By: SOCIOPOLITICA
“Kenapa menghadap Soeharto lebih dulu dan bukan Soekarno ? “Saya pertama-tama adalah seorang anggota TNI. Karena Men Pangad gugur, maka yang menjabat sebagai perwira paling senior tentu adalah Panglima Kostrad. Saya ikut standard operation procedure itu”, demikian alasan Jenderal M. Jusuf. Tapi terlepas dari itu, Jusuf memang dikenal sebagai seorang dengan ‘intuisi’ tajam. Dan tentunya, juga punya kemampuan yang tajam dalam analisa dan pembacaan situasi, dan karenanya memiliki kemampuan melakukan antisipasi yang akurat, sebagaimana yang telah dibuktikannya dalam berbagai pengalamannya. Kali ini, kembali ia bertindak akurat”.
TIGA JENDERAL yang berperan dalam pusaran peristiwa lahirnya Surat Perintah 11 Maret 1966 –Super Semar– muncul dalam proses perubahan kekuasaan dari latar belakang situasi yang khas dan dengan cara yang khas pula. Melalui celah peluang yang juga khas, dalam suatu wilayah yang abu-abu. Mereka berasal dari latar belakang berbeda, jalan pikiran dan karakter yang berbeda pula. Jenderal yang pertama adalah Mayor Jenderal Basuki Rachmat, dari Divisi Brawijaya Jawa Timur dan menjadi panglimanya saat itu. Berikutnya, yang kedua, Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf, dari Divisi Hasanuddin Sulawesi Selatan dan pernah menjadi Panglima Kodam daerah kelahirannya itu sebelum menjabat sebagai menteri Perindustrian Ringan. Terakhir, yang ketiga, Brigadir Jenderal Amirmahmud, kelahiran Jawa Barat dan ketika itu menjadi Panglima Kodam Jaya.
Mereka semua mempunyai posisi khusus, terkait dengan Soekarno, dan kerapkali digolongkan sebagai de beste zonen van Soekarno, karena kedekatan mereka dengan tokoh puncak kekuasaan itu. Dan adalah karena kedekatan itu, tak terlalu sulit bagi mereka untuk bisa bertemu Soekarno di Istana Bogor pada tanggal 11 Maret 1966. Namun pada sisi lain, sebagai sesama jenderal angkatan darat, mereka pun bisa berkomunikasi dengan Jenderal Soeharto dan menjalin hubungan yang lebih baik segera setelah Peristiwa 30 September 1965 terjadi, melebihi hubungan di masa lampau.
Ketiga jenderal ini mempunyai persamaan, yakni bergerak di suatu wilayah abu-abu dalam proses silang politik dan kekuasaan aktual yang sedang terjadi saat itu. Persamaan lain, adalah bahwa ketiganya tidak punya jalinan kedekatan –dan memang tampaknya tidak menganggapnya sebagai suatu keperluan– dengan mahasiswa pergerakan 1966. Bila bagi Muhammad Jusuf dan Basuki Rachmat ketidak dekatan itu adalah karena memang tidak dekat saja, maka bagi Amir mahmud ketidak dekatan itu kadang-kadang bernuansa ketidak senangan sebagaimana yang terlihat dari beberapa sikap dan tindakannya di masa lampau dan kelak di kemudian hari.
Namun, dalam suatu kebetulan sejarah, baik kelompok mahasiswa 1966 maupun kelompok tiga jenderal, sama-sama menjalankan peran signifikan dalam proses perubahan kekuasaan di tahun 1966 itu, melalui dua momentum penting. Mahasiswa berperan dalam pendobrakan awal dalam nuansa, motivasi dan tujuan-tujuan yang idealistik, sedang tiga jenderal berperan dalam titik awal suatu pengalihan kekuasaan yang amat praktis. Hanya bedanya, kelompok mahasiswa pergerakan 1966 bekerja dalam suatu pola sikap yang lebih hitam putih terhadap Soekarno dan Soeharto, sedangkan tiga jenderal Super Semar berada di wilayah sikap yang abu-abu terhadap kedua tokoh kekuasaan faktual di tahun 1966 yang ‘bergolak’ itu. Tetapi pada masa-masa menjelang Sidang Istimewa MPRS 1967, Muhammad Jusuf melakukan juga persentuhan dengan sejumlah eksponen mahasiswa pergerakan 1966, terutama kelompok-kelompok asal Sulawesi Selatan yang sedang kuliah di Jakarta dan Bandung. Jusuf meminta mereka untuk meninggalkan jalur ekstra parlementer dan memilih jalur konstitusional melalui dukungan kepada proses politik di MPRS. Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf memberi arah untuk mendukung Soeharto, namun hendaknya terhadap Soekarno diberikan jalan mundur yang terhormat. Sebenarnya, semasa menjadi Panglima Kodam Hasanuddin, Jusuf beberapa kali melakukan juga komunikasi dengan para mahasiswa Universitas Hasanuddin, khususnya bila ada insiden yang melibatkan mahasiswa. Biasanya ia memarahi mahasiswa dengan bahasa campuran Indonesia-Belanda, “Jullie semua sudah dewasa…..”.
Kisah Tiga Jenderal
Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf Amir, pada bulan-bulan terakhir menjelang Peristiwa 30 September 1965, sebenarnya berada dalam hubungan terbaiknya dengan Presiden Soekarno. Pada bulan Juni tahun 1965 ia dipanggil oleh Soekarno ke Jakarta dan diminta menjadi Menteri Perindustrian Ringan dalam rangka peningkatan Departemen Perindustrian menjadi Kompartemen Perindustrian Rakyat. Sebagai Menteri Koordinator adalah Dr Azis Saleh. Sebenarnya tak ada alasan objektif bagi Soekarno untuk mengangkat seorang jenderal perang seperti Jusuf untuk menjadi Menteri Perindustrian apabila didasarkan kepada kompetensi keahlian teknis. Tetapi memang semasa menjadi Panglima Kodam Hasanuddin, Jusuf menunjukkan perhatian memadai terhadap pembangunan perindustrian di wilayahnya. Meskipun demikian, tak boleh tidak, alasan pengangkatan Jusuf adalah lebih karena ‘kebutuhan’ Soekarno untuk menarik para jenderal potensial ke dalam barisan pendukungnya.Dalam Kabinet Dwikora I (27 Agustus 1964 – 28 Maret 1966), terdapat setidaknya sembilan orang menteri berlatar belakang militer, termasuk Jenderal AH Nasution dan Brigjen Muhammad Jusuf. Dalam deretan itu terdapat nama-nama Mayjen KKO Ali Sadikin, Mayjen Dr Soemarno, Mayjen Prof Dr Satrio, Mayjen Achmad Jusuf, Letjen Hidajat dan Laksamana Udara Iskandar. Selain itu ada empat Panglima Angkatan yang diletakkan dalam posisi menteri. Beberapa menteri yang lain, diangkat pula sebagai perwira tinggi tituler, setingkat jenderal.
Merasa terkesan atas diri Brigjen Jusuf, suatu ketika Soekarno bahkan pernah menyatakan di depan Yani dan Jusuf, berniat mengangkat Menteri Perindustrian Ringan itu menjadi Wakil Perdana Menteri IV, suatu jabatan baru sebagai tambahan atas tiga Waperdam yang telah ada. Dengan beberapa pertimbangan yang cukup masuk akal, Menteri Panglima AD Letnan Jenderal Ahmad Yani menyatakan penolakan, langsung dalam pertemuan itu juga. Dan Soekarno mengurungkan niatnya, tetapi menjelang akhir September 1965, ketika ia bermaksud ‘menggeser’ Yani dari jabatan Menteri Panglima AD, muncul lagi gagasan menciptakan posisi Waperdam IV, yang kali ini sebagai tempat ‘pembuangan ke atas’ bagi Ahmad Yani. Belakangan sekali, dalam Kabinet Dwikora II, yang dibentuk di tengah gelombang demonstrasi mahasiswa, Februari 1966, jabatan Waperdam IV itu akhirnya terwujud juga, yang diduduki oleh tokoh NU KH Idham Chalid.Ketika Soeharto diangkat menjadi Panglima Mandala 23 Januari 1962, sudah dengan pangkat Mayor Jenderal per 1 Januari tahun itu juga, Brigadir Jenderal Jusuf adalah Panglima Kodam Hasanuddin. Pada bulan yang sama, Soeharto juga diangkat sebagai Deputi Wilayah Indonesia Timur menggantikan Mayjen Ahmad Yani. Meskipun sama-sama berkedudukan di Makassar, Soeharto dan Jusuf tidak banyak memiliki keterkaitan hubungan kerja langsung. Sebagai Panglima Mandala, konsentrasi Soeharto adalah pelaksanaan Trikora untuk pembebasan Irian Barat, sementara sebagai Panglima Hasanuddin, Jusuf ditugaskan untuk menumpas DI-TII pimpinan Kahar Muzakkar dengan catatan jangan sampai masalah DI-TII itu mengganggu tugas-tugas Komando Mandala. Karena sekota, Soeharto dan Jusuf bagaimanapun kenal baik satu sama lain. Namun, secara pribadi, yang lebih terjalin adalah kedekatan Brigjen Jusuf dengan Mayjen Ahmad Yani yang tak lama kemudian diangkat menjadi Menteri Panglima AD dengan pangkat Letnan Jenderal.Ketika masih berpangkat Kolonel dan menjabat Panglima Komando Daerah Militer Sulawesi Selatan dan Tenggara (KDMSST), Jusuf juga sempat amat bersimpati kepada atasannya, KSAD Mayor Jenderal AH Nasution, dan memiliki sikap anti komunis yang sama. Tetapi dalam Peristiwa Tiga Selatan, yakni pembekuan PKI di tiga propinsi selatan, yakni Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan dan Sumatera Selatan, Kolonel Jusuf merasa kecewa terhadap Nasution. Ketika Jusuf dipanggil Soekarno, bersama dua panglima selatan lainnya, dan didamprat habis-habisan, Nasution tidak melakukan pembelaan di depan Soekarno. Kekecewaan itu ternyata berlangsung berkepanjangan. “Jusuf tak bisa melupakan insiden itu serta kekecewaannya terhadap Nasution….. Ini juga menjelaskan kemudian, mengapa Jusuf lebih senang berhubungan dengan Ahmad Yani, lebih-lebih setelah Yani menggantikan kedudukan Nasution pada tahun 1962” sebagai KSAD.
Persentuhan yang bermakna antara Soeharto dan Jusuf terjadi empat hari setelah Peristiwa 30 September, sepulangnya Jusuf dari Peking (Beijing). Jusuf pada akhir September 1965 termasuk dalam delegasi besar Indonesia yang menghadiri perayaan 1 Oktober di Peking. Dan ketika terjadi peristiwa di Jakarta pada 1 Oktober, berbeda dengan umumnya anggota rombongan –termasuk Waperdam III Chairul Saleh– yang memperoleh informasi versi pemerintah Peking, Brigjen Jusuf mendapat pula versi kedua. Ini membuat dirinya memutuskan untuk segera kembali ke Jakarta dan bersama seorang anggota delegasi ia menempuh jalan panjang pulang ke tanah air. Mula-mula naik kereta api dari Peking, sambung menyambung 2000 kilometer jauhnya hingga Guangzhou yang ditempuh selama dua hari satu malam. Lalu melintasi perbatasan menuju Hongkong yang waktu itu masih dikuasai Inggeris. Atas bantuan Konsul Jenderal RI di Hongkong, Jusuf berhasil memperoleh tiket penerbangan dengan Garuda ke Jakarta –route Tokyo-Hongkong-Jakarta– yang menggunakan turbo propeller jet Lockheed Electra yang berbaling-baling empat. Setibanya di Kemayoran, Jusuf langsung menuju Markas Kostrad untuk bertemu Mayjen Soeharto, seperti dituturkan Atmadji Sumarkidjo dalam ‘Jenderal M. Jusuf, Panglima Para Prajurit’ (Kata Hasta, Jakarta 2006).Kenapa menghadap Soeharto lebih dulu dan bukan Soekarno ? “Saya pertama-tama adalah seorang anggota TNI. Karena Men Pangad gugur, maka yang menjabat sebagai perwira paling senior tentu adalah Panglima Kostrad. Saya ikut standard operation procedure itu”, demikian alasan Jenderal M. Jusuf. Tapi terlepas dari itu, Jusuf memang dikenal sebagai seorang dengan ‘intuisi’ tajam. Dan tentunya, juga punya kemampuan yang tajam dalam analisa dan pembacaan situasi, dan karenanya memiliki kemampuan melakukan antisipasi yang akurat, sebagaimana yang telah dibuktikannya dalam berbagai pengalamannya. Kali ini, kembali ia bertindak akurat. Dalam pertemuan dengan Soeharto ini Jusuf menyatakan dukungan terhadap tindakan-tindakan yang telah diambil Panglima Kostrad itu. Dan sejak saat itu, hingga beberapa waktu lamanya, ia bolak balik ke Kostrad, karena ia telah menjadi tim ‘politik’ Soeharto. Barulah pada 6 Oktober saat berlangsungnya suatu sidang kabinet di Istana Bogor, de beste zonen van Soekarno ini melapor kepada Soekarno tentang kepulangannya dari ibukota RRT, Peking.
Mayor Jenderal Basuki Rachmat, adalah yang paling senior dari trio jenderal 11 Maret ini. Saat peristiwa terjadi ia adalah Panglima Divisi Brawidjaja. Hanya beberapa jam sebelum para jenderal diculik dinihari 1 Oktober, Basuki Rachmat bertemu dengan Letnan Jenderal Ahmad Yani di kediaman Jalan Lembang. Ia adalah perwira tertinggi pangkatnya yang terakhir bertemu Yani dalam keadaan hidup. Basuki Rachmat memiliki kedekatan dengan Yani, namun ia pun memiliki kedekatan khusus dengan Soekarno untuk beberapa lama, sehingga ia pun sempat termasuk de beste zonen van Soekarno. Ia memiliki akses untuk melapor langsung dan memang kerapkali dipanggil oleh Soekarno untuk itu. Namun pada beberapa bulan terakhir sebelum Peristiwa 30 September, Soekarno menurut beberapa jenderal berkali-kali menyatakan sedikit ketidaksenangannya terhadap beberapa tindakan Basuki Rachmat sebagai Panglima di Jawa Timur. “Saya tidak pernah ditegur langsung oleh Presiden Soekarno, tetapi saya pernah dengar dari pak Yani dan beberapa jenderal”, demikian Rachmat menjelaskan hubungannya dengan Soekarno di tahun 1965 (Wawancara Rum Aly dengan Basuki Rachmat untuk Mingguan Mahasiswa Indonesia, Purwakarta Juli 1968).Selain itu, kenyataan bahwa ia berkali-kali bertemu Nasution pada bulan-bulan terakhir itu, menambah ketidaksenangan Soekarno atas dirinya. Secara pribadi, ia tak tercatat sebagai perwira yang condong kepada golongan kiri, namun sebaliknya ia tak ada di barisan depan deretan perwira yang terkenal sebagai perwira anti komunis, seperti misalnya Mayjen Ibrahim Adjie dan Brigjen Jusuf. Tetapi, sebagai panglima di Jawa Timur, ia tak punya kemampuan prima membendung pengaruh PKI di kalangan perwira bawahannya, sehingga banyak batalion Divisi Brawidjaja dipimpin oleh komandan yang telah masuk kawasan pengaruh PKI. Salah satu batalion, yakni Batalion 530 bahkan turut serta dalam Gerakan 30 September. Tegasnya, ia berada di lingkungan yang abu-abu. Tentang Batalion 530, suatu kali di tahun 1968, Basuki hanya mengatakan, “yang sudah lewat, sudahlah”.
"Saat sedang rapat sidang kabinet, mahasiswa mengepung istana. Pada waktu itu 'pasukan tak dikenal' itu datang berbaur. Sikap dan penampilan yang baik dari pasukan itu membuat demonstran mahasiswa tak merasa terancam dengan melihat mereka. Bagaimana sebaliknya, seorang mantan menteri pada kabinet Dwikora yang disempurnakan, katakanlah pasukan tanpa tanda pengenal itu memang suka untuk menekan Soekarno dan mungkin saja membantu demonstran masuk menerobos istana ".
TERDAPAT jumlah Panglima Kodam yang memiliki akses langsung dengan Soekarno sebagai Pangti ABRI -suatu situasi yang memang diciptakan oleh Soekarno sendiri. Sementara yang lain, hanya bisa bertemu dengan sang Presiden, jika dibawa oleh Menteri Pangad Ahmad Yani. Ada beberapa yang, yang punya akses langsung dengan Soekarno, tetap berjalan tatakrama untuk melapor ke Yani, sebelum atau nantinya. Ada juga yang sama-sama melangkahi Yani, seperti juga yang dilakukan oleh nomor jenderal senior. Salah satu Panglima Kodam yang pada bulan-bulan terakhir sampai September 1965 selalu 'tembak langsung' menghadap Soekarno adalah Brigjen Sjafiuddin dari Kodam Udayana. Sementara itu, waktu menjadi Panglima di Kalimantan Selatan, Amirmahmud, ada di antara dua kategori itu.de beste zonen van Soekarno . Sesekali dia meluap ke Yani, dan banyak kali juga tidak.
Dalam momen yang penting, pada masa tak menentu dalam kekuatan Soekarno setelah Peristiwa 30 September 1965, Brigjen Amirmahmud masuk Jakarta menggantikan Mayjen Umar Wirahadikusumah sebagai Panglima Kodam Jaya. Salah satu bentuk yang diciptakan Amirmahmud adalah termasuk salah satu Panglima Kodam luar Jawa yang melarang semua kegiatan PKI dan ormas-ormasnya pada bulan Oktober tahun 1965, tanggal 19, gan masih lebih lambat dari isi Kodam lainnya. Satu dan lain hal, kedekatannya dengan Presiden Soekarno ikut memperlambat dirinya mengambil keputusan itu. Pada tanggal 1 Oktober, saat Kepala Staf Komando Antar Daerah Kalimantan Brigjen Munadi, mengadakan pertemuan membahas situasi yang terjadi di Jakarta, Panglima Kalimantan Selatan ini menjadi satu-satunya Panglima se Kalimantan yang tidak hadir.
Saat Amirmahmud menjadi Panglima Kodam Jaya, beberapa kali tindakannya berikut tanda tanya para mahasiswa KAMI. Prajurit-prajurit Kodam Jaya kerap bertindak keras dan kasar kepada mahasiswa. Perwira-perwira bawahan Amirmahmud pun terakhir tidak menunjukkan simpati terhadap gerakan-gerakan mahasiswa, untuk tidak menjual diri memusuhi. Hanya sedikit perwira Kodam Jaya yang bersimpati kepada mahasiswa, bisa dihitung cukup dengan jari di satu tangan, dan di antara yang sedikit itu tertaut nama Kepala Staf Kodam Kolonel AJ Witono dan Letnan Kolonel Urip Widodo.
Sebagai seorang Soekarnois, berkali-kali pula Amirmahmud menampilkan lakon kesetiaan kepada Soekarno, terkait dengan Barisan Soekarno. Tapi, agaknya ini menjadi hikmah pula warnanya, karena isinya ia mendapat tempat di hati Soekarno, yang kemudian memudahkannya berperan dalam kelahiran Surat perintah 11 Maret. Dan karena karena dalamnya pada tanggal 11 Maret, ia kemudian mendapat tempat yang lebih layak di sisi Soeharto dalam kuasa, sepanjang hayatnya. Terus menerus menjadi Menteri Dalam Negeri sejak menggantikan Basoeki Rachmat yang meninggal dunia dan kemudian menjadi Ketua MPR / DPR sebagai penutup karirnya yang secara tergolong 'terang benderang'.
Hal lain yang membuat Amirmahmud bisa dekat dengan Soeharto adalah tidak di antara para jenderal yang 'fasih' bahasa Belanda dan menggunakan bahasa campuran Belanda-Indonesia dalam percakapan sehari-hari satu sama lain. Soeharto adalah orang yang tidak terlalu suka dengan kebiasaan berbahasa Belanda, suatu ketidaksukaan yang umum di kalangan perwira hasil pendidikan kemiliteran jepang. Dari Soekarno, terpilih dua kali dalam dua waktu yang berbeda, 1946 dan 1965, Soeharto mendapat 'gelar' dalam bahasa Belanda dari Soekarno, sebagai jenderal koppig. Amirmahmud tak merasa nyaman dan tak betah bila ada dalam pertemuan yang dihadiri para jenderal bul Belanda ini, seperti misalnya HR Dharsono, Kemal Idris dan kawan-kawan. Ketidaknyamanan yang sama dirasakannya saat ini masih di Divisi Siliwangi sebelum di luar Jawa. Divisi Siliwangi terkenal sebagai satu divisi dengan banyak perwira intelektual dan berlatar belakang pendidikan baik, kelebihan divisi yang lain pada umumnya. Percakapan bahasa sehari-hari di kalangan kalangan perwiraque sampai perwira tinggi sangat lazim menggunakan bahasa belanda. Amirmahmud yang berasal dari Cimahi, berbeda dengan umumnya koleganya sesama perwira Siliwangi, tidak menggunakan bahasa itu. Jenderal AH Nasution yang juga berasal dari Divisi Siliwangi,
Kebiasaan berbicara dengan bahasa Belanda, merupakan salah satu ciri kelompok perwira intelektual dalam Angkatan Bersenjata Indonesia. Meski demikian, karena imbang, Amirmahmud bisa juga membuat dirinya 'betah' bila hadir dalam pertemuan dengan Bung Karno, kendati sang presiden banyak menggunakan kata-kata belanda yang tak semua dipahaminya. Yang menarik adalah Soekarno sendiri tidak pernah menggunakan istilah-istilah bahasa Belanda jika berbicara dengan Amirmahmud dan beberapa jenderal lain yang diketahuinya tidak sesuai dengan bahasa itu. Brigjen Soepardjo, Kolonel Latief dan Letnan Kolonel Untung termasuk dalam kelompok perwira yang tak berkebiasaan, bahkan jauh dari kebiasaan menggunakan bahasa belanda.
Sejak pagi hari 11 Maret sebenarnya Presiden Soekarno ada dalam suatu keadaan cemas dan tertekan. Menurut rencana, hari itu akan ada Sidang Kabinet, namun dia-sudah akan menjadi faktor keamanan bila sidang itu diselenggarakan di Jakarta. Ia menelpon Panglima Kodam Jaya Amirmahmud pukul 07.00 dari Istana Bogor, lakukanlah aman bila sidang itu dilakukan di Jakarta. Sang panglima memberikan jaminan dan janji takkan terjadi apa-apa. Beberapa jam kemudian, saat sidang itu akan dimulai, lagi lagi Soekarno bertanya kepada Amirmahmud dan mendapat jawaban "Jamin pak, aman". Soekarno meminta Amirmahmud untuk tetap berada di ruang sidang. Tapi sewaktu sidang baru berlangsung sekitar sepuluh menit, Komandan Tjakrabirawa terlihat berulang-ulang menampilkan memo kepada Amirmahmud. Isinya ada perintah yang tidak jelas identitasnya berada di sekitar istana tempat sidang kabinet berlangsung. Ia meminta Amirmahmud keluar sejenak, tapi Panglima Kodam ini berulang-ulang dengan gerak telapak tangan dengan ayunan kiri-kanan seolah isyarat takkan ada apa-apa. Tapi bisa juga jangan tanda tangani dan tidak mau keluar dari ruang rapat kabinet. Meski adegan ini berlangsung tanpa suara, semua itu tak luput dari penglihatan Soekarno dan para Waperdam yang duduk dekatnya.
Tak mendapat tanggapan dan Amirmahmud tak kunjung beranjak dari tempat duduknya, Brigjen Saboer akhirnya menyampaikan langsung satu memo kepada Soekarno. Setelah membaca, tangan Soekarno tampak gemetar dan memberi memo itu untuk dibaca oleh tiga Waperdam yang ada di dekatnya. Soekarno lalu menyerahkan pimpinan sidang ke Leimena dan pergi ke ruang sidang dengan tergesa-gesa. Kepada Amirmahmud yang mengikutinya ia bertanya, "Mir, bapak ini mau dibawa ke mana?". Digambarkan Amirmahmud, yang tadinya terjamin sidang ini akan berlangsung aman tanpa gangguan, tak terjawab dan hanya menuntun Soekarno menuju helikopter. Dengan helikopter itu, Soekarno dan Soebandrio menuju Istana Bogor.
Sebenarnya, Amirmahmud sendiri, yang ingin menunjukkan kepada Soekarno apakah dia bisa menjamin keamanan sidang kabinet tersebut, saat itu tak terlihat imbasnya pasukan tak dikenal itu. Sepenuhnya, pasukan ini bergerak di atas Pangkostrad Kemal Idris. Pasukan itu diperintahkan untuk mencopot tanda-tanda satuannya dan bergerak ke sekitar istana. Seorang perwira tinggi AD di awal hari ini adalah pasukan yang sebenarnya serius untuk melindungi demonstran mahasiswa, karena dalam peristiwa sebelumnya para mahasiswa itu berkali-kali menjadi korban kekerasan Pasukan Tjakrabirawa, dan sudah jatuh satu korban jiwa, Arief Rachman Hakim.
Pada 11 Maret pagi sampai petang, ada beberapa benturan di berbagai kota Jakarta. Catatan harian Yosar Anwar - dibukukan dengan judul 'Angkatan 66', Penerbit Sinar Harapan, Jakarta 1981- adalah salah satu sumber yang tepat untuk dicoba guna menjelaskan situasi hari itu. Pagi-pagi, mahasiswa yang berada di kampus UI Salemba, dikejutkan oleh suatu serangan mendadak dari segerombolan orang yang berbaju hitam-hitam. "Gerombolan berseragam hitam pagi itu datang dari arah Jalan Tegalan dan Matraman Raya. Mereka menyerbu pos KAPPI di Jalan Salemba. Seorang luka, karena kena tusuk. Laskar S. Parman dan Laskar A. Yani segera memberikan bantuan. Perang itu terjadi. Perkelahian seru. Akhirnya gerombolan pembohong ini mengundurkan diri. Pemuda Ansor yang tergabung dalam Banser dari Jalan Pramuka ikut menghadang mereka. Keadaan kacau balau, karena perkelahian pada depan luas terbuka ". Aku tiba-tiba, sepasukan Tjakrabirawa yang suka lengkap datang menyerbu. Mereka melepaskan hampir segalanya horisontal, peluru diingung di atas kepala pelajar dan mahasiswa. Para mahasiswa yang bingung, tiarap. Terdengar seorang anggota Tjakrabirawa dengan nyaring mengucapkan "Seratus mahasiswa tidak bisa melawan seorang anggota Tjakrabirawa". Tapi Tjakrabirawa yang telah berhasil membuat takut para mahasiswa, akhirnya berlalu dengan membawa empat orang sebagai tawanan. Namun beberapa jam kemudian, para mahasiswa itu dilepaskan. akhirnya berlalu dengan membawa empat orang sebagai tawanan. Namun beberapa jam kemudian, para mahasiswa itu dilepaskan. akhirnya berlalu dengan membawa empat orang sebagai tawanan. Namun beberapa jam kemudian, para mahasiswa itu dilepaskan.
Pas pasukan pengawal presiden itu hanya berada di sekitar istana, tapi hari itu mereka merambah ke mana-mana. Setsequ, Yosar mencatat "Di Jalan Salemba perang pamflet. Helikopter bertanda ALRI menyebarkan fotokopi 'Pernyataan Kebulatan Tekad Partai-partai Politik'. Apa pelajar penuh stensilan 'reaksi pemuda-pelajar-mahasiswa atas sikap partai politik' ... ". Kejadian lain, sepasukan Tjakrabirawa yang lewat dengan kendaraan truk di Pasar Minggu terbebas dari saat diteriaki dan diejek oleh para pelajar. Mendengar adanya tembakan, satu pasukan Kujang Siliwangi yang 'bermarkas' dekat tempat kejadian, keluar ke jalan dan lepas tembakan 'balasan'. Anggota Para Armed (Artileri Medan) dari arah lain, juga dibebaskan tembakan.
Pada tanggal sakit yang sama, terjadi keributan di Jalan Blitar. Massa menyerbu rumah Oei Tjoe Tat SH dan melakukan perusakan. "Hari ini, situasi sampai pada puncaknya. Demonstrasi kontra demo. Tembakan kontra tembakan. Teror kontra teror. Culik kontra culik ". Saat sedang rapat kabinet, mahasiswa mengepung istana. Pada waktu itu 'pasukan tak dikenal' itu datang berbaur. Sikap dan penampilan yang baik dari pasukan itu membuat demonstran mahasiswa tak merasa terancam dengan melihat mereka. Bapak sebaliknya, seorang mantan menteri pada kabinet Dwikora yang disempurnakan, kata timbal tanpa tanda pengenal itu memang suka untuk menekan Soekarno dan mungkin saja membantu demonstran masuk menerobos istana.
"Suatu hal lain yang mungkin saja tak bisa lagi diklarifikasi, karena ketiga Jenderal Super Semar telah tiada dan Soeharto sendiri sejauh ini sampai akhir hayatnya berada dalam kondisi 'tak mau' dan 'tak bisa' diklarifikasi, apakah ada kejadian lahirnya surat perintah 11 Maret itu Adalah oleh kecelakaan Terjadi kARENA situasi Mendadak di Tanggal 11 Maret ITU, ataukah ADA semacam pengaturan sebelumnya?”. "Isi dari kontroversi yang ada, bagi Drs Achadi, era mantan menteri Soekarno, sebenarnya yang merupakan sesuatu yang lebih penting adalah bagaimana penafsiran Soeharto dalam pelaksanaan dan penggunaan Surat perintah 11 Maret itu secara faktual, bukan hal-hal lainnya yang banyak menjadi bahan kontroversi berkepanjangan beberapa tahun terakhir ".
Istana Bogor, 11 Maret 1966, pukul 13.00. Tiga jenderal AD tiba di sana dengan berkendaraan sebuah jeep yang dikemudikan sendiri oleh Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf, Menteri Perindustrian Ringan. Dua lainnya adalah Walikota Jenderal Basuki Rachmat, Menteri Veteran dan Demobilisasi, serta Brigadir Jenderal Amirmahmud, Panglima Kodam Jaya. Keputusan berangkat ke Bogor tertunda Soekarno setelah Basuki Rachmat dan Jusuf mendengar detail tentang mengapa Soekarno tergesa-gesa berangkat ke Bogor dengan helikopter. Meski hadir dalam rapat kabinet, kedua menteri itu tak tahu persis mengenai adanya pasukan tak kenal tangan dan tak terlalu terlihat yang tercipta oleh Brigjen Saboer dan Brigjen Amirmahmud.
Sebelum berangkat ke Bogor, tiga jenderal ini terkena Jenderal Soeharto di kediaman Jalan Haji Agus Salim dan diterima di kamar tidur Soeharto yang waktu itu suka sedang demam. Soeharto meresmikan mereka bertiga ke Bogor, dan menurut Jusuf, Soeharto menitipkan satu pesan yang jelas dan tegas -berbeda dengan beberapa versi yang lain yang diperhalus- yaitu Soeharto "siap memikul tanggung jawab untuk otoritas keamanan agar tritura ".
Soekarno yang pada waktu itu sempat terjadi panik di Jakarta dan tergesa-gesa berangkat ke Bogor, sempat libur istirahat siangnya dan lewat tiga jenderal itu menunggu sampai pukul 14.30 sebelum menerimanya. Soekarno bisa tampil cukup 'tenang' tatkala pesan Jenderal Soeharto disampaikan, namun menurut gambaran Muhammad Jusufitu "dialog yang sangat berat atau kadang-kadang tegang". Tidak seperti pada masa-masa sebelumnya, dimana dalam setiap pembicaraan Soekarno selalu dituruti, kali ini para jenderal itu lebih berani berargumentasi. Ini ada dampaknya terhadap Soekarno yang terbiasa diiyakan, Soekarno merasa sedikit tertekan oleh para jenderal itu. Soekarno akhirnya memberikan suatu kewenangan kepada Soeharto. Penyusunan konsepnya waktu lama dan berulang kali mengalami perubahan.
Dalam ingatan Jusuf, coretan-coretan perubahan dari Soebandrio dan Chairul Saleh, mengecilkan otoritas yang akan diberikan kepada Soeharto. Dalam catatan Jenderal Nasution, butir yang berasal dari Soebandrio adalah tentang situasi menteri Panglima AD untuk berkoordinasi dengan para panglima angkatan lainnya dalam pembuatan perintah. Sementara itu, menurut Soebandrio sendiri, sesekali bersama dua waperdam lainnya bergabung, sudah terbentuk konsep. Soebandrio menuturkan, "Saya masuk ruang pertemuan, Bung Karno sedang membaca surat". Basuki Rachmat, Amirmahmud dan Muhammad Jusuf duduk di depan Soekarno. "Lantas saya disodori surat yang dibaca Bung Karno, Sementara Chairul Saleh duduk di samping saya. Isi persisnya aku sudah lupa Tapi intinya ada empat hal. Presiden Soekarno memberi mandat kepada Soeharto untuk: Pertama, mengamankan wilayah Jakarta dan sekitarnya. Kedua, penerima mandat wajib melaporkan kepada presiden atas semua tindakan yang dilaksanakan. Ketiga, penerima mandat wajib mengamankan presiden dan seluruh keluarga. Keempat, penerima mandat wajib melestarikan ajaran Bung Karno. Soal urutannya, mungkin terbalik-balik, namun intinya penuh seperti itu ".
Lebih jauh, Soebandrio menuturkan -dalam naskah 'Kesaksianku tentang G30S'- apakah Soekarno bertanya, "Bagaimana, Ban? Kau setuju? ". Beberapa saat Soebandrio diam. "Saya pikir, Bung Karno hanya mengharapkan saya menyatakan setuju. Lih, dalam hati saya tidak setuju ". Soebandrio yang agaknya terjaga oleh peristiwa di Jakarta pagi dan siangnya, masih belum pulih semangatnya, tidak ia sendiri, termasuk saat ia berkali-kali merasa dipelototi oleh para jenderal itu. "Saya merasa Bung Karno sudah ngotot. Terbukti ada kalimat 'Mengamankan pribadi presiden dan keluarga'. Hukum keselamatan presiden terancam oleh pihak yang menekan agar surat tersebut dikeluarkan ". Lama terdiam, akhirnya Soebandrio ditanyai lagi oleh Soekarno, "Bagaimana, Ban? Setuju? ". Soebandrio menjawab, "Ya, bagaimana. Bisa saya beli apa saya? Bung Karno sudah berunding tanpa kami ", yang dipotong Soekarno," Tapi, kau setuju? ". Soebandrio menjawab lagi, "Kalau bisa perintah lisan saja". Soebandrio melirik, "tiga jenderal itu melotot ke arah saya. Saya tidak takut Mereka pasti geram mendengar kalimat saya terakhir ". Lantas Amirmahmud menyela, "Bapak Presiden tanda tangan saja. Bismillah saja, pak ". Soebandrio duga Soekarno sudah dipegang oleh tiga jenderal itu saat berunding tadi. "Raut wajah terlihat ragu-ragu, tapi seperti mengharapkan dukungan kami agar setuju. Akhirnya saya setuju. Chairul dan Leimena juga menyatakan setuju. Bung Karno lantas teken ". Soebandrio duga Soekarno sudah dipegang oleh tiga jenderal itu saat berunding tadi. "Raut wajah terlihat ragu-ragu, tapi seperti mengharapkan dukungan kami agar setuju. Akhirnya saya setuju. Chairul dan Leimena juga menyatakan setuju. Bung Karno lantas teken ". Soebandrio duga Soekarno sudah dipegang oleh tiga jenderal itu saat berunding tadi. "Raut wajah terlihat ragu-ragu, tapi seperti mengharapkan dukungan kami agar setuju. Akhirnya saya setuju. Chairul dan Leimena juga menyatakan setuju. Bung Karno lantas teken ".
Seingat Hartini Soekarno, sebelum mempelajari Surat Perintah 11 Maret itu, Soekarno sempat bertanya kepada Leimena, yang dijawab dalam bahasa Belanda, "Tak ada komentar, saya serahkan untuk anda". Sedang dari Chairul Saleh ada anjuran untuk berdoa dulu memohon petunjukNya. Terakhir dari Soebandrio ada komentar, juga dalam bahasa Belanda, "Kalau anda menandatanganinya, sama saja masuk perangkap". Pukul 20.30 para jenderal itu kembali ke Jakarta dengan membawa surat perintah 11 Maret yang sudah ditandatangani Soekarno. Satu tembusan karbonnya diambil Brigjen Jusuf dari Saboer, sementara Saboer sendiri terus tembusan lainnya, yang kesemuanya tanpa tanda tangan Soekarno.
Belakangan, terjadilah setelah lengsernya Soeharto dari kuasanya, terjadi kesimpangsiuran mengenai Surat Perintah 11 Maret ini. Pesan karena dokumen asli yang ditandatangani Soekarno bersejarah hilang. Dikabarkan bahwa naskah dokumen asli ada di tangan Jenderal Jusuf. Menjadi pertanyaan, bagaimana mungkin dokumen asli itu bisa ada di tangan Jusuf, karena dokumen itu sudah diserahkan langsung oleh ketiga jenderal itu ke tangan Jenderal Soeharto di kamar tidur sang jenderal di Jalan Haji Agus Salim. Jusuf sendiri, hanya memegang tembusan karbon surat perintah yang tanpa tanda tangan Soekarno. 'Hilangnya' dokumen asli itu menimbulkan tuduhan ada manipulasi atas surat perintah 11 Maret, yaitu dengan 'memotong' bagian batas waktu yang berlaku Surat perintah tersebut, kemudian di copy lalu disembunyikan, yang kesemuanya dilakukan atas 'perintah' Soeharto.
Menurut Sudharmono SH yang pernah menjadi Wakil Presiden dan dekat dengan Soeharto, dalam suatu percakapan dengan Rum Aly (penulis buku 'Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1965' ) mengatakan bahwa dokumen itu adalah karena terselip dan lengkap kealpaan manusiawi dari Soeharto sendiri. Juru Bicara Juru Bicara Juru Bicara Jendral Jilbab. Jilid 2. Versi Yang ADA hearts buku 'memoar' Jenderal Jusuf Yang disusun Oleh Atmadji Sumarkidjo, ' Jenderal M . Jusuf , Panglima Para Prajurit '(2006, Penerbit Kata Hasta) adalah sebagai berikut ini. Untuk dan atas nama Presiden / Panglima Tertinggi / Pemimpin Besar Revolusi, Soeharto dapat (1) segala tindakan yang perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, serta keamanan keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden / Panglima Tertinggi / Pemimpin Besar Revolusi / Mandataris MPRS demi keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia, dan pelaksanaan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi; (2) Mengadakan latihan dengan Panglima-panglima angkatan lain dengan sebaik-az; (3) Supaya semua hal yang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggung jawabnya seperti di atas. Sampai meninggal dunia 7 September 2004,
Dalam memoar Jenderal Jusuf yang diterbitkan di tahun 2006 itu, soal dokumen asli itu juga soal manipulasi isi surat perintah tersebut -bahwa surat perintah itu punya jangka waktu masa berlaku-tak dapat ditemukan pemaparannya. Kalau ada soal, kenapa Jenderal Jusuf tetap disambung rapat-rapat? Seakan-akan masalah itu tersimpan dalam satu kotak Pandora, yang akan menyebarkan 'malapetaka' dan 'kejahatan' bila dibuka. Sementara itu, tokoh Partai Katolik Harry Tjan Silalahi yang dekat dengan Ali Moertopo, menyatakan bahwa mereka pernah melihat sendiri asli Surat Perintah 11 Maret itu, terdiri dari dua halaman, dan bersaksi yang sebelumnya tak pernah ada manipulasi. Cerita dokumen asli surat itu hilang, ia menunjuk pada pandangan buruknya dalam pengertian pengarsipan di indonesia,
Suatu hal lain yang mungkin saja tak bisa lagi diklarifikasi, karena ketiga Jenderal Super Semar telah tiada dan Soeharto sendiri sejauh ini sampai akhir hayatnya berada dalam kondisi 'tak mau' dan 'tak bisa' diklarifikasi, apakah ada kejadian lahirnya surat perintah 11 Maret itu adalah dengan kebetulan karena karena situasi mendadak di tanggal 11 Maret itu, ataukah ada setting settingsebelumnya? Pertanyaan ini muncul, karena menurut Soeripto SH, yang kala itu berkecimpung di lingkungan hidup -dan berkomunikasi intensif dengan Yoga Sugama, Asisten I di Kostrad- pada tanggal 10 Maret pukul 21.00 malam dari seorang Letnan Kolonel Angkatan Darat esok hari Soekarno akan menyerahkan kuasa kepada Walikota Jenderal Soeharto. Apa yang dimaksud dengan apa yang disebut sebagai pasukan tak dikenal di depan istana, bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Semangat dari kontroversi yang ada, bagi Drs Achadi, era mantan menteri Soekarno, sebenarnya yang merupakan sesuatu yang lebih penting adalah bagaimana penafsiran Soeharto dalam pelaksanaan dan penggunaan Surat perintah 11 Maret itu secara faktual, bukan hal-hal lainnya yang banyak menjadi bahan kontroversi berkepanjangan beberapa tahun terakhir.
Sumber:

Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966
Ini opini apaan sih? Foto aja penamaannya kebalik-balik...
BalasHapusIni opini apaan sih? Foto aja penamaannya kebalik-balik...
BalasHapus