
Isu Dewan Jenderal
Setelah gagal menuntut pembentukan Angkatan ke-5, usaha PKI memobilisasi rakyat melalui aksi-aksi sepihak sepanjang 1964-1965 tidak mampu mengungguli kekuatan lawan-lawannya, D.N. Aidit dan CC PKI kemudian melemparkan desas-desus adanya Dewan Jenderal dalam tubuh Angkatan Darat. Dalam rapat Politbiro pada awal Mei 1965, meskipun tanpa bukti, Aidit menyatakan bahwa kaum “kapitalis birokrat” (pimpinan tentara yang memegang jabatan tertentu) sedang mempersiapkan suatu kudeta. Dalam situasi kritis tersebut, Subandrio, pada 26 Mei 1965, memperlihatkan kepada Sukarno Dokumen Gilchrist, bertanggal 24 Maret 1965, yang isinya ditafsirkan sebagai isyarat adanya operasi dari pihak Inggris-AS melibatkan our local army friends (kawan-kawan kita dari tentara setempat). Tidak mustahil our local army friends tersebut oleh publik dihubungkan dengan pernyataan Aidit perihal isu kudeta yang akan dilancarkan oleh “kabir”.36
Disebarkanlah berita bahwa Dewan Jenderal itu mempunyai kekuasaan menilai kebijaksanaan Presiden Sukarno selaku Pemimpin Besar Revolusi. Untuk mengadu domba Bung Karno dan AD, PKI memberikan kesan bahwa Dewan Jenderal adalah suatu badan yang diragukan kesetiaannya kepada Pemimpin Besar Revolusi. Akibatnya, kepercayaan PBR terhadap AD hilang. PKI juga menyebarluaskan desas-desus bahwa Dewan Jenderal bekerja sama dengan imperialis, sehingga timbul kesan bahwa TNI AD mengkhianati perjuangan bangsa Indonesia. Desas-desus itu makin diyakini kebenarannya setelah tersiarnya Dokumen Gilchrist pada Mei 1965. Pada saat itu di TNI AD memang terdapat istilah yang dapat menimbulkan kecurigaan, yaitu adanya semacam Steering Committee ABRI. Hal itu dapat ditafsirkan sebagai Kabinet Angkatan Darat. Komite tersebut dibentuk oleh Jenderal Nasution, karena staf kekaryaan belum didirikan. Dalam upaya memojokkan TNI AD, D.N. Aidit buru-buru melansir desas-desus bahwa di dalam tubuh AD terdapat Kabinet. Akhirnya Steering Committee TNI dibubarkan oleh Jenderal Nasution.
Desas-desus perihal keberadaan kabinet dalam tubuh AD, juga disebarluaskan PKI menjelang G30S, dengan jalan mengatakan bahwa ada kabinet dalam Dewan Jenderal. Susunan kabinet Dewan Jenderal “karangan” PKI, adalah: Perdana Menteri dijabat oleh Jenderal A.H. Nasution, Wakil Perdana Menteri dijabat Letjen A. Yani, Menteri Luar Negeri: Roeslan Abdoelgani, Menteri Hubungan Dagang Luar Negeri: Brigjen Soekendro; Menteri Jaksa Agung: Mayjen S. Parman, dan pejabat-pejabat lainnya. Dari segi keotentikannya, Sukarno sebenarnya masih sangsi terhadap Dokumen Gilchrist. Presiden segera memanggil para panglima ke Istana. Pertemuan itu dihadiri oleh Yani, Men Pangal Martadinata, Kepala Kepolisian RI Sutjipto Yudodiharjo, dan Sri Mulyono Herlambang mewakili Men Pangau Omar Dhani. Dalam forum itu Sukarno bertanya kepada Ahmad Yani apakah ada di antara pembantunya yang mempunyai kontak dengan Kedubes Inggris dan AS, dan apakah kebijaksanaannya dinilai oleh para perwira senior. Jenderal A. Yani menjawab, bahwa Soekendro dan S. Parman tengah mengumpulkan informasi dari kedutaan-kedutaan itu, dan Deputi III Men Pangad, Mayjen MT. Haryono terus-menerus melakukan kontak dengan perusahaan-perusahaan minyak asing. Yani menyatakan memang pernah ada pertemuan di kediamannya, di mana para perwira senior telah mengeluarkan “uneg-uneg”nya. Tatkala ditanya tentang adanya Dewan Jenderal, Yani mengatakan bahwa memang ada sebuah badan yang sering diberi nama itu, akan tetapi nama yang sebenarnya adalah Dewan Jabatan dan Kepangkatan Perwira Tertinggi (Wanjakti). Fungsi dewan itu untuk bermusyawarah mengenai soal kenaikan pangkat dan penugasan dari kolonel ke pangkat jenderal. Ternyata Subandrio segera memberi laporan kepada PKI mengenai pertemuan di Istana, dan pada hari itu juga di hadapan partai, mengatakan bahwa Presiden sekarang sudah mempunyai bahan bukti tentang adanya suatu “gerakan kontra-revolusi”.37
Pada 28 Mei 1965, Presiden Sukarno mengambil langkah lebih jauh lagi dalam mengintepretasikan Dokumen Gilchrist. Pada suatu rapat para panglima tentara, Sukarno menyatakan telah memiliki bukti-bukti bahwa Nekolim akan membunuh dia, Subandrio, dan Yani. Apabila rencana itu gagal, Nekolim akan menyerang Indonesia, dengan bantuan “kaki-tangan mereka setempat”.38
Pernyataan Presiden Sukarno dan Subandrio itu telah menghilangkan keragu-raguan, alias meyakinkan pihak komunis tentang keberadaan Dewan Jenderal dan kemungkinan kudeta yang dilancarkannya. Pernyataan-pernyataan Sukarno dan Subandrio di atas oleh PKI dianggap sebagai pukulan kepada lawan-lawannya. Sehari sebelumnya Aidit telah mengancam lawan-lawannya dengan mengatakan bahwa pukulan-pukulan yang telah diberikan kepada kekuatan-kekuatan kontra revolusi merupakan peringatan kepada lawan, dan bila kaum kontra revolusi menentang arus, akan ditinggalkan dan dihancurkan oleh rakyat. Beberapa hari kemudian Aidit memulai menuduh bahwa kaum “kapitalis birokrat” sedang bersiap-siap melancarkan kudeta.39
Dalam mempersiapkan Gerakan 30 September, pada Agustus 1965, DN. Aidit selaku ketua CC PKI memerintahkan Sjam Kamaruzaman, melalui Biro Khusus yang dipimpinnya, untuk menggarap oknum anggota ABRI yang telah dibina dengan memberikan briefing tentang situasi politik terakhir. Isinya ialah, bahwa dalam tubuh TNI AD ada Dewan Jenderal yang akan melakukan perebutan kekuasaan, untuk itu perlu ada suatu gerakan militer guna mendahului gerakan Dewan Jenderal. Menurut D.N. Aidit, siapa yang mengetahui wafatnya Presiden Sukarno lebih dahulu, merekalah yang akan memegang inisiatif. Jika Dewan Jenderal mengetahui wafatnya Presiden Sukarno lebih dahulu, maka dalam waktu singkat PKI pasti akan dihabisi, demikian pandangan Aidit. Dalam penutupan sidang Politbiro yang diperluas, tanggal 28 September 1965, Aidit menyatakan, bahwa ia lebih condong untuk mendahului. Oleh karena itu Aidit menanyakan kepada sidang, apakah sidang dapat menyetujui langkah-langkah perwira-perwira yang berpikiran maju untuk mendahului gerakan Dewan Jenderal. Dalam hal itu wewenang sidang ada di tangan Dewan Harian Politbiro. Karena peserta sidang Politbiro tidak ada yang menjawab, D.N. Aidit kemudian menyatakan, bahwa soal itu serahkan saja kepada Dewan Harian Politbiro.40
Menurut paparan Menyingkap Kabut Halim 1965, yang mendasarkan keterangan Nyono, Wakil ketua II CC PKI, dalam sidang Mahmillub menyatakan bahwa tentang proses keputusan PKI untuk mendahului gerakan Dewan Jenderal, yang nama sebenarnya adalah Wanjakti (Dewan Pertimbangan Djabatan dan Kepangkatan Perwira Tinggi). Sebelum adanya Dewan Jenderal, sudah ada Dewan Kolonel yang bertugas menangani kenaikan pangkat dari letnan kolonel menjadi kolonel. Waktu itu kenaikan pangkat bagi perwira menengah dan perwira tinggi belum diatur dalam keputusan reguler. Sebenarnya Dewan Jenderal memiliki tugas sama dengan Dewan Kolonel, yaitu menangani kenaikan pangkat dari kolonel menjadi brigadir jenderal.Tetapi dibanding dengan menyebut Wanjakti, orang secara salah kaprah serta untuk mudahnya mengingat, lebih suka menyebutnya sebagai Dewan Jenderal. Ketika masih berpangkat brigadir jenderal, Achmad Yani pernah menjabat sebagai sekretaris Dewan Jenderal. Rapat-rapat Dewan Jenderal biasanya dipimpin oleh Letjen Gatot Soebroto dan dihadiri Mayjen Djatikoesoemo. Dalam menjawab pertanyaan Presiden Sukarno perihal masalah Dewan Jenderal, Jenderal A. Yani selain menyatakan tidak ada Dewan Jenderal, kecuali dewan yang menangani kepangkatan perwira tinggi. Bahkan A. Yani juga menyatakan bahwa ia sendiri yang memimpinnya. Kebijakan pimpinan AD tersebut merupakan sikap resmi, yang diikuti oleh jajaran pimpinan di bawahnya. Melalui berbagai saluran informasi masalah itu juga telah diketahui pula secara luas oleh masyarakat. Jadi para pimpinan AD telah memahaminya. Bahkan isu masalah Dewan Jenderal juga telah diketahui oleh keluarga para pimpinan Angkatan Darat, yang kemudian menjadi korban G30S.41
Memperhatikan kondisi kurang kompaknya ABRI, kurang serasinya hubungan antara Pangti ABRI dengan sejumlah pimpinan militer, dan melihat situasi politik waktu itu, Laksda Udara Omar Dhani mengira bahwa dalam tubuh AD terdapat Dewan Jenderal dan kelompok perwira muda, maupun bawahan yang tidak puas dengan pimpinan, terutama dalam hal kepangkatan, kesejahteraan, dan sebagainya, sebagaimana didengar oleh Omar Dhani dari Brigjen Achmad Wiranatakusuma, ketika masih menjadi Wakil Panglima Koga. Golongan perwira muda dan bawahan itu menurut persepsi Omar Dhani ingin mengadakan gerakan sebagai usaha perbaikan dalam tubuh AD, tepat seperti yang digariskan oleh MKTBP PKI. 42
Masalah Dewan Jenderal yang bagi Omar Dhani merupakan sesuatu yang mencurigakan, oleh PKI justru dijadikan isu sentral. Pada saat-saat terakhir menjelang tanggal 30 September, yaitu pada tanggal 28 September 1965 atas undangan Aidit dalam rapat Politbiro PKI yang diperluas, ia menekankan empat hal.43
Pertama, akan ada aksi mendahului rencana Dewan Jenderal, yang akan bergerak adalah para perwira progresif revolusioner, setelah itu akan dibentuk Dewan Revolusi. PKI sendiri hanya membantu. Kedua, soal-soal militer dipercayakan sepenuhnya kepada D.N. Aidit. Ketiga, soal-soal politik merupakan wewenang Dewan Harian Politbiro. Keempat, Ketua CDB Jakarta Raya, Nyono diperintahkan menyiapkan 2.000 kader untuk membantu.44
Kolonel A. Latief, mantan Komandan Brigif, Jaya Sakti, dalam berbagai media menyatakan bahwa pada malam hari menjelang pecahnya Peristiwa 30 September 1965, di RS Cipto Mangunkusumo ia telah memberikan laporan kepada Jenderal Soeharto yang saat itu menunggui anak bungsunya, Hutama Mandala Putra, atau Tommy, yang sedang dirawat. Berdasarkan keterangan itu, Kolonel Latief menyimpulkan bahwa Soeharto terlibat, bahkan juga sebagai dalang G30S.45
Karena yang bersangkutan terlibat peritiwa G30S, maka keterangannya memiliki derajat personal bias, dan group prejudice sangat tinggi. Juga perlu diperhatikan kedudukan Latief dan hubungannya dengan Jenderal Soeharto di lingkungan ABRI.
Pertama, meskipun keduanya sama-sama anggota ABRI, akan tetapi mereka tidak berada dalam instansi atau kesatuan yang sama. Sesuai dengan standing order (tata tertib) ABRI yang bersifat formal dan hirarkis, apakah dapat dibenarkan Kolonel A. Latief yang berkedudukan sebagai Dan Brigif Jaya Sakti memberikan laporan langsung kepada Mayjen Soeharto selaku Pangkostrad tanpa melalui prosedur resmi? Semestinya Kolonel A. Latief menyampaikan laporannya kepada atasannya langsung, yaitu Pangdam V/ Jaya. Setelah itu Pangdam V/Jaya meneruskan kepada Men/Pangad dan selanjutnya dikordinasikan atau diteruskan kepada pejabat yang berwenang. Kedua, seandainya keterangan Kolonel A. Latief benar, apakah dapat dibenarkan ia secara langsung menyampaikan secara pribadi tanpa disertai staf atau saksi dari pejabat yang berwenang. Demikian pula Soeharto menerima sendirian tanpa didampingi staf yang berwenang. Padahal ada instansi yang seharusnya menangani. Misalnya, Perwira Seksi I yang ada dalam setiap jajaran komando ABRI. Merekalah yang membidangi intelijen. Pertanyaan ketiga, apabila informasi peristiwa Gerakan 30 September 1965, yang dilaporkan kepada Mayjen Soeharto bersifat rahasia, dan juga sangat penting, layakkah Kolonel A. Latief sebagai seorang perwira menyampaikan laporan di tempat umum atau sambil lalu, apalagi seorang diri, tanpa didampingi oleh pejabat yang berwenang yaitu Perwira Intelnya? Dan bagaimana sikap Soeharto, apakah harus berdiskusi panjang lebar tentang kebenarannya? Padahal seperti halnya pimpinan AD lainnya, yang telah menegaskan bahwa Dewan Jenderal tidak ada. Oleh sebab itu berdasarkan pertanyaan-pertanyaan di atas dapat disimpulkan bahwa keterangan Kolonel A. Latief sangat lemah untuk dijadikan sebagai sumber sejarah, karena di dalamnya secara eksplisit terkandung unsur-unsur antagonisme. Masih ada keterangan Latief yang menyatakan beberapa waktu sebelum meletusnya G30S, Soeharto hadir pada pesta perkawinan Untung di Kebumen. Berdasarkan keterangannya itu, Latief menyatakan bahwa Untung tidak lain adalah kaki tangan Soeharto untuk merebut kekuasaan. Perihal ceritera Latief tentang kehadiran Soeharto ke perkawinan Untung, selain tidak dapat dicocokkan dengan sumber lain, juga telah dibantah. Kemal Idris menyatakan bahwa dialah yang mewakili Soeharto ke Kebumen.46
Menarik untuk diperhatikan, di kalangan pimpinan TNI AD selain tidak begitu saja mempercayai isu tentang rencana penculikan oleh PKI, mereka pada umumnya sejak semula menyangsikan kemampuan PKI melakukan gerakan militer. Misalnya, menurut kesaksian keluarga Jenderal Yani pada minggu-minggu menjelang 30 September 1965 telah mendengar isu penculikan yang akan dilakukan terhadap dirinya. Terhadap isu itu Yani menanggapi bahwa orang yang ingin membunuhnya adalah bodoh, karena ia mengetahui betul kekuatan partai itu.47 Mayjen S. Parman, Asisten I, yang bertanggung jawab dalam bidang intel, sejak awal menyangsikan kemampuan PKI dalam hal gerakan militer.48
Pada bulan November 1965, ABRI membentuk Panitia Khusus untuk menghimpun data mengenai asal-usul serta proses yang berkaitan dengan Dewan Jenderal dengan susunan sebagai berikut.
Ketua : Irjen Pol Oudang
Wakil Ketua: Laksamana Muda Laut Subijakto
Anggota-anggota:
Komodor Udara Sudjono
Brigadir Jenderal Sudirgo
Jaksa Tinggi Basarudin
Kolonel Inf Charis Suhud
Letnan Kolonel CPM Hadiharsoso
Sekretaris:
Brigjen Pol. Drs. Munadi
Kolonel Udara Notowidagdo, S.H.
Jaksa Tinggi Ismail Rahardjo, S.H.
Hasil kerja Panitia Khusus itu menyatakan sebagai berikut. Pertama, mula-mula dewan itu bertugas memberikan pertimbangan tentang kenaikan pangkat dari perwira menengah menjadi jenderal, hingga kemudian dikenal sebagai “Dewan Jenderal” meskipun tidak demikian namanya. Kedua, berita tentang adanya Dewan Jenderal, mulai beredar pada Juni, Juli, Agustus, dan September 1965. Adapun sumber desas-desusnya dari anggota PKI yang berasal dari Ketua CC PKI. Ketiga, sampai November 1965, belum ada perorangan, perwira, yang didengar keterangannya dapat menunjukkan dokumen atau bukti tentang adanya Dewan Jenderal. Kesimpulannya, bahwa Dewan Jenderal yang merencanakan melakukan kudeta pada 5 Oktober 1965, tidak ada. Oleh karena Panitia Khusus itu dipimpin oleh Inspektur Jenderal Polisi Oudang, kemudian juga dikenal sebagai “Panitia Oudang”.49
----------
36. Harian Rakjat, 7 Mei1965.
37. Indonesian Herald (Koran resmi Deplu), 28 Mei 1965.
38. Berita Yudha dan Harian Rakjat, 29 Mei 1965.
39. Harian Rakjat, 31 Agustus dan 4 September 1965.
40. Aristides Katoppo, op.cit., hlm. 39-42.
41. Keluarga Pahlawan Revolusi, op.cit., hlm. 20.
42. Ibid.
43. Menurut hasil pemeriksaan yang dilaporkan oleh Soegondo sebenarnya dalan tata cara organisasi PKI tidak ada istilah rapat ‘Politbiro yang diperluas’, namun karena yang hadir
selain anggota politbiro juga hadir anggota CC di Jawa dan semua Ketua CDB di Jawa.
44. Atmadji Sumarkidjo, Mendung di atas Istana Merdeka, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000, hlm. 147.
45. Kolonel Abdul Latief, Pledoi Kol. A. Latief, Soeharto Terlibat G 30 S, Cetakan III,Jakarta, Institut Studi Informasi, 2000, hlm. 61-68.
46. Rosihan Anwar ed., Kemal Idris Bertarung Dalam Revolusi, Jakarta, Sinar Harapan, 1997, hlm. 180.
47. Keluarga Pahlawan Revolusi, op.cit., hlm. 20.
48. Atmadji Sumarkidjo, op.cit., hlm. 157-158.
49. Nugroho Notosusanto, Tragedi Nasional, Percobaan Kup G 30 S/PKI di Indonesia, Jakarta, Intermasa, 1968, hlm. 115-116.
Dokumen Gilchrist
Pembahasan masalah Dewan Jenderal tidak dapat dipisahkan dengan persoalan Dokumen Gilchrist. Dokumen ini menurut Subandrio diterimanya lewat pos, dialamatkan kepada BPI pada 15 Mei 1965.50
Dokumen Gilchrist merupakan sepucuk surat yang diketik pada formulir yang biasa digunakan oleh Kedubes Inggris di Jakarta. Nama pembuat surat adalah Sir Andrew Gilchrist, Duta Besar Inggris (1963-1966) untuk Indonesia. Dalam buku Menyingkap Kabut Halim, dinyatakan bahwa dokumen tersebut tidak bertanda tangan. Sebaliknya, Rosihan Anwar mengemukakan bahwa Dokumen Gilchrist ditemukan tanda tangan dan tulisan di pinggir dari Dubes Gilchrist, tetapi tidak cocok dengan tanda tangan yang sebenarnya. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa Dokumen Gilchrist yang ditemukan di rumah Bill Palmer adalah palsu.51
Surat yang terkesan dibuat oleh Dubes Gilchrist itu ditujukan kepada Kementerian Luar Negeri Inggris, berisi laporan tentang kordinasi antara Gilchrist dan Dubes Amerika mengenai rencana mereka berdua untuk menggulingkan pemerintah Indonesia dengan bantuan our local army friends. Dokumen itu disertai surat pengantar yang menyatakan adanya pengiriman dokumen penting bagi revolusi.52
Selanjutnya dokumen itu oleh Subandrio diserahkan kepada Brigjen Pol. Soetarto, Kepala Staf BPI untuk diperiksa. Ternyata Soetarto tidak memeriksakan keotentikan dokumen itu melalui tes Laboratorium Kriminal Angkatan Kepolisian. Soetarto menyatakan bahwa dokumen tersebut otentik. Pada 25 Mei 1965 dokumen diserahkan oleh Subandrio kepada Presiden Sukarno. Keesokan harinya diadakanlah rapat di Istana yang dihadiri oleh para panglima keempat angkatan. Men/Pangau yang berhalangan hadir, diwakili oleh Laksda Sri Moeljono Herlambang. Dalam kesempatan itu Presiden menanyakan kepada Letjen A.Yani, apakah ada anggota Angkatan Darat yang mempunyai hubungan dengan Inggris dan Amerika. Letjen A.Yani menjawab, “Tidak ada”. Seusai rapat di Istana Merdeka 26 Mei 1965, masalah Dokumen Gilchrist yang menyakitkan itu telah dijernihkan oleh Ahmad Yani, tidak demikian halnya dengan Omar Dhani. Ia tidak yakin bahwa Dewan Jenderal itu tidak ada, meskipun Bung Karno juga telah mengatakan bahwa menurut Yani dewan itu telah dibubarkan. Menurut pendapat Dhani di tubuh Angkatan Darat terdapat beberapa orang jenderal dan perwira yang menilai kebijaksanaan Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Revolusi. Para jenderal itu dianggap tidak melaksanakan ajaran Bung Karno secara konsekuen, dan dinilai bekerja sama dengan Nekolim. Merekalah yang oleh Omar Dhani dimaksudkan sebagai Dewan Jenderal, sebagaimana tercantum dalam Dokumen Gilchrist dengan sebutan our local army friends. Selain Omar Dhani yang terus mempersoalkan Dewan Jenderal, ternyata Subandrio ketika menyertai rombongan Presiden Sukarno menghadiri Konferensi Asia-Afrika II di Aljazair pada 5 Juli 1965 memberi keterangan kepada surat kabar Mesir Al-Ahram bahwa pemerintah Indonesia mempunyai bukti persekongkolan Amerika-Inggris terhadap negerinya.53
Selain itu di Kairo, Subandrio juga membagi-bagikan copy dokumen tersebut kepada para peserta konferensi. Dengan demikian, masalah Dokumen Gilchrist telah menyebar ke luar negeri.54
Setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 terjadi ternyata ada pihak yang mengaku bertanggung jawab sebagai penyusunnya, yaitu intel pada Atase Militer Cekoslowakia di Jakarta, yang kemudian menyeberang ke Amerika Serikat. Penyusunnya menyatakan tidak menyangka bahwa dokumen tersebut kemudian menimbulkan tragedi yang mengerikan dalam sejarah Indonesia.55
--------
50. Aristides Katoppo, op.cit., hlm. 43.
51. Rosihan Anwar, “ G30S/PKI, Gilchrist, dan CIA” dalam Tim Cidesindo, Membuka Lipatan Sejarah ; Menguak Fakta Gerakan PKI, Jakarta, Pustaka Cidesindo, 1999, hlm. 43-48.
52. Omar Dhani, Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran dan Tanganku: Pledoi Omar Dhani,Jakarta, PT Media Lintas Inti Nusantara, 2001, hlm. 41-42. Rosihan Anwar, Ibid.
53. Ibid.
54. Aristides Katoppo dkk., op.cit., hlm. 44.
55. Rosihan Anwar, loc. cit.
Sakitnya Bung Karno
Perkembangan kesehatan Presiden Sukarno sejak Juli 1965 cepat menurun. Aidit yang mengetahui kondisi kesehatan Bung Karno sejak Juli 1965 menurun drastis,secara sengaja mengundang sejumlah dokter dan ahli akupuntur dari Cina untuk memeriksa dan mengobati sakitnya Presiden. Tim Dokter Cina itu datang ke Indonesia dalam rombongan Menlu RRC, Chen Yi. D.N. Aidit sendiri kemudian mengadakan perjalanan ke luar negeri, yaitu ke Moskow dan Beijing untuk “berkonsultasi”. Pada 31 Juli 1965, Menlu Subandrio mengirim kawat melalui Dubes RI di Moskow, atas nama Presiden Sukarno memanggilnya pulang ke Jakarta. Pada 4 Agustus, Presiden Sukarno secara tiba-tiba muntah-muntah, dan pingsan. Meskipun dirahasiakan, tetapi Aidit yang berada di Beijing mendengar informasi penting itu. Diduga informasi itu berasal dari tim dokter RRC yang berada di Istana Merdeka. Subandrio menyatakan dokter-dokter Cina itu bukan dari RRC, melainkan dari Kebayoran Baru. Menurut pengecekan Men/Pangau Omar Dhani dari 2 ajudan wanita dari Wanita Udara (Wara), tidak benar bahwa Presiden sampai pingsan. Pada 5 Agustus, Aidit kembali ke Jakarta beserta 2 dokter ahli dari Cina. Menurut kesaksian Mangil, dokter RRC yang namanya dicatatnya yaitu Prof. Dr. Wu Chieh Ping (kepala/pimpinan), Prof. Dr. Pang Chie, Prof. Ny. Mau Hua, dan dibantu beberapa dokter ahli lainnya. Menurut Mangil, sakit Presiden Sukarno hanya beberapa hari, namun oleh dokternya ia dilarang menerima tamu, yang boleh masuk ke dalam kamar tidur Bung Karno hanya para dokter pribadi, keluarga, ajudan dan para perwira DKP yang bertugas.56
Dokter-dokter itu bergabung dengan rekan-rekan mereka yang lebih dahulu menangani kesehatan Presiden. Dr. Subandrio, dalam “Kesaksianku Tentang G30S”, menyatakan bahwa dokter yang dibawa oleh Aidit, bukan dokter dari RRC, melainkan dokter Cina dari Kebayoran Baru, Jakarta.57
Bahkan D.N. Aidit dua kali menjenguk Presiden Sukarno, yaitu pada 7 dan 8 Agustus 1965, kemudian ia bertemu dengan tim dokter Cina tersebut. Kesimpulan hasil diagnosis mereka kemudian dibawa ke rapat Politbiro CC PKI, ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, Presiden Sukarno akan makin memburuk dan akan meninggal. Kedua, bila presiden beruntung akan selamat, tetapi ia akan lumpuh. Sebaliknya, tim dokter Indonesia menyimpulkan bahwa sakitnya Bung Karno tidak separah itu. Ternyata D.N. Aidit lebih percaya kepada kesimpulan tim dokter Cina.58
Dr. Mahar Mardjono, dokter pribadi Bung Karno pernah menyampaikan laporan kepada Jenderal A.H. Nasution, bahwa kalau Aidit percaya tim dokter Indonesia,kejadiannya akan berbeda. Ternyata kesehatan Bung Karno pulih kembali, tetapi rencana Aidit untuk merebut kekuasaan tidak berubah. Perebutan kekuasaan tetap akan dilaksanakan, dan persiapan jalan terus. Persoalannya, mengapa tim dokter Cina menyimpulkan demikian? Apakah tim dokter Cina berhak mengatakan hasil diagnosis kepada pihak lain? Menurut Sugondo, dari Tim Pemeriksa Pusat (Teperpu) bahwa dalam sistem komunis pun tidak demikian, karenanya yang mengatakan itu pasti orang partai. Misalnya, tim dokter itu terdiri dari lima orang, salah seorang di antara mereka bukan dokter, yaitu orang partai yang berhak mengeluarkan hasil diagnosis tentang sakitnya Presiden Sukarno. Seorang dokter tidak akan berani berbicara ke luar, bila tidak diinstruksikan orang partai. Rumor atau ramalan bahwa orang akan meninggal atau lumpuh dalam waktu tertentu adalah sistem Cina komunis. Hal ini menjadi bukti bahwa Cina beritikad tidak baik, dan rumor itu kemudian berkembang. Berdasarkan diagnosis tim dokter Cina itu, Aidit buru-buru melakukan perebutan kekuasaan, meskipun sebenarnya PKI belum siap. Menurut pengakuan Sjam, Ketua Biro Khusus PKI, dan juga pengakuan D.N. Aidit sendiri, perebutan kekuasaan itu seharusnya baru akan dilakukan pada tahun 1970.
Sesuatu yang kemudian mengundang pertanyaan adalah kegiatan Chen Yi dan Dr. Subandrio, tatkala Menlu RRC itu berkunjung ke Indonesia. Marsma Tranggono, yang pernah menjadi ajudan Dr. Subandrio, menyatakan bahwa dalam suatu dialog antara Chen Yi dan Dr. Subandrio, yang didengar Tranggono lewat penerjemah ketika berjalan menuju ke mobil, Chen Yi berkata: ”Untuk Sukarno sudah saya siapkan tempat yang tenang di danau Angsa (RRC)”. Berarti bila kudeta PKI berhasil, nasibnya akan sama dengan pangeran Norodom Sihanouk, ketika ia digulingkan oleh Pol Pot, juga lari ke RRC, ke tempat yang telah dipersiapkan oleh Pemerintah Cina. Pengakuan Tranggono, mengungkap misteri peranan Cina dalam mendukung PKI untuk mendirikan Pemerintah komunis di Indonesia.59
---------
56. H. Mangil Martowidjojo, Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967,Jakarta,Grassindo, 2001, hlm. 374-375.
57. Subandrio, H., Kesaksianku tentang G30S,Jakarta, Forum Pendukung Reformasi Total, 2001, hlm. 14-15.
58. Atmadji Sumarkidjo, op.cit., hlm. 140-141.
59. Aristides Katoppo, op.cit., hlm. 46-48.
Masalah Pelatihan Sukarelawan dan Sukarelawati di Lubang Buaya
Suasana tahun 1965 dalam pentas politik nasional selain dipenuhi dengan jargon-jargon revolusioner, yang juga dimanfaatkan untuk menggelorakan konfrontasi dengan Malaysia. Istilah populernya waktu itu: “Ganyang Malaysia”. Untuk keperluan tersebut, pemerintah selain menggunakan angkatan bersenjata, juga menggerakkan sukarelawan dan sukarelawati. Untuk kepentingan tersebut masing-masing unsur ABRI, seperti AD, ALRI, dan AURI melakukan berbagai pelatihan atau kursus. Misalnya Kursus Kader Nasakom, Kursus Kader Revolusi dan pelatihan sukarelawan (sukwan) dan sukarelawati (sukwati). Sesudah mengikuti kursus kader revolusi yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat di Jakarta, Mayor Udara Soejono mengambil langkah melampaui batas wewenangnya sebagai komandan resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan (PPP). Soejono kemudian mengirimkan telegram rahasia (TR) kepada setiap Komandan Batalion (Danyon) PPP di Komando Regional Udara (Korud) dan Komandan Kompi (Danki) PPP di setiap pangkalan udara untuk menyiapkan bintara pelatih dan melaksanakan pelatihan sukarelawan dalam rangka Dwikora. Menurut Soejono pelatihan sudah harus selesai sebelum Oktober 1965, menjelang dilaksanakannya Konferensi Asia-Afrika II. Prioritas pelatihan diberikan kepada ormas buruh dan tani. Rencana itu merupakan prakarsa Soejono pribadi setelah mendengar pidato Men/Pangau di PAU Halim Perdanakusuma. Menurut Men/Pangau dapat membenarkan pangkalan udara dapat melatih rakyat di sekitarnya, sebagai tenaga bantuan dalam sistem pertahanan dan pengamanan pangkalan udara.
Dengan alasan meningkatkan kemampuan pertahanan pangkalan, Men/Pangau membenarkan pemberian pelatihan secara mental dan fisik kepada penduduk di sekitar pangkalan. Langkah ini dilaksanakan berdasarkan pengalaman Laksamana Udara Suryadarma, yang pada 1960-1961, mengikutsertakan penduduk sekitar dalam pelatihan pertahanan pangkalan. Dalam hal ini penduduk di sekitar pangkalan diharapkan mampu mencegah perembesan yang masuk ke pangkalan udara, jauh sebelum mereka mencapai pagar pangkalan. Men/Pangau berpendapat bahwa pangkalan udara tidak mungkin dipertahankan oleh pasukan AURI sendiri, tanpa peran serta penduduk sekitar. Apalagi kalau penduduk di sekitar pangkalan itu dilatih dan dipersenjatai, maka pertahanan dan pengamanan pangkalan udara akan makin terjamin.60 Rencana Mayor Soejono untuk menyelenggarakan pelatihan sukarelawan di setiap pangkalan udara ternyata gagal, karena dilarang oleh para panglima Korud dan komandan pangkalan maupun oleh komandan Koramil setempat. Larangan itu juga ditegaskan oleh Panglima Korud VI Jawa Barat merangkap komandan PAU Husein Sastranegara, Kolonel Udara Ashadi Tjahjadi. Akhirnya Mayor Udara Soejono melaksanakan rencana latihan sukwan-sukwati yang dipusatkan di kebun karet Desa Lubang Buaya, Kecamatan Pondok Gede, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Nama Desa Lubang Buaya tempat latihan sukwan-sukwati itu sering dirancukan dengan Lapangan Lubang Buaya di wilayah PAU Halim, yang juga sering digunakan sebagai tempat upacara AURI, bahkan juga HUT ABRI tahun 1961.Mulai Juli 1965 pelatihan sukarelawan-sukarelawati dilaksanakan Mayor Udara Soejono. Dalam laporannya kepada Men/Pangau, Mayor Udara Soejono mengatakan bahwa para peserta pelatihan diambil dari Front Nasional.61
Mereka berasal dari golongan nasional 5 orang, golongan agama yang diundang tidak seorang pun yang datang, dan golongan komunis sebanyak 2.000 peserta. Mengetahui laporan tersebut Men/Pangau terhenyak, selanjutnya ia meminta kepada Mayor Udara Soejono agar melakukan berbagai perubahan pelatihan. Antara lain dalam hal kurikulum, pembagian waktu, dan keseimbangan jumlah antar golongan yang mengikuti pelatihan.62
Selanjutnya Men/Pangau Omar Dhani menyatakan tidak bersedia mewisuda sukwan-sukwati tatkala Mayor Udara Soejono memintanya.Pelatihan di desa Lubang Buaya yang semula diselenggaraakan untuk sukarelawan-sukarelawati Dwikora, pada angkatan kedua, Agustus 1965, telah diubah oleh PKI menjadi Wahana Krida Revolusi (Hada Hanrev). Mereka yang dilatih terdiri dari ormas-ormas PKI, seperti serikat Buruh, Barisan Tani Indonesia (BTI), mahasiswa Respublica, Pemuda Rakyat (PR), kaum buruh-tani non partai, dan mereka yang bersimpati kepada PKI. Selama mengikuti latihan, seluruh siswa menggunakan nama samaran. Mayor Soejono sebagai komandan pelatihan menggunakan nama samaran Pak Djojo. Lama latihan bagi setiap gelombang antara satu minggu sampai 10 hari. Para siswa yang bernilai baik, mendapat tambahan pengetahuan dan pelatihan khusus di bidang intelijen, selama 4 hari.
Meskipun secara resmi pelatihan di Lubang Buaya dipimpin oleh Mayor Udara Soejono, ternyata dalam praktek kewenangannya ada di tangan petugas PKI. Mereka itu adalah Nico (Central Gerakan Mahasiswa Indonesia-CGMI), Djohar (Pemuda Rakyat-PR), Kasiman (Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia-SOBSI), Hartoyo (Barisan Tani Indonesia-BTI, dan Tjoegito serta Soemardi (Committee Central–CC PKI) bertindak sebagai pengajar.
Pada bulan Agustus 1965, bertempat di Rawabinong yang berjarak satu kilometer dari tempat latihan Lubang Buaya, diselenggarakan latihan khusus bagi 200 orang kader komunis yang dikirim dari CDB PKI Jawa Barat dan BTI. Pada bulan berikutnya, di tempat yang sama juga diselenggarakan pelatihan khusus bagi 26 orang kader tingkat pusat, termasuk Nico, Djohar dan Kasiman. Menurut “Bung So”, seorang aktivis (GMI yang sering melayani rapat-rapat CC PKI di Jakarta, latihan-latihan kemiliteran di daerah Halim juga dibicarakan dalam rapat partai.63
Latihan kemiliteran di Lubang Buaya kemudian menjadi persoalan di kalangan AURI, karena banyak yang melaporkan hal-hal negatif. Dengan demikian pada awal bulan September 1965, Komodor Udara Dewanto, Deputi Operasi Men/Pangau merangkap Direktur Intelejen memanggil Komodor Udara Ramli Sumardi, Panglima Komando Pertahanan Pangkalan Udara (KOPPAU), Mayor Udara Soejono, Komandan resimen PPP, Letkol Hamsana, Perwira Operasi Korud V Jaya; Letkol Udara Rakiman, perwira operasi KOPPAU dan perwira lain, untuk menghadiri rapat yang membahas soal latihan itu. Dilaporkan bahwa dalam latihan kemiliteran itu para peserta dilatih menembak, sedangkan yang lain hanya latihan baris-berbaris. Komodor Udara Dewanto memerintahkan, agar latihan kemiliteran di Desa Lubang Buaya segera ditutup, tetapi ternyata baru ditutup pada tanggal 26 September 1965. Pada penutupan terpampang spanduk besar yang berbunyi, “ Tunggu Apa Lagi”. Bunyi spanduk itu merupakan isyarat, bahwa PKI sudah siap tempur untuk memulai pemberontakan. Ketika Letkol Udara Farman, Kepala Pusat Penerangan Angkatan Udara menugaskan kameramen untuk membuat dokumentasi film tentang pelatihan di desa Lubang Buaya, mereka tidak diizinkan masuk ke kawasan pelatihan. Men/Pangau yang mendapat laporan tentang hal itu, merasa heran. Ia berkata kepada Komodor Dewanto, “ To, coba dilihat. Kok aneh, sama-sama AURI kok nggak boleh masuk”. Pada waktu Komodor Dewanto datang memeriksa ke tempat pelatihan di Lubang Buaya, ternyata latihan sudah selesai dan ditutup.
Dengan perubahan kebijaksanaan pelatihan ‘sukwan-sukwati’ menjadi Harda Hanrev, maka latihan yang diselenggarakan di Desa Lubang Buaya, apalagi para pelatihnya juga para tokoh komunis, semakin menjurus untuk kepentingan PKI, bukan melatih sukwan-sukwati, dan bukan untuk membantu pertahanan pangkalan. Hal itu sesuai dengan surat keputusan Nyono, anggota Politbiro CC PKI dan Ketua CDB PKI Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya pada tanggal 28 September 1965. Berdasarkan surat itu, maka organisasi massa PKI yang telah mengikuti latihan kemiliteran di desa Lubang Buaya, menjadi bagian dari kekuatan yang dilibatkan dalam rencana Gerakan 30 September 1965.64
Menjelang meletusnya Pemberontakan G30S, organisasi massa PKI yang telah dilatih di Desa Lubang Buaya dipanggil secara bergelombang. Pada tanggal 28 September 1965, jumlah yang datang mencapai 4 batalion atau sekitar 2.000 orang. Selanjutnya mereka dimasukkan dalam satuan-satuan dalam divisi Ampera, dan digabung dalam Pasukan Pasopati yang bertugas melakukan penculikan terhadap Jenderal A.H. Nasution, dan para jenderal lainnya. Pasukan Bimasakti yang diproyeksikan menguasai Ibukota Jakarta Raya; Pasukan Gatutkaca sebagai pasukan cadangan, ditempatkan di Lubang Buaya.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 Lubang Buaya dijadikan tempat pembantaian dan penguburan para jenderal di sebuah sumur tua di kompleks yang sebelumnya menjadi Posko Pelatihan sukwan-sukwati. Lokasi itu dapat dilacak berkat kesaksian Sukitman, seorang Agen Polisi yang ditangkap oleh regu penculik Jenderal Panjaitan. Masalah status Lubang Buaya yang dijadikan Posko latihan dan pembantaian para jenderal pada 1 Oktober 1965 pernah disanggah oleh pihak yang berwenang dari PAU Halim yang menyatakan bahwa lokasi tersebut berada di luar yurisdiksi PAU Halim.65
Sanggahan pihak PAU tersebut tidak sesuai dengan kesaksian Mayor CI Santosa dari RPKAD dan Mayor Bardi, ajudan Jenderal Yani. Mayor Subardi selaku pemimpin tim operasi ke Lubang Buaya, Sukitman menjadi pemandu, satu regu Yon Pomad Para, dua pilot Jenderal A. Yani, rombongan fotografer POM DAM/Jaya, serta Lettu Urip dari Ki Benhur RPKAD. Sesampainya di Lubang Buaya ternyata telah ada satu peleton PGT (Pasukan Gerak Tjepat-AU) sedang membongkar berbagai macam alat perkemahan. Mayor Subardi bersama-sama Lettu Urip dari Ki Benhur RPKAD menjumpai perwira PGT. Dalam dialog yang alot dan menegangkan perihal keberadaan peleton PGT di lokasi Lubang Buaya itu, Mayor Bardi menangkap bahwa perwira AU itu menyembunyikan misi yang sebenarnya. Mayor Bardi sulit mempercayai keterangan bahwa PGT ada di lokasi tersebut berdalih karena faktanya daerah itu (Lubang Buaya) memang wilayah milik AU.66
Bukti-bukti lain yang memperkuat adanya pelatihan Sukwan-Sukwati di Lubang Buaya ialah dengan adanya investigasi Mayor Bardi di sekitar lokasi itu, yang juga menemukan gua-gua atau lubang-lubang berisikan peti-peti peluru, pakaian-pakaian hijau, gundukan-gundukan batu, dan kawat-kawat berduri untuk latihan vuurdoop dan menembak. Di lereng kali dan petak-petak tegalan juga ditemukan sejumlah lubang galian. Tampaknya lubang-lubang itu sengaja dibuat untuk menyesatkan situasi dan kondisi sebenarnya.67
Ternyata para aktivis komunis yang mendapat pelatihan di Lubang Buaya tidak hanya berasal dari Jawa, melainkan juga dari luar jawa. Misalnya, para buruh perkebunan di Medan, Sumatra Utara. Menurut kesaksian Kemal Idris yang waktu itu (1965) menjabat Pangkopur di Sumatra Utara, banyak anggota dewan perusahaan yang berasal dari buruh sayap PKI saat terjadinya G30S, baru saja kembali dari pelatihan di Lubang Buaya, Jakarta.68
----------
60. Sebagai gambaran pada akhir 1965 di PAU Halim Perdanakusuma hanya ada 2 kompi
PGT Yon 2 yang bermarkas di PAU Halim, dan satu Detasemen PPP Resimen PPP yang bermarkas di Kramat Jati Pasar Rebo Jakarta Tmur. Tiga Kompi PGT di Yon 2 masing-masing ditempatkan di PAU Husein Sastranegara, Bandung, PAU Kalijati, dan PAU Jatiwangi. Batalion PGT lainnya ada di PAU Iswahyudi, Madiun, PAU Abdul Rahman Saleh, Malang, di Irian serta tugas-tugas operasi Dwikora. Kompi PGT di PAU Halim ditugaskan di pos-pos penjagaan objek-objek vital pangkalan. Detasemen PPP dengan senjata Trippel Barrer Oerlikon 20 mm mendapat tugas di pos-pos penjagaan anti serangan serangan udara. Sebagian lainnya bertugas menjaga rumah-rumah dinas pimpinan AURI. Untuk meningkatkan kesiagaan dan kemungkinan serangan udara musuh di lingkungan PAU Halim juga telah diadakan latihan kemiliteran khusus bagi pegawai sipil dan istri AURI (PIA Ardhya Gharini).
61. Keterangan ini bersesuaian dengan keterangan Sulami, Wakil II Sekjen DPP Gerwani (1965). Lihat Sulami, Perempuan-perempuan dan Penjara,Jakarta, Cipta Lestari, 1999, hlm. 2-3.
62. Aristides Katoppo dkk., op.cit., hlm. 29-36.
63. J.B. Soedarmanto, Tengara Orde Baru Kisah Harry Tjan Silalahi, Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 2004, hlm. 106
64. Ibid., hlm. 34-35.
65. Ibid, hlm. lampiran Peta Situasi Halim tahun 1965.
66. “Bunga Kehormatan untuk 7 Kematian” dalam Keluarga Pahlawan Revolusi, Kunang-kunang Kebenaran di Langit Malam, Tuturan Anak-anak Pahlawan Revolusi Keluarga Korban dan saksi pada Peristiwa Dini Hari 1 Oktober 1965,Jakarta: Keluarga Pahlawan Revolusi, 2002, hlm. 119-172. Tentang sanggahan bahwa Lubang Buaya tempat pembantaian dan summer tempat korban G30S bukan wilayah PAU Halim, lihat Hermawan Sulistyo, Palu Arit ..., op.cit., hlm. 1, catatan kaki 1.
67. Keluarga Pahlawan Revolusi, Kunang-kunang ..., ibid., hlm. 146.
68. Rosihan Anwar, Kemal Idris ..., op.cit., hlm. 176.
Komentar
Posting Komentar