Setelah secara organisatoris PKI berhasil menggariskan tujuan perjuangan, landasan, metode mencari kawan dan mencapai tujuan, penetapan kawan yang dijadikan sekutu dan lawan sebagai musuh yang harus dibasmi, maka tahap berikutnya adalah aksi-aksi revolusioner. Dalam tujuan perjuangan, berdasarkan dokumen-dokumen seperti tercantum pada Mukadimah AD/ART, dan dalam buku pedoman ABC Revolusi Indonesia, PKI menyatakan bahwa hari depan revolusi Indonesia adalah komunis. Landasan yang digunakan adalah class conflict dari Karl Marx. Dalam aspek teoretis, landasan operasional yang diterapkan PKI merupakan visi interpretasi ekonomi Lenin terhadap Marxisme. Di sini masyarakat dipisahkan secara diametral menjadi dua kekuatan kontradiktif, yaitu para pendukung revolusi gaya PKI, dinamakan kekuatan “progresif revolusioner” dan penentangnya sebagai kontra revolusi, reaksioner, kepala batu, atau antek neo-kolonialisme dan imperialisme. Sejak 1955 PKI menggariskan pengggunaan Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan (MKTB), yaitu melancarkan aksi gerilya di kalangan massa petani di pedesaan, gerakan revolusioner kaum buruh di perkotaan, dan penyusupan di kalangan ABRI, sebagai implementasi kebijakan partai yang diputuskan oleh Kongres IV PKI. Dengan MKTB itu PKI telah melakukan persiapan bagi dilancarkannya revolusi sosial.69
Berkat kerja kerasnya, PKI keluar sebagai partai pemenang ke-4 pada Pemilu 1955. Dengan dikeluarkannya Dekret 5 Juli 1959, perkembangan PKI semakin pesat. Strateginya dengan merangkul Presiden Sukarno, dan secara lihai memanfaatkan momentum politik nasional untuk mentransformasikan program-program partai dalam rumusan konseptual dan doktrin-doktrin perjuangan. Misalnya, konsep “revolusi belum selesai”, “melaksanakan Manipol sama dengan melaksanakan program PKI”,“menentang UUPA (landreform) berarti mengkhianati Jarek, Dekon, dan Tavip”.70
Tatkala melaksanakan Dekret, Presiden Sukarno memerlukan dukungan ABRI, namun dalam perkembangannya tidak sedikit wawasan Bung Karno yang sejalan dengan visi PKI, khususnya mengenai kolonialisme, imperialisme, dan revolusi yang dianggap belum selesai. Apalagi PKI belum siap sebagai kekuatan politik keempat dalam tatanan politik waktu itu, karena mandeknya demokrasi parlementer. Akibatnya PKI tidak dapat berbuat lain kecuali memberikan dukungan tanpa reserve terhadap pemerintahan Presiden Sukarno. Sebaliknya, Sukarno juga memerlukan sekutu untuk menghadapi TNI AD yang tidak begitu saja mau mengikuti keinginannya. Sejak itu terjadilah persaingan politik antara Bung Karno, TNI AD, dan PKI. Dalam suasana kembali ke UUD 1945, Presiden Sukarno mempertegas konsepsinya yang diucapkan dalam pidato 17 Agustus 1959 berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita. Pidato itu kemudian diserahkan kepada Panitia Kerja Dewan Pertimbangan Agung (DPA) supaya dirumuskan menjadi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Panitia Kerja dipimpin oleh D.N. Aidit, Ketua CC PKI. Peluang itu dimanfaatkan Aidit untuk memasukkan program-program PKI ke dalam GBHN dengan Manfesto Politik Republik Indonesia (Manipol). Dengan lihainya Aidit mensistematisasi Manipol dan memasukkan program-programnya dalam GBHN, berdasar tesis PKI Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia yang dirumuskan tahun 1957. Adanya pertautan antara MIRI dan Manipol dapat dilihat sebagai berikut.
Bab II Revolusi Indonesia
Pasal 2 Soal-soal Pokok Revolusi Indonesia
A.Tentang sasaran pokok atau musuh pokok daripada Revolusi Indonesia
B. Tentang Tugas-tugas Revolusi Indonesia
C. Tentang tenaga-tenaga penggerak atau pendororong Revolusi Indonensia
D. Tentang Watak Revolusi Indonesia
E. Tentang Perspektif Revolusi Indonesia
II. Persoalan-persoalan Pokok Revolusi Indonesia
Musuh-musuh Revolusi Indonesia
1. Dasar dan Kewajiban Revolusi Indonesia
2. Kekuatan-kekuatan sosial Revolusi Indonesia
3. Sifat Revolusi Indonesia
4. Hari depan Revolusi Indonesia
Semakin lama PKI semakin merasa kuat, karena program-programnya berhasil dintegrasikan dengan program pemerintah. Karenanya PKI mulai mengubah taktik perjuangannya. Perubahan itu dikukuhkan dalam Kongres Nasional PKI pada April 1962 yang menyatakan: “PKI tidak memandang pekerjaan dalam parlemen sebagai pekerjaan terpokok dan tidak pula menganggapnya sebagai satu-satunya bentuk perjuangan. PKI mendasarkan politiknya atas analisa Marxis mengenai keadaan yang kongkrit dan perimbangan kekuatan”.
Pada 1964 para kader muda yang militan PKI makin keras menekan pimpinannya agar lebih menegaskan lagi tujuan pejuangan partai, serta hubungan mereka dengan kelompok lain, agar dapat membedakan dengan jelas musuh-musuh komunis yang harus basmi.71
Skenario itu mereka terapkan dalam bentuk teror ditujukan kepada lawan-lawan politiknya, seperti HMI,72 para “setan desa” dalam aksi sepihak, para pendukung Manifes Kebudayaan (Manikebu), pendukung Badan Pendukung Sukarnoisme (BPS), Partai Murba, dan lain-lain. Sementara itu lemahnya Uni Soviet terhadap tekanan Amerika Serikat dalam masalah Kuba tahun 1962, penolakan mengulurkan tangan kepada PKI, sikap itu telah menggeser orientasi kepemimpinan komunis internasional PKI dari Moskow ke Peking. Keputusan PKI untuk bersikap netral dalam konflik Cina-Sovyet menjadi kamuflase dari keputusan PKI guna menjalin dan mencapai persetujuan antara pimpinan PKI dan Partai Komunis Cina. Hal ini terbukti dengan pernyataan Chen Yi kepada Subandrio dan tawaran bantuan senjata yang telah disebutkan.
PKI yang mengambil banyak keuntungan dalam konflik Indonesia-Malaysia (1963) juga mengambil sikap keras, bahkan bertabrakan dengan ABRI yang dikecamnya sebagai kaum kontra revolusioner, kapitalis birokrat, agen-agen imperialis, dan tuduhan melakukan kudeta terhadap Sukarno melalui pemberontakan-pemberontakan.73
Sikap menantang itu memuncak tatkala pada 14 Januari 1965 PKI menuntut dipersenjatainya kaum buruh dan tani dengan alasan untuk melakukan konfrontasi dengan Malaysia. Meskipun Sukarno pada hari itu menolak tuntutan tersebut, namun pada 17 Januari 1965 hal itu diteriakkan lagi dengan nada lebih keras oleh Aidit.74 Bagaimana sengitnya reaksi Angkatan Darat telah dijelaskan. Sementara itu, dengan makin keras sikap PKI seperti ditunjukkan baik pada forum-forum resmi partai, maupun aksi-aksinya terhadap golongan lain misalnya, pencetus Manifes Kebudayaan yang disingkat Manikebu, Partai Murba, dan juga aksi-aksi brutalnya dalam aksi-aksi sepihak, D.N. Aidit pada November 1964 mempersiapkan suatu organisasi yang kemudian dikenal sebagai Biro Khusus. Ternyata keberadaan Biro Khusus tidak pernah tercantum dalam struktur organisasi, sehingga tidak ada dalam susunan CommitteeCentral (CC) PKI.
Dalam merencanakan perebutan kekuasaan D.N. Aidit membuat perencanaan dengan melibatkan pelaku dalam jumlah sangat terbatas, tertutup, serta jarak waktu antara perencanaan dengan pelaksanaan sangat singkat. Langkah itu dilakukan guna menghindari kebocoran. Empat orang Dewan Harian Politbiro terlibat, yaitu D.N. Aidit, Soedisman, Loekman, dan Njoto.
Soedisman adalah anggota Dewan Harian yang sangat berkuasa, sehingga sidang-sidang Politbiro diserahkan kepadanya. Lainnya yang terlibat langsung ialah Sjam, Pono, Letkol Untung, Kolonel A. Latief, dan Mayor Udara Soejono. Pada pertengahan kedua Agustus 1964, Aidit, secara penuh mendapat perhatian Sukarno, yang mengangkatnya sebagai Menko dan Wakil Ketua MPRS. Terdapat petunjuk bahwa Aidit saat itu telah menjadi penguasa tunggal partai yang berkuasa sepenuhnya. Apalagi dengan didukung oleh Nyoto, kolega Aidit dalam Politbiro, yang secara pribadi sangat cocok dengan Presiden Sukarno. Pada 1964, Aidit menjadi kepala bagian militer Dewan Harian Politbiro, yang sebelumnya tidak ada. Dengan demikian Biro Khusus bukan aparat partai, melainkan aparat ketua partai. Kekuasaan militer itu tidak didelegasikan kepada anggota Dewan Harian Politbiro lainnya. Aidit sendiri yang memegang secara pribadi, karena selain posisinya sangat kuat, juga memiliki kekuatan militer. Pimpinannya dipercayakan kepada Sjam. Tokoh ini oleh Aidit pernah dikirim ke Vietnam Utara, RRC, dan Korea Utara untuk mempelajari perang rakyat dan intelijen. Oleh sebab itu, sepak terjang Sjam selalu awas, licin, dan teliti dalam mempelajari lawan. Sjam juga disebutkan sebagai orang yang misterius dan tertutup.75
Nama lain Sjam adalah Kamaruzaman bin Achmad Moebaidah, pimpinan buruh pelabuhan Tanjung Priok. Di kalangan militer, ia dikenal dengan nama Sjam, sedangkan di kalangan PKI bernama Gimin. Keberadaan organisasi yang dipimpinnya, Biro Khusus, maupun personalianya tidak diketahui oleh orang-orang atau pimpinan PKI lainnya, kecuali oleh Dewan Harian Politbiro. Jadi Aidit memiliki aparat di luar organisasi PKI formal yang hanya diketahui oleh orang-orang sangat terbatas.76
Hal ini sesuai dengan pengakuan Sulami, Wakil Sekjen Gerwani, yang menyatakan bahwa organisasinya tidak pernah diajak bicara perihal G30S.77
Keberadaan Biro Khusus baru terungkap berkat pengakuan Nyono di Mahmillub tahun 1966. Nyono menyatakan bahwa Sjam sebagai orangnya Aidit. Pengakuan itu diperkuat dengan ditemukannya negatif film di Penas, tiga hari pasca G30S, oleh RPKAD (sekarang Kopassus).78
Tugas Biro Khusus bersifat rahasia dan misterius, dengan komando langsung dari D.N. Aidit sebagai Ketua CC PKI. Berdasarkan Metode Kerja Tiga Bentuk Perjuangan (MKTBP) melakukan penyusupan dan pembinaan terhadap anggota ABRI, dengan sasaran pimpinan-komandan pasukan, perwira-perwira intelijen, personalia dan teritorial. Sistem keanggotaanya berbentuk sel, terdiri dari 3 anggota. Antara sel satu dengan lainnya tidak saling mengenal, sehingga menyerupai sarang laba-laba. Menurut laporan hasil pemeriksaan, Biro Khusus dipimpin secara kolektif oleh Sjam, Pono, dan Bono dengan komandannya secara langsung Aidit. Biro Khusus Pusat membawahi langsung Biro Khusus Daerah yang berada di tingkat CDB tanpa melalui lembaga itu. Sutopo Juwono menyatakan, meskipun Biro Khusus baru berdiri pada 1964, tetapi hasil kerja MKTBP, khususnya ABRI telah dilaksanakan sejak 1954, terutama kepada mantan anggota ABRI, masyarakat, Pesindo, dan kelaskaran-kelaskaran lain dari PKI. Misalnya Letkol Untung, adalah anggota tentara yang terlibat dalam Peristiwa Madiun, yang berhasil dibina sejak 1950.79
PKI memang berhasil melakukan penyusupan ke tubuh Angkatan Darat. Berbagai jajarannya berhasil ditembus, tetapi bagian tersulit adalah inti komandonya. Kelompok ini terdiri dari kelompok Jenderal A.H. Nasution dan kelompok Jenderal A. Yani, yang tidak dapat mereka tembus. Akibatnya, pimpinan PKI menyimpulkan bahwa penyusupan komunis model Cekoslawakia tahun 1947 tidak dapat diterapkan di Indonesia. Dengan gagalnya strategi tersebut, PKI berganti langkah, mengimplementasikan strategi model Kuba. Tahap pertama dihembuskanlah jargon philosophy of hope, yaitu memberikan harapan perbaikan nasib, agar orang hidup lebih baik. Sejalan dengan filosofi itu, dirancanglah skenario kudeta menggunakan model Kuba. Waktu itu Castro dengan pasukan kecil (satu kompi) dapat mengalahkan pasukan pemerintah. Hal itu disebabkan Castro memanfaatkan kondisi sosial ekonomi yang parah, hingga kepercayaan rakyat terhadap pemerintah turun sehingga revolusi sosial mudah dicetuskan.
Mirip dengan kejadian di Kuba, di tengah-tengah krisis ekonomi yang dahsyat, dengan tingkat inflasi sekitar 650%,80 skenario “revolusi” dilancarkan dengan format Gerakan 30 September 1965 di bawah pimpinan Dewan Revolusi. Perhitungannya, dengan kekuatan penghancur kecil dapat memukul lawan dengan telak, menimbulkan kejutan (surprise) hingga keadaan mudah dikuasai. Dalam kondisi semacam ini, secara umum publik dalam waktu singkat tidak dapat berbuat lain kecuali memberikan dukungan.
Sudisman memiliki pemahaman tentang tradisi budaya yang berakar pada sejarah Jawa dengan mendalam. Dalam pandangan Jawa, sebagaimana dipahaminya, lokasi yang telah jatuh ke tangan lawan tercemar, ternoda, dan membawa sial. Sesuai dengan kepercayaan masyarakat Jawa yang mistis, paternalistis dan konsentris, keputusan yang terjadi di tingkat pusat kekuasaan atau kepemimpinan akan diikuti oleh bawahannya. Dalam konteks pelaksanaan, waktu, dan tindakan, PKI harus melumpuhkan kekuatan lawan kemudian mengambil alih kekuasaan di pusat telah diperhitungkannya.81
Pada 8 Oktober 1965 kekuatan-kekuatan sosial politik non-PKI mengadakan apel di Taman Surapati, Jakarta. Mereka menuntut pembubaran PKI. Sementara itu, di masyarakat opini juga semakin mengarah pada tuntutan pembubaran PKI. Pada 23 Oktober 1965 sejumlah parpol dan ormas non-komunis, dengan dukungan, ABRI membentuk Front Pancasila untuk memberi isyarat kepada Presiden Sukarno guna mengambil tindakan tegas terhadap Peristiwa G30S. Tetapi dari segi yuridis ternyata aparat penegak hukum mengalami kesulitan kesaksian untuk membuktikan bahwa PKI bertindak sebagai dalang kudeta. Oleh karenanya, sampai akhir tahun 1965 belum ada embel-embel PKI di belakang G30S.82
Kesulitan itu dikarenakan sampai akhir Oktober 1965 belum ada seorang pun pimpinan PKI dari CC maupun Politbiro yang tertangkap. Di tempat tahanan, mereka yang ditangkap melakukan gerakan tutup mulut (GTM) secara efektif. Pembuktian menjadi terbuka tatkala Ali Said, Durmawel Ahmad, dan Datuk Mulia, dari Oditorat Jenderal AD, pada 4 November 1965 secara tidak sengaja dapat menangkap Nyono yang dirazia di Pasar Burung Jatinegara tiga minggu sebelumnya. Karena hari itu diberitahu akan dibebaskan, Nyono tidak sengaja menulis namanya sendiri dan lupa menulis nama samarannya. Akibatnya, Nyono tatkala ditangkap tidak berkutik.83
Dari hasil pemeriksaan terhadap Nyono, yang pada saat kejadian menjabat sebagai Ketua CDB PKI Jakarta, Pengendali G30S di Jakarta, Ketua SOBSI dan anggota Politbiro, dapat diketahui tentang latar belakang dan motivasi G30S, faktor-faktor pendorong dan penghambat, sakitnya Presiden Sukarno, isu Dewan Jenderal, kelemahan PKI dalam G30S yang hanya difokuskan kepada gerakan politik dan mengabaikan gerakan militer seperti tentang kesatuan komando, logistik dan perhubungan. Kelemahan lainnya menurut pengakuan Nyono, PKI tidak memperhitungkan secara rasional kekuatan yang dihadapi, dan ketergantungan partai kepada Sukarno. Bung Karno oleh PKI diperkirakan akan dapat dikendalikan melalui batalion atau resimen pengawal istana.84
Hal ini terbukti dengan penugasan Brigjen Soepardjo untuk menghadap dan menggiring Presiden ke Halim Perdanakusuma pada pagi 1 Oktober 1965. Fakta lain yang membuktikan keterlibatan PKI dalam G30S ialah terjadinya Gerakan Mbah Suro di Blora (1967), munculnya PKI Gaya Baru di Blitar Selatan yang dapat ditumpas oleh Operasi Tri Sula pada 1968,85 peristiwa Grobogan-Purwodadi dan Klaten tahun 1969.86
Sisa-sisa kekuatan PKI di luar negeri seperti di RRC, Rusia, Albania, Cekoslwakia, dan juga Belanda, kemudian membentuk kepengurusan yang mengklaim sebagai CC PKI yang sah pasca G30S 1965. Adanya gerakan kebangkitan kembali dan perlawanan komunis baik di dalam negeri ataupun di luar negeri, selain menunjukkan keterlibatan PKI sekaligus membuktikan bahwa G30S 1965 belum merupakan suatu perjuangan final.
-----------
69. D.N. Aidit, “Kobarkan Semangat Banteng Maju Terus Pantang Mundur”. Dalam Laporan pada Sidang Pleno CC PKI tanggal 23-26 Desember 1964, Djakarta, CCPKI, 1964, hlm. 32-84.
70. D.N. Aidit, “Berani, Sekali Berani” dalam Laporan Politik Ketua CC PKI pada Sidang Pleno 19 Februari 1963, hlm. 4-5; Jarek (Jalan Revolusi Kita), pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1961; Dekon (Deklarasi Ekonomi, 1963); Tavip (Tahun Viveri Veri Coloso), pidato Presiden 17 Agustus 1964.
71. D.N. Aidit, “Dengan Semangat Banteng Marah Mengkonsolidasikan Organisasi Komunis Yang Besar”,Harian Rakyat, 6Juli 1964.
72. Kesaksian Drs. Sudarpo Mas’udi dan St. Munjilah Mada Amir Hamzah “Peristiwa Utrecht, Jember” dalam Membuka Lipatan Sejarah, Menguak Fakta Gerakan PKI, Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1999, hlm. 89-99.
73. Ibid.
74. Harian Rakyat, 6 Mei 1965.
75. Oei Tjoe Tat, Memoar Oei Tjoe Ttat, Pembantu Presiden Sukarno, Jakarta: Hasta Mitra, 1995.
76. Aristides Katoppo, op.cit., hlm. 79-82.
77. Sulami, Perempuan-perempuan Dalam Penjara, Jakarta: Cipta Lestari, 1999, hlm. 2
78. Atmadji Sumarkidjo, op.cit., hlm. 126-127.
79. Sutopo Juwono, dalam catatan yang tidak diterbitkan, ditulis dan dihimpun oleh Soedianto Sastro Atmodjo, dan Tolkhah Mansyur (1997). Lihat Atmadji Sumarkidjo, ibid., hlm. 132.
80. J.B. Soedarmanto, Tengara Orde baru Kisah Harry Tjan Silalahi, Jakarta: Penerbit Gunung Agung, 2004, hlm. 119.
81. Sudisman, Pledoi Sudsiman
82. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 370 Tahun 1965 penunjukkan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub) untuk memeriksa dan mengadili tokoh-tokoh yang terlibat petualangan kontra-revolusi “Gerakan 30 September”.
83. Durmawel Ahmad,”Sangkur Adil, Pengupas Fitnah Khianat”, dalam Sri Murni Ali Said, Ali Said di antara Sahabat, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997, hlm. 73-93.
84. Ibid.
85. M. Jasin, Saya Tidak Pernah Minta Aampun kepada Soeharto, Jakarta, Sinar Harapan, 1998, hlm. 67-95.
86. Maskun Iskandar dan Jopie Lasut, “ Peristiwa Pembantaian di Purwodadi”, dalam Robert Cribb, The Indonensia Killings Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966, Jakarta, Penerbit Matabangsa bekerja sama dengan Syarikat Indonesia Yogyakarta, 2003, hlm. 323-384.
Bagaimana Malam G30S Direncanakan?
Berdasarkan pengakuan tokoh-tokoh PKI dalam sidang-sidang Mahmillub,87 selama September 1965, rapat-rapat khusus Politbiro yang dipimpin oleh Aidit telah menentukan tindakan pendahuluan yang akan dilaksanakan. Gerakan itu secara garis besar dirumuskan oleh Politbiro, langkah-langkah atau actionplan diserahkan kepada Sjam untuk ditindaklanjuti. Sebelum melakukan aksi, Sjam dan Aidit merancang skenario sebagai berikut.
1. Secara objektif, PKI belum berhasil menjadi king maker. Kedudukan itu masih diperankan oleh Sukarno. Presidenlah yang menyeimbangkan PKI setara dengan ABRI. Kehebatan PKI karena proteksi Bung Karno.
2. PKI tidak akan mengulangi pemberontakan bersenjata secara terbuka seperti yang dilakukan oleh Moeso di Madiun, karena risikonya amat tinggi.
3. Akibat kebijakan Presiden Sukarno yang menunda Pemilu dalam waktu yang tidak ditentukan, PKI kehilangan peluang untuk tampil sebagai partai terbesar.
4. PKI juga tidak mungkin menerapkan model Partai Komunis Cekoslowakia yang melakukan infiltrasi untuk menguasai birokrasi hingga akhirnya menguasai seluruh pemerintahan. Hal itu dikarenakan infiltrasi PKI terhadap TNI AD di bawah kepemimpinan Nasoetion-Yani gagal ditembus. Padahal TNI AD juga merupakan kekuatan politik yang tangguh, di samping Presiden Sukarno.
5. PKI harus menunggu hingga kondisi sosial-ekonomi masyarakat benar-benar kacau, hingga pemerintah kehilangan kepercayaan. Dalam kondisi demikian langkah-langkah PKI akan diterima sebagai hal yang wajar oleh masyarakat.
Untuk itu D.N. Aidit kemudian memilih beberapa kombinasi alternatif di atas untuk dilaksanakan oleh Sjam. Skenarionya, PKI tidak mau terlibat dalam pemberontakan secara langsung (open rebellion), seperti yang dilakukan oleh Moeso tahun 1948. Oleh karena itu akan dibina sejumlah perwira TNI untuk dijadikan pion bagi kudeta, sehingga timbul kesan bahwa para pelakunya adalah ‘orang dalam’ TNI; dan terakhir menciptakan kondisi sosial-ekonomi sedemikian parah hingga memungkinkan PKI mendapatkan dukungan rakyat.Untuk mematangkan situasi sampai perebutan kekuasaan dilaksanakan, pada Agustus 1965, D.N. Aidit meyakinkan kepada publik bahwa berdasarkan dokumen terpercaya (baca: Dokumen Gilchrist) Dewan Jenderal benar-benar ada, meskipun terdapat juga kelompok perwira-perwira progresif yang menentang dewan itu.88
Selanjutnya Aidit menyatakan, bahwa ia telah ditemui oleh para perwira progresif yang menanyakan posisi PKI, bila Dewan Jenderal melakukan kudeta. D.N. Aidit kemudian juga menyatakan bahwa ia telah ditanya, apakah tidak sebaiknya PKI mengambil langkah awal untuk mencegah Dewan Jenderal. Skenario tersebut kemudian berkembang menjadi desas-desus yang dianggap mengandung kebenaran.
Untuk mendapatkan legitimasi, D.N. Aidit dalam rapat Politbiro 17 Agustus 1965 menyatakan bahwa PKI harus mengambil tindakan terhadap situasi politik akibat kudeta Dewan Jenderal.89
Padahal skenario besar itu secara diam-diam telah disusunnya, namun tidak banyak diketahui, meskipun di kalangan PKI sendiri. Dalam aksi tersebut Biro Khusus Pusat dan Daerah bertindak sebagai penggerak, sedang yang mengerjakan militer. Setelah Susunan Dewan Revolusi diumumkan, baik di tingkat pusat maupun daerah, kemudian massa akan diterjunkan untuk melakukan unjuk rasa guna memberikan dukungan kepada Dewan Revolusi yang baru dibentuk. Untuk itu segenap warga dan Pimpinan PKI supaya mengikuti perkembangan terakhir berita RRI. Oleh Aidit dan Nyoto direncanakan, bila massa sudah bergerak menyatakan dukungannya, kemampuan balance of power Presiden Sukarno yang menempatkan PKI-TNI AD pada posisi seimbang, untuk dijadikan pion, tidak berguna lagi. Dalam kondisi demikian diciptakan situasi agar Presiden Sukarno tidak dapat mengambil keputusan, kecuali memberikan dukungan kepada Dewan Revolusi, meskipun dengan terpaksa karena Angkatan Darat sudah tidak berdaya. Apabila berhasil, PKI akan membentuk kabinet Nasakom yang diisi oleh orang-orang PKI dan simpatisannya. Selanjutnya D.N. Aidit, selaku ketua CC PKI, pada Agustus 1965 itu pula menginstruksikan pada Sjam Kamarusaman untuk menyusun rencana organisasi G30S. Dalam pertemuan pertama yang kemudian diadakan di rumah Sjam pada tanggal 14 Agustus 1965, sebagai Kepala Biro Chusus kemudian menyusun rencana organisasi G30S. Masalah organisasi tersebut merupakan “top secret”, tidak diketahui banyak anggotanya. Hal ini tercermin dari pernyataan Ketua CGMI waktu itu, Hardoyo, yang mengatakan bahwa CGMI termasuk ormas yang tidak mengetahui rencana rahasia itu, karena pada saat peristiwa itu terjadi, ia sedang mengikuti kongres di Jakarta. Selain itu mungkin saja tidak semua anggota partai mengetahui langkah-langkah tersebut, karena “demokrasi sentralisme” dalam tubuh PKI memang menyerahkan keputusan-keputusan kepada pucuk pimpinan partai. Bahkan dalam keadaan keputusan penting, hal tersebut bisa diserahkan kepada Ketua Partai dengan “Biro Khususnya”.90
Pertemuan pertama yang kemudian diadakan di rumah Sjam pada 14 Agustus 1965 dan dihadiri oleh Pono dan Waluyo, memilih tiga orang calon pimpinan gerakan, yaitu Letnan Kolonel Untung, Kolonel A. Latief, dan Mayor Udara Sujono. Di samping itu disetujui pula melalui kesepakatan rapat tersebut untuk memanggil seluruh Kepala Biro Chusus Daerah guna menerima instruksi dari Sjam serta sekaligus memeriksa kekuatan bagi pelaksanaan gerakan. Pada tanggal 27 Agustus 1965 Sjam dipanggil D.N. Aidit di rumahnya untuk meminta laporan hasil rencana G30S. Aidit menyarankan kepada Sjam agar segera memulai dan memimpin rapat-rapat dengan tokoh-tokoh pimpinan gerakan tingkat pusat dan daerah.91
----------
87. Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub) dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 370 Tahun 1965, tanggal 4 Desember 1965. Istilah G30S/PKI sampai akhir tahun 1965 belum dipakai.
88. Perwira-perwira yang berhasik dibina oleh Sjam hingga menjadi opposisi di kalangan Angkatan Darat, antara lain Letkol Untung, Kolonel A. Latif, Brigjen Supardjo, dan kawan-kawan.
89. Pengakuan Nyono di Mahmillub 15 Februari 1966, dan kesaksian Pardede 16 Februari 1965, keduanya dari Politbiro PKI.
90. J.B. Soedarmanta, op.cit., hlm. 99 dan hal. 106
91. Berita Acara Pemeriksaan Mahmillub Kamarusaman bin Ahmad Mubaidah (Kepala Biro Chusus Central PKI, Dalam G30S, September 1965).
Rapat Teknis pada September 1965
Rapat pertama tanggal 6 September 1965 di rumah Kapten Wahyudi, Jalan Sindanglaya No. 5 Jakarta, dihadiri Sjam Kamarusaman dan Supono dari PKI, Kolonel Latief, Letkol Untung, Mayor Udara Sujono, dan Kapten Wahyudi (anggota Artileri). Dalam pertemuan ini Sjam memberikan briefing tentang adanya Dewan Jenderal yang dipimpin oleh Jenderal Nasution dan Jenderal A. Yani. Keduanya dianggap telah mengadakan rapat untuk melakukan coup terhadap pemerintah. Di samping itu rapat juga membahas tentang sakitnya Presiden Sukarno serta menyampaikan pula instruksi Ketua CC PKI untuk mengadakan gerakan mendahului coup Dewan Jenderal. Rapat kedua pada tanggal 9 September 1965 dihadiri peserta yang sama dan di tempat yang sama pula. Pada kesempatan ini Sjam meminta pada rapat agar membuat persetujuan bersama untuk ikut dalam gerakan. Dalam hal ini dibicarakan perwujudan pengorganisasian dan pengaturan kesatuan-kesatuan yang ada di Jakarta serta kekuatan-kekuatan yang bisa digunakan untuk gerakan. Rapat ketiga dilaksanakan tanggal 13 September 1965 dihadiri Sjam, Pono, Letkol Untung, Kolonel Latief, Mayor Udara Sujono, Mayor A. Sigit, Kapten Wahjudi, bertempat di kediaman Kolonel Latief, Jalan Cawang I Kaveling 524/525, Jatinegara, Jakarta Timur. Pertemuan tersebut menghasilkan beberapa keputusan, di antaranya, peninjauan kesatuan yang ada di Jakarta dan menerima kekuatan tambahan dari Pasukan Pengaman Pangkalan (P-3) AURI dan Mayor Udara Sujono. Sasaran gerakan ialah Jenderal-Jenderal Angkatan Darat. Rapat keempat dilaksanakan pada tanggal 15 September 1965, dihadiri oleh Sjam, Pono, Letkol Untung, Kolonel Latief, Mayor Udara Sudjono, Mayor A. Sigit, Kapten Wahyudi, bertempat di kediaman Kolonel Latief. Masalah yang dibahas adalah kesatuan-kesatuan yang dapat diikutsertakan dalam gerakan, yaitu Batalion Tjakrabirawa pimpinan Letkol Untung, Batalion Brigif I Kodam V/Jaya pimpinan Mayor A. Sigit, Pasukan P3AU pimpinan Mayor Udara Sujono.
Di samping itu Sjam menyampaikan “berita baik” bahwa akan datang ke Jakarta Batalion 454 Para/Diponegoro dari Jawa Tengah di bawah pimpinan Mayor Sukirno dan Batalion 530 Para/Brawijaya dari Jawa Timur dipimpin Mayor Bambang Supeno, dalam rangka HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1965. Kedua pimpinannya berjanji akan membantu gerakan yang telah direncanakan oleh para peserta yang sama di kediaman Kolonel Latief. Dalam pertemuan ini sudah ada kepastian mengenai pasukan yang ikut gerakan di Jakarta, yakni 1 Batalion Brigif I Kodam V/Jaya, 1 Batalion P3 AURI, 1 Kompi Artileri dan 1 Kompi Tjakrabirawa. Di samping itu Sjam menyatakan pula bahwa 1 Batalion Brawijaya dan 1 Batalion Diponegoro sudah bisa ditentukan pembagian tugasnya masing-masing. Rapat keenam pada 19 September 1965, dihadiri oleh Sjam, Pono, Letkol Untung, Kolonel Latief, Mayor Udara Sujono, Kapten Wahjudi bertempat di rumah Sjam, Jalan Salemba Tengah, Jakarta. Dalam rapat tersebut dibahas, antara lain, masalah organisasi gerakan dengan susunannya, yaitu bidang politik dipimpin oleh Sjam dan Pono, bidang Militer dipimpin oleh Letkol Untung dan Kolonel Latief, bidang Observasi dipimpin oleh Walujo. Khusus bidang Militer dibagi dalam pasukan penggempur, diberi nama Pasopati dipimpin Lettu Dul Arief dari Tjakrabirawa, Pasukan teritorial dinamai Bima Sakti dengan pimpinan Kapten Suradi dari Brigif I Kodam V/Jaya, dan pasukan Cadangan yang disebut Gatotkaca dipimpin Mayor Udara Gathot Sukrisna dari AURI. Pada pertemuan ini Sjam menyebutkan pula pimpinan seluruh gerakan adalah Letkol Untung. Penunjukan Letkol Untung didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan, seperti namanya yang hanya dikenal terbatas dan kedudukannya sebagai pengawal pribadi Presiden yang sangat cocok dengan tema utama gerakan yaitu menyelamatkan Presiden Sukarno. Selain itu pangkat Letkol ditentukan sebagai pangkat tertinggi dalam gerakan tersebut.Rapat ketujuh, tanggal 22 September 1965, dihadiri oleh orang yang sama, kecuali Mayor Agus Sigit dan Kapten Wahjudi. Rapat yang diselenggarakan di tempat yang sama, membahas penentuan sasaran masing-masing pasukan. Dalam hal ini sasaran Pasopati adalah para Jenderal (Dewan Jenderal), sasaran Bima Sakti yaitu RRI, telekomunikasi, dan teritorial. Gatotkaca, bertugas mengkoordinir kegiatan di Lubang Buaya dan menghimpun tenaga cadangan. Selain itu ditentukan pula oleh Sjam agar Letkol Untung menghubungi Yon 530 dan Yon 454 setelah batalion-batalion tersebut berada di Jakarta.
Rapat kedelapan dilaksanakan pada tanggal 24 September 1965, dihadiri oleh orang yang sama seperti pada rapat ketujuh, bertempat di kediaman Sjam. Pada pertemuan ini dibahas, antara lain persoalan tempat komando bagi pimpinan gerakan dan penentuan daerah pemundurannya (kompleks Halim dan daerah Pondok Gede). Selanjutnya tempat komando ditentukan di Gedung Penas yang disebut Central Komando (Cenko). Sehubungan dengan permasalahan sektor, Njono diperintahkan untuk membentuk dan menunjuk komandan sektor, seperti Sektor di Kebayoran Baru, Kebayoran Lama, Mampang Prapatan, Pasar Manggis, Senayan, dan lain-lain. Tugas komandan sektor memberikan bantuan pada gerakan, sedangkan kode-kode buatan anggota Gerwani yang ikut latihan di Lubang Buaya dibagikan kepada para pasukan-pasukan baru tanggal 28 September serta kepada pihak-pihak yang ikut dalam gerakan, diperintahkan untuk siap siaga di pos dan dalam waktu yang telah ditentukan.
Rapat kesembilan, tanggal 26 September 1965, dihadiri oleh para anggota yang hadir pada rapat kedelapan, dan bertempat di kediaman Sjam. Materi yang dibahas dalam rapat ini, yaitu membahas laporan Mayor Udara Sujono tentang persiapan Central Komando (Cenko) di Gedung Penas (P.N. Areal Survey) dengan persiapan daerah pemunduran di Halim dan Pondok Gede. Sedangkan mengenai penentuan Cenko I dan Cenko II adalah Gedung Penas dan rumah kediaman Sersan Udara Aris Suyatno di Kompleks Halim. Pada pertemuan kesembilan ini pembentukan sektor-sektor teritorial telah diselesaikan dan diputuskan pula untuk mengadakan pemeriksaan secara menyeluruh, terutama mengenai rencana pelaksanaan gerakan.
Rapat kesepuluh, 29 September 1965, merupakan pertemuan terbesar dan terakhir bagi rencana pelaksanaan gerakan tersebut, dihadiri oleh peserta yang sama dengan rapat kesembilan ditambah Brigjen Supardjo92 yang telah hadir di Jakarta pada tanggal 28 September. Rapat yang diselenggarakan di kediaman Sjam ini menghasilkan keputusan-keputusan final pelaksanaan gerakan. Seperti pemeriksaan organisasi gerakan militer, tenaga cadangan/bantuan serta pasukan Yon Para 454/Diponegoro dan pasukan Yon 530 Para/Brawijaya yang berada di Jakarta sejak tanggal 25 September 1965. Di samping itu dilakukan penentuan sasaran gerakan, tempat pengamanannya setelah diambil tindakan, penentuan Hari H dan Jam D bagi gerakan, yakni tanggal 30 September 1965 sesudah tengah malam, serta nama gerakan yang diputuskan oleh ketua CC PKI DN. Aidit, yaitu G30S, disesuaikan waktu pelaksanaan. Pada saat itu Sjam menyelesaikan bahwa G30S dalam jangka pendek akan membentuk Dewan Revolusi dan dalam jangka panjang menuju pembentukan suatu pemerintahan yang dikuasai penuh oleh Komunis. Sesuai penjelasan Sjam tersebut, gerakan ini akan melahirkan “Dewan Revolusi” dengan pendemisioneran Kabinet Dwikora dan Letkol Untung ditunjuk sebagai ketuanya. Selanjutnya semua komando gerakan sudah harus berada di Cenko I (Central Komando) pada pukul 23.00 tanggal 30 September 1965.
---------
92. Ketika berada di Jakarta, Brigjen Soepardjo sebagai Pangkopur Kalimantan IV yang berada di bawah Kostrad, tidak melapor kepada komandannya, yaitu Mayjen Soeharto. Hal tersebut dipertegas oleh reaksi Mayjen Soeharto yang terkejut saat mendengar keberadaan Soepardjo di Jakarta yang seharusnya ia berada di posnya Kalimantan. Kepulangannya ini ternyata karena dia harus berperan dalam coup yang telah direncanakan. Sejak tahun 1958, Soepardjo berada di bawah binaan Biro Chusus PKI. (lihat: John Huges, The End of Sukarno A Coup The Misfired: A Purge That Ran Wild, Singapore: Archipelago Press, 2003, hlm. 69 dan J.D. Legge, Sukarno: A Political Biography, Singapore: Archipelago Press, 2003, hlm. 441).
Rapat-Rapat Biro Chusus Pusat Dan Daerah
Sebagai tindak lanjut instruksi Ketua CC PKI DN. Aidit untuk memeriksa barisan, Sjam selaku Kepala Biro Chusus CC PKI memanggil Kepala-kepala Biro Chusus Daerah, untuk melakukan pertemuan-pertemuan.93
Rapat pertama dengan Kepala Biro khusus Daerah Jakarta Raya Endro Sulistiyo, yang diadakan pada tanggal 4 September 1965, membicarakan situasi dan tugas-tugas yang harus dijalankan oleh Biro Chusus Daerah/PKI dalam rangka gerakan yang akan dilancarkan. Pada kesempatan itu dijelaskan pula instruksi D.N. Aidit tentang diadakannya sebuah gerakan untuk mendahului Dewan Jenderal, maka Biro Chusus Daerah/PKI diminta kesanggupannya untuk mendukung tugas-tugas yang diberikan dengan memulai melakukan pemeriksaan barisan. Kenyataannya barisan yang tersedia di Biro Chusus Daerah/PKI Jakarta Raya masih lemah, karena belum tercipta hubungan erat dari grup-grup yang dibentuk di dalam badan-badan dinas ABRI, dan kesatuan setingkat dengan Kodam. Pada waktu itu Kepala Biro Chusus Daerah melaporkan pula grup-grup yang baru dibentuk, di antaranya di Yon Ang Air, Yon Artileri Tanjung Priok, Kodim Jakarta Pusat, dan di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Di samping itu Kepala Biro Chusus Daerah Jakarta Raya tetap diminta bantuannya dalam gerakan ini. Dalam pelaksanaannya, Biro Chusus Daerah Jakarta hanya mampu menghimpun kekuatan kurang lebih 6 batalion dari berbagai kekuatan yang ada, termasuk Yon 539/Brawijaya dan Yon 454/Diponegoro. Rapat kedua pada tanggal 8 September 1965 dengan Kepala Biro Chusus Daerah/PKI Jawa Barat yang dipimpin oleh Harjana alias Lie Tung Tjong, bertempat di kediaman Sjam. Selain situasi negara, Sjam dalam pertemuan itu menyampaikan tugas-tugas yang harus dilakukan oleh Biro Chusus Daerah/PKI Jawa Barat, sehubungan dengan pelaksanaan gerakan. Harjana melaporkan pula tentang lemahnya kekuatan-kekuatan PKI di daerah Jawa Barat sehingga tidak dapat dijadikan sebagai kekuatan pemukul. Selain itu grup-grup yang baru terbentuk berada di Kodim Bandung, di Kavaleri, dan di Cimahi. Atas dasar laporan itu, Sjam hanya meminta Kepala Biro Chusus/PKI Jawa Barat mengikuti siaran RRI Jakarta terus-menerus.
Rapat ketiga dengan Kepala Biro Chusus Jawa Timur yang dipimpin oleh Roestomo, diadakan di tempat kediaman Sjam pada tanggal 13 September 1965. Dalam pertemuan itu, Sjam mengemukakan persoalan yang sama. Namun sebelumnya Biro Chusus Jawa Timur telah berhasil membentuk grup-grup, antara lain di Madiun, Malang, dan Besuki. Roestomo melaporkan bahwa Yon 530/Para Brawijaya yang akan dikirim ke Jakarta dalam rangka HUT ABRI 5 Oktober 1965, dapat membantu gerakan. Pertemuan keempat berlangsung antara Sjam dengan Kepala Biro Chusus Daerah/PKI Jawa Tengah yang dipimpin oleh Salim alias Darmo di kediaman Sjam. Persoalan yang dibahas sama dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Kekuatan Biro Chusus Jawa Tengah lebih baik dari Biro khusus Daerah yang lain. Grup-grup telah terbentuk di daerah-daerah, antara lain di Yogyakarta, Solo dan Salatiga. Kesatuan-kesatuan yang menjadi inti ialah Batalion K, L, dan M. Pada pertemuan itu Salim melaporkan, bahwa Yon 454/Raider Diponegoro akan dikirim ke Jakarta dalam rangka Hari Ulang Tahun ABRI 5 Oktober 1965, dengan tujuan untuk membantu gerakan. Kepada Kepala Biro Chusus Daerah PKI, Dewan maupun grup-grup di Jawa Tengah, Sjam menginstruksikan agar selalu mengikuti RRI Jakarta. Pertemuan kelima dengan Kepala Biro Chusus/PKI Sumatra Barat yang dipimpin oleh Rivai dengan Sjam di tempat yang sama, pada tanggal 17 September 1965. Pada pertemuan itu dibicarakan soal situasi dan instruksi DN. Aidit tentang rencana gerakan, juga dibahas soal organisasi. Dalam pertemuan itu, Rivai menyatakan kesanggupannya untuk melaksanakan instruksi Kepala Biro Khusus CC PKI. Pada kesempatan itu juga dilaporkan bahwa di Sumatra Barat telah dibentuk grup-grup di Padang/Pariaman dan Sawah Lunto. Pertemuan keenam dengan Kepala Biro Chusus PKI Sumatra Utara yang dipimpin oleh Nasir alias Amir pada tanggal 20 September 1965 dengan Sjam di kediamannya. Dalam pertemuan itu dibicarakan persoalan yang sama dengan Kepala Biro Chusus PKI daerah yang lain. Nasir (Amir) menyatakan kesanggupannya, meskipun menurut laporan yang disampaikannya ternyata Biro Khusus/PKI Daerah Sumatra Utara belum cukup kuat. Grup-grup yang ada baru di Medan dan Pematang Siantar. Sjam menginstruksikan untuk selalu mendengarkan siaran RRI Jakarta. Di samping itu juga, Sjam menginstruksikan kepada masing-masing Kepala Biro khusus PKI Daerah yang lain agar dalam rangka pelaksanaan kudeta dilakukan kegiatan-kegiatan, seperti persiapan tenaga-tenaga untuk menjadi anggota Dewan Revolusi Daerah, bentuk kekuatan militer yang terdiri anggota ABRI, kuasai jawatan-jawatan/instansi vital di daerah dan selalu mengikuti siaran RRI Jakarta untuk mengetahui saat dimulainya gerakan. Instruksi ini bersifat rahasia dan hanya diinstruksikan dalam Biro Chusus Daerah/PKI.
---------
93. Ibid.
Komentar
Posting Komentar