Orang-orang dari Bengal Sappers (tentara yg mengerjakan bangunan jembatan dll) dan Miners (tambang) membakar rumah-rumah di desa Bekassi.© IWM SE 6050 |
23 November 1945, Pesawat Dakota yang berangkat dari lapangan udara Kemayoran, Jakarta Pusat menuju Semarang mengalami kerusakan mesin sehingga harus melakukan pendaratan darurat di Rawa Gatel, Cakung, Jakarta Timur yang dulunya masih wilayah Bekasi.
Karena Cakung merupakan daerah kekuasaan Republik, membuat rakyat dan sejumlah pejuang menghampiri. Awalnya mereka ingin mengetahui apa yang terjadi dan kemudian hendak menolong. Namun penumpang pesawat sebanyak 25 orang yang terdiri dari 5 orang dari pasukan Royal Air Force (RAF) dan 20 prajurit India dari kesatuan Maharatta Light Infantry melakukan tembakan ke arah rakyat. Karena mereka berpikir bahwa mereka sedang berada di daerah musuh dan musuh berusaha untuk membunuh mereka. Inilah yang membuat rakyat menjadi kesal. Setelah terjadi pertempuran, akhirnya pasukan Inggris pun menyerah. Mereka terdesak dan kalah jumlah. Terdapat satu korban dari pihak Inggris.
Terhadap tentara yang tersisa, kemudian ditangkap dan dilucuti senjatanya. Oleh anak buah Haji Maksum yang menguasai daerah tersebut di bawa ke Klender dimana pasukan Haji Darip berkuasa untuk kemudian diputuskan bagaimana nasib mereka selanjutnya. Namun mereka tidak sanggup memutuskan dan mengirimkan lebih lanjut ke pusat komando di Bekasi. Perjalanan terasa begitu berat bagi para tawanan, selain karena jarak, juga terdapat penyiksaan yang mereka alami baik dari pihak laskar, tentara, maupun rakyat sepanjang perjalanan.
Pasukan Rajput 4/7 dan tank Sherman dari Lancers ke-13 di pinggiran Bekassi selama pengintaian yang berlaku untuk mencari posisi yang dipegang oleh nasionalis Indonesia.© IWM SE 6798 |
Mengetahui pesawatnya jatuh di wilayah Cakung, Kewedanaan Bekasi, pasukan Inggris esoknya dari Jakarta langsung bergerak menuju lokasi. Ketika pasukan 6/5th Maharatta Light Infantry tiba di lokasi kecelakaan, mereka menemukan mayat seorang prajurit. Banyak luka dan beberapa bagian tubuh telah dimutilasi. Logika mereka kemungkinan besar prajurit lainnya memiliki nasib yang tidak jauh berbeda. Richard McMillan dalam bukunya The British Occupation of Indonesia 1945-1946: Britain, The Netherlands and The Indonesian Revolution,menjelaskan bahwa tentara Inggris langsung melakukan penyisiran dari rumah ke rumah. Kemudian ditemukanlah senjata milik Inggris di salah satu rumah tersebut. Penyisiran terus dilanjutkan, namun kini mereka diserang oleh sekitar 100 orang pejuang bersenjatakan pedang dan parang. Pertempuran yang sengit itu membuat 25 orang pejuang gugur, 20 orang luka, dan 15 orang lainnya menjadi tawanan. Sedangkan dipihak Inggris hanya satu yang tewas dan sedikit yang terluka. Diwaktu yang sama, lima orang tawanan tewas saat hendak melarikan diri. Sebelum balik ke Jakarta, sekitar 200 rumah di sekitar pertempuran (Cakung) dibakar oleh tentara Inggris.
Jenderal Philip Christison, pemimpin Tertinggi Inggris di Indonesia marah besar saat mengetahui kejadian tersebut. Dia pun meminta kepada pemerintah Republik Indonesia untuk segera mengembalikan tawanan-tawanan tersebut. Tetapi, pemuda Bekasi menolaknya. Bahkan tiga hari kemudian, seluruh tahanan dieksekusi di belakang tangsi polisi Bekasi. Rencana semula, seluruh mayat tawanan akan dibuang ke kali Bekasi. Tetapi karena kali Bekasi sedang surut sehingga mayatnya dikubur di belakang tangsi polisi yang lubang penguburannya telah disiapkan.
Kemudian Perdana Menteri Syahrir yang mengetahui peristiwa tersebut langsung segera menghubungi Komandan TKR ResimenV/Cikampek Letnan Kolonel Moeffreni Moe'min. Karena dia tahu bahwa lokasi pesawat jatuh masuk dalam teritori Moeffreni Moe’min. Syahrir dalam teleponnya meminta kepada sang komandan agar mengembalikan seluruh tawanan ke Jakarta. Namun Moeffreni Moe’min sendiri tidak bisa berbuat banyak. Karena seluruh tawanan telah dibunuh. Dia pun menyarankan kalau mau pihak sekutu untuk mengambil mayatnya sendiri.
Bahkan Bung Karno sampai turun ke Bekasi dan menemui Moeffreni Moe’min selaku pemimpin tertinggi militer di wilayah Bekasi untuk menanyakan duduk persoalan. “Mereka sudah melewati batas (perbatasan-pen). (Kemudian setelah pesawat mendarat-pen) mereka menghamburkan tembakan. Melihat tindakan mereka demikian terpaksa kami tembak. Pokoknya kami adakan pertempuran di sana… Mereka menembaki kami, mereka menyerang, kami bertahan lalu kami stelling,kami tembak lagi dengan mitralyur. Kami bersedia kembalikan serdadu India itu tapi mereka tidak bisa hidup lagi. Namanya bertempur,” papar Moeffreni Moe’min. “Oh, kalau begitu wajar dong.” Kata Bung Karno. Tidak lama kemudian presiden pun kembali ke Jakarta. Dan kedatangannya pun ke Bekasi semakin menggelorakan semangat juang rakyat dan pejuang.
Pihak sekutu menduga bahwa kelompok Banteng Hitam Indonesia yang dipimpin oleh Haji Darip dari Klender, merupakan penanggung jawab atas kejadian tersebut. Haji Darip memang merupakan ekstrimis No. 1 bagi Inggris dan Belanda saat itu. Sedangkan di Bekasi, Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI) dipimpin oleh M. Husein Kamaly. Markas utamanya di daerah Kranji. Sehingga di sana ada jalan yang diberi nama Jalan Banteng.
Salah satu koran dari Australia, The Argus, dalam pemberitaannya pada 28 November 1945, diketahui bahwa 25 orang tentara Inggris dan India telah tewas. Tiga orang tewas sebelum sampai di tangsi/barak Polisi Bekasi. Sedangkan sisanya dieksekusi pada Minggu, 25 November 1945.
Sebelumnya, menurut Kalgoorlie Miner (5 Desember 1945), salah satu koran dari Australia, mengatakan bahwa Menteri Pertahanan RI, Mr.Amir Syarifuddin pada 25 November 1945 telah mengirimkan surat ke pihak Bekasi agar tawanan dikirimkan ke Jakarta. Tapi itu sepertinya telah terlambat, karena semua tawanan telah tewas.
Setelah diketahui secara pasti bahwa para tentara Inggris telah dibunuh semua oleh pejuang Republik di Bekasi. Selain itu juga para pejuang juga enggan untuk menyerahkan dan bahkan meminta pihak Inggris untuk mengambil sendiri, membuat Inggris mengerahkan pasukan untuk mengambil jenazah tentaranya.
Pertimbangan membawa pasukan dan sejumlah alat berat menuju Bekasi adalah saat mereka hendak balik dari lokasi pendaratan darurat pesawat di Cakung pada 23 November 1945, terjadi perlawanan yang cukup sengit dari rakyat. Jumlahnya mencapai sekitar 100 orang dengan persenjatan tajam. Pertempuran yang sengit itu membuat 25 orang pejuang gugur, 20 orang luka, dan 15 orang lainnya menjadi tawanan. Sedangkan dipihak Inggris hanya satu yang tewas dan sedikit yang terluka. Diwaktu yang sama, lima orang tawanan tewas saat hendak melarikan diri. Sebelum balik ke Jakarta, sekitar 200 rumah di sekitar pertempuran (Cakung) dibakar oleh tentara Inggris.[1]
Pertempuran Rawa Pasung
Pada 29 November 1945 pagi, tentara sekutu dan NICA dari arah Pulo Gadung menuju ke Bekasi dengan kendaraan lapis baja, truk yang membawa tentara, serta tentara yang berjalan di kanan-kiri jalan. Iring-iringan yang cukup besar tersebut berhasil menembus pertahanan di sekitar Kali Cakung.
Sebelumnya, pejuang yang sedang berjaga diperbatasan segera menginformasikan markas di Bekasi tentang kedatangan pasukan Inggris dalam jumlah besar. Para pejuang di Bekasi kemudian mengatur strategi untuk menahan laju pihak Sekutu dan Belanda. Kemudian ditetapkanlah penghadangan dilakukan di perlintasan rel yang membelah jalan utama di Kranji (sekarang di bawah dan sebelum fly over Kranji dari arah Pulo Gadung).
Kekuatan bersenjata saat itu yang dimiliki adalah TKR dan sejumlah laskar. Mereka terdiri dari BBRI, Laskar Rakyat, dan Perguruan Pencak Silat asal Subang pimpinan Haji Ama Raden Uce Puradiredja.[2] Persenjataan yang digunakan hanya mengandalkan beberapa pucuk senjata Carabijn, senapan mesin ringan, bambu runcing, golok, keris, tombak, panah, dan granat tangan. Dengan kekuatan yang tidak imbang tersebut, kemudian dipecah dalam formasi: bagian selatan dan timur pintu kereta api ditempati TKR yang dipimpin oleh Mayor Sambas Admadinata dan BBRI yang dipimpin oleh M. Husein Kamaly serta orang tuanya Haji Riyan. Bagian utara pintu kereat api dijaga oleh Laskar Rakyat, serta sebelah barat dan utara dikuasai ke Perguruan Pencak Silat.
Karena senjata yang dimiliki tidak imbang, maka cara bertempurnya dengan melakukan pertempuran jarak dekat. Dengan begitu, membuat senjata Sekutu tidak terlalu berfungsi. Strategi ini selalu dilakukan oleh pihak Indonesia dalam tiap pertempuran.
Taktik dimulai dengan menutup perlintasan kereta api dengan palang pintu. Pasukan sekutu mengira akan ada kereta api yang akan lewat. Para pejuang sebelumnya telah memasukkan semua senjata ke dalam baju, sarung yang dililit di perut hingga tidak terlihat dari luar, atau diletakkan disuatu tempat. Untuk kamuflase, mereka berbincang santai sambil merokok.Banyak juga yang bersembunyi. Pasukan Inggris dan Belanda mengira mereka hanyalah petani biasa yang pergi ke sawah. Namun disaat mereka lengah, dalam waktu singkat terjadi pertempuran jarak dekat yang cukup sengit.
Seiring pekikan takbir, anggota Pencak Silat dan para pejuang lainnya menyergap. Mereka melompat ke panser, tank, maupun truk. Dengan berbagai senjata tajam dan ilmu bela diri, mereka menghujam semua tentara yang mereka hadapi. Karena serangan yang tidak diduga, pihak sekutu tidak sempat melakukan perlawanan berarti. Dengan sigap, pasukan sekutu pun mundur. Akibatnya, terdapat 6 orang dari pejuang dan sejumlah tentara sekutu yang gugur. Pihak pejuang berhasil merampas 12 senapan mesin dan 10 carabijn. Mereka juga berhasil menghancurkan sejumlah kendaraan dengan jalan melempar granat-granat dari jarak dekat.[3]
Personil Rajput 4/7 di posisi di samping jalur kereta api di Bekassi selama pengintaian yang berlaku untuk mencari posisi yang dipegang oleh nasionalis Indonesia. © IWM SE 6799 |
Ternyata kebulatan tekad dan ramuan strategi yang tepat, membuat pihak Inggris mundur. Padahal persenjataan mereka lebih lengkap.Peristiwa kemenangan ini pun diabadikan dalam relief di monumen perjuangan depan Gedung Juang Tambun maupun relief di Taman Makam Pahlawan Bekasi di Bulak Kapal.
Pertempuran Pondok Ungu
Dengan sangat kecewa, pasukan Inggris pun mundur. Disaat yang sama sejumlah pejuang telah bersiap di sekitar Pondok Ungu. Mengambil posisi untuk melakukan sergapan. Di sana terdapat seorang pemuda yaitu Tohir yang memimpin pasukan Banteng Hitam. Pasukan Banteng Hitam, pada jaman pendudukan Jepang, banyak yang berasal dari kesatuan bentukan Jepang yaitu Barisan Pelopor ((Suishintai). Kesatuan ini dipimpin langsung oleh Ir. Sukarno.
Selain dari Laskar Banteng Hitam, juga terdapat laskar lainnya yang ikutan melakukan penyergapan. Ada laskar yang dipimpin Haji Nawawi dan Haji Mansyur. Mereka merupakan tokoh masyarakat yang berpengaruh di daerah Kaliabang. Keduanya, dan juga Tohir masuk dalam data intelijen Belanda sebagai tokoh yang berbahaya.[4]
Tidak ketinggalan Laskar Rakyat dari Ujungmalang yang dipimpin oleh Guru Noer Aliyang saat itu masih berusia 31 tahun dan TKR Laut pimpinan Madnuin Hasibuan. [5] Laskar bentukan Guru Noer Ali tidak hanya berasal dari santrinya saja, melainkan terdapat pemuda lain. Meskipun minim senjata api, tetapi tidak menyurutkan semangat dalam berlatih.
Para laskar tersebut dengan tatapan tajam dan penuh semangat, dari tempat persembunyiannya mengamati pasukan Inggris yang sedang melintasi jalanan Pondok Ungu untuk balik menuju Jakarta. Disaat yang tepat, tiba-tiba terdengar komando dari pihak laskar untuk langsung melakukan penyergapan.
Dengan gagah beraninya mereka menyerang pasukan sekutu dari kanan dan kiri jalan.Pasukan Inggris yang baru saja mengalami kekalahan di Rawa Pasung tidak siap dengan serangan mendadak tersebut. Akibatnya para pejuang saat itu berhasil mendesak pasukan Sekutu. Kekuatan sekutu hilang, tidak ada kordinasi lagi untuk menyusun taktik perang. Melihat kenyataan tersebut, akhirnya sekutu mundur dengan sesekali melakukan perlawanan.
Pihak pejuang pun semakin percaya diri melihat kondisi tersebut. Diseranglah terus pasukan sekutu. Hingga saat Inggris berhasil menata kembali pasukannya untuk melakukan serangan balik. Para pejuang pun mundur ke arah Kaliabang. Kondisi berbalik 180 derajat.
Disitulah mulai terjadi pertempuran yang tidak seimbang. Di areal persawahan yang luas antara Pondok Ungu dengan Kaliabang, tidak ada tempat yang bisa dilakukan untuk berlindung dari terjangan peluru maupun mortir.Pasukan rakyat yang tadinya hampir menang malah terdesak sampai Sasak Kapuk.[6]
Para laskar yang hanya bermodalkan golok, parang, bambu runcing, dan senjata tajam lainnya kocar-kacir. Memang ada senjata api, namun beberapa saja, tidak sampai 10 buah. Sedangkan sekutu memiliki senjata api dan sejumlah mortir serta meriam yang lengkap. Akibatnya, strategi satu lawan satu yang digunakan para pejuang tidak lagi berfungsi.Dan satu persatu para pejuang jatuh berguguran. Pihak Inggris sendiri tidak meneruskan merangsek ke Kali Abang. Sekitar 30 hingga 40-an pejuang gugur, puluhan lainnya mengalami luka. Guru Noer Ali sendiri berhasil selamat setelah dia terjun ke kali untuk berlindung.[7]
Dalam laporan pihak Sekutu dikatakan bahwa mereka berhasil mengatasi Banteng Hitam yang telah melakukan pembunuhan terhadap prajurit mereka yang ditawan.
Pemerintah RI Protes pemusnahan Bekasi oleh Sekutu
Pemerintah RI Protes pemusnahan Bekasi oleh Sekutu
Dua hari setelah sekutu menjadikan Bekasi Lautan Api, pemerintah Indonesia melalui Perdana Menteri Sutan Sjahrir, melancarkan protes lewat pidato radio yang kemudian, beritanya diumumkan pada 19 Desember 1945.
Dalam pengumuman resminya itu, Sjahrir menyatakan bahwa tindakan sekutu sudah kelewat batas. Protes dilancarkan dan tak lupa, Sjahrir mengingatkan kepada rakyat, agar tidak lagi memicu insiden yang bisa dijadikan alasan sekutu untuk “bertindak” lagi terhadap rakyat.
Peristiwa ini juga jadi headline di media-media nasional saat itu. Sebut saja Kedaulatan Rakjat (17 Desember 1945) dan Merdeka (21 Desember 1945). Tindakan Inggris ini ternyata juga mengundang kecaman dunia internasional, seperti yang dimuat media-media asing seperti Daily Mail, Daily Worker, News Chronicle dan Truth.
Kedua media asing itu bahkan menyetarakan aksi pemusnahan Bekasi seperti halnya pemboman dan pembakaran Nazi Jerman terhadap sebuah Kota Lidice di Cekoslovakia di masa Perang Dunia II.
Dalam pengumuman resminya itu, Sjahrir menyatakan bahwa tindakan sekutu sudah kelewat batas. Protes dilancarkan dan tak lupa, Sjahrir mengingatkan kepada rakyat, agar tidak lagi memicu insiden yang bisa dijadikan alasan sekutu untuk “bertindak” lagi terhadap rakyat.
Peristiwa ini juga jadi headline di media-media nasional saat itu. Sebut saja Kedaulatan Rakjat (17 Desember 1945) dan Merdeka (21 Desember 1945). Tindakan Inggris ini ternyata juga mengundang kecaman dunia internasional, seperti yang dimuat media-media asing seperti Daily Mail, Daily Worker, News Chronicle dan Truth.
Kedua media asing itu bahkan menyetarakan aksi pemusnahan Bekasi seperti halnya pemboman dan pembakaran Nazi Jerman terhadap sebuah Kota Lidice di Cekoslovakia di masa Perang Dunia II.
Tiga anggota Bengal Sappers dan Miners mengawasi rumah-rumah yang terbakar di desa Bekassi.© IWM (SE 6051) |
---------
[1]Richard McMillan. The British Occupation of Indonesia 1945-1946: Britain, The Netherlands and The Indonesian Revolution. Routledge, New York 2005, hlm: 70.
[2]Keterlibatan Perguruan Pencak Silat ini tentu saja setelah mendapatkan izin dari komandan tempur Moeffreni Moe’min dan berkordinasi dengannya. Sebelumnya, para anggota Pencak Silat telah dilatih kemiliteran singkat oleh TKR. Karena tidak cukup hanya dengan silat saja untuk melawan persenjataan lengkap penjajah. Pelatihan sendiri meliputi pengenalan senjata-senjata api dan strategi tempur. Tentu saja, kombinasi silat dan militer menjadi senjata ampuh bagi perguruan yang didirikan tahun 1922 tersebut.
[3]Dien Majid dan Darmiati. Jakarta-Karawang-Bekasi Dalam Gejolak Revolusi: Perjuangan Moeffreni Moe’min. Keluarga Moeffreni Moe'min, Jakarta 1999. Hlm. 168-170, 177-183.
[4] Arsip Belanda. Tropencommando, Inlichtingendienst No. 354 M. Inlichtingsrapport, betr. 25/26 Januari 1946, afgesl.12.00.
[5] TKR Laut merupakan pasukan yang menempati di sepanjang pantai utara. Mereka kebanyakan berasal dari siswa, mahasiswa, dan tenaga pengajar dari sekolah maritim. Karena markas TKR Laut dekat dengan lokasi markas Laskar Rakyat-nya Guru Noer Ali, membuat mereka menjalin kerja sama dalam usaha mempertahankan kemerdekaan. Tetapi TKR Laut hanya memiliki sedikit kontak dengan resimen Cikampek yang sebagai induk tempurnya, dan tidak ada kontak sama sekali dengan markas angkatan laut di Yogyakarta.
[6]Sasak Kapuk merupakan nama jembatan yang saat ini letaknya antara pabrik PT Bakrie Tosanjaya dengan pabrik PT Bridgestone.
[7]Dien Majid dan Darmiati. Op.Cit, hlm. 184-189.
Oleh. Endra Kusnawan/dengan sedikit tambahan dan perubahan
Komentar
Posting Komentar