Langsung ke konten utama

CIA DAN G30S-1965

Abdul Syukur


Central Intelligence Agency (CIA) adalah dinas rahasia Amerika Serikat (AS) yang berdiri pada tahun 1947.1
Hingga sekarang, CIA masih berperan penting dalam menentukan kebijakan pemerintah AS. Pada umumnya kebijakan pemerintah AS banyak dipengaruhi oleh ‘the invisible goverment’(pemerintah bayangan), yakni badan tidak resmi yang terdiri atas lembaga intelijen AS. Kelompok ini biasa disebut sebagai Special Group (Kelompok Istimewa) atau Secret Team(Tim Rahasia).2
Pemerintah AS mempunyai beberapa lembaga intelijen yang terdiri dari satu lembaga intelijen independen (CIA), unsur lembaga intelijen departemen pertahanan (National Reconnaissance Office, National Imagery and Mapping Agency, Marine Corps Intelligence, Air Force Intelligence, Navy Intelligence, Army Intelligence, National Security Agency, dan Defense Intelligence Agency) dan unsur intelijen departemen non-pertahanan (Department of State, Department of Energy, Department of the Treasury, dan Federal Bureau of Investigation/FBI). Seluruh lembaga intelijen ini di bawah koordinasi Community Management Staff dan National Intelligence Council yang dikepalai oleh Director of Central Intelligence (DCI).3
Di antara lembaga intelijen tersebut, yang paling istimewa adalah CIA, karena tidak bertanggung jawab kepada menteri terkait, namun langsung kepada Presiden. Posisi ini menyebabkan CIA menjadi unsur utama ‘the invisible goverment’ dalam sistem pemerintahan AS. Seluruh Presiden Amerika Serikat yang baru terpilih akan diperkenalkan oleh pejabat Gedung Putih kepada pimpinan Special Group di tempat rahasia bernama Situation Room di bawah tanah Gedung Putih. Direktur CIA menempati posisi terpenting dalam Special Group, sebagaimana tergambar setelah pelantikan Presiden Amerika Serikat ke-36, Lyndon Baines Johnson (1908-1973) pada tahun 1963. Ia, oleh McGeorge Bundy, seorang pejabat Gedung Putih yang merangkap sebagai “orang dalam Special Group,” dibawa ke Situation Room untuk menemui Direktur CIA yang saat itu dijabat oleh John McCone.
Jabatan L.B. Johnson sebelum tahun 1963 adalah Wakil Presiden. Sebagai Wakil Presiden, ia telah mengenal orang-orang yang termasuk Special Group, namun tidak pernah menyadari hingga McBundy membawanya ke Situation Room.4
Tugas utama CIA adalah menyerap informasi tentang negara-negara asing untuk kepentingan pemerintah Amerika Serikat. Pembentukan CIA pada dasarnya merupakan “jawaban” AS terhadap perubahan tatanan masyarakat internasional pasca Perang Dunia II (1939-1945).
Amerika Serikat beserta negara-negara besar lainnya seperti Inggris, Perancis, dan Uni Soviet berhasil mengalahkan kekuatan fasisme Jerman, Italia, dan Jepang. Namun, kemenangan tidak menyebabkan persatuan semakin erat di antara negara-negara penentang fasisme. Justru yang terjadi sebaliknya, mereka dilanda perpecahan terutama di antara AS dan Uni Soviet yang menjadi dua negara terkuat pasca Perang Dunia II. Perpecahan AS versus Uni Soviet berkembang menjadi Perang Dingin.5
Meskipun keduanya menghindari konflik senjata secara langsung, namun memberikan dukungan kepada pihak-pihak yang bertikai. “Pernyataan Perang” AS terhadap Uni Soviet diumumkan oleh Presiden Harry S. Truman (1884-1972) di depan anggota Kongres pada tahun 1947. Pidatonya itu dikenal sebagai Doktrin Truman. Pada dasarnya, Doktrin Truman merupakan kebijakan luar negeri yang bersifat intervensi, meskipun dibungkus tujuan mulia membantu memulihkan perekonomian negara-negara yang mengalami kehancuran selama Perang Dunia II dan membantu kemerdekaan bangsa-bangsa merdeka melawan usaha penaklukan kelompok bersenjata dukungan negara luar. Negara luar yang dikecam Truman adalah Uni Soviet karena telah memberi bantuan terhadap golongan komunis di seluruh dunia untuk merebut kekuasaan di negaranya masing-masing. AS tidak ingin menambah kejatuhan negara-negara baru ke dalam genggaman Uni Soviet setelah kehilangan separuh Benua Eropa (Eropa Timur). Wilayah Perang Dingin segera melebar keluar Benua Eropa, yaitu Benua Afrika, Asia, dan Benua Amerika sendiri.
Dalam kasus Asia, terutama Asia Timur, komunisme memperoleh kemajuan di Daratan Cina. Pada tahun 1949 golongan komunis Cina di bawah kepemimpinan Mao Zedong (1893-1976), berhasil mengalahkan nasionalis Cina pimpinan Jenderal Chiang Kai-Shek (1887-1975).
Kemenangan komunis Cina mengejutkan AS, sehingga memperbesar rasa komunisto phobia (ketakutan yang berlebihan terhadap komunis). Amerika Serikat sangat percaya bahwa gelombang komunis akan segera menerpa wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara. Ketakutan ini menjadi dasar ‘teori domino’, dengan komunis Cina sebagai lemparan kartu pertamanya. Dalam permainan kartu domino, lemparan kartu pertama akan diikuti dengan lemparan kartu berikutnya. Begitu juga kemajuan komunis di Cina akan diikuti pula dengan kemajuan komunis di negara-negara lain yang tersebar di Asia Timur dan Asia Tenggara. Golongan komunis di Asia Timur dan Tenggara mengalami kebangkitannya selama periode 1950-an, seperti komunis Vietnam, komunis Korea, dan komunis Indonesia. Golongan komunis di Indonesia sudah ada sejak awal tahun 1900-an dengan tokoh utamanya H.J.F.M. Sneevliet, J.A. Brandsteder, H.W. Dekker, dan P. Bergsma. Keempatnya mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) pada tahun 1914, sebuah organisasi beraliran Marxisme yang pertama di Asia Tenggara. ISDV kemudian berubah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI), dan sempat dihancurkan pemerintah kolonial Hindia Belanda pada akhir tahun 1920-an. PKI muncul kembali pada tahun 1947. Satu tahun kemudian dihancurkan oleh pemerintah Republik Indonesia. Pada tanggal 4 Februari 1950 golongan komunis di Indonesia membangun kembali PKI.6
Secara mengejutkan PKI masuk empat partai besar pemenang Pemilu 1955 bersama Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, dan Nahdlatul Ulama. Dengan demikian, PKI merasa berhak untuk diikutsertakan ke dalam kabinet. Namun, Masyumi menolaknya, sehingga formatur kabinet selalu mengalami kegagalan membentuk kabinet yang definitif. Sikap Masyumi didukung penuh Partai Sosialis Indonesia (PSI).7
Konflik politik Masyumi-PSI dan PKI dimanfaatkan oleh Presiden Sukarno (1901-1970) dengan menjadikan dirinya sebagai pelindung PKI. Sukarno membutuhkan kemampuan PKI mengerahkan massa untuk mendukung kebijakannya merebut kembali wilayah Irian Barat dari Belanda.
Kemajuan PKI telah diantisipasi pihak Amerika Serikat sebagaimana tersirat dalam pesan Presiden Amerika Serikat Dwight David Eisenhower (1953-1961) pada tahun 1953 kepada Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Hugh S. Cumming Jr (1953-1957). Ia oleh Eisenhower ditugasi untuk mencegah agar kemenangan golongan komunis di Cina tidak berulang di Indonesia. Instruksi senada juga diterima Cummning Jr dari Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Foster Dulles (1953-1959). Presiden Eisenhower dan Menteri Luar Negeri Dulles lebih menyukai perpecahan negara kesatuan Republik Indonesia daripada mempertahankan kesatuan negara Indonesia yang berada dalam genggaman komunis, sebagaimana terjadi pada Cina. Kebijakan ini diterapkan pihak Amerika Serikat dengan memberi dukungan penuh kepada Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera dan Perjuangan Semesta (Permesta) di Sulawesi pada akhir 1950-an. Para agen CIA mempunyai peran yang aktif dalam mendorong kemunculan PRRI dan Permesta. Laporan intelijen CIA lebih dipercaya oleh Presiden Eisenhower dan Menteri Luar Negeri Dulles daripada laporan Duta Besar Amerika Serikat di Indonesia John M. Alisson (21 Februari 1957-28 Januari 1958). Alisson segera mengajukan pengunduran diri pada 13 Maret 1957 karena merasa kewenangannya telah dilangkahi oleh trio Presiden Eisenhower, Menteri Luar Negeri Dulles, dan Direktur CIA Allen W. Dulles (1953-1961). Posisi Alisson hingga 5 Maret 1958 digantikan Sterling Cottrel, mantan konsul Amerika Serikat di Singapura. Menteri Luar Negeri Dulles kemudian mengangkat Howard P. John sebagai Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia (6 Maret 1958-April 1965).8
Pemerintah Indonesia berhasil menghancurkan kekuatan militer PRRI dan Permesta dalam waktu relatif singkat, kurang dari satu bulan pada tahun 1958. Setelah kekalahan para pemberontak, Pemerintah Amerika Serikat langsung menghentikan dukungannya kepada PRRI-Permesta. Hal ini juga didukung oleh keyakinan bahwa Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution, adalah seorang anti komunis. Pihak Amerika Serikat segera mengalihkan dukungan kepada Nasution dengan harapan agar Angkatan Darat bersedia menghadapi PKI yang telah memperoleh keuntungan politik dari keterlibatan Amerika Serikat dan dua partai politik anti komunis (Masyumi dan PSI) dalam pemberontakan PRRI-Permesta. PKI berhasil mendesak Presiden Sukarno agar membubarkan Masyumi dan PSI dengan tuduhan berkhianat kepada negara. Tuntutan PKI dikabulkan oleh Presiden Sukarno, sehingga Masyumi dan PSI menjadi partai terlarang sejak tahun 1960. Di samping itu, PKI juga berhasil membujuk Presiden Sukarno untuk membawa Indonesia ke dalam lingkungan negara-negara komunis, terutama Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina (RRC).9 Bujukan PKI mudah diterima Sukarno karena Indonesia membutuhkan dukungan Uni Soviet dan RRC untuk memenangkan sengketa kepemilikan Irian Barat antara Indonesia dan Belanda.
Penyelesaian bilateral Indonesia-Belanda selama empat tahun (1950-1954) dalam masalah Irian Barat telah mengalami kegagalan. Sejak tahun 1954 masalah Irian Barat menjadi agenda sidang Majelis Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (MU PBB). Namun, persoalan belum selesai juga. Belanda masih tetap berkuasa di Irian Barat. Negara-negara Barat yang memusuhi komunis menjadi pendukung setia Belanda. Pada tahun 1957, pemerintah Indonesia memutuskan untuk menempuh cara lain, untuk memaksa Belanda mengembalikan Irian Barat, yakni dengan mengambil alih seluruh perusahaan Belanda yang ada di Indonesia. Hubungan bilateral Indonesia-Belanda semakin memburuk setelah Indonesia memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Belanda pada tanggal 17 Agustus 1960. Dengan demikian, perang Indonesia-Belanda memperebutkan Irian Barat ‘tinggal selangkah lagi’, terutama setelah Presiden Sukarno pada 2 Januari 1962 mengeluarkan Surat Keputusan No. 1 tahun 1962 tentang pembentukan Komando Mandala Pembebasan Irian Barat. Amerika Serikat berusaha mencegah Perang Indonesia-Belanda karena hanya akan mempercepat Indonesia jatuh ke dalam ‘pelukan’ Blok Komunis pimpinan Uni Soviet. Apabila Indonesia telah menjadi komunis, maka kawasan Asia Tenggara dan Timur terkepung oleh tiga kekuatan komunis, yakni Uni Soviet, RRC, dan Indonesia. Dengan demikian kepentingan Amerika Serikat, Perancis, dan Inggris di Asia Tenggara dan Timur langsung terancam juga. Menyadari risiko yang akan ditanggung, maka Amerika Serikat dan Inggris segera mendesak Belanda untuk berunding dengan Indonesia. Pada 15 Agustus 1962 di New York, Amerika Serikat, tercapai perjanjian damai antara Indonesia dan Belanda untuk menyelesaikan sengketa Irian Barat. Belanda menyerahkan kekuasaannya di Irian Barat kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) yang dibentuk PBB. Satu tahun kemudian UNTEA menyerahkan kekuasaan Irian Barat kepada Indonesia. Keberhasilan Indonesia memanfaatkan iklim Perang Dingin antara Uni Soviet dan Amerika Serikat untuk memenangkan sengketa kepemilikan Irian Barat dengan Belanda merupakan kebijakan luar negeri yang brilian. Presiden Sukarno semakin percaya diri untuk menampilkan Indonesia sebagai pemimpin dunia. Beberapa langkah ke arah itu bisa terlihat dari penentangan Indonesia terhadap pembentukan negara federasi Malaysia yang disponsori Inggris, keluar dari keanggotaan PBB, dan upaya membentuk organisasi tandingan PBB yaitu Conference of New Emerging Force (CONEFO). Embrio dari CONEFO adalah pembentukan aliansi dengan negara-negara komunis di Asia Timur dan Asia Tenggara, yaitu Poros Peking (RRC)-Hanoi (Vietnam Utara)-Pyongyang (Korea Utara)-Jakarta (Indonesia). Keberadaan poros ini langsung mengancam kepentingan Amerika Serikat, Perancis, dan Inggris yang ingin mempertahankan pengaruhnya di Asia Timur dan Asia Tenggara. Pembentukan poros itu sendiri memberi keuntungan jangka pendek bagi Indonesia, yaitu menentang pembentukan negara federasi Malaysia yang disponsori Inggris. Sejak awal Indonesia menjadi penentang utama pembentukan Malaysia pada akhir tahun 1963. Namun upaya Indonesia mengalami kegagalan. Ternyata negara-negara Blok Barat berpihak kepada Inggris. Puncak kemarahan Indonesia terjadi pada 7 Januari 1965, karena Malaysia diterima sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Indonesia memprotesnya dengan menyatakan diri keluar dari keanggotaan PBB. Sejak Januari 1965 Indonesia semakin aktif membentuk aliansi dengan RRC, Vietnam Utara, dan Korea Utara. Embrio aliansi ini diungkapkan oleh Presiden Sukarno pada 17 Agustus 1965 dengan menggambarkan hubungan Indonesia dengan RRC sebagai awal sebuah poros untuk menandingi Poros Berlin-Tokyo. Sukarno berusaha merangkul RRC melalui suatu kemitraan dengan Asia Tenggara yang akan dibagi kembali masing-masing ke dalam pengaruh kekuasaan Cina dan Melayu, dengan Peking dan Jakarta sebagai pusatnya.10
Tidak ayal lagi bahwa rencana aliansi Indonesia dengan sejumlah negara komunis di Asia Timur mempertinggi ketegangan politik di kawasan Asia Timur dan Tenggara. Pada saat itu masih berlangsung Perang Vietnam dan Perang Korea. Di sisi lain, rencana aliansi ini semakin meyakinkan Amerika Serikat dan sekutunya tentang kemenangan golongan komunis di Indonesia. Namun, rencana pembentukan poros Jakarta-Hanoi-Pyongyang-Peking berantakan akibat terjadi krisis politik di Indonesia pada 1 Oktober 1965, yang berujung dengan kejatuhan Presiden Sukarno. Krisis politik itu berawal dari aksi penculikan dan pembunuhan enam perwira tinggi yang memimpin Markas Besar Angkatan Darat oleh Gerakan 30 September pimpinan Letkol Untung, salah seorang Komandan Batalion Resimen Cakrabirawa yang bertugas menjaga keselamatan Presiden Sukarno.11
Keberhasilan Untung menyelamatkan Presiden Sukarno dan Republik Indonesia tersebut disiarkan Radio Republik Indonesia (RRI) pada pukul 07.15 WIB tanggal 1 Oktober 1965. Pihak yang mengancam keselamatan Presiden Sukarno dan Republik Indonesia adalah sejumlah jenderal Angkatan Darat yang tergabung dalam Dewan Jenderal. Menurut siaran berita RRI itu, Dewan Jenderal adalah gerakan subversif yang disponsori oleh CIA. Aktivitas subversif Dewan Jenderal meningkat sejak Presiden Sukarno menderita sakit serius pada minggu pertama bulan Agustus 1965. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuannya, Dewan Jenderal merencanakan pamer kekuatan (machtsvertoon) pada hari Angkatan Bersenjata 5 Oktober 1965 dengan mendatangkan pasukan-pasukan dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.12
Menteri/Panglima Angkatan Udara Republik Indonesia Laksamana Madya Omar Dhani mendukung hasil analisis Gerakan 30 September bahwa CIA berada di belakang rencana subversif Dewan Jenderal.13
Kesimpulan serupa dilontarkan pula oleh Presiden Sukarno dalam teks pidato pertanggungjawabannya yang berjudul Pelengkap Nawaksara kepada peserta SU MPRS (Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) pada bulan Juni 1966. Hanya saja Sukarno tidak menyebut CIA secara spesifik, tetapi secara umum, yakni subversi Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imperialisme). Istilah Nekolim merupakan ciptaan Sukarno untuk menyebut Blok Barat pimpinan Amerika Serikat.14
Keterlibatan pemerintah AS, terutama CIA dalam tragedi nasional 1 Oktober 1965 dijadikan pokok bahasan oleh David T. Johnson pada tahun 1976 dalam sebuah artikel yang panjangnya 39 halaman terdiri dari 6 bagian, yakni (1) pendahuluan, (2) penilaian AS mengenai Indonesia, (3) AS menghadapi enam pilihan, (4) latar belakang kudeta 1 Oktober, (5) peristiwa-peristiwa pada 1 Oktober, dan (6) kesimpulan.15
Johnson mengawali analisisnya dengan membantah tiga analisis sebelumnya, yakni kudeta Gerakan 30 September dilancarkan kelompok perwira menengah Angkatan Darat yang progresif atau tidak puas,16 Gerakan 30 September merupakan kudeta ciptaan PKI,17 ataupun Presiden Sukarno untuk menyingkirkan pimpinan Angkatan Darat.18
Kesimpulan akhir Johnson bahwa kudeta Gerakan 30 September merupakan hasil ciptaan CIA dengan memanfaatkan Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam) Jenderal Abdul Haris Nasution dan Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Mayor Jenderal Soeharto.19
Menurut Johnson, keterlibatan CIA merupakan akibat logis dari kebijakan AS yang tidak menginginkan Indonesia menjadi negara komunis. Kecenderungan Indonesia menjadi negara komunis membuat AS mempunyai enam pilihan untuk mencegahnya. Pertama, lepas tangan. Kedua, membujuk Presiden Sukarno agar membatalkan niatnya memasukkan Indonesia ke dalam blok negara-negara komunis. Ketiga, membunuh Sukarno. Keempat, mendorong Angkatan Darat Indonesia untuk mengambilalih kekuasaan. Kelima, merusak hubungan PKI dengan Sukarno sehingga PKI terprovokasi merebut kekuasaan. Keenam, menghancurkan PKI dan Sukarno. Pemerintah AS tidak mungkin memilih pilihan pertama karena mengandung risiko tinggi, yakni Indonesia akan menjadi negara komunis. Bila ini terjadi maka kepentingan AS di Indochina dan Asia Tenggara akan terganggu. Pilihan kedua juga tidak bisa dilakukan, karena Sukarno sudah tidak bisa lagi dibujuk. Pilihan ketiga, membunuh Sukarno hanya mempercepat kekuasaan jatuh ke tangan PKI yang pada saat itu merupakan partai terkuat di Indonesia. Pemerintah AS pada mulanya berharap dapat melaksanakan pilihan keempat. Namun, pilihan keempat tidak bisa dilaksanakan karena Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani beserta para stafnya di Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) adalah perwira-perwira loyalis Sukarno. Mereka tidak bersedia menggulingkan Sukarno, bahkan sebaliknya cenderung mempertahankannya.
Pilihan kelima sudah dilakukan oleh para agen CIA dengan membuat dokumen palsu tentang rencana kudeta PKI. Dokumen itu diserahkan pada bulan Oktober 1964 kepada dinas intelijen Angkatan Darat yang dipimpin Kolonel Soekendro. Ia lalu menyerahkannya kepada Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution. Dokumen palsu tentang rencana kudeta PKI itu kemudian diserahkan oleh Nasution kepada Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh. Isi dokumen diberitahukan kepada Presiden Sukarno dalam suatu rapat akhir tahun 1964 di Istana Bogor. Namun, hubungan Sukarno dan PKI tetap baik. Hanya hubungan Chaerul Saleh dan Ketua PKI D.N. Aidit yang menjadi tidak harmonis karena sempat terjadi adu fisik antara keduanya. Pada akhirnya pemerintah AS mengambil pilihan keenam, yaitu menghancurkan Sukarno dan PKI sekaligus. Keduanya merupakan ancaman besar yang bersifat permanen bagi kepentingan pemerintah AS. Pilihan keenam ini bisa terlaksana apabila Ahmad Yani bersedia mengerahkan kekuatan Angkatan Darat untuk menggulingkan Presiden Sukarno. Namun, Yani menolaknya bahkan tidak memberikan tanda-tanda perlawanan meskipun akan diganti. Pihak CIA memerlukan perwira tinggi Angkatan Darat yang berpengaruh atau yang menduduki jabatan penting, anti komunis, dan bukan loyalis Sukarno. Pilihan jatuh kepada Menhankam Nasution dan Pangkostrad Soeharto. Menurut Johnson, Nasution dan Soeharto adalah perwira tinggi Angkatan Darat yang dimanfaatkan CIA untuk mencegah Indonesia menjadi negara komunis dan bersahabat dengan AS. Johnson memperkuat analisis keterlibatan Nasution dalam peristiwa tragedi nasional 1 Oktober 1965 dengan menelusuri latar belakang Nasution sebagai perwira tinggi Angkatan Darat yang sudah lama didekati pihak CIA setelah keberhasilannya menghancurkan pemberontakan PRRI-Permesta pada akhir 1950-an. Bukti lain yang dipaparkan Johnson adalah keberhasilan Nasution meloloskan diri dari aksi penculikan pasukan Gerakan 30 September. Bagi Johnson keberhasilan itu merupakan kesengajaan. Johnson mencoba memperjelas keterlibatan Nasution dalam peristiwa tragedi 1 Oktober 1965 dengan menampilkan peranan mantan kepala dinas intelijen Angkatan Darat Brigadir Jenderal Sukendro, yang hingga tahun 1965 mempunyai hubungan dekat dengan Nasution. Sukendro menurut Johnson adalah juga perwira tinggi Angkatan Darat yang sudah lama mempunyai hubungan dekat dengan CIA. Peranan terpenting Sukendro dalam peristiwa tragedi nasional 1 Oktober 1965 adalah menyeret RRC sebagai pihak yang turut bertanggung jawab dalam peristiwa Gerakan 30 September. Ia termasuk salah satu anggota delegasi Indonesia yang diundang pemerintah RRC untuk menghadiri perayaan ulang tahun Partai Komunis Cina pada 1 Oktober 1965, ketika pulang ke Indonesia ia menyebarkan informasi bahwa pemerintah RRC telah mempunyai daftar perwira tinggi Angkatan Darat yang dibunuh Gerakan 30 September hanya beberapa jam setelah siaran RRI pukul 07.15 WIB 1 Oktober 1965. Informasi dari Sukendro memperkuat penilaian Soeharto bahwa kudeta Gerakan 30 September dilakukan oleh PKI. Hubungan baik antara RRC dan PKI mempermudah tuduhan kerja sama antara keduanya untuk merebut kekuasaan di Indonesia. Keterlibatan RRC diperjelas dengan penemuan senjata buatan RRC bermerk CHUNG. Pemerintah Indonesia telah menerima bantuan senjata dari RRC untuk menentang pembentukan negara federasi Malaysia dukungan Inggris, Australia, dan AS. Penemuan senjata bermerk CHUNG menimbulkan dugaan pasukan Gerakan 30 September memperoleh bantuan dari RRC. Benarkah senjata bermerk CHUNG yang dijadikan bukti keterlibatan RRC oleh Soeharto berasal dari RRC? Johnson mempunyai jawaban lain. Senjata bermerk CHUNG itu menurut Johnson bukan berasal dari RRC langsung tetapi dari gudang persenjataan milik CIA. Pihak CIA sengaja menyimpan senjata CHUNG dalam jumlah besar pada tahun 1960-an untuk kepentingan operasi intelijennya, seperti menjerumuskan RRC sebagai pihak yang turut bertanggung jawab terhadap kematian Yani beserta lima stafnya oleh Gerakan 30 September.
Penemuan senjata CHUNG juga berdampak pada Angkatan Udara Indonesia, yakni melengkapi tuduhan Soeharto bahwa Angkatan Udara terlibat dalam pembunuhan Yani beserta lima staf, rencana pembunuhan terhadap Nasution, dan merebut kekuasaan dari Presiden Sukarno. Rencananya senjata CHUNG akan dipergunakan oleh para sukarelawan yang dilatih pihak Angkatan Udara Indonesia untuk menghadapi pasukan Inggris dan Australia di Malaysia. Posisi Angkatan Udara terjepit oleh Perintah Harian Menteri/Panglima Angkatan Udara Republik Indonesia, Laksamana Madya Omar Dhani bernomor 445/Pen/1965 yang memberi dukungan kepada Gerakan 30 September dan penemuan mayat Yani beserta lima stafnya di tempat latihan para sukarelawan. Johnson melihat pembuangan mayat Yani dan lima stafnya itu mempunyai motivasi politik demi kepentingan CIA, yakni membungkam kekuatan Angkatan Udara agar tidak memberi perlawanan terhadap pasukan Kostrad pimpinan Soeharto yang sedang melancarkan operasi penumpasan terhadap Gerakan 30 September. CIA dengan cerdik mengesankan konspirasi jahat terhadap pimpinan Angkatan Darat yang dilakukan oleh RRC-PKI-Angkatan Udara-Presiden Sukarno. Konspirasi yang sesungguhnya adalah antara CIA, Nasution, dan Soeharto. Tujuan konspirasi mencegah Indonesia menjadi negara komunis. Langkah pertama yang dilakukan CIA-Nasution-Soeharto ialah merebut kepemimpinan Angkatan Darat dari Yani karena Yani menolak untuk menggulingkan Presiden Sukarno. Posisi Yani oleh Johnson disamakan dengan Kepala Staf Angkatan Darat Chile, Jenderal Schneider juga terpaksa dibunuh oleh konspirator CIA dan perwira tinggi Angkatan Darat Chile untuk menggulingkan Presiden Allende pada tahun 1973. Pembunuhan terhadap Yani beserta lima stafnya bertujuan untuk memudahkan konspirator CIA di Indonesia (Soeharto) mengambil alih kepemimpinan Angkatan Darat. Johnson membuktikan keterlibatan Soeharto dalam tragedi nasional 1 Oktober 1965 dengan melihat daftar perwira tinggi Angkatan Darat yang akan dibunuh oleh pasukan Gerakan 30 September. Soeharto pada saat itu adalah perwira tinggi Angkatan Darat yang sangat penting, dengan jabatan Panglima Kostrad. Jadi, merupakan suatu keanehan luar biasa apabila Soeharto tidak masuk daftar orang yang akan dibunuh. Di samping itu juga latar belakang pimpinan utama Gerakan 30 September mempunyai hubungan pribadi maupun
kedinasan dengan Soeharto, seperti Letkol Untung, Kolonel Abdul Latif, dan Brigjen Soepardjo. Bahkan pasukan-pasukan militer utama yang terlibat di pihak Gerakan 30 September secara resmi berada di bawah komando Soeharto sebagai Panglima Kostrad. Bukti lain yang dipaparkan Johnson adalah sikap Soeharto pada 1 Oktober 1965 yang memperlihatkan dirinya secara pasti mengetahui Yani telah dibunuh, padahal kabar apakah Yani sudah meninggal atau masih hidup belum ada yang tahu. Pembunuhan terhadap Yani beserta lima stafnya dirancang secara rapih oleh CIA karena pasukan Gerakan 30 September sesungguhnya merupakan buatan CIA. Johnson memperkuat analisisnya dengan bukti bahwa di antara pimpinan militer Gerakan 30 September (Brigjen Soepardjo dan Kolonel Suherman) telah memperoleh latihan militer di AS, sehingga telah lulus dari “ujian” CIA dan badan intelijen pertahanan AS. Dua pengumuman Gerakan 30 September melalui RRI pada 1 Oktober 1965 (jam 7.15 WIB dan 13.00 WIB) memperjelas peranan CIA yang ingin menggulingkan Sukarno. Pengumuman pertama menekankan bahwa tindakan Gerakan 30 September menghancurkan Dewan Jenderal merupakan urusan internal Angkatan Darat. Bagi Johnson pengumuman pertama ini bertujuan untuk mencegah pihak di luar skenario turut campur sehingga dapat menggagalkan rencana semula. Posisi Gerakan 30 September dalam pengumuman pertamanya sengaja dibuat oleh CIA menjadi tidak jelas apakah pro atau anti Sukarno. Kejelasan posisi Gerakan 30 September baru diperoleh pada pengumuman kedua yang memperlihatkan ciri-ciri gerakan komunis dengan pembentukan Dewan Revolusi tanpa melibatkan Sukarno. Tujuan pengumuman kedua dalam pandangan Johnson adalah untuk menumpahkan tanggung jawab Gerakan 30 September hanya kepada PKI sebagai pihak yang harus bertanggung jawab. Pengumuman pertama dan kedua sangat menguntungkan Soeharto, sehingga pasukan Gerakan 30 September dibiarkan menggunakan RRI meskipun ia sanggup menghentikannya. Letak markas Kostrad berdekatan dengan gedung RRI, dan Kostrad memiliki peralatan komunikasi yang dapat mematikan peralatan komunikasi RRI. Soeharto, menurut Johnson, sengaja membiarkan Gerakan 30 September menggunakan RRI untuk menyampaikan pesannya yang memberatkan PKI. Tindakan Soeharto tersebut berada di bawah pengarahan para agen CIA. Pukulan kedua yang ditujukan untuk menyeret PKI diberikan CIA lewat penulisan editorial surat kabar PKI (Harian Rakjat) edisi 2 Oktober 1965. Menurut Johnson, editorial Harian Rakjat tersebut dibuat para agen CIA yang memang mempunyai kemampuan membuat pemalsuan. Dokumen Gilchrist menurut Johnson juga merupakan hasil karya para agen CIA dengan tujuan untuk mempertajamkan konflik antar kekuatan politik di Indonesia, terutama antara Angkatan Darat dan PKI. Artikel Johnson yang berusaha membongkar operasi intelijen CIA untuk mencegah Indonesia menjadi negara komunis tersebut diterbitkan lagi dalam bentuk aslinya pada tahun 1995. Ia memberikan catatan kaki untuk menghilangkan nama Nasution sebagai perwira tinggi Angkatan Darat yang berkonspirasi dengan CIA. Penghapusan ini tidak disertai argumentasi, sehingga pembaca tidak diberikan dasar argumentasi Johnson tersebut. Dengan demikian, ada pergeseran konspirator yang semula CIA-Nasution-Soeharto menjadi CIA-Soeharto. Johnson dalam menulis artikelnya tidak mengikuti standar penulisan ilmiah, seperti mencantumkan sumber rujukan, baik sebagai catatan kaki, catatan akhir, atau catatan dalam teks, sehingga menyulitkan pembaca artikelnya apabila ingin menelusuri sumber rujukan yang dijadikan dasar argumentasinya. Artikel Johnson ditulis untuk tujuan politik, yakni mendorong penyelidikan Kongres AS terhadap masalah kudeta Gerakan 30 September di Indonesia. Ia sangat yakin akan keterlibatan CIA sebagaimana terjadi dalam kudeta militer di Chile pada musim gugur tahun 1970 yang dirancang CIA atas perintah Presiden AS Ricahrd Milhous Nixon (1968-1972, 1972-1974). Nixon mengundurkan diri pada 9 Agustus 1974 setelah pembongkaran skandal Watergate. Dua tahun kemudian Johnson menulis artikelnya. Johnson dalam lembar keempat artikelnya menjelaskan bahwa artikelnya berawal dari penelitian terhadap hasil studi CIA yang disiarkan pada tahun 1976, Research Study CIA, Indonesia-1965: The Coup that Backfired. Penelitian dilakukan secara intensif selama satu bulan, dengan memanfaatkan seluruh bahan berbahasa Inggris di Perpustakaan Kongres hingga tahun 1976. Karya Benedict R. O’G Anderson dan Ruth T. McVey, A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia, atau yang lebih dikenal dengan nama Cornell Paper, dijadikan sebagai rujukan utama lainnya oleh Johnson. Ia juga mengutip Mortimer (Rex Mortimer?), Chalmers Roberts, yang menulis di surat kabar The Washington Post pada Oktober 1965, Justus van der Kroef, hasil interogasi pemerintah Indonesia dan berkas-berkas pengadilan. Delapan tahun setelah artikel Johnson disebarkan secara terbatas, pada tahun 1985 Peter Dale Scott menulis artikel ilmiah yang membahas keterlibatan CIA dalam kudeta Gerakan 30 September di Indonesia. Artikel Scot berjudul “U.S. and the Overthrow of  Sukarno, 1965-1967” dan dimuat dalam Journal Pasific Affairs No. 58, Musim Panas 1985. Jurnal ini diterbitkan oleh Universitas California, Barkeley, Amerika Serikat. Artikel Scott terdiri dari lima bagian, yaitu (1) Amerika serikat dan Penggulingan Sukarno, (2) AS dan “Misi” Angkatan Darat Indonesia, (3) Langkah-langkah AS Menghadapi Sukarno, (4) Dukungan AS terhadap Faksi Soeharto Sebelum Gestapu, dan (5) Operasi CIA Tahun 1965.
Kesimpulan Scott hampir mirip dengan Johnson, yakni kudeta Gerakan 30 September merupakan ciptaan para agen CIA yang bekerja sama dengan Panglima Kostrad Soeharto untuk menggulingkan Presiden Sukarno dan menghancurkan PKI demi mencegah Indonesia menjadi negara komunis. Hanya saja, artikel Scott ditulis berdasarkan sistem penulisan ilmiah dengan mencantumkan sumber rujukannya sebagai catatan kaki sebanyak 123. Scott berusaha membuktikan Gerakan 30 September merupakan rangkaian kudeta sayap kanan Angkatan Darat pimpinan Soeharto dengan bantuan pemerintah AS, terutama CIA. Menurut Scott ada tiga tahap kudeta. Pertama, menyingkirkan kelompok tengah Angkatan Darat pimpinan Yani. Kedua, penghancuran kekuatan sipil komunis. Ketiga, penggulingan Presiden Sukarno. Selain Scott, ilmuwan Barat yang berpendapat CIA sebagai “dalang” tragedi 1965 adalah Geoffrey B. Robinson dalam artikelnya, “Some Arguments Concerning U.S. Influence and Complicity in the Indonesia ‘Coup’ of October, 1, 1965”. Artikel Robinson diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Abijan Wahid dan diterbitkan oleh penerbit Teplok di Jakarta tahun 2000 dengan judul, Kudeta Angkatan Darat. Robinson berusaha memperlihatkan hubungan antara faktor-faktor internasional dan dalam negeri Indonesia sehingga berujung pada kudeta 1 Oktober 1965. Ia sangat yakin bahwa pemerintah AS melalui CIA telah memanfaatkan perpecahan internal di dalam negeri Indonesia. Perpecahan di dalam negeri yang dibahas secara khusus oleh Robinson ialah antara Angkatan Darat Indonesia dan Angkatan Udara Indonesia. CIA juga telah memanfaatkan keretakan internal dalam tubuh Angkatan Darat Indonesia yang terbelah antara kelompok perwira Sukarnois dan yang tidak Sukarnois. Kemenangan diperoleh oleh kelompok perwira Angkatan Darat Indonesia yang tidak Sukarnois dengan bantuan penuh dari CIA.
Keterlibatan CIA dalam tragedi nasional 1965 di Indonesia juga berusaha diungkapkan oleh Willem Oltman, seorang berkebangsaan Belanda yang telah menjadi sahabat Presiden Sukarno sejak pertengahan tahun 1950-an. Pada tahun 1995, Oltman menerbitkan buku Mijn Vriend Sukarno20 yang terdiri dari 34 bab dan merupakan otobiografi. Pembahasan dimulai oleh wawancara Oltman dengan Presiden Sukarno dalam kunjungan pertamanya ke luar negeri, yaitu di Roma pada tanggal 10 Juni 1956. Oltman kemudian diundang oleh Sukarno ke Indonesia dan sejak itu menjadi sahabatnya. Tragedi 1965 oleh Oltman dibahas secara panjang lebar hingga menghabiskan 13 bab dengan judul Jakarta. Bagi Oltman kejatuhan Sukarno dari tampuk kekuasaannya merupakan tipu muslihat CIA. Pada tahun 2001, Oltman kembali menerbitkan buku yang mempertegas argumentasinya tentang keterlibatan CIA dalam tragedi 1965 di Indonesia.21
--------
1. Untuk sejarah pembentukan CIA lihat tulisan mantan Deputy Director of CIA. Ray S.Cline, Secrets Spies and Scholars: Blueprint of the Essential CIA; ttp: 1976, hlm. 93-96.
2. David Wise dan Thomas Ross, the Invisible Government; New York: Random House, 1964 dikutip oleh Willem Oltmans, Dibalik Keterlibatan CIA: Bung Karno Dikhianati?, Jakarta: Aksara Karunia, 2001, hlm. 53-54. 
3. http://www.cia.gov(8/12/99), http://www.dci.gov(8/12/99), http://www.ic.gov(8/12/99).
4. Willem Oltmans, op.cit., hlm. 55.
5. Untuk latar belakang perang dingin lihat, John lukacs, A History of the Cold War; New York: Doableday, 1961, dan Hugh Higgins, The Cold War; London: Hienemann Educational, 1984.
6. Untuk sejarah perkembangan golongan komunis di Indonesia, lihat Ruth T. McVey, The Rise of Indonesian Communism; Ithaca: Cornell Univerisity Press, 1968 dan Rex Mortimer, Indonesian Communism under Sukarno: ideology and Politics 1959-1965, Ithaca: Cornell University Press, 1974.
7. Lihat Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965,Jakarta: Grafitipers, 1987, hlm. 197-256.
8. Lihat George McT. Kahin dan Audrey R. Kahin, Subversion as Foreign Policy: The Secret Eishonhower and Dulles Deblacle in Indonesia, New York: The New Press, 1995.
9. Tentang pengaruh Soviet dan RRC di Indonesia, lihat Justus M. van der Kroef, “Soviet and Chinese Influence in Indonesia” dalam Alvin Z. Rubinstein (ed.), Soviet and Chinese Influence in the Third Word, New York: Praegen,1975.
10. Arnold C. Brackman, Communist Colaps in Indonesia,New York: W.W. Norton, 1969, hlm. 26-27
11. Resimen Cakrabirawa dibentuk pada tanggal 14 Mei 1962 setelah terjadi usaha pembunuhan terhadap Presiden Sukarno sewaktu melaksanakan sholat Idul Adha di depan Istana Merdeka, Jakarta. Kekuatan Resimen Cakrabirawa terdiri dari satu Detasemen Kawal Presiden dan empat batalion dari masing-masing angkatan, yakni Angkatan Darat, Angkatan Laut (Marinir), Angkatan Udara (PGT = Pasukan Gerak Tjepat), dan Angkatan Kepolisian (Brimob = Brigade Mobil). Para anggota Resimen Cakrabirawa merupakan orang-orang pilihan. Lambat-laun mereka mendapat perlakuan istimewa yang melebihi standar normal anggota tentara. Uniform (pakaian seragam) mereka dari angkatannya semula diganti dengan suatu uniform dengan baret yang warnanya mirip dengan baret RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat), sehingga mereka merasa sebagai pasukan yang paling elit. Lihat Maraden Panggabean, Berjuang dan Mengabdi, Jakarta: Sinar Harapan, 1993, hlm. 155. 
12. Dokumen Siaran RRI Jakarta 1 Oktober 1965 setelah warta berita pukul 07.00 WIB terdapat dalam Alex Dinuth, Dokumen Terpilih Sekitar G30S/PKI, Jakarta: Intermasa, 1997, hlm. 42-44.
13. Lihat Perintah Harian Menteri/Panglima Angkatan Udara Republik Indonesia Nomor 445/ Pen /1965 dalam ibid, hlm. 50.
14. Teks pidato Pelengkap Nawaksara ditulis lengkap dalam ibid, hlm. 201-205.
15. Artikel ini dicetak untuk kembali untuk diketahui oleh masyarakat umum pada tahun 1995 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 2000. Lihat David T. Johnson, “GESTAPU: “Dua Jalur” CIA di Indonesia” dalam Tigor Bonar Naipospos dan Rahadi T. Wiratama (eds.), Plot TNI-AD- Barat Dibalik Tragedi ’65, Jakarta: TAPOL-MIK-Solidamor, 2000, hlm. 71-109.
16. Teori bahwa kudeta Gerakan 30 September dilancarkan oleh perwira menengah Angkatan Darat yang progresif atau tidak puas diajukan pertama kali oleh Benedict R.O’G. Anderson dan Ruth T. McVey, A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia, Interim Report Series, Modern Indonesia Project, Cornell University, Ithaca, New York, 1971 atau yang lebih dikenal Cornell Paper yang sudah terbit secara terbatas pada tahun 1965. Menurut Arnold C. Brakman (1969) sekitar lima puluh salinan Cornell Paper justru menyebar di luar Universitas Cornell, seperti Inggris, Belanda, dan Australia. Hal yang sama dikemukakan oleh W.F. Wertheim, seorang pengamat Indonesia terkemuka asal Belanda. Ia menerima salinan Corner Paper pada bulan Januari 1966, lihat W.F. Wertheim, “Sejarah Tahun 1965 Yang Tersembunyi” dalam ibid, hlm. 50.
17. Teori bahwa kudeta Gerakan 30 September dilancarkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) pertama kali dikemukakan secara akademis oleh Nugroho Notosusanto dan Ismael Saleh, The Coup Attempt of the “September 30 Movement” in Indonesia, Jakarta: Penmas, 1967. Teori ini sesuai dengan pandangan Presiden Soeharto dalam rapat mendadak di Markas Kostrad pada 1 Oktober 1965. Empat tahun sebelum kejatuhan Soeharto dari tampuk kekuasaan, Pemerintah Orde Baru sempat menerbitkan ‘buku putih’ yang menetapkan PKI sebagai dalang kudeta Gerakan 30 September, lihat Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September: Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994.
18. Teori bahwa Presiden Sukarno sendiri yang menjadi dalang kudeta Gerakan 30 September diperkenalkan pertama kali oleh Antonie C.A. Dake, In the Spirit of the Red Banteng: Indonesia Communists Between Moscow and Peking 1959-1965,The Hague: Mouton, 1973.
19. Khusus seputar keterlibatan Soeharto dalam kudeta Gerakan 30 September telah diperkenalkan oleh W.F. Wertheim, “Soeharto and the Untung Coup-The Missing Link”, Journal  of Contemporary Asia, 1 (Winter),1970.
20. Buku ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Bung Karno Sahabatku, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001.
21. Willem Oltman, Di Balik Keterlibatan CIA: Bung Karno Dikhianati?;Jakarta: Aksara Karunia, 2001.
____________

Sumber:

Malam Bencana 1965 Dalam Belitan Krisis NasionalBagian I Rekonstruksi dalam Perdebatan,

Sampul Depan
Taufik AbdullahSukri AbdurrachmanRestu Gunawan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Panglima di Simpang Kudeta

Kedekatan dengan Tan Malaka dan tokoh anti diplomasi dengan penjajah sempat membuat Soedirman dituduh merancang kudeta. SURAT itu diterima pada siang hari, saat Soedirman bersiap meninggalkan Loji Gandrung, rumahnya di Solo, Jawa Tengah. Dibawa dengan pengawalan khusus dari Yogyakarta ke Solo oleh Brigade 29 pimpinan Kolonel Dahlan, surat itu diteken Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin. Kurir meminta Jenderal Soedirman menjawab segera, satu dari dua pilihan yang ditawarkan Menteri Amir: bersedia datang menghadap ke Istana Yogya sore itu juga, atau “ditangkap” di tempat. Jika pilih yang kedua, detasemen pengirim surat bersedia “menjemput”. Soedirman menahan marah. Ia meminta pasukan Dahlan kembali ke Yogyakarta. Soedirman, seperti ditulis sejarawan Universitas Indonesia S.I. Poeradisastra dalam Hubungan Soedirman dengan Persatuan Perjuangan, bersedia datang dikawal pasukan Divisi Panembahan Senopati pimpinan Mayor Jenderal Soetarto, langsung ke Istana. Perintah itu terkai...

Kecewa adinda di Perang Gerilya

Tim buku Tempo.  Hubungan Soedirman dan Sukarno tidak mulus. Sempat berniat mengundurkan diri dari militer. DENGAN mengenakan mantel hitam dan piyama, Soedirman pergi meninggalkan rumah dinas di Jalan Bintaran Wetan, Yogyakarta. Tujuannya: Gedung Agung, Istana Presiden Yogyakarta, yang berjarak satu kilometer dari Bintaran. Ditemani dokter Soewondo dan Kapten Tjokropranolo, Soedirman berikhtiar menemui Presiden Sukarno. Kesabaran Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia itu habis setelah Kapten Soepardjo Roestam, yang diutus menemui Sukarno, tak kunjung kembali. Situasi sedang genting. Pagi itu, 19 Desember 1948, pasukan Belanda menyerang Lapangan Terbang Maguwo. Inilah pertama kalinya Soedirman meninggalkan rumah setelah tiga bulan beristirahat karena sakit yang diderita.  “Pak Dirman seakan-akan memperoleh kekuatan setelah mendengar Belanda melancarkan serangan,” tulis Soepardjo Roestam dalam catatan hariannya, seperti dikutip pengamat militer Salim Said dalam...

Tentang Tiga Jenderal Besar

P ada waktu Jenderal (TNI) Wiranto menerima pimpinan   Angkatan Darat dari tangan Jenderal (TNI) Hartono lewat suatu upacara timbang terima di halaman Markas Besar Angkatan Darat, saya duduk di barisan kedua para tamu VIP. Di depan saya duduk Jenderal TNI (Purn.) A.H. Nasution, sementara di samping saya ada Mayor Jenderal TNI Fachrul Razi, waktu itu Gubernur Akademi Militer di Magelang. Selesai upacara resmi, Wiranto dan istrinya mendatangi Nasution untuk memberi salam. Ketika Wiranto membungkukkan badan mencium tangan Nasution, saya tiba - tiba melihat suatu kesinambungan yang menarik. Menurut catatan, Wiranto lahir pada 1948, tahun ketika Nasution sebagai Panglima Komando Jawa sedang memimpin perang gerilya di Pulau Jawa. Sebagai seorang peneliti politik militer, kenyataan yang menarik itu merangsang perasaan dan pergolakan pemikiran dalam diri saya. Dari pergolakan itu gagasan yang lahir adalah pantasnya Nasution menjadi Jenderal bintang lima [Jenderal Besar]. Memang aneh, dan t...