Langsung ke konten utama

22 Mei 1998


Bila tuduhan ‘kudeta’ lengket di tubuh Soeharto saat menggulingkan Soekarno melalui Supersemar pada tahun 1966, isu serupa juga terjadi sama pada Prabowo yang dituduh berniat menggulingkan BJ Habibie pada tahun 1998.
Dalam sebuah pidato di depan peserta Forum Editor Asia-Jerman II di Istana Merdeka, Habibie membeberkan soal ‘kudeta’ yang diupayakan oleh Prabowo.
Habibie mengatakan, sehari setelah pelantikannya sebagai presiden, 22 Mei 1998, ia bertemu Jenderal Wiranto. “Dia mengatakan pada saya bahwa pasukan di bawah komando seseorang yang namanya tidak disembunyikan lagi, Jenderal Prabowo, sedang mengonsentrasikan di beberapa tempat, termasuk di rumah saya. Kemudian sebagai Panglima Tertinggi, saya perintahkan tarik pasukan ke barak. Saya tanya Wiranto, apakah perintah saya itu baik. Ya, itu baik, Pak, jawab Wiranto.”
Beberapa kali Habibie melukiskan suasana tersebut. “Tidak usah ditutup-tutupi, kita tahulah yang memimpin konsentrasi pasukan itu, orangnya Prabowo Subianto,” kata Habibie berapi-api.
Dalam wawancara dengan koran Inggris Sunday Times, 8 November 1998, Habibie menyebutkan, “My house was surrounded by two lots of troops. One, the ordinary troops responsible to General Wiranto who ordered a cordon to protect me and one lot belonged to Kostrad, responsible to Prabowo.”
Saat itu, Prabowo belum genap tiga bulan menjabat Panglima Kostrad dan pangkat Letnan Jenderal, promosi dari posisi sebelumnya, Komandan Jenderal Kopassus.
Pidato ini kontan menyulut kontroversi. Bantahan segera datang dari Prabowo, yang saat itu masih berada di Amman, Yordania. Melalui kawan-kawannya, Farid Prawiranegara, Fadli Zon, dan Ahmad Soemargono, ia menyampaikan surat yang dibeberkan dalam konferensi pers di Hotel Regent.
Surat itu isinya menyatakan bahwa pengerahan pasukan yang berada di bawah komandonya pada 12-22 Mei 1998 dilaksanakan sesuai prosedur. “Semua itu dilaksanakan sepenuhnya di bawah Panglima Komando Operasi Jaya, yaitu Pangdam Jaya. Dan semua pengerahan pasukan pun dilaporkan kepada komando atas.”
Prabowo menjelaskan, pada rapat malam hari di Mako Garnizun Ibu Kota, 14 Mei 1998, Wiranto memerintahkan Panglima Kostrad membantu mengamankan objek-objek vital di Ibu Kota. Sementara, Komandan Korps Marinir membantu mengamankan kedutaan asing, serta Danjen Kopassus membantu mengamankan presiden dan wakil presiden.
Dalam suratnya, Prabowo kemudian menantang, “... mungkin perlu dilakukan pengecekan langsung pada puluhan perwira dan ratusan prajurit yang ditempatkan di Ibu Kota, terutama yang mengamankan presiden dan wakil presiden ... apa perintah yang telah mereka terima, siapa yang memberikannya, dan sebagainya.”
Lewat tantangan itu, otomatis ‘durian’ jatuh mengarah ke muka Wiranto. Terang-terangan Prabowo menyatakan bahwa Wiranto mengetahui, bahkan memerintahkan seluruh gerakan pasukan, termasuk ke rumah Habibie. Sampai di sini, orang pun berspekulasi, “Adakah maksud tersembunyi di balik laporan Wiranto, sehingga Prabowo tersudut, lantas tersingkir dari percaturan politik yang ‘dikuasai’ Habibie?”
Tetapi selang dua hari setelah pidato Habibie itu, Wiranto membantah ucapan Habibie dalam sidang di Komisi I DPR RI. Menurutnya, itu bukan konsentrasi pasukan, melainkan konsolidasi. Tak ada yang berniat kudeta saat itu.
Anehnya, Habibie tak bereaksi atas bantahan Wiranto itu. Sehingga publik makin bingung, mana yang benar, ucapan Habibie atau Wiranto. Benarkah Habibie dapat masukan dari Wiranto? Sebab dalam satu pertemuannya dengan tokoh Dewan Dakwah Islamiyah, 30 Juni 1998, Habibie mengaku diberi tahu soal konsentrasi pasukan itu oleh Letjen TNI Sintong Panjaitan, orang dekat Habibie yang kini menjabat Sesdalopbang.
Toh, bantahan Wiranto cukup menenangkannya. “Pak Wiranto harus membantah karena memang apa yang diucapkan Habibie tidak benar,” kata Prabowo. Menurutnya, semua panglima saat itu menerima perintah dari Mabes ABRI. Saat situasi genting, ada pembagian tugas, bahwa Kopassus dipasrahi mengawal presiden dan wakil presiden, sedangkan Kostrad diminta menjaga objek vital dan strategis.
Prabowo kemudian menambahi, untuk melaksanakan perintah Mabes ABRI itulah sejumlah pasukan berada di sekitar kawasan Istana dan Monas. “Pak Wiranto tahu persis bahwa perintah itu ada. Saksinya banyak, para panglima komando,” kata Prabowo.
Pers asing bahkan sempat memberitakan bahwa ketika itu Wiranto dan Prabowo sedang adu banyak pasukan. Di atas kertas pada hari-hari pertama kerusuhan, Prabowo memiliki lebih banyak pasukan ketimbang Wiranto. Mengingat keadaan yang gawat itu maka Wiranto terpaksa mendatangkan pasukan dari Jawa Timur. Baik dari Marinir, Kostrad maupun Brawijaya. Bahkan ada cerita yang mengatakan, pelaut-pelaut ALRI pun diberi seragam Marinir supaya Marinir dari Surabaya itu tampak banyak jumlahnya.
Prabowo yang didukung Kodam Jaya, Kostrad Cilodong, Kopassus Cijantung, Solo dan Cimahi serta Marinir Cilandak, belakangan mendapat bantuan Siliwangi. Namun Prabowo yang sempat bertahan di Cijantung dengan sebagian pasukan Kopassus dan Kostrad, akhirnya menyerah. Tapi ia minta agar Johny Lumintang yang menggantikannya. Pangkostrad dicopot dan digantikan oleh Pangdam Siliwangi Djamari Chaniago. Sementara perwira ketika itu sempat mendesak Wiranto agar Prabowo langsung dihukum di lapangan karena membahayakan dan menentang perintah atasan. Tetapi permintaan itu ditolak Wiranto.
Nah, kejadian yang sebenar-benarnya tentang apa yang terjadi di kediaman Habibie ini hanya mereka berdua yang tahu. Toh, keduanya membeberkan versi yang berbeda satu dengan yang lainnya. Pernyataan yang paling mencolok adalah ungkapan Habibie yang merasa kedatangan Prabowo adalah ancaman kekuasaan baginya, sementara Prabowo merasa tindakannya adalah bentuk dari pengamanan kenegaraan.
Coba kita telisik satu per satu menurut versi mereka.

22 Mei, versi Habibie


Ingatan Habibie mencatat, di ruang kerja Presiden, saat itu Pangab Jenderal Wiranto tengah berjumpa dengan Habibie. Habibie memberi tahu Jenderal TNI Wiranto bahwa posisinya tetap sebagai Menhankam/Pangab, sama sewaktu Kabinet Pembangunan VII.“Terima kasih Bapak Presiden,” ujar Wiranto seperti dikutip Habibie.
Setelah mengucapkan terima kasih, Jenderal Wiranto langsung meminta untuk berbicara dengannya. “Bolehkah saya bicara sebentar,” tutur Habibie mengulangi permintaan Jenderal TNI Wiranto. “Dia (Wiranto-pen) mengatakan pada saya bahwa pasukan di bawah komando seseorang yang namanya tidak usah disembunyikan lagi Jenderal Prabowo sedang dikonsentrasikan di beberapa tempat, termasuk di rumah saya (presiden),” paparnya. Untuk itu, Wiranto mohon petunjuk.
Nah, dari laporan tersebut, Habibie berkesimpulan bahwa Pangkostrad bergerak sendiri tanpa sepengetahuan Pangab.“Pangab, sebelum matahari terbenam, Pangkostrad harus sudah diganti dan kepada penggantinya diperintahkan agar semua pasukan di bawah komando Pangkostrad harus segera kembali ke basis kesatuan masing-masing.” Sebagai Panglima Tertinggi (Pangti), Habibie memerintahkan Jenderal Wiranto untuk menarik pasukan Prabowo ke barak. “Saya tanya Wiranto: ‘Apakah perintah saya itu baik?’ Wiranto pun menjawab: ‘Ya, itu baik, Pak’.”
Meski Prabowo mengidolakan dirinya, konon Habibie merasa jengah dengan desakan Prabowo yang ingin eksklusif menemuinya. Sebab, sebelumnya Habibie sudah sepakat dengan Menhankam/Pangab Wiranto bahwa setiap ada anggota ABRI yang ingin menemuinya, harus seizin atau sepengetahuan Pangab. Dan, setelah Prabowo masuk ke ruangannya dan melihatnya tanpa membawa senjata, Habibie pun merasa puas. “Hal ini berarti pemberian ‘eksklusivitas’ kepada Prabowo tidak dilaksanakan lagi,” tulis Habibie, di bukunya.
Dialog antara keduanya pun segera terjadi dan dilakukan dalam bahasa Inggris. “Ini penghinaan bagi keluarga saya dan keluarga mertua saya Presiden Soeharto. Anda telah memecat saya sebagai Pangkostrad.’’ Habibie menjawab, ‘’Anda tidak dipecat, tapi jabatan Anda diganti.” Prabowo balik bertanya, “Mengapa?” Habibie kemudian menjelaskan bahwa ia menerima laporan dari Pangab bahwa ada gerakan pasukan Kostrad menuju Jakarta, Kuningan, dan Istana Negara. “Saya bermaksud mengamankan presiden,” kata Prabowo.“Itu adalah tugas Pasukan Pengamanan Presiden yang bertanggung jawab langsung pada Pangab dan bukan tugas Anda,” jawab Habibie. “Presiden apa Anda? Anda naif ?” jawab Prabowo dengan nada marah. “Masa bodoh, saya presiden dan harus membereskan keadaan bangsa dan negara yang sangat memprihatinkan,” jawab Habibie.
“Atas nama ayah saya, Prof Soemitro Djojohadikusumo dan ayah mertua saya Presiden Soeharto, saya minta Anda memberikan saya tiga bulan untuk tetap menguasai pasukan Kostrad,’’ kata Prabowo.
Habibie menjawab dengan nada tegas, “Tidak! Sampai matahari terbenam Anda sudah harus menyerahkan semua pasukan kepada Pangkostrad yang baru. Saya bersedia mengangkat Anda menjadi duta besar di mana saja!” “Yang saya kehendaki adalah pasukan saya!” jawab Prabowo. “Ini tidak mungkin, Prabowo,” tegas Habibie.
Ketika perdebatan masih berlangsung seru, Habibie kemudian menuturkan bahwa Sintong masuk, sembari menyatakan kepada Prabowo bahwa waktu pertemuan sudah habis. “Jenderal, Bapak Presiden tidak punya waktu banyak dan harap segera meninggalkan ruangan.” Percakapan itu terekam dalam buku yang dilansir Habibie dan sempat mengundang rasa panas dari kubu Prabowo.
Konon, sore hari itu Prabowo memang mendatangi Habibie di istana. Namun, entah karena merasa akrab atau alasan lainnya,
Prabowo menolak meletakkan pistolnya saat akan menghadap Habibie. Tentu saja Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) melarangnya menemui presiden. Prabowo pun marah besar.
Paspampres yang keder melihat ledakan amarah Jenderal berbintang tiga itu segera mengontak Jenderal Wiranto. Walhasil, Wiranto menginstruksikan Paspampres agar Prabowo ‘diamankan’, karena dapat membahayakan keselamatan presiden.
Akhirnya, Kopassus diusir dari sekitar Istana oleh pasukan Marinir. Saat itu, Wiranto meminta Mayjen Marinir Soeharto, Komandan Marinir untuk mengusir pasukan Kopassus dari sekitar Istana dan rumah Habibie. Mayjen Soeharto bukan orang asing bagi Prabowo karena mereka berdua pernah tinggal dalam satu kamar di Seskogab Bandung, ketika keduanya menjadi siswa sekolah komando itu.
Konon, saat itu Wiranto bertanya apakah Soeharto berani menghadapi pasukan Prabowo. Dan Soeharto pun menjawab,“Berani. Kami sendiri ingin menunjukkan kepada Kopassus, coba siapa yang lebih unggul sekarang, mereka atau Marinir.” Pasukan Marinir kemudian memang bergerak menuju Istana dan pasukan Kopassus akhirnya mengundurkan diri.
Menurut Habibie, pasukan Kostrad dan mesin perangnya yang dikonsentrasikan di beberapa lokasi strategis kawasan ibukota
negara, menyulitkan pengendalian pasukan oleh Jenderal Wiranto.
Habibie dilapori Wiranto soal konsentrasi pasukan Prabowo yang tak jelas maksudnya itu. Nah, dengan pengakuan Habibie ini, sebenarnya secara hukum, Prabowo sudah bisa dikenai tuduhan percobaan makar atau bahkan subversif.
Pernyataan Habibie ini pun mengundang beragam spekulasi. Saat itu, ada yang menebak bahwa itu adalah langkah Habibie
untuk mendongkrak popularitasnya di mata  masyarakat. Terutama berkaitan dengan keinginannya untuk mencalonkan diri sebagai presiden lagi.
Di luar negeri ia sempat mendapat poin lantaran mengangkat isu Timor-Timur. “Sedangkan di dalam negeri ia akan kesankan bukanlah hal yang mudah untuk duduk sebagai presiden sekarang ini. Ia ingin bilang bahwa pernah dilawan juga oleh kelompok status quo,” kata seorang sumber.
Spekulasi lain juga datang. Pernyataan Habibie tersebut merupakan dukungan moral terhadap langkah-langkah Wiranto untuk membersihkan Kopassus. Saat itu, sempat dikabarkan Wiranto membentuk satgas khusus yang dipimpin oleh seorang kolonel Kopassus untuk melakukan pembersihan terhadap pengikut setia Prabowo di jajarannya. Karena ada dugaan keras bahwa kerusuhan di berbagai tempat belakangan ini adalah hasil operasi pengikut Parbowo, terutama dari kelompok bekas prajurit Kopassus yang membentuk sebuah geng tentara bayaran di Cikarang.
Atas beragam tudingan dan spekulasi ini, Fadli Zon dan Farid Prawiranegara angkat bicara. Dua teman dekat Prabowo ini mengatakan, konsentrasi pasukan saat itu dilakukan Prabowo untuk mengamankan tempat strategis, bukan untuk tujuan lain. Menurut mereka, memang ada prosedur tetap, yaitu pembagian tugas dari jajaran pasukan ABRI di bawah koordinasi Panglima Komando Operasi untuk mengamankan Jakarta. Dalam pembagian tugas itu bahwa pasukan Kostrad bertanggung jawab untuk mengawasi sejumlah lokasi strategis, pasukan Kopassus menjaga kediaman presiden dan wakil presiden, serta pasukan Korps Marinir yang bertanggung jawab menjaga semua kedutaan besar.
KSAD yang saat itu dipegang Jenderal Soebagyo H.S. juga menegaskan tidak pernah ada perintah pasukan TNI AD mengepung Istana dan kediaman mantan Presiden B.J. Habibie.
“Semua pergerakan pasukan TNI AD pada masa transisi dari Presiden Soeharto kepada Presiden B.J. Habibie atas sepengetahuan saya sebagai pimpinan Angkatan Darat,” ujarnya.
Sebagai KSAD, kata Soebagyo, ia mendapatkan semua laporan lengkap penggunaan satuan TNI AD, sehingga semua pasukan dari Kostrad, Kopassus, Kodam Jaya, dan seluruh satuan TNI AD harus dilaporkan kepadanya. Dus, ia mengaku tidak mengerti sampai muncul istilah adanya pergerakan pasukan yang diduga akan melakukan kudeta. “Saya tidak pernah dapat laporan dari Mabes ABRI soal kudeta. Juga tidak pernah ada laporan pengepungan rumah Presiden Habibie dan Istana Presiden,” ujarnya.
Letjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin yang saat itu bertindak sebagai Panglima Daerah Militer Jakarta Raya dan Panglima Komando Operasi Jaya, juga menolak tudingan yang sudah kadung dibeberkan Habibie di muka pers ini. Ia kembali menegaskan tidak ada kemungkinan Prabowo Subianto melakukan kudeta terhadap Habibie. Pasalnya, saat itu tidak ada kemungkinan Prabowo mengendalikan pasukan. “Pasukan yang dia bisa kendalikan itu mungkin yang ada di barak-barak. Yang ada di barak itu mau kudeta? Kudetalah, sampai di mana bisanya?” kata Sjafrie yang kini menjabat sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan.
Menurut Sjafrie, semua pasukan Kostrad berada di bawah kendalinya untuk menghadapi situasi di Jakarta, ketika huru-hara Mei 1998 dan terjadinya peralihan kepemimpinan. Sjafrie mengaku waktu itu semua pasukan Kostrad disiagakan, yakni pasukan yang ada di Divisi Infanteri I Kostrad (Jawa Barat), Divisi Infanteri II Malang, dan Brigade III Kostrad di Makassar disiapkan untuk mendukung Koops Jaya.
“Jadi Koops Jaya yang meminta kekuatan. Dan kekuatan itu diberikan, serta diangkut TNI sendiri. Jadi kalau ada pasukan-pasukan yang tidak terkendali, dari mana dia datang? Naik apa? Logistiknya gimana? Pengendalian Koops Jaya itu solid betul.
Komando kendali komunikasi dan informasi itu, logistiknya sudah di tangan kita semua. Tidak ada kemungkinan orang mau bikin kudeta,” ujar Sjafrie.
Lucunya, delapan tahun usai peristiwa ini terjadi, Wiranto baru urun bicara. Menurutnya, ada kemungkinan Habibie salah paham dengan informasi yang diberikan tentang keberadaan pasukan di Istana Merdeka. Tidak menutup kemungkinan informasi itu diterima secara tidak tepat oleh Habibie sehingga menduga Pangkostrad hendak melakukan kudeta. “Bisa saja, sangat bisa,” tegasnya. Menurut Wiranto, informasi itu sebenarnya ditujukan untuk meyakinkan Habibie bahwa TNI tidak akan melakukan kudeta dan justru berupaya melindungi keselamatan negara dan pemerintahan yang sah.
Wiranto memaparkan, dari sisi teknis organisasi tidak mungkin Pangkostrad dapat melakukan kudeta. Alasannya, kudeta militer hanya dapat dilakukan oleh pemegang komando atas ketiga angkatan dan Polri. Dan kewenangan sebesar itu hanya ada di tangan panglima ABRI. “Kalau mau kudeta yang paling pantas melakukan hanya panglima ABRI,” katanya.
Rupanya, peristiwa upaya kudeta ini memberikan kesan sangat mendalam pada Habibie. Kesan itu pernah mengganggu konsentrasinya saat membacakan pidato pada Sidang Paripurna DPR/MPR 5 Januari 1999 — pidato resmi pertamanya sejak menjadi presiden. Ketika membaca teks pidatonya, Habibie sempat berulangkali batuk-batuk dan menyeka hidungnya. Banyak media massa memberitakan presiden sakit flu dan pilek saat berpidato.
Padahal, menurut sumber tadi, Habibie saat itu sehat cuma merasa terharu karena ingat pada ancaman Prabowo setelah ia menjadi presiden.


22 Mei, versi Prabowo


Lain Habibie, lain Prabowo.
Pada hari itu, Jumat 22 Mei 1998 ia mendapat laporan dari stafnya, Pataka Kostrad yang merupakan lambang kepemimpinan komando kesatuan akan diambil. Itu berarti komandan akan diganti. “Kok, tidak ada pemberitahuan kepada saya?” kata Prabowo.
Prabowo mengatakan sudah menyadari dari sejarah, jika seorang pemimpin turun, semua yang dekat dengan pemimpin itu juga akan turun. “Saya punya intuisi saya akan diganti, tetapi itu biasa saja,” kata Prabowo. “Saya menjunjung tinggi konstitusi dan saya tidak mengeluh atas keputusan presiden.”
Prabowo menggambarkan, hubungannya cukup dekat dengan Habibie ketika itu. Dia mengagumi Habibie saat menjadi Menteri Negara Ristek karena dia anggap Habibie dapat membawa Indonesia menjadi negara industri maju. “Saya ingat perkataan Habibie. ‘Prabowo, kapan pun kamu ragu, temui saya setiap waktu dan jangan berpikir tentang protokol’. Saya kenal betul dengan Habibie selama bertahun-tahun. Saya jawab oke.”
Seusai shalat Jumat sekitar pukul 14.00, dia datang dengan dua kendaraan ke Wisma Negara. Satu dinaiki Prabowo dan satu kendaraan pengawal. Dia menemui ajudan Presiden untuk minta bertemu Presiden. “Saya orangnya naif dan polos-polos saja. Kalau saya lihat sekarang, mungkin mereka tegang lihat saya datang dan saat itu banyak pengawal di sana. “Prabowo datang dengan pakaian loreng, pakai kopel, dan bawa senjata. Ia melepas kopel dan senjata karena itu etika dalam militer.
Kedatangan Prabowo ke kediaman Habibie ia hanya ingin bertanya soal jabatannya. Apalagi, waktu kejadian itu berlangsung. Habibie tengah direpotkan dengan penyusunan Kabinet Reformasi Pembangunan. “Para pengawal presiden sangat terkejut. Mungkin mereka baru saja di-briefing, saya akan datang menyerbu. Maka, saya segera memberi tahu hanya ingin menemui Pak Habibie. Paling sekitar sepuluh menit untuk menanyakan sesuatu yang sangat mendesak...”.
Sebelum masuk ke ruangan, Prabowo menyerahkan senjatanya. “Aturannya begitu sehingga saya bukan dilucuti, tetapi perwira yang tahu aturan.” Menurut Prabowo, di kediaman Habibie ia berbuat menurut prosedur resmi. Ia menanggalkan senjata di depan pintu. “Jangankan menghadap presiden,  wong menghadap komandan kompi saja senjata harus dicopot,” katanya.
“Tapi, saya diinformasikan mau mengadakan kudeta. Informasi itu keliru. Saya percaya ada kelompok tertentu yang menginginkan saya menjadi kambing hitam untuk menutupi keterlibatan mereka (dalam drama kerusuhan 13-14 Mei),”ungkapnya. Ia menegaskan, bohong besar berita yang mengatakan ia hendak mengancam Habibie. “Jujur saja, kalau memang saya ingin, bisa saja. Jangan meremehkan pasukan Kopassus, tempat saya dibesarkan,” tandasnya. Toh, usai izin diberikan, ia memasuki ruangan dan Habibie segera memeluk dan mencium pipi Prabowo. 
Saat itulah, Prabowo bertanya pada Habibie,”Sir, did you know I was going to be replaced today?”
“Ÿes, yes, yes...,” begitu jawaban Habibie. “Your father-in-law asked me to replace you. It’s best. If you resign from the army, I’ll make you ambassador to the United States.” Sontak, Prabowo kaget, “My God, what is this?” Soalnya,  “In my mind, (Habibie) was still at the time fond of me but he was being fooled....”
Tak lama, Prabowo segera meninggalkan istana, menemui KSAD Jenderal Soebagyo HS. Dalam perjalanan, dia bertemu sejumlah perwira militer sahabatnya. Tanpa diminta, mereka beramai-ramai menyatakan tekad, “Jangan khawatir, kita lawan perintah (Habibie) tersebut.” Tapi Prabowo tak menggebu-gebu.“Diam kalian, jangan membangkang perintah pimpinan.”
Prabowo juga bertemu Mayjen Muchdi PR, Komandan Jenderal Kopassus, yang sama-sama akan digeser dari jabatan. Menurut Prabowo, “Kami berdua sepakat rela digeser, tetapi mohon diberi waktu untuk bisa menumbuhkan persepsi positif di masyarakat, suasananya normal, tanpa gejolak.” Keduanya sepakat membangun persepsi bahwa pergantian Pangkostrad tersebutnhendaknya tetaplah dikesankan sebagai pergantian biasa.
Usulan dari Prabowo dan Muchdi pun disampaikan pada Soebagyo saat Prabowo menyambanginya. Soebagyo pun segera memberi tahu perintah pergantian sekaligus penugasan barunya sebagai Komandan Sekolah Staf Komando ABRI di Bandung.
Mendengar ini, Prabowo menolak. Menurut Soebagyo, secara pribadi penolakan tersebut bisa dia pahami karena Prabowo baru 63 hari menjadi Panglima Kostrad. Namun, dari sisi militer, penolakan tak bisa diterima.
Maka, sebagai teman, dia mengingatkan, “Wo, kalau kamu nolak, berarti kamu nggak menghormati pimpinan, nggak menghormati atasan dan seniormu. Ini semua kan bertujuan baik...”
Pendekatan Soebagyo meluluhkan Prabowo. Ia pun menyatakan bersedia diganti dengan syarat jabatan akan dia serahkan kepada KSAD.
Soebagyo menyampaikan keinginan Prabowo dan Muchdi, bahwa pergantian Pangkostrad tersebut hendaknya tetaplah dikesankan sebagai pergantian biasa. Namun usulan manis tersebut ternyata tak digubris Wiranto. Prabowo memperoleh kabar dari Soebagyo bahwa Wiranto tidak mau ada penundaan penggantian Pangkostrad.
“Wiranto mengatakan penggantian Pangkostrad harus terjadi hari itu juga,” tutur Prabowo. Jumat sore menjelang magrib, serah terima jabatan Panglima Kostrad kepada KSAD berlangsung tertib, dilanjutkan pukul 19.00 di Markas Besar Kostrad, Soebagyo menyerahkan jabatan panglima kepada Johny Lumintang.
Prabowo sempat dikabarkan menyambangi Habibie di kediamannya untuk menagih janjinya soal jabatan Pangab. Kabar ini disangkal oleh Prabowo. Meski ia memang pernah dijanjikan akan menjadi Pangab oleh Habibie, tapi ia tidak pernah meminta untuk menjadi Pangab, bahkan di saat-saat genting pada 21 Mei 1998. Toh, ia tak pernah menyangkal dan menyembunyikan keinginan untuk menjadi Pangab. “Setiap prajurit, tentara, tentu bercita-cita menjadi Pangab,” ujarnya.
Sesungguhnya, lebih dari tiga kali Habibie mengatakan kepadanya. “Bowo, kalau saya jadi presiden, you Pangab.” Menurut Prabowo, itu faktanya. Habibie bahkan mengatakan pada Prabowo bahwa dia sudah dianggap anak ketiganya. “Meskipun sekarang saya kecewa karena dia menuduh saya berbuat sesuatu yang bohong. Saya merasa dikhianati,” tukas Prabowo.
Apapun yang ditudingkan padanya, Prabowo tampaknya sudah mulai kebal. “Saya kaget ada tukang jahit yang nanya, apa benar Bapak telah menodong Pak Habibie? Tapi, meski kaget, saya tidak akan menanggapi rumor-rumor seperti itu. Saya sudah kebal dengan berbagai macam rumor. Kalian tahulah dengan gosip-gosip seperti itu. Masak kita mau tanggapi,” katanya.

Sumber:
Book cover for Prabowo Dari Cijantung Bergerak ke Istana

Prabowo Dari Cijantung Bergerak ke Istana

by 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Panglima di Simpang Kudeta

Kedekatan dengan Tan Malaka dan tokoh anti diplomasi dengan penjajah sempat membuat Soedirman dituduh merancang kudeta. SURAT itu diterima pada siang hari, saat Soedirman bersiap meninggalkan Loji Gandrung, rumahnya di Solo, Jawa Tengah. Dibawa dengan pengawalan khusus dari Yogyakarta ke Solo oleh Brigade 29 pimpinan Kolonel Dahlan, surat itu diteken Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin. Kurir meminta Jenderal Soedirman menjawab segera, satu dari dua pilihan yang ditawarkan Menteri Amir: bersedia datang menghadap ke Istana Yogya sore itu juga, atau “ditangkap” di tempat. Jika pilih yang kedua, detasemen pengirim surat bersedia “menjemput”. Soedirman menahan marah. Ia meminta pasukan Dahlan kembali ke Yogyakarta. Soedirman, seperti ditulis sejarawan Universitas Indonesia S.I. Poeradisastra dalam Hubungan Soedirman dengan Persatuan Perjuangan, bersedia datang dikawal pasukan Divisi Panembahan Senopati pimpinan Mayor Jenderal Soetarto, langsung ke Istana. Perintah itu terkai...

Kecewa adinda di Perang Gerilya

Tim buku Tempo.  Hubungan Soedirman dan Sukarno tidak mulus. Sempat berniat mengundurkan diri dari militer. DENGAN mengenakan mantel hitam dan piyama, Soedirman pergi meninggalkan rumah dinas di Jalan Bintaran Wetan, Yogyakarta. Tujuannya: Gedung Agung, Istana Presiden Yogyakarta, yang berjarak satu kilometer dari Bintaran. Ditemani dokter Soewondo dan Kapten Tjokropranolo, Soedirman berikhtiar menemui Presiden Sukarno. Kesabaran Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia itu habis setelah Kapten Soepardjo Roestam, yang diutus menemui Sukarno, tak kunjung kembali. Situasi sedang genting. Pagi itu, 19 Desember 1948, pasukan Belanda menyerang Lapangan Terbang Maguwo. Inilah pertama kalinya Soedirman meninggalkan rumah setelah tiga bulan beristirahat karena sakit yang diderita.  “Pak Dirman seakan-akan memperoleh kekuatan setelah mendengar Belanda melancarkan serangan,” tulis Soepardjo Roestam dalam catatan hariannya, seperti dikutip pengamat militer Salim Said dalam...

Tentang Tiga Jenderal Besar

P ada waktu Jenderal (TNI) Wiranto menerima pimpinan   Angkatan Darat dari tangan Jenderal (TNI) Hartono lewat suatu upacara timbang terima di halaman Markas Besar Angkatan Darat, saya duduk di barisan kedua para tamu VIP. Di depan saya duduk Jenderal TNI (Purn.) A.H. Nasution, sementara di samping saya ada Mayor Jenderal TNI Fachrul Razi, waktu itu Gubernur Akademi Militer di Magelang. Selesai upacara resmi, Wiranto dan istrinya mendatangi Nasution untuk memberi salam. Ketika Wiranto membungkukkan badan mencium tangan Nasution, saya tiba - tiba melihat suatu kesinambungan yang menarik. Menurut catatan, Wiranto lahir pada 1948, tahun ketika Nasution sebagai Panglima Komando Jawa sedang memimpin perang gerilya di Pulau Jawa. Sebagai seorang peneliti politik militer, kenyataan yang menarik itu merangsang perasaan dan pergolakan pemikiran dalam diri saya. Dari pergolakan itu gagasan yang lahir adalah pantasnya Nasution menjadi Jenderal bintang lima [Jenderal Besar]. Memang aneh, dan t...