Langsung ke konten utama

Tentang Gestapu: Sebuah Usaha Awal untuk Mengerti


Sepanjang masa berkuasanya rezim Orde Baru, pemerintah ingin kita sepakat dengannya bahwa peristiwa G30S itu adalah hasil karya PKI. Tapi betulkah demikian yang sebenarnya ? Betulkah hanya PKI yang berada di balik G30S ? Ketika peristiwa itu terjadi, saya berumur 22 tahun, mahasiswa, dekat kepada golongan Manifes Kebudayaan yang anti komunis, dan wartawan pada koran Angkatan Bersenjata. Mengikuti dengan seksama perkembangan politik Indonesia dari Jakarta sejak tahun 1963.
Pada pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, ketika mendengar pengumuman Letnan Kolonel Untung dari Radio Republik Indonesia (RRI) mengenai gerakan mereka, saya dan teman-teman dengan cepat menyimpulkan PKI berada di belakang gerakan ini.
Ada dua informasi penting yang saya dapatkan beberapa hari sebelum Gestapu selain pengamatan dan pengalaman politik saya sendiri sejak tahun 1963 yang mendorong saya dengan cepat yakin PKI terlibat pada gerakan itu.
Pertama adalah informasi dari teman kami, Zainal Zakse, tentang rencana PKI merayakan peringatan ulang tahun Peristiwa Madiun, yang katanya akan mereka adakan pada tanggal 30 September 1965. Mereka merencanakan mengarak foto-foto jenderal yang mereka tuduh sebagai jenderal korup dan kapitalis birokrat, kata Zakse. Cerita Zakse itu kami tafsirkan sebagai bagian dari ofensif revolusioner PKI yang sejak lama telah mereka lancarkan.
Yang kedua adalah briefing dari Brigadir Jenderal Soegandhi, Direktur Penerangan Staf Angkatan Bersenjata yang juga penanggung jawab harian Angkatan Bersenjata, tempat saya bekerja sebagai reporter pemula. Soegandhi memang secara teratur memberi briefing politik kepada kami para wartawannya, biasanya dua pekan sekali. Briefing yang saya anggap penting ini adalah briefing yang diadakan beberapa hari sebelum Gestapu beraksi.PKI sekarang sedang mempropagandakan bahwa ada Dewan Jenderal di Angkatan Darat yang akan melakukan Kup,“ kata Soegandhi.Dewan Jenderal ini menurut PKI bekerja sama dengan CIA untuk menggulingkan Bung Karno.Soegandhi, yang pernah menjadi ajudan senior Presiden Sukarno, menjelaskan bahwa ia baru saja menemui mantan bosnya untuk meyakinkannya bahwa tidak ada yang disebut Dewan Jenderal di dalam Angkatan Darat, bahwa Jenderal Yani (KSAD) itu sangat loyal kepada Bung Karno, dan bahwa Aidit sedang merencanakan perampasan kekuasaan. Gandhi, kau tau apa? Kau itu sudah dicekoki Nasution.Begitu reaksi Bung Karno dengan marah kepada mantan ajudannya itu.
Pada briefing-briefing sebelumnya, soal otentik palsunya Dokumen Gilchrist telah pula jadi bahan. Dan itu semua dihubungkan dengan ketegangan yang makin memuncak antara PKI dengan Angkatan Darat. Adapun ketegangan antara Sukarno dengan Angkatan Darat, kemudian kita tahu secara terinci setelah Rosihan Anwar menerbitkan bukunya, Sebelum Prahara, yang merupakan catatan harian wartawan senior itu selama masa Demokrasi Terpimpin. Sementara itu dari Jawa Tengah dan Jawa Timur makin banyak cerita mengenai ketegangan yang melanda hubungan golongan santri dan orang-orang nasionalis, di satu pihak dan PKI di pihak lain, yang menyiratkan makin percaya dirinya dan makin agresifnya PKI. Pokoknya seperti itulah terjadinya Gestapu. Maka bisa dimengerti jika ada hanya satu tafsiran yang mudah dicerna akal sehat waktu itu mengenai siapa di belakang gerakan tersebut. Dan itu adalah PKI.
Tafsiran alternatif mulai muncul ketika di Jakarta beredar dari tangan ke tangan, apa yang lebih populer disebut sebagai Cornell Paper, hasil analisis sementara ahli-ahli Indonesia dari Cornell University. Kalau penjelasan resmi pemerintah Orde Baru menelusuri akar Gestapu pada perkembangan konflik TNI dengan PKI serta peran Soekarno yang makin memberi angin kepada golongan komunis, maka Cornell Paper berkonsentrasi pada analisis potensi konflik dalam Angkatan Darat, terutama antara orang-orang Kodam Diponegoro di Jawa Tengah, di satu pihak, dan perwira-perwira di metropolitan Jakarta, di pihak lain. Singkatnya, Cornell Paper lebih melihat Gestapu sebagai akibat konflik internal Angkatan Darat, dan PKI hanya jadi korban. Anehnya memang, PKI pun ingin Gestapu dilihat sebagai konflik internal Angkatan Darat.
Cornell Paper diterima dengan kemarahan di Jakarta waktu itu. Saya masih ingat terlibat debat dengan Ben Anderson salah seorang penulis dokumen itu di rumah Soe Hok Gie, pada tahun 1963 hingga Oktober 1965 akan sulit sekali bagi Anda untuk tidak melihat PKI berada di balik Gestapu.
Lebih 20 tahun kemudian saya mendapat kesempatan menjadi mahasiwa Pasca sarjana di Ohio, Amerika Serikat. Kesempatan itu saya manfaatkan untuk juga memuaskan hasrat tahu saya mengenai apa dan siapa sebenarnya yang berada di balik Gestapu itu? Kesimpulan saya kemudian tidak sesederhana keyakinan kami di Indonesia pada hari-hari dan tahun-tahun pertama setelah tanggal 1 Oktober. Meski saya tetap yakin bahwa PKI terlibat Gestapu, tapi saya juga yakin PKI bukan pelaku tunggal, bahkan mungkin bukan perancang tunggal, gerakan berdarah itu. Lalu siapa saja yang terlibat?
Bahwa ada konflik yang makin tajam antara PKI dengan Angkatan Darat yang mendapat dukungan golongan anti komunis, itu kenyataan sejarah tak terbantah. Bahwa hubungan Angkatan Darat dengan Presiden Sukarno makin memburuk, juga bukan rahasia di Jakarta sepanjang tahun 1965. Bahwa PKI makin meningkatkan ofensif revolusioner dan agitasi politiknya di hampir segala sektor, itu juga sesuatu yang terdokumentasi dalam koran-koran terbitan masa itu. Yang barangkali kurang diperhatikan orang di Indonesia waktu itu adalah peran agen-agen intelejen asing dari Barat terutama CIA Amerika dan M 16 Inggris maupun dari Timur yakni KGB Rusia, agen-agen Eropa Timur dan Cina.
Tapi yang sama sekali luput dari perhatian orang banyak di Indonesia waktu itu adalah konflik yang berkembang dalam tubuh Angkatan Darat: antara kelompok Nasution dengan kelompok Markas Besar Angkatan Darat pimpinan KSAD Achmad Yani, kelompok Kostrad pimpinan Soeharto yang merasa dianggap remeh oleh kelompok Yani, Angkatan Udara pimpinan Omar Dhani yang sangat loyal kepada Panglima Tertinggi ABRI, dan karena itu cenderung bersikap antagonistik terhadap Angkatan Darat, Angkatan Kepolisian yang meski tidak mengambil posisi antogonistik kepada Angkatan Darat, tapi jelas sibuk menyatakan loyalitasnya kepada Bung Karno.
Secara sederhana bisa dikatakan bahwa di sekitar terjadinya Gestapu tersebut, terdapat paling sedikit empat kelompok dengan kepentingan masing-masing terhadap kekuasaan dan kelanjutan politik Indonesia.
Pertama, tentu saja Sukarno. Presiden pertama Indonesia itu berkuasa dan bertahan pada singgasananya selama konflik antara kekuatan komunis dan anti komunis bisa dikelola oleh Sukarno dengan baik. Pengelolaan konflik itu ditopang oleh ideologi yang dipopulerkan Sukarno sebagai Nasakom.
Kedua, PKI. Partai Komunis Indonesia pada puncak masa Perang Dingin itu tentu ingin secepatnya mengkonsumsikan Indonesia. Rencana demikian jelas tidak mudah terlaksana. PKI sadar akan kondisi tersebut. Oleh karena itu, sebagai taktik mudah dimengerti jika PKI sangat mendukung Nasakom, dan karena itu lalu menjadi pendukung militan Presiden Sukarno yang melindungi mereka dari ancaman Angkatan Darat.
Ketiga, kekuatan anti komunis dengan Angkatan Darat sebagai garda terdepannya. Setelah PSI dan Masyumi dibubarkan pada tahun 1960, yang disusul oleh ofensif revolusioner PKI yang memojokkan semua kekuatan anti komunis di Indonesia, secara perlahan namun pasti, Angkatan Darat mengambil alih kepemimpinan golongan anti komunis. Salah satu produk dari kepemimpinan itu adalah Sekretariat Bersama Golongan Karya yang terbentuk atas inisiatif pimpinan Angkatan Darat pada bulan Oktober 1964. Sekber Golkar adalah tempat berlindung sejumlah besar organisasi anti komunis yang berusaha menghindari persekusi PKI sebagai konsekuensi dari ofensif revolusioner PKI tersebut.
Keempat, pihak asing dengan kepentingan masing-masing. Dalam hal ini, Amerika yang kewalahan di Vietnam dan terus dihantui oleh teori domino, tentu saja tidak ingin melihat Sukarno lebih lama menjadi pelindung PKI yang tumbuh makin subur dalam alam Nasakom.
Inggris yang menghabiskan energi mendukung Malaysia yang diganyang Sukarno tentu juga ingin segera mengakhiri ketegangan, bahkan bentrokan bersenjata yang sudah sering terjadi waktu itu. Jadi, masuk akal kalau CIA dan M 16 berusaha memanfaatkan segala kesempatan untuk secepatnya mengakhiri kekuasaan Sukarno waktu itu. Termasuk dalam kelompok keempat ini ialah dinas rahasia Uni Soviet dan Cina. Hubungan Beijing-Moskow waktu itu sudah sangat tegang. PKI memilih memihak garis Beijing, sesuatu yang sejalan dengan politik luar negeri Sukarno, yang membangun poros Jakarta, Beijing, Pyongyang. Bagaimana KGB dan dinas rahasia Cina menerjemahkan ketegangan Beijing-Moskow itu ke dalam konflik segi tiga TNI, Sukarno, dan PKI, itulah yang hingga kini belum terungkap.
Kita hanya bisa menduga bahwa apa yang mereka lakukan, siapa yang mereka bantu dan bagaimana caranya? Itulah pekerjaan yang menanti kedatangan para peneliti.
Sementara itu, pada kelompok ketiga, khususnya Angkatan Darat, ternyata terjadi juga pengelompokan. Paling sedikit ada tiga kelompok yang aktif waktu itu: kelompok Nasution, Ahmad Yani, dan kelompok Soeharto. Nasution menganut garis keras menghadapi Sukarno, Yani mencoba merangkul sang Pemimpin Besar, sementara Soeharto berdiri di sudut dengan perasaan yang diremehkan oleh kelompok Yani yang berkuasa. Kalau Nasution menilai Soeharto sebagai seorang oportunis, Yani menilai Soeharto sebagai prajurit yang bodoh.
Sementara itu antara Yani dan Nasution sendiri terjadi konflik yang memuncak pada awal tahun 1965. Konon pada awal tahun 1965, Yani memerintahkan Mayor Jenderal Suprapto, salah seorang asistennya, menangkap Nasution. Perintah yang nampaknya dimaksudkan untuk menunjukkan loyalitas Yani kepada Sukarno itu dibatalkan beberapa hari kemudian, sehingga bentrok antara pendukung masing-masing yang nyaris terjadi, sempat terhindarkan.
Ketika kita membicarakan konflik dalam Angkatan Darat waktu itu, faktor para perwira Diponegoro yang dimunculkan secara menarik oleh Cornell Paper tentulah harus dibicarakan. Pengalaman saya sebagai wartawan yang meliput operasi militer pembersihan elemen-elemen Gestapu dalam militer di Jawa Tengah pada bulan Oktober dan November 1965, serta bacaan-bacaan saya kemudian membawa saya pada kesimpulan bahwa fenomena yang ditengarai para ahli dari Cornell University itu memang ada, tapi ketika mereka bergerak pada tanggal 1 Oktober, mereka adalah bagian dari gerakan besar yang dirancang secara terpusat di Jakarta. Para perwira Diponegoro itu tidak semuanya komunis, banyak di antara mereka adalah Sukarnois, tapi rata-rata mereka menganut ideologi nasionalisme dengan lapisan xenophobia yang agak kental dengan pandangan kerakyatan yang ditandai oleh kesederhaan dan keprihatinan, hal yang umum ditemukan di kalangan abangan di Jawa Tengah masa itu. Dengan latar belakang ideologi demikian, tidak sulit bagi mereka menerima ajakan para konspirator di Jakarta untuk menyelamatkan Bung Karno dari rencana kudeta para jenderal yang korup yang didukung oleh CIA.
Hanya kalau peta kekuatan dan dinamika politik domestik, internasional maupun regional waktu itu, ditambah dengan pengetahuan mengenai dampak dan persepsi terhadap pemberontakan PKI di Madiun 1948 dikuasai dengan baik, seorang peneliti bisa dengan jernih berbicara dan mendekati kebenaran mengenai tragedi berdarah bulan Oktober 1965 itu dan akibat-akibatnya di kemudian hari. Pembantaian besar-besaran di Jawa Tengah dan Jawa Timur, misalnya, tidak bisa dilepaskan dari persepsi dan ketakutan golongan Islam dan nasionalis kepada kaum komunis yang membantai mereka setelah PKI menguasai Madiun di penghujung tahun 1948.
Lalu, siapa sebenarnya yang berada di balik Gestapu? PKI sendiri, kata Orde Baru; akibat pertentangan internal Angkatan Darat, kata PKI dan para ahli Indonesia di Cornell; CIA kata Peter Dale Scott; Soeharto, kata Wertheim; PKI, tentara dan agen asing (Nekolim), kata Presiden Sukarno yang didukung oleh Manai Sophiaan. Sebagai orang yang mengalami dan terus membaca tentang tragedi berdarah tersebut, nampaknya memang paling persuasif penjelasan Sukarno sebagai yang dikemukannya dalam pidato Nawaksara di depan MPRS pada tahun 1967. Tentu saja dengan itu Sukarno membersihkan diri dari segala kemungkinan keterlibatan. Persoalannya lalu bagaimana bisa dari lokakaryaterjadi kerja sama antara PKI, tentara dan Nekolim dalam mendesain dan melaksanakan Gestapu? Sukarno tidak menjelaskannya, bahkan tidak pernah mengemukakan bukti. Tapi saya kira justru di situlah peran Sukarno dan Soeharto menjadi mungkin sangat penting.
Sebelum saya berbicara tentang peran Sukarno dan Soeharto, ada baiknya saya mengingatkan kita semua kepada tradisi daulat, mendaulat, dan pendaulatan yang di zaman revolusi sering muncul dalam bentuk penculikan. Yang paling menyolok tentu saja penculikan terhadap Sukarno dan Hatta oleh para pemuda Jakarta menjelang proklamasi 1945. Kedua pemimpin Indonesia itu dibawa oleh para pemuda ke Rengas Dengklok untuk didaulat mengumumkan kemerdekaan Indonesia secepat mungkin. Lalu ada penculikan Perdana Menteri Sjahrir di Solo oleh elemen pemuda dan tentara yang anti diplomasi Sjahrir dengan Belanda. Dengan penculikan Sjahrir diharapkan perundingan dengan Belanda bisa dicegah. Setelah didaulat, Kabinet Sjahrir memang bubar, tapi kabinet yang menggantikannya tetap saja menjalankan perundingan.
Sjahrir, Sukarno, dan Hatta diculik tanpa dianiaya secara fisik. Tapi Dr. Muwardi, pemimpin Barisan Banteng di Solo pada zaman revolusi, diculik dan dibunuh. Kasus penculikan dengan tujuan pendaulatan cukup banyak terjadi di zaman revolusi, karena penculikan pada zaman itu menjadi suatu modus operandi perubahan elit atau kebijakan. Sedangkan yang dialami Dr. Muwardi merupakan usaha likuidasi oleh lawan politiknya. Yang ingin saya tekankan sehubungan dengan cerita culik tersebut adalah culik untuk mendaulat sebagai salah satu modus perubahan elit di sebuah zaman ketika aturan main yang ada adalah terutama aturan main revolusi. Tapi apapun namanya, culik sebagai alat mendaulat telah mengendap rapi dalam sejarah politik Indonesia.
Jika Sukarno dan Soeharto dianggap terlibat Gestapu, maka menurut saya terutama yang harus dimengerti dalam hubungannya dengan tradisi culik untuk mendaulat tadi itu. Presiden Sukarno yang makin kewalahan menghadapi Angkatan Darat yang secara terbuka menolak Nasakom dan makin sibuk mengatur barisan kaum komunis, mendorong sang Presiden untuk tiba kepada kesimpulan bahwa cara terbaik adalah mengganti KSAD Yani. Hal itu telah berhasil ia lakukan kepada Nasution pada tahun 1962. Tidak ada ketegangan yang terjadi waktu itu, karena Nasution berhasil dikecoh oleh Sukarno dengan janji menjadi Panglima ABRI, untuk akhirnya hanya menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB) tanpa garis komando ke bawah.
Pada tahun 1965, ketika suhu politik domestik dan regional sudah nyaris mendidih, nampaknya di mata Sukarno tertinggal hanya satu modus untuk menggantikan Yani dengan jenderal yang bisa dikontrol oleh Panglima Tertinggi, yakni daulat lewat penculikan, ala Rengas Dengklok, tapi jelas bukan ala Dr. Muwardi. Sukarno suatu kali memanggil pengawalnya, Untung untuk diberi petunjuk tentang rencana Sang Presiden. Tentu saja rencana itu mudah bocor, sebab Untung sudah lama berhubungan dengan Biro Khusus PKI pimpinan Sjam Kamaruzzaman. Dan kalau benar bahwa Sjam juga agen tentara (ia kabarnya kenal dengan Soeharto sejak tahun 1945 di Yogyakarta) dan agen asing, maka bisa diduga dinamika macam apa yang dihasilkan oleh bocornya rencana Sukarno menyingkirkan Yani tersebut.
Pengertian Sukarno dan Soeharto, demikian juga Kolonel Latif dan Brigjen Supardjo mengenai penculikan nampaknya sama, saya hampir yakin, bukan pembantaian seperti yang kemudian terjadi. Yani dan para pembantunya di Markas Besar Angkatan Darat, diculik atau diambil dengan tuduhan agen CIA dan berniat melakukan kudeta kepada Pemimpin Besar dan lalu oleh para penculik, seharusnya menurut konsep Sukarno, diserahkan kepadanya. Dengan cara itu para jenderal tersebut didaulat dan dipermalukan untuk selanjutnya digantikan oleh jenderal pilihan Sukarno. Itulah yang paling mungkin diperintahkan oleh Sukarno kepada Untung. Itu pula yang disampaikan Untung kepada para Sukarnois dalam tentara, seperti Kolonel Latif, misalnya. Dan itulah yang disampaikan Latif kepada Soeharto. Pada tingkat ini ada dua pertanyaan penting yang menohok. Mengapa Soeharto tidak melaporkan rencana Sukarno itu kepada Yani dan Nasution sebagai atasannya? Pertanyaan lainnya, bagaimana rencana penculikan Sukarno berubah menjadi pesta pembantaian para jenderal? Terhadap pertanyaan pertama, jawabannya disediakan oleh Nasution. Soeharto itu bukan komunis, tapi dari Yogya dulu adalah seorang oportunis, kata Nasution kepada saya pada bulan November 1984. Sebagai jenderal paling senior dalam Angkatan Darat setelah Yani, maka jika Yani tersingkir, kesempatan Soeharto menjadi KSAD terbuka. Psikologi ini nampaknya diketahui oleh Kolonel Latif, karena itu ia mendekati Soeharto untuk mendapatkan dukungan menyingkirkan Yani dan kawan-kawannya. Sebagai seorang oportunis yang cerdik, Soeharto mempunyai perhitungan sendiri, dan tahu bahwa jika pohon digoyang buah akan jatuh ke halamannya. Jadi buat apa ikut-ikut gerakan yang malah akan membuat dirinya dituduh ambisius dengan risiko besar. Tapi ketika kemudian para jenderal terbukti dibunuh, maka sebagai orang Jawa Soeharto langsung saja mengamalkan filsafat leluhurnya, tega larane, ora tega patine,begitulah warisan leluhur Soeharto yang artinya, sampai hati melihatnya sakit, tapi tidak menerima pembunuhan atasnya. Dan lantas saja mengamuk dengan membantai PKI dan menyingkirkan kaum Sukarnois. Dengan tindakan seperti itu bukankah Soeharto sekaligus membangun konstituen di kalangan golongan anti komunis dan anti Sukarno, tapi sekaligus juga membersihkan potensi-potensi kompetitor yang diperhitungkannya akan menjadi penghalang baginya untuk mendapatkan kekuasaan setelah kejatuhan Sukarno?
Kembali kepada perpecahan dalam tubuh Angkatan Bersenjata sehubungan dengan Gestapu, faktor Angkatan Udara penting untuk disinggung. Seperti tercatat dalam sejarah, Panglima Angkatan Udara, Omar Dhani mempunyai hubungan khusus dengan Bung Karno sejak beliau diangkat menggantikan Suryadharma sebagai pemimpin tertinggi Angkatan Udara. Juga bukan rahasia lagi bahwa sebelum Omar Dhani menjadi pemimpin Angkatan Udara, hubungan Angkatan Darat di bawah pimpinan Nasution dengan Angkatan Udara di bawah pimpinan Suryadharma sudah buruk. Persoalan utama yang melatar belakangi konflik antara Angkatan Udara dengan Angkatan Darat, terutama pada masa Demokrasi Terpimpin, pada dasarnya adalah sikap kedua angkatan yang berbeda terhadap Presiden Sukarno. Omar Dhani dan teman-temannya yang memimpin Angkatan Udara pada dasarnya adalah pengagum Sukarno yang merumuskan loyalitasnya kepada sang Pemimpin sebagai loyalitas kepada Panglima Tertinggi. Yang tidak disadari oleh para perwira tinggi Angkatan Udara itu adalah bahwa Bung Karno terutama adalah seorang politikus dengan ideologi Nasakom, hal yang membawanya berkonflik dengan Angkatan Darat sebagai garda depan golongan anti komunis. Maka loyalitas yang demikian secara otomatis membawa Omar Dhani dan Angkatan Udara kedalam tataran konflik dengan Angkatan Darat. Maka ketika ada gerakan yangmembersihkan kekuatan kontra revolusioner” di dalam Angkatan Darat, prinsip yang nampaknya diadopsi oleh Omar Dhani adalah lawan dari lawan saya adalah teman saya. Inilah saya kira penjelasan dukungan tergesa-gesa dan fatal Omar Dhani kepada Gestapu yang diumumkannya pada tanggal 1 Oktober 1965. Dengan ini saya ingin mengatakan bahwa Omar Dhani bukanlah seorang komunis melainkan seorang Sukarnois dengan loyalitas kukuh kepada Panglima Tertinggi.
Sekarang tentang agen asing. Sampai kini tidak cukup bukti untuk berkesimpulan bahwa mereka memainkan peran langsung dalam tragedi berdarah tersebut. Tapi saya kira cukup alasan untuk percaya bahwa mereka ikut memainkan peran mempercepat proses dalam rangka memperpendek masa ketegangan yang mereka pikul. Masuk akal jika CIA dan M 16 Inggris ingin tentara segera menumpas PKI dan mengakhiri rezim Sukarno yang merepotkan mereka. Sebaliknya agen Blok Timur, terutama Cina, juga ingin secepatnya Sukarno bertindak mengakhiri pembangkangan tentara terhadap Nasakom yang menguntungkan PKI. Dalam rangka inilah saya kira kita harus membaca munculnya Dokumen Gilchrist serta sejumlah dokumen lainnya yang beredar pada tahun-tahun menjelang Gestapu. Tapi bagaimana persisnya dan berapa besar magnitud peran langsung agen-agen asing itu, hanya bisa dibuktikan kelak jika dokumen-dokumen di kantor-kantor pusat mereka dapat diakses oleh para peneliti.
Selain peran-peran agen asing, yang saya kira amat penting diteliti adalah peran Sjam Kamaruzzaman sebagai intel kawakan yang sudah menjadi intel di zaman Jepang. Hubungan Sjam dengan D.N. Aidit, hubungan Sjam dengan tentara (kabarnya ia pernah menjadi intel
Kodam Jaya) serta kemungkinan hubungan Sjam dengan agen asing semua perlu diungkapkan. Hanya setelah misteri Sjam terbongkar kita akan tahu bagaimana perintah culik dan daulat dari Sukarno, jika memang benar ada, berubah menjadi perintah pembataian terhadap para Jenderal Angkatan Darat. Apakah itu perintah pimpinan PKI, perintah Sjam sendiri, atau sebuah hasil pengarahan dari agen asing yang bertujuan memprovokasi tentara?
______

Sumber:

GESTAPU 65PKI, Aidit, Soekarno, dan Soeharto

Sampul Depan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Panglima di Simpang Kudeta

Kedekatan dengan Tan Malaka dan tokoh anti diplomasi dengan penjajah sempat membuat Soedirman dituduh merancang kudeta. SURAT itu diterima pada siang hari, saat Soedirman bersiap meninggalkan Loji Gandrung, rumahnya di Solo, Jawa Tengah. Dibawa dengan pengawalan khusus dari Yogyakarta ke Solo oleh Brigade 29 pimpinan Kolonel Dahlan, surat itu diteken Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin. Kurir meminta Jenderal Soedirman menjawab segera, satu dari dua pilihan yang ditawarkan Menteri Amir: bersedia datang menghadap ke Istana Yogya sore itu juga, atau “ditangkap” di tempat. Jika pilih yang kedua, detasemen pengirim surat bersedia “menjemput”. Soedirman menahan marah. Ia meminta pasukan Dahlan kembali ke Yogyakarta. Soedirman, seperti ditulis sejarawan Universitas Indonesia S.I. Poeradisastra dalam Hubungan Soedirman dengan Persatuan Perjuangan, bersedia datang dikawal pasukan Divisi Panembahan Senopati pimpinan Mayor Jenderal Soetarto, langsung ke Istana. Perintah itu terkai...

Kecewa adinda di Perang Gerilya

Tim buku Tempo.  Hubungan Soedirman dan Sukarno tidak mulus. Sempat berniat mengundurkan diri dari militer. DENGAN mengenakan mantel hitam dan piyama, Soedirman pergi meninggalkan rumah dinas di Jalan Bintaran Wetan, Yogyakarta. Tujuannya: Gedung Agung, Istana Presiden Yogyakarta, yang berjarak satu kilometer dari Bintaran. Ditemani dokter Soewondo dan Kapten Tjokropranolo, Soedirman berikhtiar menemui Presiden Sukarno. Kesabaran Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia itu habis setelah Kapten Soepardjo Roestam, yang diutus menemui Sukarno, tak kunjung kembali. Situasi sedang genting. Pagi itu, 19 Desember 1948, pasukan Belanda menyerang Lapangan Terbang Maguwo. Inilah pertama kalinya Soedirman meninggalkan rumah setelah tiga bulan beristirahat karena sakit yang diderita.  “Pak Dirman seakan-akan memperoleh kekuatan setelah mendengar Belanda melancarkan serangan,” tulis Soepardjo Roestam dalam catatan hariannya, seperti dikutip pengamat militer Salim Said dalam...

Tentang Tiga Jenderal Besar

P ada waktu Jenderal (TNI) Wiranto menerima pimpinan   Angkatan Darat dari tangan Jenderal (TNI) Hartono lewat suatu upacara timbang terima di halaman Markas Besar Angkatan Darat, saya duduk di barisan kedua para tamu VIP. Di depan saya duduk Jenderal TNI (Purn.) A.H. Nasution, sementara di samping saya ada Mayor Jenderal TNI Fachrul Razi, waktu itu Gubernur Akademi Militer di Magelang. Selesai upacara resmi, Wiranto dan istrinya mendatangi Nasution untuk memberi salam. Ketika Wiranto membungkukkan badan mencium tangan Nasution, saya tiba - tiba melihat suatu kesinambungan yang menarik. Menurut catatan, Wiranto lahir pada 1948, tahun ketika Nasution sebagai Panglima Komando Jawa sedang memimpin perang gerilya di Pulau Jawa. Sebagai seorang peneliti politik militer, kenyataan yang menarik itu merangsang perasaan dan pergolakan pemikiran dalam diri saya. Dari pergolakan itu gagasan yang lahir adalah pantasnya Nasution menjadi Jenderal bintang lima [Jenderal Besar]. Memang aneh, dan t...