Surabaya tahun 1945
“Saya hanyalah bagian dari sejarah perjuangan tanah air. Itu pun cuma di Jawa Timur, khususnya di Surabaya. Sebetulnya pada “Peristiwa Surabaya” ada tokoh yang lebih hebat tetapi di masa kini tidak banyak yang kenal. Namanya Moehammad Jasin, orang Sulawesi Selatan. Jika beliau tidak ada, Surabaya tidak mungkin seperti sekarang. Beliau adalah Komandan Pasukan Polisi Istimewa. Kalau tugas Bung Tomo adalah “memanas-manasi rakyat”, Pak Jasin ini memimpin pasukan tempur. Kesatuannya boleh dibilang kecil, cuma beberapa ratus orang saja. Itu sebabnya mereka bergabung dengan rakyat. Kalau rakyat sedang bergerak, di tengah-tengah selalu ada truk atau panser milik Pasukan Polisi Istimewa lengkap dengan senjata mesin. Melihat rakyat bak gelombang yang tak henti-henti itu, Jepang yang waktu itu sudah kalah dari Pasukan Sekutu menyerah kepada RI dan intinya adalah Pak Jasin.
Demikian pula kala Inggris (Sekutu) mendarat di Surabaya. Bila tidak ada Pak Jasin, arek-arek Suroboyo tidak bisa segalak itu. Pasukan Inggris datang pertama kali dengan satu brigade pada 28 Oktober 1945. Namun, setelah mereka terdesak, secara bertahap mendarat lagi empat brigade”
(JENDERAL TNI MUHAMMAD WAHYU SUDARTO– PELAKU 10 NOVEMBER 1945)
Pasukan Polisi Istimewa yang amat di segani
Revolusi yang menjadi alat dalam mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia bukan hanya merupakan suatu kisah sentral dalam sejarah Indonesia tetapi juga merupakan unsur kuat dalam persepsi bangsa Indonesia sendiri. Baik pihak Belanda maupun pihak revolusioner Indonesia menganggap Revolusi Indonesia sebagai satu zaman yang merupakan kelanjutan dari masa lampau. Tujuan Belanda adalah menghancurkan sebuah negara yang dipimpin oleh orang-orang yang bekerja sama dengan pemerintah militer Jepang. Berita ini sengaja mereka sebarkan untuk memulihkan kembali rezim kolonial yang telah dibangun bertahun-tahun bahkan berabad-abad sebelum Perang Dunia I. Oleh karena itu, jauh sebelum berakhirnya perang, Dr. Huberthus J. van Mook telah berupaya dan berhasil mencapai kesepakatan dengan Jenderal Mc. Arthur, komandan pasukan Sekutu untuk wilayah Pasifik Barat Daya (Southwest Pacific Area-SWPA) pada Desember 1944. Kesepakatan yang dikenal dengan sebutan Civil Affairs Agreement(CAA) itu menetapkan pendudukan militer Hindia Belanda kembali di Indonesia seusai perang. Dalam pelaksanaan pemerintah sipil, pihak Sekutu akan didampingi oleh wakil-wakil dari Netherlands Indies Civil Affairs(NICA) sebagai penasihat sambil menunggu perintah dari pemerintah Belanda kepada pemerintah Hindia Belanda.
Bagi para pemimpin revolusi Indonesia, tujuan utamanya adalah melengkapi dan menyempurnakan proses penyatuan dan kebangkitan nasional yang telah dirintis sejak empat dasawarsa lalu. Mereka yakin, takdir dan kebenaran ada di pihak mereka sehingga mereka berjuang tanpa pamrih dan mengorbankan segala yang dimilikinya untuk mencapai pembentukan satu negara yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. Karena itu, ketika diketahui perang telah berakhir, pemerintah Jepang telah menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945, para pemimpin pergerakan kebangsaan Indo nesia terdorong untuk segera memproklamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Akhirnya, pada 17 Agustus 1945 Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta atas nama seluruh bangsa Indonesia menyatakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Perjuangan masing-masing pihak untuk mencapai tujuan itu telah mendorong saya sebagai salah seorang warga dari negara baru yang telah dilahirkan itu untuk ikut mengorganisasikan rakyat agar turut berjuang demi pencapaian tujuan bangsa. Kebanggaan dan kekaguman pada jiwa dan semangat Ir. Soekarno yang menggelora pada diri saya sejak terlibat dalam kegiatan berorganisasi di Makassar dan pengalaman-pengalaman pahit yang saya alami selama berdinas di kepolisian Belanda dan Jepang di Surabaya telah membakar semangat perjuangan dan jiwa kepatriotan untuk membela negara demi tetap terwujudnya negara Republik Indonesia yang telah diproklamirkan itu.
Keterlibatan saya itu mendapat pengakuan yang dikukuhkan dalam sejumlah pernyataan dan pemberitaan yang diberikan oleh para bekas pejuang kemerdekaan Indonesia, demikian pula oleh pihak Belanda. Dalam penerbitan sumber-sumber resmi pemerintah Belanda yang dikumpulkan oleh Van der Wall, terdapat pernyataan resmi dari Menteri Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan (Ministerie van Onderwijs en Wetenschappen) pemerintah Belanda tentang kehebatan pasukan Polisi Istimewa yang terlibat dalam arena perjuangan di Surabaya. Ia mengakuinya dengan menyatakan bahwa pasukan Polisi Istimewa yang berada di bawah pimpinan M. Jasin, bekas Polisi Istimewa pada masa pendudukan militer Jepang, tidak lain adalah satu kekuatan tempur militer. Sebutan “Polisi Istimewa” ini lebih populer di kalangan masyarakat daripada nama sesungguhnya dalam bahasa Jepang, yaitu Tokubetsu Keisatsu Tai (Tokubetsu = istimewa,Keisatsu = polisi, Tai = kesatuan, jadi Kesatuan Polisi Istimewa).
Bung Tomo, pemimpin Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) yang juga salah satu pejuang terkemuka dalam peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, menyatakan:
“Pembela Tanah Air (PETA) yang diharapkan memberi dukungan pada perjuangan rakyat telah dilucuti senjatanya oleh tentara Jepang. Untung ketika itu M. Jasin tampil memimpin Pasukan Polisi Istimewa yang berbobot tempur militer untuk mendukung dan mempelopori perjuangan di Surabaya.”
Pernyataan itu menunjukkan bahwa jika pertempuran itu berlangsung tanpa dukungan dan kepeloporan Pasukan Polisi Istimewa, niscaya patriotisme perjuangan rakyat di Surabaya tidak akan seheroik apa yang telah tercatat dalam sejarah. Hal itu juga dikuatkan dalam pidato peresmian Monumen Perjuangan Polisi Republik Indonesia di Surabaya yang disampaikan oleh Pangab RI, Jenderal (TNI) Tri Sutrisno pada 2 Oktober 1988, “Kekuatan Pasukan Polisi Istimewa pimpinan M. Jasin harus dikaji oleh seluruh bangsa Indonesia.” Pernyataan senada diberikan juga oleh seorang tokoh penting peristiwa 10 November 1945, DR.H. Roeslan Abdulgani.
“M. Jasin dan Polisi Istimewa yang dipimpinnya adalah modal pertama perjuangan di Surabaya.” Demikian pula pernyataan Jenderal (TNI) Sudarto, seorang tokoh yang terlibat dalam peristiwa heroik itu, “Tanpa peran M. Jasin dan Pasukan Polisi Istimewa tidak akan ada peristiwa 10 November.” Keterlibatan saya sebagai pemimpin pasukan Polisi Istimewa dalam peristiwa heroik itu jelas tidak diingkari oleh semua tokoh pejuang yang terlibat. Bahkan seorang Jenderal TNI AD, Abdul Kadir Besar SH, juga menyatakan,“Saya berani mempertanggungjawab-kan pemberian kedudukan bagi Moehammad Jasin sebagai Singa Pejuang Republik Indonesia berdasarkan jasa jasanya.”
Pernyataan-pernyataan itu menjadi dorongan yang kuat bagi saya untuk mengungkapkan berbagai kejadian yang nyata-nyata saya alami. Deskripsi ini dipersembahkan kepada generasi muda untuk menyimak makna di balik peristiwa sejarah itu sambil merenungkan pernyataan-pernyataan para pejuang kemerdekaan itu. Kesan dan pesan dari masa lampau saya ini diharapkan dapat membangun struktur kesadaran kebangsaan generasi penerus untuk tetap mempertahankan persatuan dan kesatuan dalam negara Republik Indonesia.
Pengikraran Polisi sebagai Polisi Republik Indonesia
Pada awal 1943, setelah satu tahun Jepang menduduki Hindia Belanda, pihak militer Jepang mulai giat memobilisasi rakyat agar dapat menyediakan tenaga-tenaga rakyat untuk mempertahankan kedudukannya dari ancaman Sekutu. Pada April 1943, pihak militer Jepang menghimpun dan melatih para pemuda yang berusia 14-25 tahun untuk menjadi korps pemuda yang bersifat semi-militer yang dikenal dengan sebutan Seinendan. Korps ini memiliki cabang di desa-desa besar. Selain itu, mereka yang berusia 25-35 tahun diorganisasi pada korps kewaspadaan (Keihoodan) yang berfungsi dalam organisasi polisi, kebakaran, dan serangan udara pembantu prajurit (Heiho)sebagai bagian dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Pemuda-pemuda Heiho ini mendapat latihan dasar kemiliteran yang sama dengan tentara Jepang.
Selain itu masih ada lagi satu organisasi pemuda yang dibentuk oleh pihak balatentara Jepang pada Oktober 1943 dan memiliki anggota terbanyak di samping Heiho, yaitu Pembela Tanah Air (PETA). Jumlah anggota dua organisasi ini diperkirakan mencapai 82.000 orang dengan perincian: jumlah anggota Heiho sebanyak 25.000 orang sementara PETA sebanyak 57.000 orang. PETA atau yang dikenal oleh pihak Jepang dengan sebutan Giyugun (prajurit sukarela) diwajibkan mengikuti pendidikan militer meskipun hanya dipersiapkan sebagai pasukan gerilya pembantu dalam melawan kemungkinan penyerbuan tentara Sekutu. Korps perwira dari PETA direkrut dari para pejabat, guru, kyai, dan bekas KNIL. Oleh karena itu, organisasi ini dikenal sangat disiplin dan anggota-anggotanya terus diindoktrinasi dengan ide-ide nasionalisme Indonesia.
Pada tahun yang sama, pihak pemerintah militer Jepang mendirikan satu lembaga pendidikan militer yang mendidik pemuda In donesia, tetapi hampir terlupakan dalam penulisan sejarah Indonesia, yaitu Sekolah Polisi. Sekolah ini didirikan hampir di semua ibu kota karesidenan, termasuk karesidenan Surabaya. Saya termasuk salah seorang yang bertugas sebagai instruktur pada Sekolah Polisi Surabaya. Materi pendidikan di sekolah ini tidak hanya menyangkut pengetahuan dan latihan kepolisian, tetapi yang terpenting adalah pendidikan dan latihan militer seperti yang saya pelajari ketika mengikuti pendidikan dan latihan militer lanjutan sebanyak dua kali di Sukabumi. Lulusan dari pendidikan ini sebagian ditempatkan di Dinas Kepolisian Umum dan sebagian lainnya di Korps Kepolisian Khusus yang disebut Tokubetsu Keisatsu Tai (Kesatuan Polisi Istimewa). Sebagai instruktur senior di sekolah polisi Surabaya, saya juga mengemban tugas sebagai Instruktur Polisi Korps Kepolisian untuk wilayah kota Surabaya.
Selain itu, saya dan sejumlah instruktur Jepang lain juga terlibat sebagai instruktur dalam pelatihan yang diberikan kepada pemuda Indonesia yang menjadi anggota Seinendan dan Keibodan. Karena keterlibatan saya, di satu sisi, saya banyak dikenal oleh pemuda Indonesia yang mendapat latihan kemiliteran, dan di sisi lain juga berkesempatan menjalin hubungan dengan pemuda nasionalis progresif yang ikut dalam organisasi itu. Pada dasarnya, sikap progresif itu bertujuan untuk segera memperjuangkan kemerdekaan seperti yang selalu diperdengarkan oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan, tetapi dorongan itu teredam oleh janji-janji kemerdekaan yang selalu ditawarkan oleh pihak Jepang sejak awal 1943.
Meskipun pihak Jepang selalu memperdengarkan janji kemerdekaan, tampak bahwa semangat militansi para pemuda yang bergabung dalam organisasi PETA di Blitar (Jawa Timur) tidak berhasil dibendung. Berita kekalahan Jepang di berbagai front terus mengobarkan semangat perlawanan mereka, apalagi ketika diketahui bahwa tentara Sekutu telah menyerbu masuk ke Filipina pada Januari 1945. Keadaan itu membakar semangat mereka sehingga pada Februari 1945, detasemen PETA di Blitar yang dipimpin oleh Soepriadi menyerang gudang persenjataan Jepang, membunuh sejumlah tentara Jepang, dan ingin merampas senjata tetapi berhasil digagalkan. Peristiwa ini menyebabkan sekitar 68 orang anggota PETA diajukan ke depan mahkamah militer (delapan orang dihukum mati) dan empat orang pejabat senior PETA dipaksa meletakkan jabatan.
Aksi pemberontakan serupa yang dilakukan baik di Indonesia maupun di daerah pendudukan Jepang lainnya, seperti Burma, mendasari sikap pemerintah militer Jepang untuk melucuti persenjataan PETA dan organisasi militer lainnya. Organisasi itu dibentuk ketika pihak Sekutu memerintahkan tentara Jepang bertanggung jawab dan menjaga ketenteraman di daerah pendudukannya hingga tentara Sekutu tiba untuk mengambil alih kedudukannya. Pelucutan senjata yang mulai dilakukan pada 15 Agustus 1945 mengundang berbagai pertanyaan di antara para pemuda Indonesia karena mereka tahu tengah dipersiapkan untuk membantu Jepang menghadapi Sekutu. Sebagian pemuda militan yang terlibat dalam organisasi politik nasional ketika itu mengetahui bahwa tindakan itu berkaitan dengan kekalahan Jepang setelah Sekutu menjatuhkan bom atom di Hiroshima (6 Agustus 1945) dan Nagasaki (9 Agustus 1945). Mereka mendesak pimpinan bangsa Indonesia untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia sebelum pihak Sekutu tiba untuk mengambil alih kedudukan tentara pendudukan Jepang.
Para pemuda segera menjemput Soekarno dan Hatta pada malam hari dan membawa mereka ke garnisun PETA di Rengas-denglok. Di tempat ini, para pemuda mendesak agar kedua tokoh itu bersedia segera memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia. Namun, kemudian atas jaminan Laksamana Madya Maeda Tadashi, dua pimpinan itu kembali ke Batavia (sekarang Jakarta) dan selanjutnya merancang pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan. Pada 17 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta atas nama seluruh bangsa Indonesia membacakan teks proklamasi yang isinya memuat pernyataan kemerdekaan Indonesia. Setelah itu, dilakukan pengibaran bendera merah putih diiringi lagu Indonesia Raya.
Saya baru mengetahui berita tentang Proklamasi Kemerdekaan itu sehari kemudian dari salah seorang bawahan saya, yaitu agen polisi III, Nainggolan. la juga mengetahui berita itu dari kantor Domei pada 18 Agustus 1945. Berita itu mendorongnya menemui rekannya, Soegito, untuk bersama-sama mengganti bendera Jepang di markas Tokubetsu Keisatsu Tai dengan bendera merah putih pada Minggu pagi, 19 Agustus 1945. Markas kesatuan ini menempati gedung sekolah yang terletak di Coen Boulevard (sekarang Jalan Polisi Istimewa), Surabaya. Ketika pada hari itu masuk kantor dan melihat bendera Jepang tidak berkibar lagi digantikan oleh bendera merah putih, pimpinan Jepang dari markas kesatuan itu menjadi marah dan dengan tegas memerintahkan anak buahnya memanggil para pengibar bendera merah putih. Dengan geram, ia menghardik serta menempeleng dan memerintahkan mereka untuk menurunkan bendera merah putih dan mengembalikan bendera Jepang. Perintah itu dilaksanakan sehingga bendera Jepang kembali berkibar.
Tampaknya perlakuan tersebut membakar semangat juang mereka sehingga setelah mendapat sanksi dan pimpinan Jepang itu kembali ke ruang kerjanya, mereka berdua (Nainggolan dan Soegito) berlari kembali ke tiang bendera dan secara spontan didukung oleh anggota Tokubetsu Keisatsu Tai lain yang berkebangsaan Indonesia mengibarkan bendera merah putih kembali. Tindakan itu terlihat pula oleh para pemuda di sekitar markas yang kemudian segera datang membantu. Setelah itu, tiang bendera dan sekitarnya dilindungi oleh lilitan kawat berduri untuk menghalangi pihak Jepang menurunkan bendera itu. Peristiwa tersebut mendapat dukungan kuat dari masyarakat, khususnya pemuda-pemudi bangsa. Di mana-mana di wilayah karesidenan Surabaya, mulai tampak kibaran bendera kebangsaan kita. Peristiwa itu juga mendorong para pemuda di Surabaya yang menamakan diri” pemuda 40.000”(Delegasi 40.000 Dinoyo) mengirim satu delegasi yang terdiri dari 10 orang di bawah pimpinan Abdurrachman (mantan shyo-dantyo/komandan kompi PETA (ayah KAPOLRI Roesman Hadi) untuk menemui saya. Mereka mengetahui dan mengenal saya sebagai instruktur di pendidikan Polisi Istimewa Surabaya dan juga sering ikut melatih pemuda-pemuda yang mengikuti organisasi militer yang dibentuk Jepang. Salah seorang anggota delegasi Dinoyo meminta saya agar persenjataan yang dimiliki oleh Polisi Istimewa dipertahankan dan tidak sampai dilucuti Jepang. Permintaan itu didasarkan atas kenyataan bahwa persenjataan yang dimiliki kesatuan ini belum dilucuti, sementara persenjataan semua organisasi militer yang dibentuk Jepang telah dilucuti. Permintaan itu saya yakini sebagai suatu panggilan untuk memperjuangkan kemerdekaan bersama pemuda-pemuda pejuang dari Surabaya. Selain itu, para pemuda yang sebelumnya memandang markas tempat saya bekerja sebagai tempat mengintegrasikan pemuda pejuang yang militan telah mengembangkan kepeloporan perjuangan dan mengandalkan kekuatan bangsa pada kesatuan yang berada dalarn kewenangan saya.
Pada pukul 13.00 siang 20 Agustus 1945, kader polisi Indonesia yang ada di markas ini mengadakan pertemuan yang dihadiri oleh pembantu Inspektur Klas I Soetarjo, Komandan Polisi Surip, Komandan Polisi Abidin, Komandan Polisi Musa, dan saya sendiri sebagai Inspektur Polisi Klas I. Sebagai pemrakarsa, saya membuka pertemuan khusus ini dengan terlebih dulu mengungkap peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Berdasarkan kenyataan itu, mereka semua saya undang untuk mencapai kesepakatan sikap dan perbuatan guna mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan kita. Jika tidak segera diambil tindakan, dalam waktu singkat pihak Jepang akan melucuti persenjataan yang kita miliki dan mengembalikan kami ke masyarakat seperti halnya yang dilakukan terhadap PETA. Sekarang, berdasarkan permintaan para pemuda yang menamakan diri “pemuda 40,000” kami diharapkan menjadi pelopor dan penentu perjuangan mereka. Setelah itu, peserta diberi kesempatan untuk mengajukan pendapat dan saran untuk menyusun rencana membela nusa dan bangsa.
Pada kesempatan itu, Komandan Musa mengajukan pertanyaan menyangkut persiapan yang harus dilakukan untuk menghadapi kemungkinan pelucutan senjata oleh pihak Jepang. Sementara itu, pembantu Inspektur Polisi Soetarjo menginformasikan bahwa semua persenjataan berat dari kesatuan sudah dimasukkan ke gudang senjata. Apa yang harus kami perbuat sementara Surabaya masih berada dalam kekuasaan Jepang? Sebaiknya kami menunggu instruksi pemerintah RI. Ketika Soetarjo memberikan keterangan itu, terpikir oleh saya bahwa rencana Jepang untuk melucuti persenjataan dari anggota dan perwira polisi Tokubetsu Keisatsu Tai akan segera dilakukan. Oleh karena itu, saya berkata bahwa kami harus segera bertindak dan menanggung resikonya. Orang-orang Jepang dan pimpinan markas kami tahan, sedangkan hubungan telepon ke luar kami putus. Setelah itu, kami membongkar gudang senjata dan mengeluarkan semua perbekalan perang dan amunisi, termasuk mobil berlapis baja dan truk. Setelah menguasai seluruhnya, kami menjaganya dengan ketat sambil menjalankan tugas pengamanan dan menyiarkan kepada penduduk bahwa negara Indonesia sudah merdeka dan telah diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, serta bahwa pasukan kami mendukung proklamasi kemerdekaan tersebut dan telah menjadi milik Republik Indonesia.
Soetarjo tampak masih bimbang sehingga ia menyatakan bahwa risikonya berat, yakni bahwa kami pasti akan ditindak oleh Kenpetai. Menurut saya, itu adalah risiko dan kami harus berani menghadapinya dan mudah-mudahan dapat mengatasinya. Ingat, kata saya, Jepang sudah kalah perang dan hal ini menurunkan semangat juang mereka. Komandan Musa langsung menyambut pernyataan saya dengan mengatakan, saya mendukung pendirian Pak Jasin. Kita jangan kehilangan waktu. Setelah mendengar pernyataan itu, saya langsung bertanya kepada Abidin dan Surip tentang sikap mereka. Komentar mereka singkat, kami berdiri di belakang Pak Jasin. Sedangkan Soetarjo menjawab, terserahlah, asal kita hati-hati.
Dalam pertemuan ini juga dibicarakan soal organisasi pelaksanaan di mana timbul ide untuk membentuk wadah yang mempersatukan semua anggota polisi berkebangsaan Indonesia agar tidak timbul pertentangan dan kecurigaan. Akhirnya, dicapai kesepakatan untuk mengikrarkan wadah yang disebut Polisi Republik Indonesia serta merumuskan teks proklamasi berdirinya wadah kesatuan itu. Tujuannya adalah mendorong anggota polisi lain untuk memperkuat wadah ini demi persatuan dalam menghadapi tantangan pihak Jepang serta membersihkan noda-noda yang melekat sebagai polisi bekas alat kolonial.
Hasil pertemuan adalah:
1. Memutuskan semua jaringan telepon keluar
2. Menangkap dan menawan para pimpinan Tokubetsu Keisatsu Tai yang berkebangsaan Jepang
3. Membongkar dan mengambil alih gudang senjata Tokubetsu Keisatsu Tai yang terletak di belakang markas dan mempersenjatai pasukan pada malam itu juga dengan senjata-senjata berat
4. Mengikrarkan wadah Polisi Republik Indonesia (PRI) dan memproklamirkannya pada esok paginya dalam apel yang dihadiri oleh semua anggota dan kader Kesatuan Polisi Istimewa
5. Menetapkan Inspektur Polisi Moehammad Jasin untuk mengikrarkan berdirinya Polisi Republik Indonesia
6. Menyebarluaskan berita Proklamasi Kemerdekaan kepada masyarakat dan mengobarkan semangat para pemuda untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan.
Komandan Polisi Surip dibantu Komandan Polisi Musa dan teman-teman mereka bertugas melaksanakan pembongkaran gudang senjata. Langkah pertama yang dilakukan adalah memutus semua jaringan hubungan telepon ke luar. Setelah itu, mulai beraksi menahan para pimpinan Jepang. Kepala Markas Polisi Cuma San dipaksa masuk ke ruangan yang telah dipersiapkan sebagai ruang tawanan bagi perwira polisi Jepang; kemudian menyusul dua orang pelatih senior, yaitu Honda dan Kyoke, beserta polisi Jepang lainnya. Tindakan itu tidak mendapatkan perlawanan dari pihak polisi Jepang. Sesungguhnya mereka telah menyadari bahwa mereka sudah tidak mampu lagi melakukan perlawanan karena kebanyakan anggota Kesatuan Polisi Istimewa ini adalah orang Indonesia (sekitar 250 orang) dan bahwa pihak pemerintahnya telah menyatakan menyerah kalah kepada Sekutu. Tindakan orang-orang Indonesia tentu berkaitan erat dengan Proklamasi Kemerdekaan yang telah dinyatakan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945. Setelah itu, mereka membongkar gudang senjata yang terletak di belakang markas Polisi Istimewa itu. Semua kendaraan, baik yang berlapis baja maupun truk, ditulisi: “Poelisi Repoeblik Indonesia” dan dipasangi bendera merah putih. Semua aksi ini berlangsung dengan tertib tanpa hambatan. Esok harinya pada pukul 07.00, Selasa 21 Agustus 1945, semua anggota Kesatuan Polisi Istimewa yang berjumlah sekitar 250 orang berkumpul mengikuti apel di halaman depan markas. Bendera merah putih yang telah dikibarkan masih tetap berkibar sehingga hari itu tidak dilakukan pengibaran ulang. Setelah komandan pasukan melaporkan kesiapan para pasukan untuk mendengarkan proklamasi, dengan meyakini kepatriotan kesatuan ini serta diiringi doa dalam hati memohon pertolongan dan perlindungan Allah, saya membacakan teks proklamasi yang telah dipersiapkan pada malam harinya.
Seusai membacakan proklamasi itu, saya meminta semua anggota polisi melakukan pawai siaga untuk menunjukkan kekuatan dan kesiapan mengatasi reaksi pihak Jepang. Saya menegaskan bahwa bersama rakyat dan pemuda pasukan polisi mampu berjuang mempertahankan kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pada hari itu juga, pukul 08.00, pasukan Polisi Istimewa yang berbobot tempur militer dan telah berubah nama menjadi Polisi Republik Indonesia keluar dengan menggunakan kendaraan lapis baja dan truk yang telah dipasangi dengan bendera merah putih ke Jalan Tunjungan, Surabaya. Pasukan ini menunjukkan diri sebagai kekuatan milik rakyat Republik Indo nesia serta bersikap patriotik terhadap Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Yel-yel “Merdeka!” dan “Tetap Merdeka!” terus dipekikkan oleh pasukan Polisi Republik Indonesia. Mula-mula masyarakat ragu untuk membalas yel-yel itu. Namun, sikap patriotik Polisi Republik Indonesia membuat mereka menjadi berani dan membalas pekikan itu dengan yel-yel yang sama secara beramai-ramai. PRI juga mengumumkan berita Proklamasi Indonesia yang telah diucapkan pada 17 Agustus 1945 serta menyebarkan lembaran teks Proklamasi Polisi Republik Indonesia dengan menempelkannya di sepanjang tembok di Jalan Tunjungan. Keesokannya, 22 Agustus 1945, Kempetai menyebarkan selebaran yang berisi ancaman hukuman terhadap pelanggar keamanan. Namun, hal ini tidak dihiraukan lagi oleh para pejuang.
Catatan:
Jika mengenal sejarah, orang yang berjalan melintasi Jalan Raya Darmo di Surabaya di mana Monumen Perjuangan Polisi Republik Indonesia berdiri menjulang tinggi tentu tergerak hatinya untuk berhenti dan menyaksikan monumen tersebut. Kekuatan historis yang terkandung dalam monumen itu mengingatkan bahwa kemerdekaan Bangsa Indonesia telah diselamatkan melalui perjuangan pada 1945 dan saat ini secara mutlak telah dimiliki dan dinikmati oleh seluruh bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah melalui Pangab RI memutuskan untuk meresmikan monumen historis ini di hadapan empat angkatan ABRI: Hadir pula para tokoh pelaku 10 November 1945, eks TRIP yang tampak bangga pada acara peresmian pada 2 Oktober 1988 itu. Monumen Perjuangan POLRI yang berdiri megah sepanjang masa itu mampu mewakili rasa bangga para pahlawan bangsa yang telah gugur dalam mempertahankan kemerdekaan negara karena fakta mengatakan bahwa kemerdekaan yang kini kita nikmati adalah hasil perjuangan dan pengorbanan mereka.
Mempersenjatai rakyat dengan senjata ringan dan berat hasil rampasan dari kesatuan tentara Jepang tentu akan menimbulkan berbagai kemungkinan konsekuensi. Setiap orang di medan juang praktis memiliki senjata api tanpa dapat dikontrol. Hal ini membuat revolusi fisik berpeluang berubah menjadi revolusi teror, aksi culik menculik, bantai membantai, dan saling bunuh. Namun, hal ini telah lebih diantisipasi oleh pasukan polisi sebagai pencetus revolusi fisik itu. Polisi Republik Indonesia mengambil langkah pencegahan dan menindak pelaku revolusi yang melakukan perbuatan teror. Dalam situasi revolusi, hukum revolusilah yang berlaku. Mereka yang dianggap atau dicurigai sebagai penghalang tentu harus ditindak, bahkan dengan kekuatan senjata. Suatu kali markas pasukan Polisi Republik Indonesia pernah menerima informasi bahwa di markas Pemuda Republik Indonesia pimpinan Soemarsono terjadi tindakan teror terhadap banyak orang yang ditahan akibat fitnah oleh anggota organisasi intel PRI sendiri. Setelah diselidiki kebenarannya, pimpinan Pasukan Polisi Istimewa memutuskan untuk menyerbu markas PRI di Jl. Pemuda, Surabaya dan melucuti senjatanya. Namun, tindakan ini dibatalkan karena salah seorang anggota Kepolisian Negara, fungsionaris dari Intel PRI, menyatakan kesanggupannya untuk menyampaikan peringatan pimpinan Polisi Istimewa. Ia bertanggung jawab bahwa tidak akan terjadi tindakan teror yang dapat menggagalkan tujuan revolusi. Bung Tomo, pemimpin Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia, mengakui bahwa tanpa peran pasukan Polisi Istimewa ia tidak akan dapat menjalankan perannya dalam revolusi fisik itu. Juga dinyatakan oleh Jenderal TNI/AD Moehamad Wahyu Soedarto, mantan komandan Pertempuran Tentara Pelajar (TRIP), bahwa tanpa peran pasukan Polisi Istimewa tidak akan ada aksi 10 November 1945. Hal tersebut juga berlaku bagi teroris Sabaruddin yang kemudian menjadi komandan polisi Tentara Keamanan Rakyat sehingga ia tidak leluasa melakukan tindakan teror di arena revolusi fisik karena terhambat oleh tindakan preventif pasukan Polisi Istimewa atau Polisi Republik Indonesia. Revolusi fisik yang terjadi di Surabaya telah berjalan sesuai dengan misinya. Meskipun teror tetap ada, hal itu tidak mengurangi arti perjuangan itu sendiri.
-----------
Sumber:
MEMOAR JASIN
SANG POLISI PEJUANG
MELURUSKAN SEJARAH KEPOLISIAN INDONESIA
Komentar
Posting Komentar