Ambarwulan dan Aminuddin Kasdi

Pendahuluan
Ada sejumlah analis Barat yang mengemukakan berbagai versi terhadap peristiwa G30S 1965. Di antaranya ada versi yang menyebutkan bahwa Gerakan 30 September merupakan persoalan internal Angkatan Darat yang didalangi oleh sebuah klik, yang dipersiapkan secara teliti. Analisis tersebut ditulis Ben Anderson, dalam karyanya yang dikenal sebagai “Cornell Paper”, berjudul A Prelimenary Analysis of the October 1, 1965; Coup in Indonesia, terbit di Ithaca, 1971; W. F. Wertheim, Whose Plot? New Light on the 1965 Events;Coen Hotsapel, The 30 September Movement, Amsterdam 1993. Teori ini bertentangan dengan kenyataan bahwa tanpa Sjam dan gerakannya yang tertutup untuk membina hubungan dengan para perwira tentara, tidak mungkin ada rekayasa politik dan militer untuk melancarkan G30S, 1965. Kecurigaan dan permusuhan antara ABRI dan PKI amat keras. Meskipun sempat mengalami perpecahan dengan adanya pemberontakan PRRI/Permesta, namun kekompakan Kelompok Angkatan Darat tetap besar. Bahkan para perwira yang bentrok karena mendukung PRRI/Permesta, rata-rata bersikap anti komunis. Seandainya yang menjadi dasarnya ialah para perwira AD yang menjadi antek CIA, justru mereka yang menghancurkan PRRI/Permesta yang nyata-nyata didukung oleh AS-CIA. Demikian pula apabila kata ‘our army local friends’ dalam Dokumen Gilchrist dipercaya sebagai dokumen yang benar, bagaimana dengan pengakuan pihak Cekoslawakia yang menyatakan bahwa dokumen tersebut palsu, karena mereka yang membuatnya ?1
Apabila yang menjadi landasan ialah pernyataan Letkol Untung yang menyatakan bahwa para perwira telah mencemarkan Angkatan Darat, misalnya hidup mewah dan memperkaya diri, adalah ironis. Sebab kenyataannya, kehidupan Nasution dapat dikatakan puritan, mendekati Jenderal Soedirman. Kalau dibanding dengan gaya hidup Omar Dhani, maupun tokoh-tokoh PKI yang ternyata juga berasal dari kalangan borjuis, Nasution tidak ada apa-apanya.2 Bahkan dari pimpinan teras TNI AD ada yang belum memiliki rumah sendiri.3
Versi lain menyatakan bahwa pelaku utama atau dalang G30S adalah CIA yang bekerja sama dengan klik Angkatan Darat, untuk memprovokasi PKI dengan penggulingan Sukarno. Pandangan ini dikemukan oleh Peter Dale Scott, “US and the Overthrow of Sukarno, 1965-1967, dalam Pacific Affairs, 1985; Geoffrey Robinson,Some Arguments of Concerning US Infuence and Complicity in the Indonesia Coup of October 1, 1965. Menurut versi ini, dalam peristiwa G30S, kepentingan AS sangat jelas, yakni jangan sampai Indonesia menjadi basis komunisme. Pada dekade 1960-an, AS mencemaskan teori domino, bahwa komunisme Vietnam bisa bersambung dengan komunisme Indonesia, sehingga menciptakan poros Jakarta-Peking (Beijing). Teori ini akan mendapatkan aspek empiriknya yang kuat apabila ada pihak-pihak yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September, dapat membuktikan dan menyaksikan peranan dan bantuan CIA dalam Peristiwa Gerakan 30 September. Apabila tidak ada pihak-pihak yang mengakui dan menyaksikan bantuan CIA dalam peristiwa 30 September, ibaratnya pernyataan itu bertepuk sebelah tangan.
Karya Antonie C.A. Dake, In The Spirit of the Red Banteng, Indonesia Communists Between Moscow and Peking, 2002; John Hughes, The End of Sukarno, 1968, mengarah pada asumsi bahwa Sukarno adalah pelaku utama G30S. John Huges dalam karyanya menyatakan, meskipun Omar Dhani pada 28 September 1965, melaporkan kepada Presiden tentang adanya gerakan dari Dewan Jenderal, tetapi Bung Karno menanggapi dengan menyatakan bahwa ia akan mengambil keputusan terhadap hal tersebut pada tanggal 3 Oktober 1965. Tidak mustahil, persepsi Bung Karno tentang pengertian Dewan Jenderal masih tetap berpegang kepada pernyataan Jenderal Ahmad Yani pada akhir Mei 1965, bahwa yang ada adalah Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tertinggi (Wanjakti) di lingkungan Angkatan Darat. Untuk menjernihkan masalah itu, Bung Karno berencana memanggil Jenderal Ahmad Yani ke Istana pada 1 Oktober 1965.4
Namun, momentum itu ternyata dimanfaatkan oleh pihak G30S dengan mendahuluinya, yaitu menghantam mereka yang dianggap sebagai Dewan Jenderal. Fakta lain yang memperkuat dugaan keterlibatan Sukarno dalam G30S ialah adanya kesepadanan pernyataan Sukarno dalam mengatasi peristiwa G30S pada sidang kabinet tanggal 6 Oktober 1965, dengan kebijakan yang digariskan oleh Aidit. Pernyataan tersebut ternyata seirama dengan surat D.N. Aidit yang dikirim dari Blitar tanggal 6 Oktober 1965.5
Selanjutnya Sukarno juga dianggap melindungi Omar Dhani ketika terdapat petunjuk kuat ia terlibat, atau setidak-tidaknya mengetahui terjadinya aksi-aksi G30S di Lubang Buaya. Tatkala Sukarno di Halim Perdanakusuma menerima laporan dari Brigjen Supardjo perihal “tindakan” yang mereka lakukan terhadap para jenderal Angkatan Darat, Sukarno tidak meminta keterangan perihal di mana para pimpinan TNI AD itu “disimpan”. Lebih dari itu Sukarno justru menepuk bahu Supardjo yang dapat diartikan sebagai pujian dan persetujuan atas tindakannya.6
Selanjutnya juga dipertanyakan apakah dapat dibenarkan tindakan Sukarno menunjuk Jenderal Pranoto Reksosamudro sebagai care-taker Menpangad tanpa melewati prosedur internal yang telah menjadi tradisi TNI AD. Dari beberapa bukti-bukti yang menunjukkan keterlibatan Sukarno, ada pula tindakannya yang melemahkan dugaan itu, yaitu sikap penolakan Bung Karno untuk mendukung Gerakan 30 September, dan memerintahkan agar Soepardjo menghentikan gerakannya untuk menghindari pertumpahan darah. Pandangan lain ialah tidak ada grand scenario, semua didominasi oleh improvisasi lapangan. Versi ini tercermin dalam karya yang mengacu pada teori chaos, antara lain, Manai Sophiaan, Kehormatan Bagi yang Berhak, Oei Tjoe Tat, Memoir Oei Tjoe Tat; dan John D. Legge, Sukarno: Sebuah Biografi Politik. Versi tersebut merupakan kombinasi antar unsur-unsur Nekolim atau Negara Barat, pimpinan PKI yang keblinger, serta oknum-oknum ABRI yang tidak benar. Apabila pandangan ini diterima bahwa pada pertengahan 1965 Indonesia dalam kondisi chaos, maka teori ini harus mampu membuktikan kekuatan-kekuatan yang terlibat dalam G30S, mendapat bantuan dari luar negeri, khususnya dari blok Nekolim atau negara-negara Barat. Pandangan ini selain menisbikan kenyataan adanya rivalitas di kalangan PKI dan Angkatan Darat, berarti juga tidak mengakui keberadaan tiga kekuatan politik, yaitu Presiden Sukarno,Angkatan Darat, dan PKI, di atas pentas politik nasional setelah Dekret Presiden 5 Juli 1959. Adanya pemimpin ABRI yang dianggap keblinger juga harus diklarifikasi, karena tokoh-tokoh puncak Angkatan Darat, seperti Ahmad Yani, tidak diragukan lagi kesetiaannya kepada Bung Karno, dan Nasution, selain sikap hidupnya yang puritan juga peranannya sebagai arsitek politik di kalangan Angkatan Darat tidak diragukan. Sikap kritisnya terhadap Bung Karno yang didasari pada kemampuannya, sebenarnya tidak mengurangi loyalitasnya kepada Bung Karno. Adapun keterlibatan tokoh-tokoh PKI yang memperalat unsur-unsur ABRI, melancarkan kudeta dengan tujuan menciptakan masyarakat komunis di Indonesia, merupakan suatu penulisan yang telah dikaji selama ini, di antaranya oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, Tragedi Nasional, Percobaan G 30 S/PKI di Indonesia
(1968); Aristides Katoppo dan kawan-kawan, Menyingkap Kabut Halim 1965 (1999); Atmadji Soemarkidjo, Mendung di atas Istana Merdeka(2000). Di samping itu kesaksian-kesaksian orang-orang sezaman, seperti tulisan Sulastomo, Hari-hari yang Panjang 1963-1966 (2000), Biografi tentang Tengara Orde Baru: Kisah Harry Tjan Silalahi; penulis: J. B. Soedarmanta (2004). Surat-Surat Politik Iwan Simatupang 1964-1966; LP3ES, (l986) merupakan karya-karya merepresentasikan gambaran situasi saat itu, dapat membantu memahami kejadian G30S dengan baik. Pendapat ini menyatakan bahwa berdasarkan bukti-bukti dari perilaku PKI, mulai dari peristiwa 1948, sederetan aksi-aksi dan kegiatan-kegiatan yang dilancarkan oleh pihak komunis dan sekutu-sekutunya, antara 1959-1965, hingga menjelang meletusnya G30S yang diperkuat oleh data-data peradilan para tokoh partai dalam Mahmillub, diyakini bahwa partai tersebut bertanggung jawab atas gerakan pada bulan akhir September 1965.
Munculnya berbagai interpretasi tentang versi siapa yang berada di belakang peristiwa gerakan 30 September 1965 tersebut, mencerminkan adanya perbedaan penggunaan sumber. Salah satu karakteristik analisis-analisis yang dikemukakan dalam berbagai karya yang menafikan peranan PKI, karena kajiannya dimulai dari tahun 1965. Padahal tidak mungkin diingkari bahwa peristiwa tersebut berada di luar konteks hukum sebab-akibat atau determinisme. Dalam hal ini peristiwa G30S, PKI merupakan kulminasi dari peristiwa dialektik berbagai kekuatan sosial politik, dalam situasi yang penuh gejolak, khususnya pada dasawarsa 1960-an. Dari segi sejarah perjuangan PKI sendiri, yaitu mulai persiapan yang dilancarkan, beranjak dari visi dan misi yang difokuskan dan dikembangkan oleh partai dalam bentuk self kritik, strategi, dan kebijakan yang harus dijalankan secara ketat, yang kemudian mendapatkan justifikasi dalam mekanisme partai. PKI juga mengimplementasikan rumusan yang dicapainya dalam bentuk aksi-aksi sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan.7
Selanjutnya didiskusikan oleh segenap jajaran partai, diupayakan solusi yang dipandang sesuai dengan realitas serta aspirasi masyarakat, serta diujicobanya kebijakan-kebijakan itu dengan cara menyesuaikan atau bahkan memanfaatkan kebijakan pemerintah untuk kepentingan mereka. Untuk keperluan itu PKI dengan tekun dan tiada henti-hentinya menyusun konsep, metode, penentuan kekuatan sosial-politik yang harus dirangkul sebagai sekutu, dan siapa lawan yang harus dibasmi, dilakukan oleh PKI tanpa mengenal lelah. Proses aksi-aksi PKI di atas ternyata koherens dengan aksi-aksi yang dilancarkannya, baik pada periode prolog maupun epilog Gerakan 30 September 1965.
Pengusutan hubungan sebab akibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965, tidak mungkin dilakukan terbatas dalam dimensi sinkronik, seperti sosiologi, antropologi, politik, dan sebagainya, yaitu pengusutan hubungan antar fakta hanya pada saat kejadian. Sesuai dengan karakteristik ilmu sejarah yang bersifat diakronis, maka juga harus dicari hubungan sebab-sebab antara Gerakan 30 September 1965 dengan rentetan peristiwa sebelumnya, sebagai neccesarry conditions. Langkah pengusutan hubungan itumerupakan hal yang tidak dapat diabaikan. Memang, apabila dalam membahas atau mengkaji peristiwa Gerakan 30 September 1965, hanya dicomot dari tragedi yang meletus pada 30 September 1965, tanpa memperdulikan unsur sebab akibat dalam bentuk rangkain kejadian-kejadian sebelumnya, terutama perilaku PKI, maka yang tampak ialah pandangan yang menyatakan bahwa PKI sebagai pihak yang dizalimi. Akan tetapi bila peristiwa Gerakan 30 September 1965, ditelusuri secara kronologis sejak keberadaan PKI di Indonesia, maka berdasarkan sumber-sumber yang ada dan fakta-fakta yang direkamnya, dugaan bahwa PKI terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 bukanlah hal yang mustahil. Selanjutnya guna memahami terjadinya Gerakan 30 September 1965, dalam hubungannya dengan keterlibatan para pimpinan PKI juga perlu dipahami setting sosial, budaya, dan politik, yang berkembang di Indonesia sekitar 1965. Pada tahun-tahun tersebut iklim sosial, budaya, dan politik, dapat dikatakan bahwa politik dan perdebatan umum selalu mengandung unsur ketidakbenaran dan ketiadaan bahan bukti faktual, adanya unsur pemutarbalikan “Peristiwa Kanigoro”, Kediri, 13 Januari 1965; “Peristiwa Utrecht” di Jember, 1963; Dokumen Gilchrist, persekongkolan, sikap bermuka dua, serta insinuasi yang tidak berdasar, dan hal-hal lain yang makin jelas serta parah selama 1964, dan terutama 1965.
Apakah G30S merupakan rencana final PKI dalam mewujudkan cita-citanya lewat perebutan kekuasaan? Berdasarkan bukti-bukti bangkitnya kembali perlawanan bersenjata yang dilancarkan di Blitar Selatan tahun 1968, peristiwa Grobogan (1969), Klaten (1969), dan munculnya kelompok-kelompok yang menamakan dirinya sebagai CC PKI pasca 1965, baik yang bergerak di dalam negeri maupun di negara-negara lain, membuktikan bahwa peristiwa G- 30-S selain belum sebagai perjuangan terakhir, pelakunya adalah PKI, paling tidak para pimpinannya.
----------
1. Rosihan Anwar, G30S/PKI, Gilchrist, dan CIA dalam Menguak Lipatan Sejarah, Jakarta:
Cidesindo, 1999, hlm. 43-48.
2. Ribka Tjiptaning Proletariyati, Aku Bangga Jadi Anak PKI,. Jakarta, Cipta Lestari, 2000, hlm 1. Dr. Ripka Tjiptaning Proletariyati, adalah anak Raden Mas Soeripto Tjondro Saputro (keturunan Pakubuwono), dan Bandoro Raden Ayu Lastri (keturunan Hamengkubuwono), aktivis PKI, selain berdarah bangsawan tinggi, juga memiliki sejumlah pabrik dan perusahaan di Surakarta. Dalam ‘kamus’ PKI disebut sebagai sisa-sisa feodal dan borjuis.
3. Tuturan Anak-anak Pahlawan Revolusi Keluarga Korban, dan Saksi Peristiwa Dini Hari 1 Oktober 1965, Kunang-kunang Kebenaran di Langit Malam,Jakarta, Keluarga Pahlawan Revolusi, 2002.
4. Ibid., hlm. 25.
5. Nasution, A.H, Menegakkan Kebenaran II,Djakarta, Seruling Masa, 1967, hlm. 71-72.
6. “Dari Silaturahmi Antar anak Bangsa: Mengubur Luka Dendam Sejarah II” dalam Jawa Pos, Selasa 9 Maret 2004. Lihat Nasution, A.H., ibid., hlm. 71-75.
7. Yahaya Ismail, Pertumbuhan, Perkembangan dan Kejatuhan Lekra di Indonesia (Suatu Tinjauan dari Aspek Sosio-Budaya), Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia, 1972. Lihat: D.S. Moeljanto & Taufiq Ismail, Prahara Budaya, Kilas balik Ofensif Lekra/PKI, dkk, Jakarta: Mizan dan Harian Republika, 1995.
Situasi dan Kondisi Pra-Gerakan Sebagai Necessary Conditions: PKI/BTI membakar Jawa dan Bali dengan Aksi-aksi Sepihak
Ditangkapnya para pelaku penculikan dan pembunuhan yang kemudian diserahkan kepada Kostrad/Kopkamtib, dan kesaksian Sukitman dalam menemukan lokasi sumur Lubang Buaya sebagai tempat penguburan jenazah para jenderal, telah memberikan petunjuk kuat terlibatnya PKI dalam Peristiwa G30S. Persoalan itu tidak mungkin dapat dipahami hanya melihat tragedi 1965 itu dari sepenggal kejadian tanggal 30 September 1965, tetapi harus ditelusuri pada kejadian-kejadian sebelumnya, khususnya konflik antara PKI dan para pendukungnya dengan orang-orang Islam. Konflik-konflik itu memperlihatkan pergulatan politik dan fisik antara kekuatan komunis dan lawan-lawannya, seperti kelompok-kelompok Islam, Angkatan Darat, PSI, Partai Murba, para seniman non-komunis. Konflik-konflik itu menyeruak antara lain dalam bentuk aksi-aksi tuntutan pembubaran HMI, pelarangan Manikebu, BPS, juga upaya-upaya PKI untuk memobilisasi massa komunis lewat pelaksanaan UUPA atau landreform melalui aksi-aksi sepihak. Aksi-aksi penyitaan terhadap pemilikan tanah, secara politis dan ekonomis merupakan pukulan paling berat bagi kalangan kaum santri. Sebagian besar yang menjadi sasaran aksi-aksi PKI adalah golongan tuan tanah, selain dari kalangan yang terhimpun dalam berbagai organisasi Islam, juga dari kalangan tradisional PNI. Sengitnya perlawanan orang-orang Islam, dan golongan yang condong kepada PNI, terhadap aksi-aksi PKI/BTI untuk menyita tanah-tanah mereka, harus dilihat dalam konteks struktur agraria di Indonesia.8
Kenyataannya, di Jawa-Bali tidak terdapat pemilikan tanah yang berlebih-lebihan secara perorangan. Lagi pula juga tidak sedikit dari mereka yang dianggap sebagai tuan-tuan tanah, secara menyakitkan oleh PKI dijuluki sebagai “setan-setan desa”.9
Kampanye aksi-aksi sepihak yang dahsyat dan paling meluas dilancarkan oleh PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Di provinsi ini kaum santri dan kaum abangan yang terhimpun dalam PNI, terutama di Bali, bersatu padu melawan serangan kaum komunis. Di Jawa Tengah, yang golongan Islamnya lemah, PKI sedemikian rupa kerasnya menekan lawan-lawan politiknya, hingga pada 6 Juni 1964, harian PNI, Suluh Indonesia, menulis bahwa aksi-aksi sepihak yang dilancarkan oleh pihak komunis menyebabkan ketegangan antara partai itu dengan PKI. Kelompok petani komunis yang agresif dalam melancarkan aksi sepihak itu oleh PNI dicap sebagai “kontra revolusi”. PNI juga menuduh bahwa PKI telah mengimplementasikan doktrin komunis dengan memanfaatkan pelaksanaan landreform untuk melancarkan revolusi sosial dalam bentuk revolusi agraria dan revolusi komunis.10
PKI menghantam lawan-lawannya lewat gerakan aksi sepihak melalui landreform. Strategi tersebut tidak lepas dari doktrin partai komunis, bahwa tujuan utamanya ialah merebut kekuasaan guna mewujudkan masyarakat komunis, baik melalui cara parlementer maupun revolusioner. Untuk itu mereka menciptakan jargon “kawan” bagi teman seperjuangannya, dan “lawan”, bagi yang dianggap sebagai musuh-musuhnya. Guna menerapkan cara-cara revolusioner, lebih dahulu mereka menciptakan suasana kondusif sehingga aksi-aksi tersebut dapat dilaksanakan. Misalnya dengan menciptakan pertentangan antar klas atau antargolongan. Pihak komunis yang semula menuntut perubahan pemerintahan berdasarkan perimbangan kekuatan Pemilu 1955/1957, kemudian menekan pemerintah serta lawan-lawan politik mereka dengan aksi-aksi teror agar tuntutannya terpenuhi. Dalam hal ini pihak komunis melancarkan aksi resolusi dan tuntutan, corat-coret, aksi tunjuk hidung dan retool, aksi kirim telegram, aksi demonstrasi, aksi rapat raksasa, aksi ambil alih, aksi sepihak, aksi memecah belah, aksi penetrasi dan infiltrasi, dan aksi utusan atau delegasi. Selama tahun-tahun 1963-1965 atmosfer perpolitikan nasional, khususnya di Jawa Timur, diwarnai dengan berbagai aksi-aksi komunis.11
Untuk memahami hubungan antara PKI dengan kudeta yang dilakukannya pada tahun 1965, juga perlu dilacak perkembangan sejarah partai itu sendiri. Sejak PKI dibentuk kembali tahun 1951, partai itu dengan lantang menyatakan bahwa Revolusi 17 Agustus 1945 belum selesai atau gagal.12
Alasannya bahwa kekuasaan negara dan alat-alat produksi masih dipegang kelas borjuis dan sisa-sisa feodal. PKI menyatakan bahwa kondisi Indonesia masih setengah jajahan.13
MH. Lukman, seorang ideolog CC PKI menyatakan untuk menyelesaikan Revolusi 17 Agustus 1945 sampai ke akar-akarnya harus dilanjutkan dengan revolusi tahap kedua, yaitu revolusi sosial. Sehubungan kondisi Indonesia sebagai negeri agraris, maka sebagian besar faktor produksi sebagai basis ekonomi rakyat juga masih dalam bentuk tanah pertanian. Jadi revolusi sosial yang akan dicetuskan oleh PKI lewat landreform secara radikal adalah revolusi agraria. Sebagai ancang-ancang, gerakan revolusioner yang bakal dilancarkan, pada tahun 1957 CC PKI telah menerbitkan pedoman berjudul ABC Revolusi Indonesia, sebagai buku teks atau buku “wajib” bagi kader-kader PKI di kabupaten, kecamatan dan di desa yang bertugas menjadi ujung tombak PKI yang berhadapan langsung dengan massa rakyat. Menurut pandangan PKI, revolusi Indonesia pertama ialah revolusi Agustus 1945, revolusi kedua ialah revolusi agraria sebagai bentuk revolusi sosial, dan ketiga revolusi untuk mewujudkan masyarakat komunis.14
Dalam konteks tersebut atmosfer politik di Indonesia pada tahun 1960-1965, PKI menyelinapkan jargon-jargon “revolusi belum selesai”,”tuntaskan revolusi Agustus 1945 sampai ke akar-akarnya”. Kelompok-kelompok yang tidak sepaham diberi stigma sebagai “kontra revolusi”. Bahkan dengan dalih untuk menyelesaikan revolusi Indonesia Bung Karno juga dinobatkan sebagai Pemimpin Besar Revolusi (PBR). Untuk menyelesaikan Revolusi Agustus sampai ke akar-akarnya, diperlukan wadah untuk menghimpun, mempersatukan, menggerakkan dan menggelorakan kekuatan revolusioner yang harus dikuasai oleh PKI dalam bentuk front pesatuan nasional. MH Lukman, salah seorang pimpinan puncak PKI, menggagas adanya Front Persatuan Nasional. Bertepatan dengan meningkatnya kampanye dan pengaruh PKI di bidang sosial politik, dan kesesuaian paham tentang hakikat revolusi antara Bung Karno sebagaimana tercermin dalam Manifesto Politik dan revolusi “model” PKI, ide Lukman tentang perlunya Front Persatuan Nasional sebagai kawah “candradimuka” kekuatan revolusioner Indonesia, kemudian terwujud dengan diubahnya Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB) menjadi Front Nasional (FN).15
Lembaga Front Nasional, mulai dari pusat sampai di daerah-daerah kemudian berkembang menjadi instrumen politik PKI yang efektif. Lembaga penanggung jawab pelatihan sukwan-sukwati di Lubang Buaya yang diselenggarakan pada Mei-September 1965 selain sebagai penyelenggara juga yang memanfaatkan alumninya dalam Front Nasional.16
Sasaran-sasaran aksi sepihak yang dilancarkan oleh PKI/BTI selain tanah-tanah luas yang melebihi ketentuan, absentee, perkebunan asing yang dinasionalisasikan, dan tanah-tanah kehutanan. Di Jawa Barat yang luas hutan lindungnya tinggal sekitar 18,2% dari luas provinsi, PKI/BTI melancarkan aksi pembabatan besar-besaran di kabupaten Tasikmalaya dan Indramayu dengan menyerang petugas kehutanan. Dalam kedua kasus itu, pihak keamanan menangkapi petugas dan aktivis PKI/BTI.17
Pada transisi tahun 1964/1965, PKI/BTI secara serentak melancarkan aksi-aksi sepihak hampir di seluruh Jawa dan Bali. Di Jawa Timur, aksi-aksi sepihak terjadi di Kabupaten Ngawi, Magetan, Madiun, Ponorogo, Kediri, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Nganjuk, Jombang, Malang, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Jember, Bondowoso, Situbondo, Banyuwangi, Bojonegoro, Tuban, dan Bojonegoro.18
Di Jawa Tengah, aksi sepihak yang dilancarkan PKI/BTI difokuskan di Boyolali, Grobogan, dan Klaten.19
Maraknya aksi-aksi sepihak yang mengancam integrasi nasional ditanggapi oleh pemerintah dengan menyelenggarakan Konferensi Bogor, tanggal 12 Desember 1964. Konferensi tersebut memutuskan agar PKI/BTI menghentikan aksi-aksi sepihak yang mereka lancarkan. Walaupun demikian, perintah itu tidak dihiraukan dengan alasan PKI tidak terikat dengan keputusan itu. Di berbagai tempat, antara lain di Mantingan Jawa Timur, dan Losari di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat, PKI/BTI melancarkan aksi-aksi sepihak, terutama terhadap lawan-lawan politiknya dengan menteror kekuatan kontra revolusi dan sisa-sisa Masyumi dan DI/TII. Di Mantingan, tindakan PKI pada Mei 1965 berusaha mengambil paksa tanah wakaf Pondok Modern Gontor seluas 160 hektar, telah menimbulkan kegusaran di kalangan pejabat setempat dan membangkitkan kemarahan berbagai kalangan umat Islam. Tidak kurang KH. Idham Khalid, Ketua Umum PB NU, alumni Gontor, dengan segala kemampuannya membela kepentingan Pondok Modern Gontor.20
Sebelumnya, pada April 1965, aksi-aksi PKI/BTI di Losari telah menyebabkan terjadinya tindakan-tindakan kekerasan dan perusakan besar-besaran terhadap harta benda orang-orang Islam.21
Pada bulan itu pula, aktivis PKI/BTI membunuh seorang perwira pertama ABRI, yaitu Pelda Sujono, yang berusaha menghentikan penyerobotan tanah perkebunan di Bandar Betsy, Sumatra Utara.22
Sikap yang sama sekali tidak mengindahkan Deklarasi Bogor yang diperlihatkan oleh PKI/BTI, pada kenyataannya secara luas telah meningkatkan kekerasan dalam aksi-aksi sepihak telah mendorong musuh-musuh PKI bersatu. Dari kalangan ABRI, tidak kurang Men/Pangad Jenderal A. Yani, menuntut agar mereka yang terlibat dalam peristiwa Bandar Betsy diadili. Sikap tegas Yani didukung sepenuhnya oleh segenap organisasi Islam, Katolik, dan Protestan. Gerakan pemuda Ansor wilayah Jawa Barat, menamakannya dengan “teror Losari”. Kekuatan non-komunis itu dengan keras menyatakan kesediaannya untuk melakukan “Perang Jihad” terhadap komunis. Sebuah konferensi Pemuda Islam di Bandung memutuskan untuk ikut melakukan perjuangan menghancurkan “kaum atheis jahanam” dan ideologi Nekolim.23
Aksi-aksi PKI/BTI di berbagai daerah telah membakar kemarahan umat Islam dan kelompok tradisional yang terhimpun dalam PNI, khususnya di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bali. Ditambah dengan sepak terjang orang-orang komunis di berbagai daerah melalui lembaga kesenian Lekra, baik lewat seni tradisional ketoprak ataupun teater, membuat kemarahan umat Islam meledak. Dalam hal ini mereka menayangkan lakon Patine Gusti Allah.24
Melalui pendidikan, orang-orang komunis yang menjabat sebagai guru, secara sistematis juga menanamkan ajaran bahwa Tuhan sebagai pencipta itu sebenarnya juga tidak ada.25
Perbuatan biadab lainnya yang menyulut kegeraman dan kemarahan umat Islam ialah Peristiwa Kanigoro, Kediri, Januari 1965. Di tengah-tengah suasana ibadah puasa umat Islam dikejutkan oleh tindakan PKI/BTI yang menangkapi peserta mental Training Pelajar Islam Indonesia (PII) dengan tuduhan sebagai kegiatan kontra revolusi yang didalangi oleh M. Syamlan, tokoh Masyumi dari Tulungagung. Dengan brutal orang-orang komunis tersebut, di pagi buta subuh, 13 Januari 1965, selain memasuki tempat ibadah tanpa melepas alas kakinya yang penuh lumpur juga memasukkan kitab suci Al-Qur’an dan menginjak-injaknya.26
---------
8. MP Tjondronegoro, Dua Abad Penguasaan Tanah, Pola-pola Penguasaan Tanah di Jawa dari Masa ke Masa, Jakarta: Gramedia, 1984.
9. D.N. Aidit, KaumTani Mengganjang Setan-setan Desa (Laporan singkat tentang hasil-hasil riset mengenai keadaan kaum tani dan gerakan tani di Djawa Barat), 19674. Djakarta, Jajasan Pembaruan.
10. Harian Suluh Indonesia, 6 Juni 1964.
11. Trompet Masjarakat, 11, 14, 15, 16, 18, 19, 20, 21, 23, 25, 27, 28, 29, 30 Mei 1964; 4, 5, 6, 11, 12, 13, 15, 17, 18, 19, 22, 25 Juni dan 2 Juli 1964. Dalam kasus pembunuhan di Balongbendo, Krian, Jawa Timur, pihak komunis melakukan aksi tunjuk hidung, dengan menuduh HMI sebagai dalang/pelakunya. Surat kabar resmi PKI, Harian Rakjat, 6 Februari 1965 dengan ngawur melakukan aksi tunjuk hidung bahwa dalang Peristiwa Kanigoro, 13 Januari 1965, adalah Sjamlan, tokoh Masyumi dari Tulungagung. Lihat A. Anis Abiyoso (kesaksian-pelaku sejarah), “Peristiwa Kanigoro Kediri” dalam Tim Cidesindo, Membuka Lipatan Sejarah, Menguak Fakta Gerakan PKI, Jakarta, Pustaka Cidesindo, 1999, hlm. 69-82. A. Anis Abiyoso adalah Ketua Panitia Mental Training PII (Pelajar Islam Indonesia) yang diselenggarakan oleh Pimpinan Wilayah PII Jawa Timur di Kanigoro Kediri, tahun 1965.
12. M.H. Lukman, Apa Sebab Ravolusi Agustus 1945 Belum Selesai?. Djakarta, Jajasan Universitas Rakjat, hlm. 1-3. Kempen, Anggaran Dasar Partai Komunis Indonesia, Disahkan Kongres Nasional IV tahun 1947 di Surakarta ; Depagitprop CC PKI, Garis Besar program PKI,Djakarta, 1951.
13. D.N. Aidit, Revolusi Indonesia dan Tugas-tugas Mendesak PKI, Peking: Pustaka Bahasa
Asing, 1964, hlm. 63. Lihat Sudisman, 43 Tahun Partai Komunis Indonesia, Djakarta, Pembaruan, 1964, hlm. 5.
14. Departemen Agitasi dan Propaganda CC PKI, ABC Revolusi Indonesia, Djakarta, Depagitprop, 1957,hlm. 11-24.
15. M.H. Lukman, Tentang Front Persatuan Nnasional, Djakarta, Jajasan Pembaruan, 1962.
16. Sulami, Perempuan-perempuan dan Penjara, Jakarta, Cipta Lestari, 1999, hlm. 1-3.
17. Justus M. van der Kroef, “Indonesian Communism,s ‘Revolutionary Gymnastics’, dalam Asian Survey, Vol. No. 5 Mei 1965, hlm. 221.
18. Trompet Masyarakat, 14, 18, 20, 24 Djanuari; 10, 18, 19, 20 Februari; 6, 7, 9 Maret; 15, 28 April; 4, 5, 8, 23, 27 Mei; 4, 9, 19 Djuni; 1 Djuli; 1, 2 Oktober; 5, Agustus; 14, 18, 23, 27 November; 7, 13, 15,17, 31 Desember 1964; 17, 18, 19 Februari 1964; Suratkabar Djalan Rakjat, 6 November, 1964; 20 Februari 1965. Surat kabar Harian Rakyat, 6 Februari; 1 Maret; 1965.
19. Pusat Penelitian Studi dan Studi Kawasan, Keresahan Pedesaan pada Tahun 1960-an, Jakarta, Yayasan Pancasila Sakti, 1982, hlm. 82.-73.
20. Pusat Penelitian Studi dan Studi Kawasan, Keresahan Pedesaan pada Tahun 1960-an, Jakarta, Yayasan Pancasila Sakti, 1982, hlm. 82.-73.
21. Harian Fikiran Rakjat, 6 Mei 1965.
22. Ibid., 24 Mei 1965.
23. Ibid., 5 dan 6 Mei 1965.
24. Husain Haikal, “Pengantar”, dalam Inajati Adrisijanti, Arkeologi Perkotaan Mataram Islam, Yogyakarta, Jendela, 2000, hlm. ix-xxxi. Lihat: Aminuddin Kasdi, Kaum Merah Menjarah Aksi Sepihak PKI/BTI di Jawa Timur 1960-1965, Yogyakarta: Jendela, 2001, hlm. 1-96.
25. Robert Gribb, The Indonesian Killings Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966, Yogyakarta: Penerbit Mata Bangsa bekerjasama dengan Syarikat Indonesia, 2003, hlm. v-xxvii.
26. Anis Abiyoso, “Peristiwa Kanigoro Kediri”, dalam ‘Membuka Lipatan Sejarah, Menguak Fakta Gerakan PKI ”, Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1999, hlm. 69-82.
Masalah Pembentukan Angkatan ke-5
Menjelang pertengahan tahun 1965 PKI, gagal menunggangi pelaksanaan UUPA atau landreform sebagai ujicoba revolusi sosial yang diskenariokan menjadi revolusi agraria, dan test case kekuatan fisik kaum komunis dengan kekuatan lawan-lawannya di pedesaan Jawa-Bali. Dengan perantaraan revolusi sosial, PKI melakukan pemanasan kekuatan revolusioner untuk mengukur kemampuan fisik atau militernya guna menghadapi serta mengganyang “setan-setan desa dan setan-setan kota”, kelompok-kelompok yang dianggap musuh revolusi. Dalam konteks inilah pada dasawarsa 1960-an atmosfer perpolitikan Indonesia dijejali dengan “jargon-jargon” revolusi belum selesai.
Dalam pelaksanaan UUPA kekuatan PKI berhadapan dengan kelompok Islam dan kelompok tradisional, dalam hal ini PNI. Dari berbagai konflik fisik kedua pihak, terbukti bahwa kekuatan PKI di pedesaan ternyata tidak mampu menghadapi amuk fisik lawan-lawannya. Menyadari keterbatasan kekuatannya dalam pengerahan massa secara besar-besaran untuk mecapai tujuan partai, yaitu meng-komunis-kan Indonesia, PKI kemudian mengubah strategi, yaitu memperoleh kekuatan melalui keputusan di tingkat nasional. Dalam hal ini, PKI secara lihai memanfaatkan tawaran bantuan 100.000 pucuk senjata ringan RRC kepada Presiden Sukarno pada November 1964, untuk mempersenjatai sukarelawan atau massa. Bahkan menurut bualan Subandrio, jumlah senjata yang ditawarkan oleh RRC cukup untuk mempersenjatai 40 batalion.27
Berdasarkan kenyataan itu, Bung Karno melemparkan gagasan tentang pembentukan suatu angkatan, di luar Angkatan Darat, Laut, Udara, dan Kepolisian. Angkatan, yang dipersenjatai serta dapat dikendalikannya secara langsung. Momentum itu dimanfaatkan PKI dengan menuntut pembentukan Angkatan ke-5, yang terdiri dari buruh dan tani yang dipersenjatai. Bertepatan sebulan sebelumnya, yaitu pada Oktober 1964, Ketua BTI Asmu juga telah mengajukan tuntutan agar anggota-anggotanya yang berjumlah 8,5 juta orang dipersenjatai.28
Gagasan di atas sesungguhnya telah dituangkan Aidit dalam kebijakan partai “Djalan ke Demokrasi Rakjat bagi Indonesia” (1953). Dalam konsep itu, Aidit menyatakan bahwa PKI akan mencapai tujuannya, baik menempuh jalan parlementer maupun revolusioner. Untuk itu PKI memerlukan kekuatan bersenjata, di samping juga kekuatan politik. Upaya PKI memiliki kekuatan bersenjata diperjuangkan dengan cara mempersenjatai kekuatan di luar ABRI, yaitu kekuatan dari buruh dan tani.29
Gagasan PKI untuk memiliki kekuatan bersenjata yang dapat dikendalikan sendiri, ternyata paralel dengan konsep pembentukan Angkatan ke-5.
Pada tanggal 14 dan 17 Januari 1965, D.N. Aidit, di depan sidang Front Nasional, menegaskan perlunya mempersenjatai massa untuk menghadapi Nekolim. Aidit menyatakan bahwa tidak kurang dari 5 juta orang buruh dan 10 juta petani yang terorganisasi sudah siap untuk berjuang mengangkat senjata.30
Dengan pernyataan terbuka itu, PKI telah melanggar “pagar” yang dibangun oleh ABRI. Sejak hari-hari pertama perjuangan kemerdekaan, kelompok-kelompok bersenjata dibentuk secara spontan oleh berbagai kekuatan sosial politik. Dalam hal ini ABRI bersikap waspada terhadap berbagai organisasi kelaskaran, yang beberapa di antaranya berafiliasi, dan malah ada yang menjadi pressure group partai-partai politik tertentu. Persoalan itu mengingatkan para perwira pada kasus ‘pepolit (perwira politik)’ yang dibentuk oleh Amir Syarifuddin ketika menjabat sebagai Menteri Pertahanan (1947).31
Menurut Kolonel Sarwo Edhie, mempersenjatai kaum buruh, tani, dan unsur masyarakat lain dalam bentuk Angkatan ke-5, sama halnya dengan menciptakan kelemahan seperti yang pernah terjadi pada masa lampau.32
Men/Pangad Letjen Ahmad Yani dengan sangat hati-hati dalam berbagai kesempatan menjawab tantangan Aidit. Menurut Achmad Yani, konsep Angkatan ke-5 berbeda-beda di setiap negara. Di Uni Soviet, Angkatan ke-5 adalah satuan peluru kendali, di AS berbentuk Korps Marinir, sedangkan di Indonesia adalah AKRI (Angkatan Kepolisian Republik Indonesia). Karena itu menurut Yani, jumlah angkatan atau matra, atau spesialisasi mana yang menjadi angkatan itu sangat relatif, bisa kepolisian ataupun juga marinir atau satuan roket.33
Setelah melalui pengkajian mendalam yang dilakukan oleh Mayjen S. Parman, Brigjen Soetojo Siswomihardjo, yang dibantu Mayjen Soeprapto, M.T. Mayjen Harjono, dan Brigjen D.I. Panjaitan, selanjutnya Letjen Achmad Yani secara tegas menyatakan ketidaksetujuannya atas usul Aidit perihal pembentukan Angkatan ke-5. Ahmad Yani berpendapat bahwa pembentukan Angkatan ke-5 seperti digagas oleh ketua CC PKI itu tidak efisien, karena telah dibentuk pula Pertahanan Sipil (Hansip) yang mampu menampung semacam laskar-laskar tersebut. Bahkan di lingkungan perguruan tinggi juga dibentuk Resimen Mahasiwa (Menwa). Presiden Sukarno akhirnya mempertimbangkan keberatan yang diajukan oleh Jenderal Yani, tetapi juga tidak ingin mempermalukan D.N. Aidit. Hal itu terbukti dalam pidato kenegaraannya pada 17 Agustus 1965, Presiden Sukarno menyinggung perdebatan sengit mengenai gagasan tadi: “Saya mengucapkan terima kasih atas semua dukungan yang diberikan kepada gagasan saya. Kita harus selalu berangkat dari fakta-fakta. Faktanya ialah bahwa Neokolonialisme, Kolonialisme,dan Imperialisme (Nekolim) membidikkan ujung pedangnya dan laras senapannya terhadap kita. Kenyataannya ialah bahwa pertahanan Negara menuntut usaha maksimum dari kita semua, sementara artikel 30 UU 45 kita mengatakan: ”Setiap warganegara harus punya hak dan kewajiban untuk ikut mempertahankan Negara.” Sesudah mempertimbangkan baik-baik masalah ini, saya akan mengambil keputusan mengenai hal ini dalam kapasitas saya sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata.” Yang menarik perhatian, meskipun KSAB Jenderal A.H. Nasution, dan Men/Pangad Letjen A. Yani, yang juga Kepala Staf KOTI, dengan jelas menolak, tetapi pihak AURI justru menyambut baik gagasan pembentukan Angkatan ke-5. Dalam hal ini Men/Pangau Omar Dhani menyarankan kepada para panglima angkatan, agar ABRI segera membahas gagasan Bung Karno tentang Angkatan ke-5. Dikhawatirkan apabila pimpinan ABRI tidak segera memberikan jawaban, Bung Karno akan bertanya dan meminta konsep kepada partai politik. Dalam rapat di kantor Staf Angkatan Bersenjata (SAB), Omar Dhani melihat bahwa di bagan organisasi SAB hasil kajian Dewan Penelitian dan Pengembangan Doktrin SAB, terdapat kotak Komando Pertahanan Rakyat. Pada kesempatan itu, Omar Dhani mempersoalkan mengapa gagasan Angkatan ke-5 Presiden Sukarno tidak diwadahi di Komando Pertahanan Rakyat dalam struktur organisasi SAB. Dengan demikian, menurut Omar Dhani, Angkatan ke-5 akan dapat dikontrol dan dikendalikan oleh ABRI sepenuhnya.
Menurut Laksda Udara Makki Perdanakusuma dari SAB, masalah Angkatan ke-5 ditangani oleh Brigjen Widjopoespojoedo, sebagai Deputi Khusus. Lebih lanjut Laksda Udara Makki mengemukakan, kalau mempersenjatai rakyat, kiranya kurang tepat, karena senjata itu diberikan kepada pasukan yang terlatih dan bukan sipil. Namun Bung Karno seakan-akan membutuhkan dukungan yang diperkirakan tidak mungkin didapat dari kesatuan yang ada, hingga merasa perlu adanya Angkatan ke-5. Mula-mula Angkatan Darat memberikan reaksi mendua, dengan menyatakan bahwa hal itu terserah kepada Pemimpin Besar Revolusi (PBR) untuk memutuskan. Setelah disadari betapa gawatnya persoalan tersebut bagi pengendalian keamanan, maka pada Juni 1965, Yani menyatakan bahwa “apabila Nekolim menyerang, seluruh rakyat Indonesia akan dipersenjatai, tidak hanya kaum buruh dan tani”.34
Di kemudian hari, dukungan Omar Dhani terhadap gagasan Angkatan ke-5 tersebut dijadikan petunjuk bahwa ia mendukung rencana kudeta yang disponsori oleh PKI. Gagal memperjuangkan pembentukan Angkatan ke-5, D.N. Aidit menuntut agar dilakukan Nasakomisasi di dalam tubuh ABRI. Dengan mencontoh Angkatan Bersenjata Cina atau sistem pepolit yang pernah dikenal pada tahun 1946, Aidit mengusulkan agar dibentuk komisaris-komisaris politik yang diperbantukan pada Departemen Pertahanan. Menghadapi kesulitan dari pimpinan TNI AD wajar bila dalam pandangan komunis jabatan Nasution harus direbut sebagai langkah terpenting agar ABRI dapat mereka kendalikan.
Menghadapi manuver politik PKI yang demikian agresif, pimpinan Angkatan Darat bekerja keras mencari rumusan untuk mencegah Nasakomisasi terhadap ABRI. Akhirnya rumusan itu ditemukan dengan formula “bahwa anggota ABRI sebagai Pancasilais sejati dengan sendirinya menjunjung tinggi semangat Manipol/Usdek maupun konsep Nasakom”. Akan tetapi penerapan struktural Nasakom dalam tubuh ABRI tidaklah mungkin. Dalam hal ini, Nasution menyatakan bahwa tidak mungkin bagi angkatan bersenjata dapat berfungsi dengan baik, apabila komandannya seorang nasionalis dan wakil-wakilnya harus dari golongan agama dan golongan komunis.35
Bung Karno akhirnya mengakui bahwa Nasakomisasi ABRI memang sangat tidak praktis, namun ia menyarankan agar para perwira ABRI setidak-tidaknya diharuskan mengikuti kursus-kursus kader Nasakom yang diselenggarakan oleh Front Nasional.
----------
27. H. Subandrio, Kesaksianku tentang G30S, Jakarta: Forum Pendukung Refomasi Total, 2001. hlm. 10.
28. Polomka, P., TheRole of the Miltary in Indonesian Foreign Policy, Melbourne, Ph. D. Thesis Melbourne University, 1973, hlm. 194-235.
29. D.N. Aidit, Djalan ke Demokrasi Rakjat bagi Indonesia, Pidato diutjapkan dalam Sidang Pleno CC PKI, Oktober 1953, Djakarta: Jajasan Pembaruan, 1953. hlm. 4-27.
30. Bulletin Antara 14 dan 17 Januari 1965; Harian Rakjat 19 Januari 1965.
31. Maksum dkk., (Tim Jawa Pos), Lubang-lubang Pembantaian Petualangan PKI di Madiun, Jakarta: Grafiti, 1988, hlm. 814.
32. Aristides Katoppo dkk, Menyingkap Kabut Halim 1965,Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000, hlm. 38-39.
33. Amelia Yani, Profile Seorang Prajurit TNI, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1988.
34. Pikiran Rakjat, 26 Juni 1965.
35. BeritaYudha, 25 Mei 1965.
Komentar
Posting Komentar