Langsung ke konten utama

DEMOKRASI TERPIMPIN 1959-1965 I

See the source image
Saleh As’ad Djamhari
Dekret Presiden 5 Juli 1959: Presiden Sukarno Menciptakan Revolusi
Pada Februari 1957 Presiden Sukarno memperkenalkan gagasannya yang dikenal dengan sebutan Konsepsi Presiden, berisi gagasan pembaruan kehidupan politik yang disebut sistem Demokrasi Terpimpin. Sistem ini merupakan jawaban terhadap kegagalan sistem politik liberal yang mengancam disintegrasi bangsa, terutama akibat munculnya pemberontakan bersenjata di daerah-daerah, yang dikendalikan oleh tokoh-tokoh politik dan militer. Adapun pokok konsepsi Presiden adalah perlu dibentuk Kabinet Gotong Royong dan Dewan Nasional yang terdiri dari wakil-wakil partai politik dan golongan fungsional.
Wakil-wakil partai politik pada umumnya menolak konsepsi itu, dan berpendapat bahwa mengubah susunan ketatanegaraan secara radikal harus diserahkan kepada Konstituante. Sementara itu Dewan Konstituante hasil Pemilihan Umum 1955 dalam sidang-sidangnya hanya dipenuhi oleh pidato politik tanpa hasil, seperti yang diharapkan oleh rakyat. Krisis politik, kewibawaan, dan konstitusional, semakin memuncak. Bahkan sidang-sidang Dewan Konstituante tidak berhasil merumuskan UUD yang baru. Sebagai jalan keluar dari krisis multiaspek ini, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Letnan Jenderal Nasution dan Partai Nasional Indonesia mengajukan saran agar Presiden mendekretkan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Di dalam sidangnya pada tanggal 17 Maret 1958, Dewan Nasional memperkuat saran itu dan menganjurkan kepada pemerintah agar segera memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945.
Presiden Sukarno dalam pidatonya di hadapan sidang Dewan Konstituante, tanggal 22 April 1959, yang berjudul Res Publica, Sekali lagi Res Publica, atas nama pemerintah menegaskan supaya Konstituante menetapkan saja UUD 1945 menjadi UUD Negara Republik Indonesia yang tetap. Menurut Sukarno, UUD 1945 merupakan landasan terbaik dalam rangka pelaksanaan Demokrasi Terpimpin.
Seruan Presiden dibahas dalam sidang-sidang Konstituante dari tanggal 29 Mei sampai dengan tanggal 2 Juni 1959, tanpa ada kesepakatan. Akhirnya diadakan pemungutan suara, sekalipun telah diadakan sebanyak tiga kali, tetap tidak mencapai jumlah dua pertiga suara setuju, seperti yang ditetapkan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, pasal 37. Hasilnya adalah 201 suara setuju, 265 suara tidak setuju, sedangkan anggota yang hadir pada pemungutan suara pertama sebanyak 474 orang. Bahkan pada pemungutan suara terakhir, tanggal 2 Juni 1959, tidak juga dicapai qourum. Pada keesokan harinya, Konstituante mengadakan reses, yang ternyata untuk selama-lamanya.
Dengan kegagalan itu, seruan Presiden Sukarno tidak terpenuhi, karena adanya perbedaan pendapat prinsipiil mengenai dasar negara yang dimulai dengan usul amandemen dari pihak Islam. Untuk mencegah ekses-ekses politik akibat ditolaknya usul pemerintah oleh Konstituante, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), selaku Penguasa Perang Pusat (Peperpu), Letnan Jenderal A. H. Nasution, atas nama pemerintah mengeluarkan larangan bagi semua kegiatan politik yang berlaku mulai tanggal 3 Juni 1959, pukul 06.00 pagi. Ia pun kemudian menyarankan kepada Presiden Sukarno, yang saat itu sedang melakukan perjalanan dinas ke Jepang, untuk mengumumkan kembali ke UUD 1945 dengan suatu Dekret Presiden. Selain itu rakyat pun menuntut kembali ke UUD 1945, yang dinyatakan dalam beberapa rapat umum. Pejabat Presiden Mr. Sartono telah mengumumkan lewat radio agar masyarakat bersabar menunggu kedatangan Presiden yang akan menentukan kebijakan baru. Kalangan militer berperan dalam menentukan slogan-slogan yang disediakan untuk masyarakat dalam rangka menyambut kedatangan presiden. Di samping slogan-slogan yang berbunyi: Hidup Bung Karno, juga beredar slogan-slogan yang lebih terarah dengan rangkaian kata-kata sebagai berikut: Rakyat yang sudah lama menderita, mendesak Presiden bertindak tegas.1
Presiden Sukarno memerlukan waktu beberapa hari untuk mengambil langkah-langkah yang menentukan. Pada tanggal 3 Juli 1959 berlangsung pertemuan antara Sartono, Perdana Menteri Ir. Djuanda, para menteri, serta pimpinan TNI dan para anggota Dewan Nasional, seperti Roeslan Abdulgani, Muhammad Yamin, Mr. Wiryono Prodjodikoro, dan Ketua Mahkamah Agung.2
Mereka sepakat untuk segera melaksanakan kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Langkah-langkah itu dipandang sebagai jalan untuk bersama-sama mengembalikan persatuan nasional. Pada hari Minggu, 5 Juli 1959 pukul 17.00 sore, dalam suatu upacara resmi yang hanya berlangsung 15 menit di Istana Merdeka, Jakarta, Presiden Sukarno mengumumkan Dekret yang memuat tiga hal pokok, sebagai berikut:
pertama, menetapkan pembubaran Konstituante; kedua, menetapkan UUD 1945 berlaku bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai tanggal penetapan dekret ini, dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS); ketiga, pembentukan MPRS, yang terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan daerah. Rakyat menyambut baik Dekret 5 Juli 1959, dan didukung oleh TNI dan Mahkamah Agung. Kepala Staf Angkatan Darat sebagai salah seorang konseptornya,3 dalam perintah hariannya menginstruksikan kepada seluruh jajaran TNI Angkatan Darat untuk melaksanakan dan mengamankan Dekret 5 Juli. Dukungan lain datang dari DPR hasil Pemilihan Umum 1955.
Dalam sidangnya tanggal 22 Juli 1959, DPR secara aklamasi bersedia bekerja terus dalam rangka UUD 1945. Dekret Presiden 5 Juli 1959 mengakhiri demokrasi liberal yang telah tercapai. Dekret Presiden dikeluarkan atas dasar Staatsnoodrecht, hukum keselamatan negara dalam keadaan bahaya yang luar biasa. Keadaan yang dimaksud adalah keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan kesatuan negara serta menghalangi program pembangunan semesta. Dekret menetapkan berlakunya kembali UUD 1945 dalam kerangka Demokrasi Terpimpin. Sistem Demokrasi baru ini ditanggapi oleh tokoh-tokoh partai-partai politik dengan dua sikap yang berbeda. Partai yang menerima adalah PNI dan PKI, sedangkan partai NU terpecah menjadi dua, sedangkan yang menolak adalah Masyumi, PSI, Partai Katolik, dan sebagian NU. Kelompok yang menolak kemudian membentuk Liga Demokrasi. Kelompok lainnya yang menerima, yaitu golongan fungsional, kemudian disebut Golongan Karya dan ABRI.
Demokrasi Terpimpin sebagai sistem berdasarkan pada UUD 1945. Akibatnya, Kabinet Djuanda dibubarkan pada tanggal 9 Juli 1959 dan digantikan Kabinet Karya. Menjelang pembentukan Kabinet Karya, Presiden Sukarno mengatakan bahwa dalam pengangkatan menteri-menteri baru, tidak akan diadakan hearing (dengar pendapat) dengan partai-partai. Tidak seorang pun pemimpin partai besar dimasukkan ke dalam kabinet. Dengan demikian kabinet dapat dianggap sebagai kabinet nonpartai. Selaku Perdana Menteri (kepala pemerintahan), Presiden meminta anggota-anggota kabinet melepaskan kepartaiannya sejak pelantikannya. Komposisinya menunjukkan semakin hilangnya pengaruh partai. Struktur kabinet terdiri atas, tiga orang pimpinan kabinet, menteri-menteri Kabinet Inti, Menteri Negara ex-officio, Menteri Muda dan pejabat-pejabat negara yang berkedudukan menteri. Pimpinan kabinet terdiri atas Perdana Menteri, yaitu Presiden/Panglima Tertinggi AD Ir. Sukarno, Menteri Pertama Ir. H. Djuanda, dan Wakil Menteri Pertama Dr. J. Leimena. Struktur kabinet terdiri atas bidang-bidang tugas, dan dibagi dalam delapan kelompok, yang masing-masing dipimpin oleh seorang Wakil Menteri Pertama (Wampa).4
Kabinet ini dinamai Kabinet Kerja. Setelah terbentuknya Kabinet Kerja dengan Ir. Djuanda sebagai Menteri Pertama, Presiden Sukarno mengeluarkan Penetapan Presiden No. 2 tahun 1959, membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), yang anggota-anggotanya ditunjuk dan diangkat oleh Presiden dengan persyaratan setuju kembali kepada UUD 1945, setia kepada perjuangan Republik Indonesia, dan setuju dengan Manifesto Politik.5
Pengangkatan pimpinan MPRS oleh Presiden terdiri dari ketua yang dirangkap oleh Wakil Perdana Menteri III dan Wakil-wakil Ketua yang diangkat dari pimpinan partai-partai besar (PNI, NU, PKI) serta Wakil TNI, yang masing-masing diberi kedudukan sebagai menteri tanpa porto folio. Kebijakan Presiden Sukarno dalam mencanangkan sistem Demokrasi Terpimpin tergambar dalam pidatonya, Penemuan Kembali Revolusi Kita, yang diucapkannya pada peringatan Hari Proklamasi tanggal 17 Agustus 1959. Kemudian pada Sidang Umum MPRS 1960, Presiden mengucapkan pidato Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol) yang kemudian ditetapkan sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara. Dalam pidatonya Presiden Sukarno menyatakan tentang kelahiran sebagai berikut: ... Melainkan aku hanya sekedar menggalinya dari buminya Ibu Pertiwi. Manipol lahir dari kandungannya Ibu Sejarah. Presiden Sukarno mendasarkan pada pendapatnya bahwa Revolusi Indonesia dalam usaha menuju masyarakat yang adil dan makmur masih belum selesai. Oleh karena itu, sebelum usaha itu tercapai, revolusi harus berjalan terus dan segenap susunan yang ada masih bersifat sementara. Selain itu, dengan Penetapan Presiden No. 3 tahun 1959, Presiden menghidupkan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), yang berkewajiban memberi jawaban atas pertanyaan Presiden dan berhak mengajukan usul kepada Presiden. Sukarno duduk sebagai ketua DPA, dan Ruslan Abdulgani sebagai wakil ketua. DPA memiliki empat puluh tiga anggota, yang pengangkatannya didasarkan pada tiga golongan, yaitu pemimpin dari sepuluh partai penting yang tidak disertakan dalam kabinet mendapat dua belas kursi, golongan kedua terdiri dari wakil-wakil daerah mendapat delapan kursi, sedangkan Golongan Karya mendapat dua puluh tiga kursi.
Untuk menjalankan pemerintahan, Presiden Sukarno mengajukan Rencana Anggaran Belanja Negara pada Juni 1960, namun oleh DPR rencana tersebut ditolak. Akibatnya, pada tanggal 24 Juni 1960 Presiden Sukarno membubarkan DPR. Selanjutnya DPR baru dibentuk melalui mekanisme pengangkatan. Dewan itu dinamakan DPR Gotong Royong (DPR-GR) yang bertugas sampai pemilihan umum. Ternyata pemilu tidak penah diadakan sampai berakhirnya masa pemerintahan Sukarno. Presiden mengangkat anggota-anggota DPR-GR dengan berpedoman pada perimbangan kursi-kursi perwakilan untuk partai-partai politik dan Golongan Karya. Pengangkatannya meliputi 130 wakil-wakil kepartai-an, yaitu PNI 44 orang, NU 36 orang, dan PKI 30 orang. Selebihnya, 153 kursi diberikan kepada Golongan Karya, 15 kursi untuk Angkatan Darat, masing-masing 7 kursi untuk Angkatan Laut dan Udara, 5 kursi untuk Kepolisian dan sejumlah kursi lainnya untuk buruh, tani, tokoh-tokoh Islam, pemuda, wanita dan cendekiawan.6
Anggota DPR-GR yang seluruhnya diangkat oleh Presiden Sukarno terikat pada peraturan yang ditetapkan oleh Presiden yaitu Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1960 dan Peraturan Pemerintah No. 12 tahun 1961.
Para Panglima Angkatan pun diangkat menjadi menteri ex-officio, karena jabatan. Sesuai dengan jabatannya, masing-masing dikenal dengan sebutan Menteri/Panglima Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian. Sebagai Menteri Kabinet Kerja, mereka dinyatakan semata-mata sebagai pembantu Presiden tanpa pertanggungjawaban politik seorang menteri. Susunan keanggotaan DPR-GR dan MPR(S) yang dipilihnya sendiri mencerminkan kekuasaan mutlak Presiden Sukarno. Pada tanggal 17 Agustus 1960 partai-partai yang terlibat pemberontakan PRRI-Permesta, yaitu Masyumi dan PSI, dibubarkan berdasarkan Keputusan Presiden No. 7/1959.
Pembubaran itu didahului oleh pembubaran DPR hasil Pemilihan Umum 1955 dengan Ketetapan Presiden No. 3/1960. Timbullah reaksi dari partai-partai, antara lain dari NU dan PNI. Beberapa orang pemimpin NU berkeberatan terhadap pembubaran DPR lama itu dan mengancam akan menarik pencalonan anggota-anggotanya untuk DPR-GR. Sikapnya berubah karena adanya penambahan kursi untuk mereka, tetapi NU tetap berkeberatan terhadap susunan kabinet. K. H. Wahab Hasbullah, selaku Rois Aam, menyatakan bahwa NU tidak bisa duduk dengan PKI dalam satu kabinet. Pernyataan yang sama diikuti oleh beberapa pemimpin berbagai partai, NU, Parkindo, Partai Katolik, Liga Muslimin, PSII, dan IPKI. Mereka tergabung dalam sebuah organisasi yang bernama Liga Demokrasi.
Pada akhir bulan Maret 1960, Liga Demokrasi yang diketuai Imron Rosyadi dari NU, mengeluarkan suatu pernyataan yang menuntut dibentuknya DPR yang demokratis dan Konstitusional. Sebaliknya, Liga itu menghendaki pemerintah menunda pembentukan DPR-GR, yang dianggap hanya akan memperkuat pengaruh dan kedudukan suatu golongan tertentu yang mengakibatkan kegelisahan dalam masyarakat dan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. DPR-GR menurut Liga Demokrasi, hanya akan meng-iya-kan saja semua kehendak pemerintah, sehingga tidak dapat menjadi soko guru negara hukum dan demokrasi yang sehat. Liga pun beranggapan pembaruan dengan cara pengangkatan sebagaimana yang dipersiapkan dalam DPR-GR bertentangan dengan azas-azas demokrasi yang dijamin oleh undang-undang.7
Pernyataan Liga Demokrasi itu tidak memperoleh perhatian dari Presiden, bahkan semua aktivitasnya dilarang dan eksistensinya dibekukan. Reaksi perorangan mengenai pembubaran DPR hasil Pemilihan Umum 1955 berasal dua orang tokoh PNI, Mr. Sartono dan Iskaq Tjokrohadisuryo yang juga teman lama Presiden Sukarno. Selain itu, Mr Sartono sebagai pimpinan PNI yang merangkap Ketua DPR hasil Pemilihan Umum 1955, menyatakan tidak puas dengan perkembangan keadaan. Sedangkan Mr. Iskaq mengeluarkan pernyataan yang ditujukan kepada partainya bahwa mereka yang duduk dalam DPR-GR bukanlah sebagai wakil dari PNI. Hubungan mereka dengan PNI tidak ada lagi, sebab mereka duduk dalam DPR-GR atas hasil penunjukan.
Sutomo (Bung Tomo) dari Partai Rakyat Indonesia mengajukan pengaduan kepada Mahkamah Agung melalui suratnya tanggal 22 Juni 1960. Isinya antara lain mengadukan pelanggaran Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik yang dilakukan oleh Kabinet di bawah pimpinan Dr. Ir. Sukarno dengan membubarkan Parlemen hasil pilihan rakyat.
Kabinet yang dimaksud adalah Kabinet Kerja, di mana Menteri-menterinya terdiri atas Jaksa Agung, Ketua Mahkamah Agung, para Wakil Ketua MPRS, dan Ketua DPR-GR. Pengangkatan mereka sebagai menteri merupakan perkembangan baru dalam tatanegara kita. Dengan pengangkatan itu dapat diartikan seseorang mempunyai jabatan pada dua bidang pemerintah yang berbeda, yaitu memegang jabatan lembaga legislatif atau yudikatif dengan status eksekutif.
Prinsip Trias Politica telah ditinggalkan, yang sekaligus menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi. Sinyalemen pimpinan partai dan tokoh politik yang menentang pembubaran parlemen tidak keliru. Terbukti dalam praktek demokrasi terpimpin. Dalam Demokrasi Terpimpin, DPR-GR merupakan lembaga yang mensahkan secara formal-yuridis setiap keputusan dan tindakan Presiden, antara lain menyangkut anggaran pendapatan dan belanja negara, politik luar negeri, dan sebagainya. Dalam menegakkan Demokrasi Terpimpin, Presiden Sukarno membubarkan pula Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB) dan membentuk organisasi baru Front Nasional, suatu organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita Proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945.8
Pimpinan Front Nasional adalah Presiden Sukarno dan para ketua umum partai-partai besar, Golongan Karya, dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata diangkat sebagai wakil pimpinan. Melalui Front Nasional yang dipimpinnya, Presiden Sukarno mengharapkan dapat berhubungan langsung dengan massa dan memungkinkan untuk melampaui partai-partai.
---------
1.John D. Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1972, hlm. 349.
2.Ibid.
3.Wirjono Projodikoro, Azas-Azas Hukum Tatanegara di Indonesia, Cet. 3, Jakarta, hlm. 31.
4.John D. Legge, op. cit., hlm. 363.
5.Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia,
Jilid VI, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hlm. 311.
6.John D. Legge, op.cit., hlm. 360.
7.Marwati Djoened Poesponegoro, dkk, op.cit., hlm. 315.
8.Ibid, hlm. 316.

Revolusi Kedua
Pada saat peran partai-partai politik merosot akibat kebijakan Presiden Sukarno, sebaliknya bagi Partai Komunis Indonesia (PKI), terbuka peluang untuk memainkan peranannya secara aktif dalam politik praktis maupun konsepsi politik. Saat itu, Presiden Sukarno yang sedang ‘‘gandrungkepada revolusi, menyerahkan sepenuhnya kepada Dewan Nasional untuk menyusun Garis-Garis Besar Haluan Negara yang bersumber pada Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1959, dengan rumusan yang menitikberatkan pada persoalan-persoalan pokok Revolusi Indonesia yaitu: dasar/tujuan dan kewajiban Revolusi Indonesia, kekuatan-kekuatan sosial revolusi Indonesia, sifat revolusi Indonesia, hari depan revolusi Indonesia dan musuh-musuh revolusi Indonesia.
Dalam kurun waktu sembilan tahun, PKI di bawah pimpinan D.N. Aidit, Lukman, dan Nyoto, mencapai kemajuan yang luar biasa. Menjelang tahun 1963 jumlah anggotanya telah mencapai sekitar dua setengah juta orang. Selain itu, PKI juga mempunyai pengaruh dan jaringan yang luas dengan berbagai lapisan masyarakat melalui organisasi-organisasi massanya, seperti Barisan Tani Indonesia (BTI), organisasi wanita Gerwani, gabungan serikat buruh SOBSI, dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).9
Mulai saat ini, instabilitas politik terus berlangsung, PKI lambat-laun berkembang menjadi partai terkuat, karena kondisi yang menguntungkan selama periode Demokrasi Terpimpin.
Selama periode Demokrasi Terpimpin, kekuatan politik terpusat di tangan Presiden Sukarno dengan TNI-AD dan PKI di sampingnya.
Sejak awal periode itu, secara politis PKI mendapat peluang dari Presiden, baik dari ucapan-ucapan maupun kebijaksanaannya. Pada penutupan Kongres Nasional VI PKI bulan September 1959, Presiden menyampaikan sambutan yang berbunyi:
...yo sanak, yo kadang, malah yen mati aku sing kelangan (ya saudara, ya kerabat, bahkan kalau mati aku kehilangan). Kata-kata itu disertai dengan janji Presiden untuk membentuk Kabinet Gotong Royong di mana PKI akan duduk di dalamnya.
Peluang pertama didapat PKI setelah Presiden Sukarno mengucapkan pidato tanggal 17 Agustus 1960 yang berjudul ‘‘Jalannya Revolusi Kita (Jarek), di mana dipertegas lagi tentang pelaksanaan Manipol. Sesuai dengan permintaan Presiden, pada bulan Januari 1961 DPA memerinci pelaksanaan Manipol, antara lain tentang gotong royong, yang diartikan sebagai mempraktekkan samen bundeling van alle revolutionaire krachten. Di Indonesia ada tiga revolutionaire krachten, Nasionalis, Agama, dan Komunis (Nasakom), yang masing-masing tidak boleh saling kena fobi. Penyusunan cara-cara pelaksanaan Manipol berdasarkan konsep Jarek. Tokoh-tokoh PKI yang diikutsertakan memanfaatkan peluang memasukkan program-programnya menjadi bagian dari program pemerintah. Peluang berikutnya didapat PKI dalam penyusunan garis besar politik luar negeri yang didasarkan atas pidato Presiden Sukarno di depan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berjudul Membangun Dunia Kembali, pada bulan September 1960.
Peluang yang besar dimanfaatkan PKI untuk mengubah taktik perjuangannya dari cara parlementer atau cara damai, beralih ke cara lain, sebagaimana yang diputuskan dalam Kongres Nasional PKI VII bulan April 1962, yang antara lain: PKI tidak memandang dalam praktik pekerjaan di parlemen sebagai satu-satunya bentuk perjuangan. PKI mendasarkan politiknya atas analisa Marxis mengenai keadaan konkret dan perimbangan kekuatan.10
Untuk memperoleh perimbangan kekuatan (balance of power), mula-mula PKI melakukan ofensif Manipolis dan kemudian meningkatkan menjadi ofensif revolusioner terhadap kekuatan sosial politik yang mereka nilai mempunyai sikap anti-PKI. Sebaliknya, PKI merangkul kekuatan sosial yang berada di pihaknya, seperti Partindo. Semula partai itu berazaskan marhaenisme ajaran Sukarno, tetapi kemudian berubah menjadi Marxisme yang diterapkan di Indonesia. Rupanya Sukarno setuju terhadap perubahan itu, bahkan dikatakannya bahwa Marhaenisme adalah Marxisme-Sukarnoisme, paralel dengan komunisme. Pendapat itu tercerna dalam tubuh PNI. Hal ini berbeda dengan ucapan Presiden Sukarno di depan Konferensi Besar Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) di Kaliurang, Yogyakarta, pada bulan Februari 1959. Dijelaskannya saat itu, bahwa Marhaenisme adalah asas yang menghendaki susunan masyarakat dan negara yang di dalam segala hal menyelamatkan kaum Marhaen. Marhaen adalah juga asas perjuangan yang revolusioner sesuai dengan watak kaum Marhaen.
Selanjutnya dalam Penetapan Presiden No. 7 tahun 1959 tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian, ditetapkan bahwa setiap partai politik harus berasaskan Pancasila. Dalam perkembangan lebih lanjut, terbukti PKI menerima Pancasila hanya sebagai alat untuk mencapai tujuannya. PKI menganggap bahwa Pancasila adalah filsafat persatuan dan alat pemersatu. Pancasila sebagai alat pemersatupernah menimbulkan heboh yang dikenal dengan heboh Pancasiladi dalam masyarakat, karena ceramah D.N. Aidit (sebagai Menteri Koordinator/Wakil Ketua MPRS) di depan Kursus Kader Revolusi Angkatan Dwikora pada bulan Oktober 1964. Dalam ceramah itu, Aidit mengatakan: Dus, di sinilah betulnya Pancasila sebagai alat pemersatu, sebab kalau sudah satusemuanya... Pancasila nggak perlu lagi. Sebab Pancasila alat pemersatu bukan? Kalau sudah satusemuanya, apa yang kita persatukan lagi.11
Ucapan Aidit itu mendapat reaksi dari masyarakat luas, yang dimuat hampir semua mass-media, kecuali mass media milik PKI atau yang berada di pihaknya. Karena campur tangan Presiden Sukarno sebagai Penggali Pancasila, heboh Pancasila tidak berlanjut dan PKI meneruskan gerakannya. Kemudian terbit brosur D.N. Aidit Membela Pancasilasebagai pembelaan atas ucapannya itu. Gerakan ofensif PKI di bidang politik dan fisik dimulai pada tahun 1964. Selama tahun itu gerakan yang dapat dicatat antara lain gerakan riset di kecamatan-kecamatan, aksi penyitaan milik Inggris dan Amerika Serikat, aksi retooling, tuntutan penggantian pejabat yang anti-PKI, aksi tunjuk hidung, peng-indonesia-an Marxisme, dan aksi-aksi sepihak.
Aksi-Aksi yang dilancarkan PKI didasarkan atas program rahasia yang berjudul Resume Program dan Kegiatan PKI Dewasa ini (1963). Program itu merupakan program jangka pendek, di mana PKI telah gagal karena tidak dipimpin oleh orang-orang komunis. Revolusi belumlah selesai. Untuk menyelesaikannya perlu ditempuh dengan cara merebut pimpinan dari tangan kaum borjuis nasional. Ketika dokumen rencana empat tahun PKI itu jatuh ke tangan partai Murba, PKI menyatakan bahwa dokumen itu palsu. Peristiwa ini menimbulkan heboh di kalangan partai-partai politik. Presiden Sukarno menilai peristiwa ini bisa menimbulkan perpecahan nasional. Oleh karena itu pimpinan partai-partai politik disekapdi Istana Bogor untuk menyelesaikan masalah ini. Kemudian mereka membuat Deklarasi Bogor pada Desember 1964. Fitnah PKI ditujukan terhadap Badan Pembela Sukarnoisme, yaitu sebuah badan yang didirikan oleh kelompok anti PKI. Untuk menghancurkannya, PKI memfitnahnya sebagai badan yang bertujuan menyelewengkan ajaran Presiden Sukarno, bahkan berusaha membunuhnya. Akhirnya Presiden membubarkan BPS.
Ofensif PKI berikutnya beralih kepada partai Murba, yang dianggap telah membocorkan dokumen rahasia PKI. Sama dengan cara yang dipakai terhadap BPS, PKI menciptakan fitnah bahwa Partai Murba telah memecah-belah persatuan Nasakom dan akan mengadakan kudeta, serta akan membunuh ajaran dan pribadi Presiden Sukarno. Akibatnya, pemimpin Murba ditahan dan partainya dibubarkan oleh Presiden Sukarno pada tanggal 5 Januari 1965. Sehari sebelumnya disinggung pembekuan partai Murba dalam sambutannya, Wakil Perdana Menteri I Dr. Subandrio, sehubungan dengan ulang tahun harian Duta Masyarakat:
... bahwa tahun 1965 adalah tahun gawat, tahun kristalisasi. Jangan terkejut jika saya katakan bahwa dalam tahun 1965 akan ada afvallerss, akan ada orang-orang yang tadinya teman seperjuangan pun, comrade in arms akan rontok, karena tidak bisa mengikuti lagi jalannya revolusi....Dalam suasana revolusioner, Presiden Sukarno memberikan ruang dan waktu kepada PKI untuk melancarkan aksi-aksinya terhadap lawan-lawan politiknya. Sehingga PKI mendominasi opini publik dan opini pimpinan pemerintahan. Dalam usahanya menguasai ABRI, PKI melaksanakan strategi Metode Kombinasi Tiga Bentuk (MKTBP). Sasaran utama PKI ialah penanaman paham komunis di kalangan ABRI. PKI menentang kebijaksanaan Pemerintah yang memberlakukan Undang-Undang Keadaan Bahaya (UUKB) pada tahun 1957, PKI khawatir akan kekuasaan dan pengaruh ABRI bertambah besar. Selanjutnya PKI menggunakan cara lain, yaitu dengan diam-diam mengintensifkan pemasukan kader-kader mereka menjadi tamtama dan bintara ABRI. Cara terbuka kembali di
gunakan ketika PKI gagal mencari perimbangan kekuatan di badan legislatif. Protes terhadap masuknya golongan fungsional ABRI ke dalam DPR-GR terjadi, setelah melihat jumlah keanggotaannya berada di bawah wakil-wakil ABRI. Dalam dewan itu wakil-wakil ABRI berjumlah 35 orang, sedangkan wakil PKI hanya 30 orang. Dalam usahanya menjaga perimbangan kekuatan, Presiden Sukarno segera menentukan langkahnya. Presiden mengadakan reorganisasi dan integrasi dalam tubuh ABRI. ABRI ditempatkan langsung di bawah kekuasaannya. Presiden/Panglima Tertinggi dibantu oleh Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KASAB) dan para Panglima Angkatan. Pada bulan Juli 1962 terjadi pergeseran posisi unsur-unsur anti-komunis dalam pimpinan Angkatan Darat. Jenderal A. H. Nasution yang sebelumnya menjabat Kepala Staf Angkatan Darat menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata yang baru dibentuk, dan sebagai Kepala Staf Angkatan Darat diangkat Jenderal A. Yani. Dengan pengangkatannya, bukan berarti Yani adalah salah seorang prajurit yang berpihak kepada komunis (pro-komunis). Sikapnya terhadap PKI tidak berbeda dengan Nasution, yang sama-sama berusaha mempertahankan kubu Angkatan Darat dari rongrongan PKI. Namun Yani dianggap sangat setia kepada Sukarno.
Peluang baik terbuka lagi bagi PKI setelah diadakannya reorganisasi ABRI itu. Susunan itu memudahkan Presiden Sukarno merangkul salah satu Angkatan untuk mendukung politiknya. Akibatnya timbul persaingan dan sikap saling mencurigai antara Angkatan yang satu dengan lainnya. Setiap Angkatan berlomba-lomba menjadi yang paling revolusionerdan paling setia kepada Presiden/Pemimpin Besar Revolusi. Pimpinan Angkatan Darat sejak dini sudah bersikap waspada, dan sikapnya itu dipertahankannya dalam suasana persaingan di kalangan ABRI, sehingga peranannya diperkecil. Khususnya terhadap TNI-Angkatan Darat, PKI melontarkan sindiran yang diucapkan oleh D.N. Aidit di depan taruna Akademi Laut, Surabaya, pada tanggal 29 April 1964. Sindiran yang dimaksudkan untuk menimbulkan kebencian angkatan satu dengan angkatan lainnya, antara lain berbunyi sebagai berikut: ALRI kita tidak akan menjadi mangsa Jenderal Pentagonyang berkulit sawo matang, yang menggambarkan seolah-olah musuh yang akan datang menyerbu Indonesia dari utara (maksudnya RRC), jadi menurut mereka bukan dari SEATO, bukan dari imperialis Amerika dan Inggris. Pengkhianatan Jenderal-Jenderal Pentagonsawo matang terhadap gagasan Nefo, gagasan yang memasukkan negeri-negeri sosialis, termasuk RRC sebagai Sekutu Indonesia, harus dijauhi ALRI.
Ternyata dalam tubuh Angkatan Laut lahir Gerakan Perwira Progressif Revolusioner (GPRR) yang sudah digarap oleh PKI. Timbul pula kericuhan dalam tubuh Kepolisian yang dapat segera diselesaikan. Adanya kedua peristiwa itu, yang dapat menjurus kepada perpecahan TNI, melahirkan Tri Ubaya Sakti sebagai doktrin perjuangan TNI-AD yang dihasilkan Seminar Angkatan Darat, yang berlangsung pada tanggal 2-9 April 1965. Dalam pembukaan Seminar Angkatan Darat, Panglima TNI-AD Jenderal Ahmad Yani menganggap doktrin itu sangat penting untuk memantapkan daya tahan TNI-AD terhadap setiap rongrongan. Ditegaskannya bahwa TNI-AD harus bersatu merapatkan barisan, agar tertutup kesempatan bagi lawan yang akan memecah-belah mereka. Korban sudah cukup banyak dan situasi sedang genting, demikian antara lain ucapan Yani.
Benarlah apa yang diucapkan Jenderal Yani bahwa gerakan-gerakan ofensif revolusionerdilakukan PKI menjelang ulang tahunnya ke-45. Gerakan-gerakannya lebih dikenal dengan aksi sepihak yang dilancarkan oleh organisasi massanya. Ormas PKI Barisan Tani Indonesia (BTI) di berbagai tempat mempersoalkan pelaksanaan land reform atau masalah tanah lainnya. Di Desa Sambirejo, Ngawi, anggota-anggota PKI membakar rumah-rumah rakyat, di PPN Karet IX Bandar Betsy (Sumatra Utara), 200 anggota BTI menganiaya sampai tewas Pelda Sujono yang sedang bertugas, dan terjadinya peristiwa Jengkol di mana PKI berusaha merongrong kewibawaan pemerintah melalui kampanye pers, radio, dan poster. PKI menggambarkan mereka sebagai setan desayang harus dibunuh dan dibasmi. Cara-cara kekuatan itu dimaksudkan untuk mematahkan pembinaan teritorial yang dilakukan oleh TNI-AD, sedangkan tujuan politisnya ialah menguasai desa untuk mengepung kota.12
Apa yang telah dilakukan PKI, seperti pembunuhan terhadap Pelda Sujono, merupakan tantangan bagi TNI-AD, sehingga terlontar kata-kata Jenderal Yani yang diucapkannya pada hari ulang tahun RPKAD di Jakarta, tanggal 15 Mei 1965 sebagai berikut, RPKAD harus tetap memelihara kesiapsiagaan yang merupakan ciri khasnya dalam keadaan apa pun, terutama dalam keadaan gawat. Asah pisau komandomu, bersihkan laras senjatamu.Di samping itu Jenderal Yani beranggapan bahwa kalau peristiwa itu dibiarkan begitu saja, maka dalam negara akan timbul anarki. Demikianlah, aparat keamanan dipersiapkan. Di setiap tingkat kelurahan dan kecamatan dikerahkan para bintara pembina desa (Babinsa) dan komando rayon militer (Koramil) untuk menghadapi aksi-aksi PKI di desanya. Manuver PKI lainnya, untuk menasakomisasi ABRI dengan sistem komisaris politik model negara-negara komunis tidak berhasil karena keteguhan sikap pimpinan ABRI. Sebagai tanda penolakannya, Jenderal Yani berkata sebagai berikut: Setiap prajurit ABRI adalah nasakomis, yaitu Nasakom geestelijk, bukan secara kompartementasi. Karena itu setiap prajurit adalah seorang nasionalis, seorang yang beragama dan sosialis.Dengan kata lain, pimpinan ABRI menyatakan bahwa sesungguhnya setiap anggota ABRI sudah Nasakomis dalam jiwanya.13
Sebenarnya Presiden Sukarno menggunakan konsepsi Nasakom sebagai sarana mempersatukan rakyat Indonesia, yang terdiri dari berbagai aliran dan paham politik. Presiden bertolak dari keyakinan politik bahwa antara tiga paham, yaitu Nasionalis, Agama dan Marxis harus dapat bersatu. Baginya, Nasakom adalah salah satu aspek daripada Pancasila. Dengan dalil itu, ia pernah berkata: Barang siapa menerima Pancasila, harus menerima Nasakomdan barang siapa menolak Nasakom, berarti menolak Pancasila.PKI mengeksploitirnya dengan semboyan: Nasakom bersatu, singkirkan kepala batuyang juga dibuatkan lagunya, sehingga terjadilah saat-saat di mana cap komunisto fobi dan kontra revolusionermerupakan suatu tindakan yang mematikan seseorang. Pimpinan ABRI membalasnya dengan semboyan: Nasakom Jiwakuyang diartikan Nasakom sudah ada pada setiap organisasi, tanpa menempatkan tiga orang komisaris politik ke dalamnya yang berasal dari PNI, NU dan PKI, yang dikatakan mewakili Nasakom.
Ketika PKI menuntut agar buruh dan tani dipersenjatai dalam rangka Konfrontasi Malaysia, dengan tegas TNI-AD menolaknya, dan terlontarlah ucapan Jenderal Yani sebagai berikut: Kalau nekolim neo kolonialisme menyerang, bukan saja buruh dan tani dipersenjatai, tetapi juga seluruh rakyat Indonesia.Namun D.N. Aidit dalam pidatonya tanggal 14 Januari 1965, menuntut agar massanya yang terdiri dari satu juta buruh dan sepuluh juta tani dengan nama Angkatan Vdipersenjatai. Usaha PKI untuk menyusun kekuatan bersenjata sebagai tandingan ABRI tidak mendapat tanggapan dari partai-partai lainnya, kecuali Ketua PNI Ali Sastroamijoyo, yang menghendaki agar pembentukan Angkatan V disesuaikan dengan sistem pertahanan dan harus ditentukan oleh MPRS. Lembaga tertinggi negara itu bukan lagi sarana yang dipakai PKI dalam gerakan selanjutnya.
PKI sudah merasa dirinya sebagai partai terkuat di Indonesia, sebagaimana dikatakan oleh D.N. Aidit pada rapat rahasia HUT PKI tanggal 23 Mei 1965, bahwa PKI merupakan partai komunis nomor satu di luar kubu sosialis dan nomor tiga di dunia, dengan jumlah anggota 6 juta dan 20 juta simpatisannya. Sejak hari ulang tahun ke-45 itulah PKI melancarkan suatu ofensif revolusioner, atau gerakan dengan cara kekerasan yang bermuara di Lubang Buaya. ABRI, khususnya TNI-AD kembali menjadi sasaran utamanya, karena merupakan satu kekuatan yang mampu bertahan terhadap rongrongan PKI dan ormasnya yang ingin menghapuskan Pancasila dan UUD 1945.
----------
9.John D. Legge, op.cit., hlm. 366.
10.Nughroho Notosusanto (Ed.), Tercapainya Konsensus Nasional 1966-1969, Balai Pustaka, Jakarta, 1985, hlm. 6-7.
11.D.N. Aidit, Membela Pancasila, Jajasan Pembaruan, Djakarta, 1964, hlm. 21.
12.Marwati Djoened Poesponegoro dkk, op.cit., hlm. 321.
13.Ibid.

Ofensif Pemikiran PKI
Penjelasan Presiden Sukarno mengenai Dekret kembali ke UUD 1945tersebut disampaikan dalam pidato yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kitayang disampaikan pada tanggal 17 Agustus 1959. Pidato itu kemudian diserahkan kepada Panitia Kerja Dewan Pertimbangan Agung (DPA) untuk dirumuskan menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). D.N. Aidit yang memimpin Panitia telah memanfaatkan posisinya untuk memasukkan program-program PKI ke dalam GBHN yang diberi judul Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol). Manipol ini berdasarkan tesis PKI, Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia (MIRI).14
Dengan demikian MIRI sudah disatukan dalam MANIPOL dan MANIPOL sudah ditetapkan sebagai GBHN. Artinya, kepentingan PKI sudah tertampung dalam GBHN yang sudah dijadikan kepentingan Nasional. Dengan masuknya kepentingan PKI dalam GBHN, maka pada Kongres Nasional VI PKI bulan September 1959, CC PKI menyempurnakan dan memperjelas kembali konstitusinya untuk mempertajam perjuangannya membentuk Pemerintah Demokrasi Rakyat. Sesuai dengan program umum Manipol, maka dibentuklah badan-badan baru seperti MPRS, DPA, dan Front Nasional (FN). Pembentukan Front Nasional tersebut semula dimaksudkan sebagai alat penggerak masyarakat, tetapi dalam kenyataannya kemudian jauh menyimpang dari maksud semula, karena badan itu menjadi sasaran penggarapan PKI untuk dibawa ke dalam strategi Front PersatuannyaPKI dengan memanfaatkan organisasi massa yang menjadi anak organisasi PKI atau yang sudah dipengaruhi PKI. Program lain dari Manipol ialah mengadakan retooling aparatur di semua lembaga pemerintah, termasuk alat kekuasaan negara (Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian). Dalam pelaksanaan retooling itu, konsepsi Gotong Royong telah berkembang menjadi gotong royong nasional yang mencakup semua kelompok, yakni kelompok Nasionalis, kelompok Agama, dan kelompok Komunis (Nasakom), sebagaimana yang dikehendaki oleh PKI.
----------
14.B.M. Diah, Meluruskan Sejarah, Jakarta: Pustaka Merdeka, 1987, hlm. 127; Pusat Sejarah TNI,
Bahaya Laten Komunis Di Indonesia, Pemberontakan G30S/PKI dan Penumpasannya, Jilid IVA, Jakarta, Pusat Sejarah TNI, 1994, hlm. 25.

Sumber:

Malam Bencana 1965 Dalam Belitan Krisis NasionalBagian I Rekonstruksi dalam Perdebatan,

Sampul Depan
Taufik AbdullahSukri AbdurrachmanRestu Gunawan



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Panglima di Simpang Kudeta

Kedekatan dengan Tan Malaka dan tokoh anti diplomasi dengan penjajah sempat membuat Soedirman dituduh merancang kudeta. SURAT itu diterima pada siang hari, saat Soedirman bersiap meninggalkan Loji Gandrung, rumahnya di Solo, Jawa Tengah. Dibawa dengan pengawalan khusus dari Yogyakarta ke Solo oleh Brigade 29 pimpinan Kolonel Dahlan, surat itu diteken Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin. Kurir meminta Jenderal Soedirman menjawab segera, satu dari dua pilihan yang ditawarkan Menteri Amir: bersedia datang menghadap ke Istana Yogya sore itu juga, atau “ditangkap” di tempat. Jika pilih yang kedua, detasemen pengirim surat bersedia “menjemput”. Soedirman menahan marah. Ia meminta pasukan Dahlan kembali ke Yogyakarta. Soedirman, seperti ditulis sejarawan Universitas Indonesia S.I. Poeradisastra dalam Hubungan Soedirman dengan Persatuan Perjuangan, bersedia datang dikawal pasukan Divisi Panembahan Senopati pimpinan Mayor Jenderal Soetarto, langsung ke Istana. Perintah itu terkai...

Kecewa adinda di Perang Gerilya

Tim buku Tempo.  Hubungan Soedirman dan Sukarno tidak mulus. Sempat berniat mengundurkan diri dari militer. DENGAN mengenakan mantel hitam dan piyama, Soedirman pergi meninggalkan rumah dinas di Jalan Bintaran Wetan, Yogyakarta. Tujuannya: Gedung Agung, Istana Presiden Yogyakarta, yang berjarak satu kilometer dari Bintaran. Ditemani dokter Soewondo dan Kapten Tjokropranolo, Soedirman berikhtiar menemui Presiden Sukarno. Kesabaran Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia itu habis setelah Kapten Soepardjo Roestam, yang diutus menemui Sukarno, tak kunjung kembali. Situasi sedang genting. Pagi itu, 19 Desember 1948, pasukan Belanda menyerang Lapangan Terbang Maguwo. Inilah pertama kalinya Soedirman meninggalkan rumah setelah tiga bulan beristirahat karena sakit yang diderita.  “Pak Dirman seakan-akan memperoleh kekuatan setelah mendengar Belanda melancarkan serangan,” tulis Soepardjo Roestam dalam catatan hariannya, seperti dikutip pengamat militer Salim Said dalam...

Tentang Tiga Jenderal Besar

P ada waktu Jenderal (TNI) Wiranto menerima pimpinan   Angkatan Darat dari tangan Jenderal (TNI) Hartono lewat suatu upacara timbang terima di halaman Markas Besar Angkatan Darat, saya duduk di barisan kedua para tamu VIP. Di depan saya duduk Jenderal TNI (Purn.) A.H. Nasution, sementara di samping saya ada Mayor Jenderal TNI Fachrul Razi, waktu itu Gubernur Akademi Militer di Magelang. Selesai upacara resmi, Wiranto dan istrinya mendatangi Nasution untuk memberi salam. Ketika Wiranto membungkukkan badan mencium tangan Nasution, saya tiba - tiba melihat suatu kesinambungan yang menarik. Menurut catatan, Wiranto lahir pada 1948, tahun ketika Nasution sebagai Panglima Komando Jawa sedang memimpin perang gerilya di Pulau Jawa. Sebagai seorang peneliti politik militer, kenyataan yang menarik itu merangsang perasaan dan pergolakan pemikiran dalam diri saya. Dari pergolakan itu gagasan yang lahir adalah pantasnya Nasution menjadi Jenderal bintang lima [Jenderal Besar]. Memang aneh, dan t...