sabotase dan perang urat saraf, seperti memotong kawat telepon, mengirim surat buta yang bersifat ancaman kepada orang-orang Belanda dan yang bersifat hasutan kepada serdadu-serdadu dan pegawai-pegawai sipil bangsa Indonesia. Gerakan sabotase dan perang urat saraf tidak saja terjadi dalam wilayah Aceh Besar bahkan juga terjadi di beberapa tempat lainnya di Tanah Aceh.

SURAT DARI PENJARA

Januari 1942, saya menerima "briefcard" (kartupos) dari Said Abubakar yang sedang dalam tahanan Polisi Sektor Barat Medan. Saya masih ingat, kartupos itu berisi singkat sekali, bunyinya kira-kira :
Saudara A. Hasjmy :
Saya melarikan diri dari kekejaman Jepang di Singapura.
Sekarang sedang dalam tahanan polisi Sektor Barat Medan.
Demikian untuk dimaklumi.
Dari sahabatmu

ttd
Said Abubakar
Kartupos dari Said Abubakar saya serahkan kepada Teungku Abdulwahab, yang kemudian dibicarakan dalam kalangan terbatas Pimpinan PUSA/Pemuda PUSA Wilayah Aceh Besar tentang kemungkinan yang tersirat dari kartupos tersebut.
Pimpinan PUSA/Pemuda PUSA Wilayah Aceh Besar yang membahas isi kartupos dari Said Abubakar itu berkesimpulan, bahwa Said Abubakar ada membawa suatu "missi rahasia" yang penting. Untuk menjumpai Said Abubakar, diputuskan mengirim Ahmad Abdullah dan Teuku Zainul Abidin Samalanga ke Medan, dengan tugas menghubungi Said Abubakar.
Sudah dapat diperhitungkan, bahwa polisi Medan tidak akan mengizinkan Ahmad Abdullah dan T. Zainul menjumpai Said Abubakar.
Dalam keadaan belum "putus asa" kedua beliau itu mundar-mandir di jalan depan kantor Polisi Sektor Barat, dan tiba-tiba serine berbunyi mengaung-ngaung memberi tahu datangnya serangan udara Jepang seperti biasanya tiap-tiap hari. Polisi memerintahkan orang-orang yang lalu-Iintas di jalanan, termasuk Ahmad Abdullah dan Teuku Zainul Abidin, agar segera memasuki "lobang perlindungan besar" yang tersedia dalam pekarangan kantor polisi Sektor Barat itu.
Dari lobang perlindungan itulah selama lebih satu jam Ahmad Abdullah dan Teuku Zainal Abidin berjumpa dan bercakap-cakap dengan Said Abubakar, dalam keadaan semua orang yang berlindung di "lobang maut" itu panik karena ketakutan.
Said Abubakar menceritakan bahwa dia dan sejumlah teman-teman lain diutus Mayor Fujiwara (Kepala Intelijen Tentara Jepang) untuk mendirikan gerakan perlawanan terhadap tentara Belanda mendahului pendaratan Balatentara Jepang. Tujuannya adalah untuk melunakkan pertahanan Belanda sebelum pendaratan, mengacau sarana komunikasi Belanda, menimbulkan kegelisahan di kalangan pejabat Belanda, menghalangi pelaksanaan bumi hangus dan sebagainya.
Said Abubakar dan beberapa teman yang lain (jumlahnya hampir 30 orang) diantar oleh sebuah "gun boat" tentara Jepang yang menarik dua buah perahu besar di mana dalam dua perahu tersebut menumpang Said Abubakar dan teman-temannya. Setelah mendekati pantai Pangkalan Berandan, kedua perahu itu dilepaskan oleh "gun-boat" Jepang itu dan para penumpangnya memasang layar serta berkayuh menuju pantai. Di Pantai Pangkalan Berandan, semua mereka ditangkap pengawal pantai dan dibawa ke Medan yang berakhir ke tempat tahanan polisi Sektor Barat. Kepada polisi yang memeriksa mereka dinyatakan bahwa mereka lari dari kekejaman Jepang.
Said Abubakar menganjurkan kepada Ahmad Abdullah dan Teuku Zainul Abidin agar mendirikan "gerakan Fujiwarakikan" di Aceh, sebuah "Kolone Kelima" yang dibentuk oleh Mayor Fujiwara, dengan tugas-tugas sabotase, perang urat saraf dan kalau mungkin perlawanan fisik. Ahmad Abdullah menjelaskan kepada Said Abubakar bahwa PUSA/Pemuda PUSA telah membangun gerakan perlawanan di seluruh Aceh dan dengan berpusat di Seulimeum telah dibangun pula gerakan bawah tanah yang bernama "Gerakan Fajar" di bawah pimpinan A. Hasjmy dan Ahmad Abdullah.
Dalam perundingan di bawah bayangan pesawat-pesawat tempur/pembom Jepang yang terbang rendah, disepakati bahwa "Kolone Kelima Fujiwarakikan" dapat dibangun dan bekerjasama dengan "Gerakan Fajar" dengan sama-sama memakai lambang huruf "F".
Setelah lebih satu jam dalam "lobang perlindungan" dan setelah mengetahui "Missi Said Abubakar", Ahmad Abdullah dan Teuku Zainul Abidin keluar dengan rasa puas. Sore hari itu juga, dengan menumpang kereta api malam (waktu itu masih ada kereta api malam yang berangkat ke Aceh) dari Besitang kedua utusan yang berhasil itu kembali ke Aceh .

KOLONE KELIMA FUJIWARA-KIKAN


Sesampai di Seulimeum, Ahmad Abdullah bersama Teungku Abdulwahab berangkat ke Sigli untuk melapor kepada Ketua Umum PUSA Teungku Muhammad Daud Beureueh tentang "Missi Said Abubakar", yang kemudian bersama-sama dengan Teungku Muhammad Daud Beureueh berangkat ke Banda Aceh untuk membicarakan hal tersebut dengan Teuku Nyak Arif.

Di rumah Teuku Nyak Arif Lamnyong, dalam satu permusyawaratan antara Pengurus Besar PUSA (Teungku Muhammad Daud Bereueh, Teungku Abdulwahab Seulimeum dan Ahmad Abdullah) dan Teuku Nyak Arif dibicarakan masalah "Kolone Kelima Fujiwarakikan" dan kemudian disepakati untuk membantu gerakan itu dengan tujuan utama memakainya sebagai alat mengusir Belanda dari Aceh. Kepada Teuku Nyak Arif tidak diberitahu, bahwa sebelum datang "Missi Said Abubakar" dengan membawa "Kolone Kelima Fujiwarakikan" di Aceh telah terbentuk sebuah gerakan bawah tanah yang diberi nama "Gerakan Fajar". Setelah pertemuan Lamnyong itu, maka berdirilah di seluruh Aceh Barisan F, dengan dua penafsiran. Ada yang menafsirkan " F " itu dengan "Fajar" dan ada pula yang menafsirkannya dengan "Fujiwarakikan", sesuai dengan pengetahuan masing-masing.

PERLAWANAN MULAI DI SEULIMEUM

Pada malam itu, tanggal 20 Februari 1942, perlawanan fisik terhadap tentara
pendudukan Belanda dimulai dengan mengepung tangsi tentara Belanda dan rumah Countroleur di kota Seulimeum.
Perlawanan fisik telah didahului persiapan-persiapan yang matang: penanaman semangat dan pengertian kepada pasukan-pasukan Kasysyafatul
Islam, terutama kader-kader yang dipersiapkan, kampanye yang luas kepada masyarakat, sabotase terhadap alat-alat perhubungan, seperti pemotongan kawat telepon dan pembongkaran rel kereta api, perang urat saraf melalui surat-surat buta dan selebaran-selebaran gelap. Semua itu telah menyebabkan timbul ketakutan dalam kalangan militer dan orang-orang sipil pemerintah Hindia Belanda.

Pada tanggal 23 Februari 1942 Controleur Tiggelman dari Seulimeum dibunuh oleh rakyat. Pada tanggal 24 Februari 1942 terjadi pertempuran di Keumiro di mana Kepala Jawatan Kereta Api yang bernama Van Sperling mati terbunuh. Rakyat kemudian memutuskan hubungan telepon antara Kutaraja dan Medan, serta hubungan Kutaraja dan Pantai Barat. Di Tanoh Abee jembatan dirusak oleh rakyat. Di Indrapuri rel kereta api dibongkar, sebuah stoomwals diletakkan di tengah jalan, bengkel kereta api dihancurkan, lumbung padi dibakar. Bendera di kantor pos Seulimeum dibakar oleh Cut Amat dan uang dilarikan sebanyak 5.000 gulden untuk dana perjuangan. Karena adanya perlawanan rakyat ini, maka pemerintah Hindia Belanda mengadakan jam malam di Kutaraja.
Pada tanggal 7 Maret 1942 poliklinik Indrapuri dihancurkan oleh rakyat dan di Lam Theuen sebuah sekolah dasar dihancurkan. Pada tanggal 8 Maret 1942 Pulau Jawa menyerah kepada Jepang. Mulai tanggal 9 Maret 1942 suasana Kutaraja semakin panas, sehingga orang-orang Belanda diungsikan ké Medan.
Letnan Jenderal Fujiwara Iwaichi dalam bukunya "F. Kikan: Japanese Army Intelligence Operation in South East Asia During World War II" (diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Gyiani Budi Tjahja), pada halaman 256-257 menulis sebagai berikut:
"Sebagai jawaban terhadap peningkatan kekuatan Belanda, para pemimpin Aceh menyelenggarakan rapat tanggal 4 Maret 1942 di Lubok dan memutuskan untuk menyalakan pemberontakan bersama di seluruh Aceh. Sesuai dengan upacara agama Islam, mereka bersumpah. Saya mengangkat sumpah untuk tetap setia kepada agama Islam, kepada rakyat dan kepada tanah air. Saya tak akan melanggar sumpah yang saya ucapkan dan akan tetap bersatu untuk melawan Belanda."
Kemudian mereka membuat resolusi di bawah ini.
a. Pemberontakan bersama dan serempak akan dilancarkan di seluruh Aceh.
b. Pemberontakan ini akan dilaksanakan guna melindungi agama, bangsa dan tanah air.
c. Sebuah manifes akan dikirimkan kepada segenap ketua di setiap distrik di Aceh.
d. Sebuah manifes akan dikirimkan kepada pemerintah Belanda.
e. Serangan serempak akan dilakukan terhadap barak militer Belanda. Tanggal 8 Maret 1942 mereka mengeluarkan pernyataan ke seluruh Aceh disertai pernyataan bahwa siapa saja para pejabat Indonesia yang bekerja bagi Pemerintah Belanda akan dianggap sebagai warga negara Belanda kecuali apabila mereka langsung melepaskan jabatannya.
Manifes ini malah dikirimkan kepada kantor pemerintah dan seksi polisi dan juga ditempatkan di jalan serta ditempelkan di mobil panser Belanda. Juga pada hari yang sama Teuku Nyak Arif raemberitahukan residen Belanda menuntut "Kembalikan Pemerintah Aceh kepada rakyat Aceh. Kalau tidak kami rakyat Aceh akan mengumumkan perang terhadap Belanda." Pada saat yang sama, mereka memutuskan kabel telepon di segenap pelosok Aceh dan memblokade jalan dengan pohon yang ditumbangkan. Menghadapi pergolakan ini.
pasukan Belanda serta para pejabat pemerintahnya berkumpul bersama
di barak militer di sekeliling Kutaraja. Pemberontakan umum di seluruh Aceh direncanakan tanggal 11 Maret malam. Guna mempersiapkan diri terhadap serangan kejutan awal oleh tentara Belanda, rakyat Aceh membentengi semua desa dan mempersiapkan diri bagi serangan itu. Kurang lebih pukul 23.00 tanggal 11 Maret 1942 pertempuran pecah di Jembatan Lam Nyong di Kutaraja dan rakyat Aceh memukul mundur pasukan Belanda. Kurang lebih pukul 02.00 pagi tanggal 12 Maret tembak-menembak pecah antara agen F. Kikan dan para serdadu Belanda ketika yang tersebut belakangan membakar depot minyak di bandar udara Lhok Nga dan agen F. Kikan mencoba untuk
tetap membiarkan pangkalan udara itu utuh. Akhirnya pukul 04.00 pagi beberapa ribu anggota F. Kikan mengarus masuk ke Kutaraja disertai sorak-sorai riuh, menyerang gedung dan barak pemerintah, di sana mereka terlibat dalam pertempuran sengit dengan musuh. Selama kekacauan dalam pertempuran sengit ini, pasukan Jepang memasuki Kutaraja pada pukul 07.00 pagi dan menerima sambutan riuh rendah dari rakyat yang meneriaki "Banzai". Benar-benar pandangan yang dramatis. Demikian ulasan Letjen Fujiwara Iwaichi.
12 Maret 1942 telah mendarat di Sumatera Utara, yaitu Sabang, Ujung Bate (Timur Laut Kutaraja), Kuala Buga (Utara Langsa) dan Tanjung Tiram (Medan).
Pasukan Belanda di Aceh yang dipimpin oleh Kolonel Gosenson, memindahkan markas besarnya ke Takengon dengan kekuatan 2.000tentara. Tentara Belanda pada mulanya hendak melakukan perang gerilya dalam menghadapi Jepang, tetapi ternyata gagal karena tidak didukung oleh rakyat Aceh. Perang di Aceh ternyata berjalan amat cepat karena:
— Pasukan Jepang bergerak amat cepat,
— Rakyat Aceh juga melawan Belanda,
— Pasukan Hindia Belanda bukan pasukan tempur yang baik. 
Pada tanggal 28 Maret 1942 Mayor Jenderal Overakker dan Kolonel Gosenson menyerah kepada Jepang di daerah Kotacane. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Belanda di daerah Aceh untuk selama-lamanya. Buat sementara ia diganti oleh Jepang yang telah disambut oleh rakyat dengan gembira. Akan tetapi kegembiraan itu tidak akan berlangsung lama, karena penjajah yang baru itu ternyata jauh lebih kejam lagi, sehingga rakyat Aceh harus berontak lagi.

-------
SEMANGAT MERDEKA/ A.HASJMY
Pahlawan Nasional TEUKU NYAK ARIF
olch
Drs. Mardanas Safwan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Panglima di Simpang Kudeta

Kedekatan dengan Tan Malaka dan tokoh anti diplomasi dengan penjajah sempat membuat Soedirman dituduh merancang kudeta. SURAT itu diterima pada siang hari, saat Soedirman bersiap meninggalkan Loji Gandrung, rumahnya di Solo, Jawa Tengah. Dibawa dengan pengawalan khusus dari Yogyakarta ke Solo oleh Brigade 29 pimpinan Kolonel Dahlan, surat itu diteken Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin. Kurir meminta Jenderal Soedirman menjawab segera, satu dari dua pilihan yang ditawarkan Menteri Amir: bersedia datang menghadap ke Istana Yogya sore itu juga, atau “ditangkap” di tempat. Jika pilih yang kedua, detasemen pengirim surat bersedia “menjemput”. Soedirman menahan marah. Ia meminta pasukan Dahlan kembali ke Yogyakarta. Soedirman, seperti ditulis sejarawan Universitas Indonesia S.I. Poeradisastra dalam Hubungan Soedirman dengan Persatuan Perjuangan, bersedia datang dikawal pasukan Divisi Panembahan Senopati pimpinan Mayor Jenderal Soetarto, langsung ke Istana. Perintah itu terkai...

Kecewa adinda di Perang Gerilya

Tim buku Tempo.  Hubungan Soedirman dan Sukarno tidak mulus. Sempat berniat mengundurkan diri dari militer. DENGAN mengenakan mantel hitam dan piyama, Soedirman pergi meninggalkan rumah dinas di Jalan Bintaran Wetan, Yogyakarta. Tujuannya: Gedung Agung, Istana Presiden Yogyakarta, yang berjarak satu kilometer dari Bintaran. Ditemani dokter Soewondo dan Kapten Tjokropranolo, Soedirman berikhtiar menemui Presiden Sukarno. Kesabaran Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia itu habis setelah Kapten Soepardjo Roestam, yang diutus menemui Sukarno, tak kunjung kembali. Situasi sedang genting. Pagi itu, 19 Desember 1948, pasukan Belanda menyerang Lapangan Terbang Maguwo. Inilah pertama kalinya Soedirman meninggalkan rumah setelah tiga bulan beristirahat karena sakit yang diderita.  “Pak Dirman seakan-akan memperoleh kekuatan setelah mendengar Belanda melancarkan serangan,” tulis Soepardjo Roestam dalam catatan hariannya, seperti dikutip pengamat militer Salim Said dalam...

Tentang Tiga Jenderal Besar

P ada waktu Jenderal (TNI) Wiranto menerima pimpinan   Angkatan Darat dari tangan Jenderal (TNI) Hartono lewat suatu upacara timbang terima di halaman Markas Besar Angkatan Darat, saya duduk di barisan kedua para tamu VIP. Di depan saya duduk Jenderal TNI (Purn.) A.H. Nasution, sementara di samping saya ada Mayor Jenderal TNI Fachrul Razi, waktu itu Gubernur Akademi Militer di Magelang. Selesai upacara resmi, Wiranto dan istrinya mendatangi Nasution untuk memberi salam. Ketika Wiranto membungkukkan badan mencium tangan Nasution, saya tiba - tiba melihat suatu kesinambungan yang menarik. Menurut catatan, Wiranto lahir pada 1948, tahun ketika Nasution sebagai Panglima Komando Jawa sedang memimpin perang gerilya di Pulau Jawa. Sebagai seorang peneliti politik militer, kenyataan yang menarik itu merangsang perasaan dan pergolakan pemikiran dalam diri saya. Dari pergolakan itu gagasan yang lahir adalah pantasnya Nasution menjadi Jenderal bintang lima [Jenderal Besar]. Memang aneh, dan t...